Aliran air mewarnai kaca jendelaku sejak semalam, udara dingin menyempurnakan suasana melankolis ini. Aku duduk diam memandangi pagi yang menghapuskan hangatnya sang mentari. Aku sendiri. Tanpa seseorang yang dulunya kubenci, tanpa seseorang yang kini tetap harus kubenci. Karena aku takut menciptakan kisah elegi. Kisah yang rumit dan harusnya tidak boleh terjadi. Kini aku harus tegas dengan hatiku, membangunkannya dengan paksa untuk tetap merelakan. Walau terkadang rindu itu datang.
Dan saat hujan ini akhirnya reda, aku mulai tersadar. Bukan dia yang membuatku luka, tapi hatiku yang tak mau kalah.
Dan saat hujan ini akhirnya reda, aku mulai tersadar. Bukan dia yang membuatku luka, tapi hatiku yang terus menentang.
Dan saat hujan ini akhirnya reda, aku mulai tersadar. Bukan dia yang membuatku luka, tapi hatiku yang tak bisa tenang.
Karena dia kini pulang, kembali kepada kisahnya. Meninggalkanku yang kini mengenang. Semua canda, tawa dan kebahagiaan. Walau kita saling mengungkapkan, tapi waktu tak mau berpihak. Dia tetap pergi untuk kembali ke alur ceritanya. Dengan membawa keping hati ini, dia berpamitan. Berharap aku bahagia, walau tanpanya. Sekarang tinggal aku yang mencoba kuat, tersenyum bahagia demi dirinya.
Adalah Aku yang mencari jalan antara rela dan rindu.