Dua bulan lalu Haya menarik Vino sekuat tenaga, menjaganya agar tak memberi Zen bogem mentah. Haya bisa mendengar suara nafas Vino yang memburu, matanya menatap Zen, seakan mangsa yang tak boleh lepas. Tangan Vino mengepal kuat, pembuluh darahnya terlihat jelas, menampakkan berapa banyak tenaga yang Vino tahan.
Didapan mereka, Zen bergeming. Bukannya lari atau menjauh, Zen malah terlihat menunggu wajahnya dibuat lebam.
Haya tahu hari seperti itu akan datang juga. Perbedaan yang ditahan begitu lama, tak pernah menyebabkan pertengkaran sekali pun, adalah bom waktu bagi Zen dan Vino. Dua bulan lalu, bom itu meledak.
Diawali dengan Vino yang mendapat surat peringatan kedua. Itu sesuatu yang fatal mengingat satu lagi surat peringatan, Vino akan ditendang dari Akademi. Surat peringatan pertama Vino diberikan saat ia melanggar aturan berpakaian. Ia sengaja tak mengenakan jas laboratorium saat praktikum karena merasa gerah. Bukannya menuruti perintah guru, Vino malah melawan, memberi berbagai argumen yang mengikis kesabaran guru praktikum. Tanpa pikir panjang guru itu melaporkan Vino ke Dewan Kedisiplinan Siswa.
Surat peringatan yang kedua terbit sesaat setelah Vino melanggar jam malam asrama. Dengan gegabah ia keluar tengah malam, melihat langit, lalu menguping pembicaraan penjaga sekolah. Vino juga yang menyebarkan desas-desus bahwa para peringkat atas diburu oleh sekelompok orang. Katanya, Vino dengar sendiri dari penjaga sekolah.
Zen marah besar saat tahu Vino dapat peringatan kedua.
Kejadian itu terjadi dengan cepat, Zen meminta Vino untuk datang ke belakang gedung sekolah, kemudian meremas kerah kemejanya, menarik Vino hingga mendekat ke wajahnya, “Kamu bego, Vin! Nilaimu udah cukup buruk, sekarang tingkahmu juga buruk! Kalau kamu benar dikeluarkan gimana?” gigi Zen memeretak, sedikit saja ia tak bisa menahan amarah, kalimat itu sudah jadi teriakan.
Vino menyunggingkan senyuman, “Bukan urusan kamu, Zen.”
Haya mendengarkan dari jarak beberapa meter, ia ingin menghampiri mereka tapi tak punya nyali. Zen mungkin cuma khawatir pada Vino dan sialnya Zen melampiaskannya dengan cara yang salah.
“Jangan membuat apa yang udah aku lakukan sia-sia,” tangan Zen masih berada di kerah baju Vino.
“Memang apa yang kamu lakukan, hah?” Vino tersenyum lagi.
“Capek-capek aku ngajarin kamu, kalau kamu begini—”
“Oh, capek?”
Suasana hati Zen semakin buruk, ia mulai muak dengan senyuman palsu Vino. Demikian pula dengan Vino, sudah cukup aturan Akademi membuatnya terpenjara, sekarang temannya malah membuatnya lebih terkurung.
Saat Zen melepaskan cengkramannya, saat itu pula Vino mengepalkan tangannya. Sedetik sebelum Vino menumpahkan amarahnya, Haya berlari tanpa suara dan langsung menarik mundur Vino.
“Ah, Cil…” Haya bergumam mengingat kejadian itu. Dua bulan berlalu, Zen dan Vino masih belum bicara. Sekarang, Zen malah seperti menjauhi Haya juga.
-
Vino menatap layar ponselnya ditengah kamar yang gelap. Ia mencari sekolah biasa yang mungkin menerimanya jika surat peringatan ketiga keluar. Aturan ketat asrama, persaingan tinggi, dan semua orang ambisius membuatnya sesak nafas. Vino berusaha menahannya, tapi ia sudah mencapai batas. Sepertinya, Vino memang tak akan lulus sebagai murid Akademi.
Vino ingin keluar tengah malam, melihat langit, menunggu pesawat, dan menguping pembicaraan para penjaga lagi. Terutama menunggu pesawat lewat dan menguping. Rasanya, sudah terlalu lama hingga ia lupa rasa puas yang didapatkan saat benar-benar ada pesawat yang lewat.
Sedangkan menguping…
Bukan kebiasaan Vino, namun kali ini adalah pengecualian. Ia penasaran soal anak-anak pintar yang diincar oleh sekelompok orang. Dua bulan lalu, penjaga sekolah membicarakannya dengan serius. Katanya, ada sekelompok orang yang membobol sistem data sekolah dan menyalin data siswa dengan peringkat sepuluh besar di setiap angkatan. Bukan hanya itu, sistem kamera pengawas dan gerbang dengan sensor juga hampir diretas seseorang. Beruntungnya, peretasan itu gagal.
Vino semakin curiga saat pihak sekolah menambah pos-pos keamanan sekaligus penjaganya. Patroli sekolah lebih sering dilakukan. Penerimaan tamu dilakukan di luar gedung sekolah. Bahkan, belum lama ini, beberapa orang guru ikut tinggal di asrama siswa. Padahal sampai tahun kemarin, tidak ada satu guru pun tinggal di asrama.
Kalau sampai berita yang ia dengar benar, berarti Zen dalam bahaya. Zen, menyebalkan, pikirannya langsung melayang pada kejadian dua bulan lalu. Tanpa bertanya atau mendengar penjelasannya, Zen langsung menarik kerahnya. Disusul dengan ceramah yang membuatnya tambah sebal. Ayolah, Zen, kamu nggak capek marah-marah melulu?
Sebenarnya Vino sudah biasa. Sejak kecil Zen memarahinya. Tapi, dua bulan kemarin, rasanya Vino terlalu lelah untuk pura-pura mengabaikannya. Sampai sekarang, Vino belum ingin memperbaiki hubungannya.
Meski demikian, jika yang ia dengar benar adanya, Vino tetap mengkhawatirkan Zen.
Pikiran Vino buyar saat ia mendengar pintu kamar dibuka.
Selain guru, tidak ada yang bisa melakukan itu. Beberapa bulan lalu, sistem kunci setiap pintu kamar diubah. Mereka harus menggunakan kartu khusus untuk keluar masuk kamar. Tanpa kartu itu, sensor akan mati dan pintu tak akan bisa dibuka.
Kartu dimiliki oleh setiap siswa penghuni kamar, penjaga asrama, dan guru pengawas.
Malam itu, mungkin ada guru atau penjaga memeriksa keadaan Vino, memastikannya tidak kabur tengah malam lagi.
Vino tidak curiga sedikitpun, ia langsung menarik selimut. Pura-pura tidur.
Saat pintu akan ditutup kembali, Vino menyadari ada sesuatu yang salah. Akan ada suara bip setiap kartu terbaca oleh sensor. Artinya, setiap pintu terbuka, harusnya ada suara itu.
Tadi Vino hanya mendengar suara pintu yang berderit.
Tadi itu… benar guru?
-
great story :)
Comment on chapter Batas ke 1