Perjalananku ke Kyoto kali ini sangat berbeda karena begitu banyak kenangan yang terjadi di kota ini. Aku menatap dari kereta yang membawaku dari kansai ke Kyoto dengan perasaan campur aduk. Senang bisa menginjakkan kaki lagi di kota yang indah ini, namun aku harus kembali mengingat apa yang terjadi dua tahun lalu. Aku akan percaya dengan apa yang dia katakan saat itu. Takdir dan kerja keras adalah alasan mengapa kita harus hidup dan bertemu kembali. Semua ini terasa lebih sempurna dengan indahnya pemandangan Kyoto yang kutatap dengan jernih sambil menikmati sejuknya udara musim semi ditemani dengan matahari yang menghangatkan tubuhku. Musim semi di Kyoto masih menjadi pengalaman berharga bagiku. Aku berharap bisa kembali bersama dengan dia suatu hari nanti, menyaksikan aqua fantasy di depan stasiun Kyoto yang indah. Aku juga berharap bisa menggenggam erat tangannya sembari menikmati hijaunya kota Kyoto ditemani sungai yang jernih dan taman-taman yang indah. Tanpa terasa, aku sudah sampai di Kyoto. Aku turun dari kereta menuju guesthouse sederhana yang terletak di pinggiran sungai shimokawa. Di halaman guesthouse aku bertemu dengan seorang wanita berparas Indonesia dengan kulit kecokelatan, rambut sedikit ikal berwarna hitam dengan panjang sebahu.
“Hai… apakah kau juga berasal dari Indonesia?”
“Hai…aku Mia. kau juga berasal dari Indonesia?
“Aku Leyla. Aku juga dari indonesia.”
Dia mulai berjalan masuk mengangkat koper-kopernya meninggalkanku. Aku mulai mengangkat koperku masuk ke guesthouse. Aku sudah berada dalam kamar. Tak satupun lampu ruangan kuhidupkan. Dari bilik kamar yang gelap, kuintip keluar. Dari jendela yang terbuka, kusampaikan melalui angin bahwa aku sudah berada di kota ini. Semoga telingamu dapat mendengar melalui hembusan angin yang sedikit sendu menggambarkan perasaanku pada kenangan-kenangan yang lalu. Ingatan itu kembali meradang dan membuatku menjadi meriang bila teringat padamu setiap kali aku memandang alam dan memejamkan mata.
Alarm yang ku atur pada ponselku telah berbunyi menunjukkan pukul tujuh pagi. Aku ingin berjalan-jalan keliling kota, mulai ku berpikir sesekali dan merasakan hal yang tak ingin kulewatkan, ingin rasanya setiap hal tetap bertahan, namun aku juga memahami bahwa sesuatu hal yang ada pasti akan tiada, tinggallah kunikmati sesuatu yang akan terjadi. Sudahlah, kurasakan saja nikmatnya nyeri ini. Pagi ini kukenakan kaos dan selembar syal merah ditambahkan jeans sebagai bawahan . Aku pernah dengar, kata orang warna kesukaan dapat menggambarkan kepribadian seseorang. Misalnya dengan warna merah, mereka memiliki kepribadian yang berani.
Perutku berbunyi dan merasakan lapar. Aku mencari toko makanan di dekat sini. Hanya beberapa meter jaraknya dari guesthouse ada sebuah café yang menyediakan roti dan teh khas jepang. Aku langsung berhenti dan segera memarkirkan sepeda yang ku gunakan di bagian samping bangunan café. Dengan segera aku langsung masuk dan memesan beberapa roti dengan secangkir teh hijau. Di sudut bagian ruangan kulihat Mia sedang duduk sendiri sambil memegang ponsel dan menikmati teh, aku langsung menemuinya.
“Bolehkah aku bergabung denganmu Mia?” Mia megangkat kepalanya.
“Silahkan Leyla. aku ada janji bertemu dengan seseorang, kamu bergabung saja dengan kami.”
“Apakah kau akan bertemu dengan kekasihmu Mia?” tanyaku menggoda Mia agar suasana antara kami menjadi akrab.
“Sebenarnya dia bukanlah kekasihku. Hanya saja aku menyukainya sejak lama. Ia adalah sahabatku sewaktu SMA. Kau tahu? Aku ke Kyoto karena aku tahu dia akan liburan ke sini.”
“Pernah kau katakan isi hatimu sebenarnya?”
“Aku sudah pernah mengatakannya. Tetapi dia orang yang sulit ditebak.” Mia tersenyum dengan malu-malu. “leyla. Apakah kau pernah suka pada seseorang?”
“Ouh… aku? Aku pernah suka dengan seseorang yang sebelumnya tidak pernah ku kenal. Kami saling mengenal sebentar. Awal perjumpaan kami di stasiun kereta dekat pusat kota. Saat itu aku sedang menunggu keberangkatan kereta menuju Osaka. Aku melihat di sudut jalan banyak kerumunan orang. Aku menghampiri apa sebenarnya yang terjadi. Ternyata ada seorang anak kecil yang mencuri roti dari toko dipinggir stasiun. Aku ingin membantu dan mengganti roti yang dicuri dengan uang, tiba-tiba ada seorang pria indonesia yang terlebih dulu menolongnya. Dari saat itu awal kedekatan kami.” Dimana sejak pertemuan tanpa sengaja di stasiun, kami sering berjanjian untuk menjelajahi kota Kyoto bersama-sama. Merasakan musim semi yang hangat.
“Lalu, apa yang terjadi?" aku tak ingin mengingat hal itu kembali.
“Sudahlah… ” Aku kembali melanjutkan memakan roti dan mencoba meminum teh yang masih panas. Aku lupa memasukan gula kedalamnya. Aku mengaduk-aduk teh yang berada di hadapanku dengan perlahan sambil memandangi Mia.
Tangan Mia melambai ke atas memberikan kode pada seseorang dimana posisi dia berada.
“Kau sudah menunggu lama?” suara pria dari arah samping mulai terdengar.
“Silahkan duduk.” Mia menawarkan kursi padanya.
Aku menoleh ke arah pria itu. Tanganku bergetar saat aku melihatnya. Dia adalah Deny. Kulihat mata Deny sangat tajam memandang ke arahku. Dia sepertinya sangat terkejut sama sepertiku. Aku langsung menjulurkan tangan kepadanya. “Hai… aku Leyla. Aku baru mengenal Mia hanya beberapa hari.” Aku segera mengambil ponselku dari tas, dan pura-pura beradegan pada Mia bahwa ada sesuatu aku hampir lupa. ”Mia, aku lupa bahwa ada sesuatu yang harus aku selesaikan. Aku permisi.”
“Baiklah Leyla.”
Dengan langkah panjang aku berjalan keluar toko dan langsung mengambil sepeda yang aku gunakan. Ku kayuh dengan cepat tanpa tujuan yang jelas. Aku melihat ada kursi yang tidak berpenghuni dipinggir sungai kamogawa. Aku menghentikan sepedaku dan segera duduk. Air mataku tak dapat kubendung lagi dan mulai terjatuh tanpa seijinku. Leyla… apakah kau tak malu menangis dilihat oleh sekawanan burung-burung itu. Aku mulai mengepal tanganku dan memukulnya ke arah kursi yang ku tumpangi. Tanganku terasa sakit dan menjadi merah, namun aku belum puas. Ini adalah sebuah kebetulan atau semacam apa? Air mataku mulai berhenti menetes dan ku hapus sebagian yang membekas di wajahku. Sudahlah… kunikmati saja rasa nyeri ini.
Hari sudah semakin gelap. Matahari bersembunyi menyingkirkan sinarnya dari mata setiap manusia. Burung-burung kembali ke sarangnya, bunga-bunga yang sedari pagi melepaskan baunya secara bersemangat kini sudah mulai melayu. Kawasan kota telah dipenuhi lampu kerlap-kerlip dan irama musik dari pedagang kaki lima. Sudah lama aku duduk terdiam di tempat ini sendiri. Ku kayuh sepeda dengan pelan dan santai menuju guesthouse. Rasanya tubuhku lelah dan gerah, mengharuskan aku segera membasuh badan dan beristirahat. Aku manaiki anak tangga satu per satu dengan pasti, namun ketika aku sampai di lantai dua aku merasa ada orang yang berdiri di hadapanku.
“Mia…” bibirku berkata namun tak mengeluarkan suara. Aku merasa heran, mengapa Mia menghadangku sambil melipat kedua tangannya dan menatapku dengan tajam.
“Ada yang harus kita bicarakan Leyla. Kau harus ikut denganku.” Suara Mia memberat dan ia memalingkan wajahnya dariku. Dia berjalan dan menarik tanganku agar aku mengikutinya kemanapun ia membawaku tanpa aku menolak atau tidak.
“Dengar Leyla… perkenalan kita memang hanya beberapa hari, aku yakin kamu orang yang tidak ingin merebut sesuatu dari orang lain. Aku sudah mengetahui bahwa Deny adalah pria yang kamu ceritakan padaku tadi siang. Dia juga menceritakan padaku tentang perjumpaan kalian dua tahun lalu. Aku mohon Leyla, kau jangan bertemu lagi dengannya. Aku dan Deny sudah bersahabat tujuh tahun lamanya. Kau pasti tahu bagaimana sakitnya menahan rasa. Kau dan Deny hanya…” suara Mia mulai melemah, aku hanya memandang keluar melalui kaca jendela. Dengan pelan aku meneteskan air mata dan memandang Mia dengan lemah. “kau dan Deny hanya mengenal dengan waktu yang singkat, dan itu hanya karena kebetulan. Leyla. Jangan menaruh harapan apapun karena tak ada yang bisa kau pastikan bersama Deny.” Mia terdiam sebentar, kemudian ia memegang kedua tanganku dengan erat. Aku langsung menatap ke arah Mia. “Leyla…pulanglah ke Indonesia, aku akan membayar tiket kepulanganmu.”
Kata-kata Mia membuatku semakin terbakar. Aku menghempaskan tangan Mia dengan keras. Aku mengarahkan jari telunjukku kehadapan Mia dengan wajah yang memerah. “Dengar Mia… kamu tak pantas menyuruhku untuk pulang ke Indonesia. Aku kesini bukan atas kemauanmu dan aku pulang juga bukan atas kemauanmu. Kau tak berhak mengatur langkahku. Aku tak perduli tentang perasaanmu, tentang hubunganmu dengan Deny atau apalah.yang harus kamu tahu, kamu tak berhak untuk mengatur langkahku.”
Aku pergi meninggalkan Mia menuju kamarku yang berada satu lantai di atas. Aku sangat kecewa dengan sikap Mia. Dia memperkenalkan sifat egoisnya kepadaku. Aku membuka pintu kamar dan berbaring di atas ranjang tanpa menghidupkan lampu. Aku mencoba membuka tirai jendela agar cahaya rembulan mampu menembus masuk ke kamarku. Kucoba memejamkan mataku agar tubuh dan pikiranku dapat beristirahat dengan tenang, tanpa sadar aku mulai tertidur.
Kurasakan pancaran sinar matahari menyilaukan mataku dan membangunkanku dari tidur. Aku lupa bahwa tirai jendela terbuka semalaman. Aku juga lupa mengganti pakaian yang kupakai seharian. Aku mendengar ada suara ketokan dari pintu kamarku. Mungkin itu adalah pegawai dari guesthouse ini. Dengan segera aku membukakan pintu dan melihat keluar, tiba-tiba Mia muncul di hadapanku.
“Aku ingin meminta maaf kepadamu atas kejadian tadi malam. Aku salah padamu Leyla.”
“Aku kesal dengan sikapmu Mia. Namun dengan permintaan maafmu, aku sudah melupakannya.”
Mia tersenyum memandangku seakan-akan ada hal yang disembunyikannya. “datanglah ke taman kota dua jam dari sekarang. ku harap kau tidak datang terlambat Leyla.” Mia berlari meninggalkan kamarku dengan tertawa. Aku memandang kearah Mia yang sudah mulai menghilang. Ada sisa satu jam lagi aku harus ke taman kota. Sebenarnya apa yang direncanakan oleh Mia. Aku mulai berjalan keluar kamar dan turun untuk segera pergi ke taman kota mengendarai sepeda.
Cuaca pagi ini sangat cerah dan matahari bersinar dengan sempurna. Burung-burung pun berkicau dengan semangat. Bukan-bunga bermekaran disepanjang pinggir jalanan dan menghasilkan bau yang menyegarkan penciuman. Hari ini berbeda dari hari-hari sebelumnya. Seakan-akan alam bekerja sama untuk menghadirkan cuaca yang indah. Aku telah sampai di taman kota, aku segera duduk di kursi yang sudah tersedia. Aku memandang ke seberang dari tempatku berdiam, disanalah beberapa hari lalu aku duduk sambil menangis. Aku merasakan ada tangan yang menyentuh bahuku dari arah belakang. Dengan spontan aku menolehnya. Aku dikejutkan oleh kedatangan Deny. Aku langsung memalingkan wajahku darinya. Dia mulai berjalan dan duduk tepat disamping kananku. Beberapa detik berlalu dan kami hanya terdiam. Aku hanya menunduk dan memainkan jari-jari tanganku. Suaranya mulai terdengar.
“Apa kabar?” Deny memandang ke arahku yang berbekas melalui sudut pandangku.
Aku tak berani membalas tatapan Deny padaku. “Sangat baik sebelum kita bertemu.” Aku mencoba tersenyum dan memberanikan diri menatap ke arahnya. Dia membalas senyuman yang kulontarkan kepadanya.
“Ku kira akan ada jawaban baik setelah bertemu dengan ku.” Deny tersenyum dan memandang lagi kearahku. Dia memiringkan posisi badannya ke arahku. “Apakah kau tak ingin mengetahui bagaimana kabarku?”
“Bukankah kau dalam keadaan baik-baik saja.” aku menjawab dengan tenang tanpa memalingkan wajah ke arahnya. Ku goyangkan kakiku maju-mundur maju-mundur secara bergantian.
“Ya, setelah bertemu denganmu.” Aku menatap ke arahnya dengan goresan pandangan heran. “Ya, aku baik-baik saja setelah bertemu denganmu. Ada yang salah?” aku kembali menatapnya. “Sejak kita bertemu dua tahun yang lalu, aku sudah mulai tertarik denganmu.” Tak banyak yang bisa ku katakan kepadanya saat ini. Aku hanya ingin mengetahui bagaimana dia pergi tanpa kabar di akhir musim semi.
“Aku ingin mengatakan padamu. Mungkin kamu merasa kesal atas kejadian yang lalu menungguku disini menghabiskan waktu musin semi. Bukan aku sengaja pergi meninggalkanmu. Ada masalah yang harus ku selesaikan dengan cepat di Indonesia.”
Aku masih terdiam dan mencoba mendengar penjelasan dari mulutnya. “Adikku terlibat kasus narkoba. Dia sudah pecandu. Itu membuatku sangat terpukul dan segera kembali pulang untuk mendukung adikku melewati masa kelamnya dan mengawasinya di tempat rehabilitas. Tapi entah mengapa aku sangat yakin akan bertemu denganmu ditempat ini lagi.”
“Aku juga yakin akan bertemu dengan mu lagi.” Aku memandang ke arah Deny dengan tersenyum.
“Kau masih ingat tentang perjalanan kita? Memandang aqua fantasy di dekat stasiun? Berjalan keliling Kyoto? Sampai sepakat untuk melewati musim semi bersama-sama namun belum terwujud. Sekarang kita bersama-sama disini dan menghabiskan waktu musim semi.”
Aku tertawa mendengar apa yang dikatakan oleh Deny. Aku memandang ke kursi seberang tempat aku menangis. Sekarang aku berada di kursi ini sedang tertawa bersama Deny menghabiskan musim semi di Kyoto. Ternyata angin menyampaikan pesanku ke telinga Deny dengan cepat. Nyeri yang selama ini kunikmati telah menjadi kenikmatan yang sesungguhnya. Sesuatu hal yang ada pasti akan tiada, namun aku menikmati yang telah terjadi hari ini. Kepada siapa pun kusampaikan pesanku pada kalian. Tak ada sesuatu pun yang terjadi di dalam hidupmu hanya suatu kebetulan. Dan setiap kesedihan yang kau rasakan pasti akan ada sesuatu yang indah tepat didepannya. Nikmati saja nyeri yang kau rasakan maka akan ada nikmat yang kau rasakan sesungguhnya. Musim semi akan segera berakhir, aku siap menghadapi musim yang baru.