Semalaman Vino terjaga, setelah pintu kamarnya dibuka oleh seseorang, ia tak bisa tidur. Jangankan tidur, Vino malah waspada, memasang telinga, mendengar setiap bebunyian yang ada. Vino bahkan berubah paranoid, setiap temannya bergerak, jantung Vino akan berdetak sedikit lebih cepat.
Pagi ini, Vino melahap sarapannya sambil terkantuk. Ketika yang lain sudah selesai dan bersiap ke sekolah, Vino masih harus menghabiskan setengah porsi nasi gorengnya. Vino menguap lebar, di kelas nanti pasti seperti di neraka.
Mata Vino beredar menyisir ruang makan. Selain siswa dan petugas, tak ada orang yang mencurigakan. Ia masih terpikir kejadian semalam. Ia yakin yang membuka pintu kamarnya bukanlah guru atau petugas. Keyakinan itu semakin besar saat pagi tadi ia berulang kali mencoba sensor kamarnya. Bunyi bip setiap kartunya tergesek terlalu keras untuk ia lewatkan tadi malam.
Pandangan Vino berhenti pada sosok Zen yang berdiri sambil membawa piring kotor. Ia terlihat pucat pagi ini. Siapa peduli, Vino melanjutkan makannya, melahap setiap nasi yang tersisa tanpa melirik Zen lagi.
“Vin, ada kamar siswa yang rusak, tau nggak?” Gamal, teman sekarang Vino tiba-tiba menghampirinya.
“Masa?” Vino langsung berhenti makan.
Gamal mengangguk, “Ada beberapa kamar, salah satunya kamar temanmu, Zen. Tadi pagi kamarnya nggak bisa dibuka.”
“Terus?”
“Dibobol paksa terus mereka pindah kamar. Tadi aku sempat lihat Zen sama Aldi mondar-mandir ngangkut barang,” Gamal melanjutkan dengan serius.
“Langsung pindah pagi ini juga?” bukannya itu malah ngerepotin ya? Vino membatin. Seharusnya kepindahan mereka ditunda sampai pulang sekolah. Pukul tujuh nanti mereka harus masuk kelas, lima belas menit dari sekarang. Memindahkan barang akan membuat mereka terlambat.
“Iya, ada petugas keamanan yang mau periksa sensor dan pintunya, kamar mereka harus steril katanya,”
Steril. Ada yang salah. Normalnya, jika sensor rusak petugas akan menganggap sebagai kesalahan teknis. Seharusnya hal itu bisa diperbaiki tanpa membuat Zen dan Aldi pindah kamar. Tapi kali ini, sepertinya ada hal lain yang harus diperiksa petugas. Mungkin ada kaitannya dengan pembobolan sistem dan data sekolah.
“Mau ngelamun sampe kapan, Vin? Buruan berangkat! Kalau telat kamu dapat SP 3 loh,” tau-tau Gamal sudah berjalan menuju pintu keluar ruang makan.
Vino melewatkan suapan terakhir, ia menyambar tasnya. Vino melangkah selebar mungkin, takut terlambat masuk ke kelas. Ia tidak boleh mendapat surat peringatan lagi, nggak sekarang.
Vino makin penasaran dengan semua kejadian di Akademi.
-
Temannya pasti datang dengan rambut berantakan, sambil memasang dasi, dan terburu-buru. Hari ini, ia datang dengan cara yang sama. Siapa lagi kalau bukan Vino.
Untung saja ia cukup cerdas untuk terus berada di peringkat 70 dari 90 siswa. Kalau tidak, mungkin ia sudah tak jadi siswa Akademi.
“Cil! Buruan sini!” Haya memanggil Vino dari depan kelas. Mereka sama-sama masuk kelas C, kelas untuk siswa dengan peringkat 30 terbawah. Walau begitu, Haya dan Vino tidak bisa mengobrol saat pelajaran dimulai. Semua siswa akan fokus belajar dan bertanya pada guru. Semua siswa akan mati-matian memperbaiki peringkatnya agar masuk ke kelas yang lebih baik. Semuanya termasuk Haya.
“Apa?” Vino mengadahkan kepala sambil mempercepat jalan.
“Zen dipanggil ke ruang guru tadi pagi, tau nggak?” Haya mendekati Vino, ia berjinjit agar bisa berbisik tepat di telinga Vino.
Vino mengangguk, “Masalah sensor pintu kamarnya rusak terus Zen pindah kamar, kan?”
“Loh, udah tau?”
Vino mengangkat bahu lalu melenggang masuk ke dalam kelas. Haya pikir karena tidak saling bicara dengan Zen, Vino tak akan tahu soal itu.
Haya mengekor dari belakang, lalu duduk di kursinya. Tak lama, guru tiba dan jam-jam yang berjalan lama dimulai. Haya mengeluarkan buku catatannya, menulis tanggal seperti biasa, kemudian memperhatikan setiap kata yang diucapkan oleh gurunya.
Sejak kata lulus dibacakan oleh Zen, Haya berjanji untuk belajar lebih keras. Setidaknya agar ia tak tertinggal dari temannya yang lain. Setiap pelajaran mulai, Haya akan memcurahkan semua perhatiannya untuk mendengar guru. Haya akan mencatat bila perlu, ia bahkan melakukan hal yang seharusnya dilakukan sejak lama, mengulang pelajaran setelah pulang.
Kali ini, keinginannya untuk belajar tergantikan dengan lamunan panjang.
Tadi itu benar-benar Vino, berjalan masuk kelas begitu saja tanpa banyak komentar. Vino yang biasanya akan mulai bicara panjang lebar, mungkin juga langsung menghampiri Zen untuk bertanya kejadian sebenarnya. Bahkan jika suasana hatinya sedang buruk, setidaknya akan ada sedikit gerutuan, mengkritik sistem sekolah yang tidak sempurna.
Tapi tadi ia hanya bicara sedikit, seolah sudah tidak peduli.
Haya membuka modul pelajaran, mengikuti instruksi guru. Ia membaca setiap katanya, tapi yang terpikir hanya masalah Zen dan Vino.
Dimata Haya, pertengkaran dua bulan lalu tidak terlalu besar. Zen mengomeli Vino seperti biasa, lalu Vino mungkin lelah dan hilang kesabaran. Bukankah seharusnya mereka sudah saling bicara sekarang?
Haya melirik Vino. Cowok itu sedang memandang jendela, sesekali ia membuka modul dan menuliskan sesuatu disana. Sudah terlalu lama Haya mengenalnya, Vino tidak sedang baik-baik saja. Ia memikirkan sesuatu.
-
Kalau tadi pagi Aldi tak terburu sarapan, mungkin masalah pintu kamarnya yang rusak akan membuat Zen terlambat masuk kelas. Beruntung, sebelum pukul enam Aldi sudah berniat untuk sarapan dan sensor pintu yang rusak ketahuan lebih cepat. Setelah dibuka secara paksa, Zen tidak menyangka petugas langsung memintanya pindah kamar. Ia bilang ada sesuatu yang harus diamati dari rusaknya sensor di kamar Zen.
Sekarang Zen merasa kepalanya agak pusing, semalam tidurnya tidak nyenyak. Ia mengerjakan soal latihan sambil memijat kepala. Melihat setiap angka sambil menahan rasa berdenyut. Malam ini aku bakal tidur lebih cepat, Zen bicara pada dirinya sendiri.
Pada akhirnya, Zen menghabiskan waktu di sekolah sambil memikirkan tempat tidurnya. Setelah jam pelajaran selesai, Zen melewatkan ekstrakulikuler dan langsung pulang ke asrama. Ia memasuki kamar barunya kemudian terlelap.
Zen masih menikmati waktu istirahat saat seseorang mengguncang pundaknya. Zen membuka matanya yang berat, ia melihat Vino berdiri disebelah tempat tidur.
“Vino?”
“Hai, Zen,” Vino menepuk pundak temannya sambil tersenyum tipis.
“Ngapain?” Zen bangun dan duduk di atas ranjangnya. Ia memperhatikan Vino yang sedang melihat setiap sisi ruangan.
Vino mendekat, ia duduk di samping Zen kemudian berbisik, “Zen, kamu sadar nggak kamar ini ada cctv-nya?”
Zen hendak menoleh tapi Vino menahannya.
“Jangan, nanti ketahuan,” kata Vino pelan, sebelah tangannya merangkul Zen agar ia tak bergerak, “Ayo keluar, Zen.”
great story :)
Comment on chapter Batas ke 1