Angin semilir dibulan juli perlahan meraba lapisan epidermis kulitku. Siang ini matahari sangat membara, saat yang tepat untuk bermain layang-layang hahaha. Oh halo teman, aku hampir lupa memperkenalkan diri. Namaku Adinda Anandari Hanindito, teman-teman harus memanggil ku Dinda. Tidak boleh Adinda, Adin, Dindin, Anan, Hanin dan lain lain. Panggilan Adinda hanya boleh untuk ayah dan bunda. Jangan banyak bertanya ikuti saja okeee.
“Bundaaaaa… dimana engkau bundaaaaa” aku mencari bunda di sekeliling rumah tapi tidak ketemu.
“Ada apa, bunda disini” akhirnya suara itu muncul juga.
“Dimana bunda sembunyikan layang-layang milik Adinda.”
“Bunda tidak sembunyikan, kamu saja yang sering pikun” tepis bunda yang tidak pernah mau mengaku jika ia sudah menyembunyikan layang-layang milikku.
“Ayolah bunda, Dinda ingin bermain. Liat saja kalo bertemu layang-layang itu Dinda akan bermain dengan Rio sampai sore.”
“Baiklah.. baiklah.. bunda akan kembalikan. Ambil dulu makan siangmu baru pergi bermain.”
Akhirnya ultimatum pamungkas berhasil meluluhkan hati bunda. Bunda selalu begitu, tak pernah rela mengizinkan anak gadisnya bermain layangan. Oke kita lanjutkan perkenalannya, tadi belum selesai bukan?. Umurku sekarang 16 tahun, duduk dibangku kelas 2 SMA yang hampir setiap hari belajar fisika, kimia, dan biologi huftt. Hobi ku bermain layang-layang. Jangan heran, aku hanya bermain layangan bukan bermain hati hehehe. Biasanya ak bermain bersama Alterio Savian Athaya. Halah! Namanya terlalu keren. Panggil saja dia Rio. Ia sahabatku sejak SD, aku tak mengerti kenapa selalu saja bertemu dengannya. SD sampai sampai SMA tak pernah berpisah sekolah. Sudah hafal betul aku dengan wajahnya itu terlebih sifat Rio. Setelah melahap habis sepiring nasi dan ayam bakar sekeluarga, aku meluncur ke rumah Alterio sang jomblo sejati.
“Rioooooo… Oh Rioooo… kenapa engkau turuunn, macam mana aku tak turun Dinda panggil aku sihhh” aku berteriak dari pagar. Lalu pria berbobot 59 kg dan tinggi 168 cm keluar dari persembunyiannya. Dengan mengusap-usap kedua matanya sembari memegang sebuah layangan. “Hei Dinda Hanindito kau punya volume suara itu tolong kecilkan, berisik sekali” ia malah protes hahaha biarlah. “Wahai Alterio Athaya aku tahu kau punya telinga itu kurang peka terhadap suara” Rio segera mengambil sandal dan menghampiri ku di depan pagar.
“Heh kau bisa masuk ke dalam pagar, lalu tekan bel yang ada di pintu itu” ia berbalik badan dan menunjuk kearah bel rumahnya. “Rio, aku tak mau mati digigit anjing bulldog yang bertengger dekat pintu itu . Sekian terima kasih” ia malah menoyor kepala ku.
“Asal kau tau ini jam 2 siang, kulitmu itu bisa tambah eksotis” aku tau dia sedang meledekku. Kulitku memang tidak putih bersih dan mulus seperti cewek-cewek hits masa kini, yah we can also say glowing in the dark wuedehh mantep. “Gini-gini juga rebutan para cowok, asal kau tahu” pembelaan yang paling sering aku katakana pada Rio.
“Mana sini cowok-cowok siwer itu suruh ke aku, biar aku antarke THT.”
“Kok THT sih?!.”
“Loh salah ya hahaha, terus kemana dong?.”
“Astaga dragon punya temen dari dulu nggak pinter-pinter, nih aku jelasin ya THT itu kepanjangan dari Telinga, Hidung, dan Tenggorokan. Mata kau selipkan dimana itu Rio? Mata kau bawa saja ke optik atau dokter spesialis.”
“Oh begitu, ya mana aku tahu hahaha” aku hanya sanggup mendengus mendengar entengnya jawaban Rio.
Percaya atau tidak, setiap bertemu Rio aku memang selalu berdebat begitu. Terkadang aku bingung kenapa sampai bisa bersahabat dengannya. Tiada hari bagi kami melewatkan satu perdebatan pun. Aku dan Rio berencana bermain di lapangan bola di dekat rumah gebetan Rio, tempatnya luas dan banyak rerumputan. Yaaa kau tahu lah lelaki banyak modusnya, sambil menyelam minum air. Tarik layang-layang lirik rumah gebetan.
Mari ku ceritakan sebuah kisah tentang sahabatku, Alterio Savian Athaya. Jadi dia itu suka kepada teman smp nya, tetapi Rio tidak pernah berani bercerita kepada siapapun kecuali aku. Dari sahabatku sendiri, aku baru mengetahui ternyata masih ada laki-laki pengecut di dunia ini. Mengutarakan apa yang dia rasakan saja tidak mampu. Deepa Alindra Jaya, begitulah namanya. Kau tau kenapa aku bisa hafal betul, karena jika Rio ingin bercerita sesuatu tentangnya. Ia selalu berkata “Dinda, dengarkan aku berkisah tentang Deepa Alindra Jaya” entah sudah berapa ribu kali aku mendengar kalimat itu. Aku dan Rio biasa memanggilnya Alin.
“Rio lihat itu Alin!” mata Rio langsung berpindah arah tertuju ke rumah Alin. “Manaa… manaa.. kok nggak ada sihh” sontak aku tertawa lepas. “Alin lagi didalam rumah maksudku, belum selesai berbicara tahu. Kau main toleh saja” Rio kesal dan cemberut hahaha. “Awas kau, tunggu saja pembalasanku.”
“Rio lihat itu ada cewek cantik! Body mantul, mantep betul!” aku menarik-narik tangan Rio agar dia mau menoleh, tetapi dia tidak menoleh sama sekali. “Apalah kau ini Rio, Alin saja kau toleh giliran cewek mantul tak kau hiraukan aku berbicara” aku mendengus. “Dinda, aku hanya ingin Alin” begitu saja dia menjawabku bagai tidak ada lagi wanita cantik di dunia ini selain Alin.
Akhirnya kami tiba di lapangan bola dekat rumah Alin. Disana banyak sekali anak laki-laki bermain layang-layang. Mungkin hanya aku anak perempuan disini dan bisa jadi aku yang paling berumur hahaha. Awalnya Rio menolak untuk aku ajak bermain layang-layang, katanya sih “Ingat umur Din, sebentar lagi punya KTP”. Tetapi aku ingin bermain, panas matahari saja tidak bisa mengurungkan niatku apalagi hanya sekedar perkataan Rio.
Mula-mula kami mencari arah angin, agar layang-layang bisa segera mengudara. Setelah memperhatikan sekitar akhirnya kami mulai menerbangkan layang-layang. Tidak perlu aku jelaskan bukan tutorial menerbangkan layang-layang?. Pertama-tama layang-layang ku yang terbang, baru milik Rio.
Aku senang disini, banyak anak-anak. Walaupun laki-laki semua. Mereka tertawa gembira seperti tak ada beban kehidupan yang mereka pikul. Aku lebih baik disini, ramai dan menyenangkan. Bunda sering tidak ada dirumah karena harus bekerja. Biasanya setelah jam makan siang dia kembali bekerja hingga larut malam.
Saat sedang asyik bermain layang-layang, tiba-tiba layang-layang Rio hilang kendali kesana-kemari. Awalnya aku diam, lalu menoleh kearah Rio. Pantas saja, ia sedang bengong melihat Alin sedang menyapu teras rumah. “Hey Rio, lihat layanganmu sudah sampai di Afrika” Rio tersentak dan sadar layangannya tidak menentu arah. “Astaga, kenapa kau baru saja bercakap wahai Dinda Anandari”. “Mana tega aku menganggu mu memandangi bidadari cantik itu” sahut ku. Rio hanya tersenyum.
Saat sudah puas bermain layang-layang dan kulitku sudah semakin eksotis, akhirnya aku merengek minta pulang kepada Rio. Akhirnya kami menurunkan layang-layang, dan berjalan menuju rumah masing-masing.