Dinginnya dinding kamar Rumah Sakit Jiwa
*********************************************
Pernikahan itu kenyataannya tidak pernah terjadi, aku hanya bisa meronta, menangis, tertawa, berteriak-teriak histeris. Semua berjalan hingga berbulan-bulan lamanya.
Bajuku lusuh, penampilan yang sudah tidak layak. Olokan anak-anak tak pernah kunjung padam.
"Ningsih gila, Ningsih edan ..."
Setelah mengolok, kupandangi wajah mereka dan mereka lari terbirit-birit.
"Bu, alangkah baiknya kita titipkan Ningsih ke RSJ terdekat di Jogjakarta. Kasian dia selalu diejek," pinta bapak.
"Aku tidak tega pak," tangis ibu hampir setiap hari ibu berderai air mata.
Tidak lama, dibawalah aku ke RSJ Jogjakarta. Aku hanya bisa melihat gedung tua, dengan banyak orang yang sama seperti kondisiku.
Setiap ada pasien lelaki, aku panggil-panggil dengan sebutan Mas Genta.
"Mas Genta, kamu mas Genta ya hahaha mas Genta masih hidup hahaha."
Kondisi Ningsih sudah tidak terkendali, dia mengamuk di ruang dokter dan terpaksa disuntik penenang.
Berada di kamar yang dingin dan sendiri seolah-olah disekap oleh keadaan. Rasa merindu akan kehadiran sosok lelaki itu tak pernah sirna sampai kapanpun.
"Mas Genta, kamu disini mas. Aku ikut mas Genta. Jangan pergi mas. Itu kamu mas hahahaha."
Bapak tak kuasa melihat kondisi anak kesayangannya, ibu memilih untuk diam mengunci bibirnya supaya tak meneteskan air mata.
Kata dokter, Ningsih bisa lebih baik dengan cara di terapi dalam waktu cukup lama.
"Bapak,Ibu sabar ya. Semua kita pasrahkan ke Allah. Kesembuhan semua dariNya, manusia hanya berikhtiar."
Setiap hari para dokter bergiliran mengontrol pasien, terapi selalu diberikan secara rutin dan berkala.
Terutama untuk pasien baru seperti Ningsih.
Sempat membuat geger di area tempat berkumpulnya pasien semacam aula besar. Aku tiba-tiba merangkul pasien laki-laki yang kuanggap Genta. Dan pasien laki-laki itu mengamuk tidak bisa terkendali.
Ada sedikit luka di kepalaku akibat perseteruan itu.
"Dok, pasien Ningsih harus kita isolir sementara. Karena kegiatannya mengakibatkan masalah di keramaian. Setiap pasien lelaki dipeluk dan tidak mau dilepas. Sehingga keributan selalu terjadi dok."
Informasi suster Ana membuat dokter Hendra mengambil keputusan Ningsih diisolir sementara waktu .
"Baik, siapkan kamar isolir."
Sendiri, dingin, cahayanya remang-remang. Ruang apa ini? Cuma kecil cukup untuk satu orang.
Aku terpaksa dipindah ke ruang isolir itu karena dianggap berbahaya terhadap pasien lain.
"Aku disini mas Genta, sendiri, dingin. Kamu dimana hahaha."
Sebentar tertawa, lalu menangis dan marah memukul-pukul tembok, memukul diri sendiri.
Kasihan Ningsih, kisahnya yang cukup dramatis dan memilukan.
Genta masih hidup
********************
Pagi ini kondisi rumah sakit jiwa agak lengang, cenderung sepi. Ada informasi hari ini datang satu pasien lelaki.
Aku terdiam di sudut kamar, datang perawat yang mendorong kursi roda berbicara.
"Ayo mbak Ningsih kita jalan-jalan di taman."
Perawat yang sabar, tidak ada perlawanan dari pasien dan semua berjalan baik-baik saja.
Sejak dipindah diruang isolasi aku lebih bisa mengontrol diri, lebih pendiam dan penurut.
Mataku tertuju ke ruangan dokter yang penuh, kabarnya ada pasien baru yang teriak-teriak tidak tentu arah. Tubuhnya kekar sehingga beberapa dokter dan perawat tidak kuasa menahan.
Aku melihat dari kejauhan, kupandangi wajah pasien baru itu. Sepertinya aku kenal, raut wajah dan suara khasnya.
"Hahahaha itu mas Genta ya, mas Genta aku ikut. Ayo sini kita menikah di tempat ini. Hahahaha."
Akupun teriak-teriak, perawat menenangkan aku. Segera aku dilarikan ke ruang isolasi .
Bersebelahan dengan pasien baru itu, sesaat aku terdiam mendengarkan raungan lelaki itu.
"Ningsih, Ningsih kamu dimana?"
Lelaki ini teriak-teriak terus tanpa jeda.
"Heeehh berisik bisa diam!" bentak ku
Lalu lelaki itu menangis sejadi-jadinya, lalu dia menyanyi-nyanyi.
Aku melihat wajahnya ada bekas luka, kepala juga masih melekat perban. Kaki pincang sebelah.
"Berisik, berisik, berisik!!" bentakku lagi.
Dia marah, mengamuk, menggedor-gedor pintu berusaha untuk keluar.
Lalu merintih kesakitan, kalau sudah capek dia tertidur pulas sambil mulutnya selalu menyebut nama Ningsih perlahan akhirnya menghilang, itu tandanya dia sudah terlelap.
Sedangkan aku selalu menyebut kekasihku, calon suamiku yang kecelakaan pesawat, dan aku yakin dia hidup.
"Mas Genta masih hidup, itu dia. Sini mas Genta, ayo kesini."
"Mas Gentaaaa!"
Aku pun hanya bisa berteriak dibalik pintu kamar isolasi. Menanti sosok lelaki pujaan ku, di ujung kota Jogjakarta ini.
***********
(Genta pernah berkata kepada Ningsih "semoga kita berjodoh" ternyata mereka memang "berjodoh" meski berada di Rumah Sakit Jiwa).
---END---
Jogjakarta Desember 2015