“Zen, kayaknya ini kamar versi terbaru ya? Sensornya beda, lebih bagus dari kamar lama,” Aldi memutar kartu kamar di tangannya, ia memperhatikan setiap sisi kartu itu.
Kartu kamar lama terasa lebih tebal dengan permukaan lebih kasar, sedangkan kartu yang sedang dipegang Aldi lebih tipis, halus, dan ringan. Ada beberapa angka di ujung kanan kartu, angka-angka tersebut tidak ada di kartu yang sebelumnya.
“Mungkin, disini juga ada cctv,” Zen menunjuk sisi atas kamar, ada satu kamera pengawas di setiap sisi depan dan satu di belakang.
“Whoa, buat apa mereka pasang cctv… di kamar?” Aldi meletakkan kartunya, berdiri lalu memperhatikan kamera-kamera itu.
Zen mengangkat bahu.
-
Vino membuka pintu perlahan agar teman sekamarnya tidak terbangun. Malam ini ia akan mengendap lagi. Banyak informasi yang harus ia ketahui. Vino menarik resleting jaket sampai leher kemudian keluar dari area asrama putra.
Tujuan pertama Vino adalah pos-pos penjagaan yang berada di sekitar gedung sekolah. Karena dekat dengan gerbang utama, biasanya di pos tersebut lebih banyak penjaga. Semakin banyak penjaganya, maka semakin banyak informasi yang bisa Vino dapat. Ia berjalan lewat lorong-lorong sempit antar bangunan, melewati tempat-tempat lembab yang jarang terjangkau manusia. Saat sampai di dekat pos penjaga, Vino harus melewati lapangan luas, jika ia melakukannya, sama saja dengan bunuh diri.
Vino berhenti sejenak, membiarkan otaknya mencari jawaban. Terakhir kali ia menguping adalah di taman sekolah. Disana ada dua pos penjaga, masing-masingnya dijaga oleh 2 orang. Saat itu, Vino memanjat pohon untuk memandang langit dan empat orang petugas mengobrol tepat di bawahnya. Informasi yang ia dapatkan waktu itu adalah murni keberntungan.
Hari ini, ia harus membuat keberuntungannya sendiri.
Vino berjongkok sambil mengintip. Ada delapan orang penjaga disana. Dua sedang mengawasi lewat layar sedangkan enam lagi membicarakan sesuatu.
Ah, sial, gimana caranya kesana…
Tangan Vino mengepal, ia tak menemukan satu pun jawaban. Tidak ada bangunan atau apapun yang bisa menghalanginya. Ia benar-benar harus menyebrangi lapangan jika ingin mempersempit jarak. Vino menarik nafas dalam, apa aku harus bohong ya?
Kalau ia bisa sampai ke salah satu pos, ia pasti bisa mendengar pembicaraan para petugas itu. Gimana kalau aku ngerasa ada yang masuk ke kamar, dengan alasan itu ia bisa menghampiri salah satu pos pengawas dan meminta petugas menampilkan gambar dari kamera pengawas. Berapa besar risikonya? Vino bertanya pada diri sendiri.
Vino berdiri, ia berbalik, kembali ke asrama putra.
Ia tidak akan bisa membohongi petugas di Akademi. Siapapun yang bekerja di sekolah ini pasti orang-orang terpilih, mereka tidak akan percaya pada alasan bodoh dari seorang siswa peringkat bawah.
Vino kembali ke arah asrama, melewatkan pintu masuknya. Ia berjalan terus ke belakang, menuju taman, berjalan di celah sempit antar pohon dan memanjat salah satu pohon yang dekat dengan pos penjaga. Ia melakukannya persis seperti beberapa bulan lalu.
Angin malam berhembus, membuat badannya bergetar. Vino melongok ke bawah, tidak ada satupun yang berbicara. Bahkan, ia tidak melihat satu petugas pun keluar dari pos penjaga. Vino melirik jam tangannya. Pukul satu dini hari.
Belum jadwal patroli kali ya?
Vino mengangkat wajah, menatap langit malam tak berbintang. Membayangkan betapa jauhnya langit itu, betapa tinggi dan tak tergapai. Ia ingin kesana, menembus tiap batas yang ada, mematahkan setiap kata mustahil. Vino terkekeh. Astronot. Ia masih ingin jadi astronot.
Bagi Vino, astronot adalah pekerjaan terhebat. Semua mahkluk setuju bahwa manusia harus tinggal di bumi dan hanya di bumi. Tapi astronot bisa tinggal di planet lain. Di suatu tempat yang mungkin tak terjangkau imajinasi orang lain. Merasakan sesuatu yang tak pernah dirasakan orang lain. Menembus batas yang tak tersentuh.
Sekarang, batas itu adalah peraturan asrama.
Bukan, batas itu adalah jarak antara pohon tempat Vino duduk di salah satu batangnya dan pos penjaga.
Setiap beberapa menit, Vino melihat ke bawah, berharap bisa menangkap sedikit gerakan, pembicaraan, atau apapun. Sayangnya, sampai tiga jam kedepan, ia tak mendapat apapun. Dua jam lagi, matahari akan terbit dan ia harus segera kembali ke asrama.
Penyelinapan hari ini tak berbuah apapun.
Vino turun dengan perlahan dan hati-hati. Sebisa mungkin ia tak membuat suara. Sebelah tangannya memegangi ranting dengan erat, sedangkan kakinya berusaha menggapai tanah dengan perlahan. Perlahan sangat perlahan…
Kampret.
Hachi!
Brak!
Setengah detik setelah merasa hidungnya gatal, Vino mengeluarkan udara semi otonom dari hidung dan mulutnya. Pegangan tangannya melemah dan ia jatuh ke tanah.
Tidak sakit, tapi dadanya berdetak hebat. Seakan jantungnya ingin keluar dari tubuh. Sebentar lagi petugas akan menghampirinya. Dewan Kedisiplinan Siswa tidak akan memberinya belas kasihan. Surat Peringatan ketiga keluar. Ia ditendang dari Akademi.
Vino tidak langsung lari, kakinya bergetar, ia memandang sekeliling mencari tempat sembunyi. Ia melihat rumput-rumput tinggi tak jauh dari tempatnya jatuh, Vino akan meringsek masuk kesana, menggulung dirinya, dan membuat petugas bingung.
Tapi yang bingung malah Vino.
Setelah suara ranting patah tertindih tubuh Vino tidak ada suara lain yang ia dengar. Petugas itu tidak bergerak, tidak berteriak, dan tidak memastikan. Padahal, Vino yakin, sekalipun pertigas sedang tidur, mereka seharusnya langsung terbangun.
Vino berdiri, ia memandang pos penjaga yang lampunya masih menyala. Dengan hati-hati, Vino melangkahkan kakinya menuju pos. Di dalam kepalanya, ia mempersiapkan berbagai alasan jika petugas menanyainya.
Vino menelan ludah lalu mengintip dari jendela. Matanya menangkap sesuatu yang tak pernah ia pikirkan, bahkan di khayalan terliarnya.
Untuk sesaat Vino lupa caranya bernafas.
-
Di sisi lain, seorang pria berjaket hitam berjalan dengan langkah kaki super lebar. Ia menekan earpiece, “Area 3 dan 4, clear.”
Entah darimana seseorang menjawab, “Asrama, clear.”
-
great story :)
Comment on chapter Batas ke 1