Pagi hari di 2018.
Fajar yang tak seperti biasanya. Fajar yang kelabu tanpa sinar yang menenangkan. Kini yang ada hanya rintik hujan ditemani hawa dingin yang menyayat hati. Aku benci suasana ini, suasana yang mengantarkanku pada kenangan yang enggan untuk kuingat. Setelah kejadian semalam, aku ingin menguatkan hati agar tidak lagi berharap bersama dengannya. Aku sudah bahagia sekarang, aku sudah memiliki kisah baru. Aku sudah memiliki orang yang benar-benar mencintaiku. Haruskah aku kembali lagi seperti dulu hanya karena genggam hangat tangannya. Genggam yang masih sama, masih sama dengan sepuluh tahun lalu.
Sudah pukul 07.00 WIB, tapi hujan belum juga reda. Dengan bermodal sweater dan payung merah jambuku, aku pergi ke kampus dengan malas. Memang, udara dingin bersamaan dengan hujan selalu memaksa siapapun untuk tetap bercumbu dengan selimut hangatnya masing-masing. Tapi, aku tidak ingin melakukannya hari ini. Aku harus melakukan aktivitas agar aku bisa melupakan gejolak di hatiku yang kembali muncul tanpa basa basi.
"Nin, sendirian aja? dimana Eka?" kata seseorang dari belakang. Aku menoleh. Dan ternyata Ben.
"Oh, hai Ben. Iya sendiri, Eka nggak ada kuliah pagi ini. Kok kamu bisa di sini?" jawabku.
"Aku sedang ada urusan dengan presidenBEM fakultasmu" katanya sambil menjajariku berjalan.
"Begitu ya" jawabku seadanya. Aku memang tak terlalu akrab dengan Ben, kami hanya sekedar kenal.
"Aku duluan ya. Oh iya, dapat salam dari keponakan pemilik kontrakanku" kata Ben sambil berlalu mendahuluiku.
"Hah? Siapa?" jawabku terkejut.
"Gani" jawabnya dari kejauhan.
Gani. Nama itu lagi. Setelah aku mencoba untuk fokus pada realitas yang aku miliki, entah mengapa dia tetap ikut di dalamnya. Aku telah berlari menjauhinya, tapi kenapa dia terus menghantui setiap langkahku. Dan seketika itu. Kenangan lalu kembali muncul. Lagi.