Selain nafasnya terengahnya dan detuman kaki dengan lantai, Haya tidak bisa mendengar apapun. Jarak dari kamarnya menuju pintu asrama putri terasa sangat jauh, kakinya sudah lemas dan ia mulai kehabisan oksigen.
Tengah malam tadi, Haya tidak bisa tidur, ia memikirkan kata-kata Vino. Ada seseorang atau sesuatu mengincar anak-anak pintar. Membual atau tidak, Vino berhasil membuat Haya percaya. Vino selalu seperti itu sejak lama.
Vino memang tukang mengkhayal, ia kadang mengaitkan kejadian di dunia nyat adengan hipotesisnya yang tidak masuk akal. Menjadikannya sebuah cerita seru, membuat keputusan-keputusan yang luar biasa, lalu menyeret Haya dan Zen dalam dunianya. Vino memang seperti itu, tapi Haya tahu Vino hampir tak pernah berbohong.
Dulu, Vino pernah berkata bahwa ia dikejar oleh pembunuh. Perkataan yang berhasil membuat Zen ikut berlari seperti orang kesetanan. Vino saat itu berlebihan, tapi ia tak bohong soal seseorang yang terlihat seperti pembunuh. Kali ini, Vino melakukan hal yang sama.
Sekitar pukul dua dini hari, Haya mulai merasa ada yang tidak beres. Pendingin ruangannya tidak berfungsi seperti biasa. Dari pendingin itu, keluar udara yang agak hangat dan beraroma seperti bau busuk. Lama-lama kepala Haya terasa berat, matanya berair, dan entah bagaimana Haya merasa agak melayang.
Untuk beberapa saat Haya tak bisa berpikir. Ia melihat Gesi, teman sekamarnya, tertidur dengan pulas, seakan tak terganggu dengan bebauan itu.
“Ge, bangun!” Haya mengguncang tubuh Gesi.
Tidak ada reaksi apapun.
Haya menarik baju tidur hingga menutup hidungnya sambil kemudian ia berencana keluar kamar. Haya mengurungkan rencananya saat ia mendengar ada seseorang, tidak, banyak orang di lorong asrama.
“Asrama, clear,” kata salah seorang diantaranya.
Tangan Haya bergetar dan kakinya lemas. Ia bersandar ke pintu kamar, menunggu orang-orang itu pergi. Semakin lama pandangannya semakin kabur dan ia sudah tak bisa berpikir apapun selain mencari udara segar. Haya melupakan semua orang yang ada di lorong, ia membuka pintu dan berlari sekencang yang ia bisa.
Lorong asrama terasa lebih sepi dan mencekam dari biasanya. Haya terus dan terus berlari. Ia butuh bernafas dengan lega. Paru-parunya berontak, meminta oksigen dalam jumlah besar.
Gelap… gelap…
“Hay!” seseorang menangkapnya, menyeretnya entah kemana.
“HAYA!” Haya mendengar suaranya disebut, tapi ia tak bisa merespon. Matanya tak bisa dibuka.
Tubuhnya diguncang. Lagi dan lagi.
Sedikit demi sedikit Haya bisa merasakan udara kembali. Seperti oksigen yang membawakan kesadaran padanya mulai mengalir menggantikan udara sesak yang ia hirup. Haya membuka mata, pupilnya melebar.
Haya berguling.
Tadi itu Sena, adik kelasnya di klub basket hampir saja menempelkan bibirnya ke bibir Haya.
“Saya panik kak, maaf—”
“Kamu! Ngapain kamu?” Haya buru-buru berdiri sambil menunjuk-nunjuk adik kelasnya. Dilanjutkan dengan menutup mulut, meraba bibirnya sendiri.
Sena ikut mundur menjauh, “Tadi saya kira kakak kena gas beracun itu… jadi… jadi…” Sena kehabisan kosakata.
“Gas?”
Sena berdiri mendekat pada Haya, ekspresi wajahnya berubah, “Ah iya! Saya jadi lupa! Tadi saya lagi mau lari pagi, terus saya ketemu Kak Vino lagi lari-lari. Dia tiba-tiba nyuruh saya ke asrama putri. Terus saya ragu, emangnya boleh—”
“Sen, langsung ke intinya!” sela Haya, taka da cukup waktu untuk mendengarkan penjelasan panjang Sena.
“Ah, gini, Kak Vino nyuruh saya ngecek asrama putri, dia cuma nyuruh saya mastiin disini baik-baik aja. Terus, saya nyium aroma hidrogen sulfide… tipis… samar sih… kayaknya juga tercampur sama zat lain… apa ya… karena ada juga gas beracun yang nggak beraroma—”
“Sen! Jadi?”
Sena menepuk wajahnya sendiri, “Saya jadi mikir disini bahaya, gas itu bahaya, terus saya ketemu kakak hampir jatuh… Jadi, ada apa sebenenernya?”
“Dimana Noc… Vino? Dimana dia?” Haya tahu Sena bertanya padanya, tapi Haya tak punya jawaban. Ia harus bertemu Vino, karena ia yakin, Vino tahu lebih banyak.
Sena menunjuk ke asrama putra, “Terakhir saya—”
“Ayo kesana!”
-
Petugas itu tergeletak di lantai dengan baju berlumur darah. Mata mereka terbuka, seperti orang yang baru dikejutkan teman. Sayangnya, mereka tak bisa membalas dengan pukulan atau tertawa bersama. Mereka mati.
Itulah yang dilihat Vino di pos penjaga. Pemandangan yang tak pernah ia sangka akan ia lihat dengan mata kepala sendiri. Kejadian nyata, bukan adegan di dalam film atau buatan otaknya yang terlalu liar.
Vino menengok ke kiri dan kanan, tak ada siapapun disana kecuali dirinya bersama dengan ketakutan.
Zen.
Jika orang-orang antah berantah itu bisa membunuh petugas tanpa suara, Vino takt ahu apa yang bisa mereka lakukan pada temannya. Vino langsung kembali menuju asrama, secepat sekaligus sesunyi yang ia bisa. Selain Zen, ia juga terpikir Haya. Bagaimana keadaan gadis itu di asrama putri.
Beruntung, Vino bertemu dengan Sena dan bisa membagi tugas dengan adik kelasnya itu. Sena terlihat kebingungan saat Vino meninggalkannya, tapi ia bertarung dengan waktu. Vino langsung membuka pintu asrama putra dengan kasar, menerjang masuk menuju kamar Zen.
Disana tak ada siapapun.
Semua orang yang tinggal di kamar baru menghilang entah kemana.
“Sial!” desis Vino sambil menjauh dari area itu. Vino ingin berpikir, mencari jalan keluar, melakukan sesuatu, mencari Zen. Namun, ia tak bisa. Jantugnya berdetak lebih kencang dan cepat, ia mengigit bibir. Demi apapun, Vino tak bisa membuat rencana.
Satu-satunya yang terlintas di benak Vino adalah meminta bantuan orang lain. Lebih tepatnya, meminta bantuan guru atau petugas. Jadi, Vino melanjutkan larinya menuju area guru. Ada tiga guru yang menginap di asrama hari ini, seharusnya mereka masih tidur di kamar.
Saat melewati lorong kamar siswa kelas 12, Vino sempat mencium bebauan aneh. Vino terdiam, ia menimbang-nimbang apakah harus memeriksa atau mengabaikannya. Selama sepuluh detik, keputusan jatuh pada opsi kedua. Vino mengabaikannya.
Dalam pikiran pendeknya, Vino merasa melaporkan semua hal aneh pada guru atau pengawas adalah yang paling penting.
Sial, saat sampai di area guru, tak ada yang sesuai dengan ekspetasi Vino.
Ia hanya mendapati dua kamar tidur kosong dan satu kamar terkunci. Vino sudah berusaha membukanya dengan kartu, bahkan mendobraknya. Tapi nihil.
Vino tak boleh diam, ia kembali memacu kakinya untuk meluncur ke area kamar siswa.
-
Di Jakarta, di tengah sibuknya bandara, ponsel seorang pria tegap bergetar. Ia mengangkat panggilan itu dan raut wajahnya berubah.
“Sir, kelompok Deletecorp kembali melakukan pergerakan,” laporan itu terdengar dari speaker ponselnya.
“Dimana?” tenggorokannya tercekat, tapi tak boleh terdengar.
“Akademi Menengah Atas, salah satu sekolah swasta di Bandung,” lawan bicaranya menjawab.
Ia melirik perempuan di sebelahnya, “Serahkan saja pada Sam, saya—”
“Ini sudah tingkat gawat, belasan orang sudah terbunuh,”
“Saya kesana sekarang!” telepon itu ditutup.
Perempuan sebelahnya menoleh, “Ada apa?”
“Magna, kita nggak jadi ke Jepang. Deletecorp bergerak lagi.”
Perempuan yang dipanggil Magna itu menganga, dengan cepat ia menyeret koper, “Kita urus sekarang, Arma.”
great story :)
Comment on chapter Batas ke 1