Read More >>"> Save Me From Myself (Pesan Dari Alvin) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Save Me From Myself
MENU
About Us  

Alvin menghisap rokoknya dengan khidmat. Suasana kantin masih lengang, karena waktu baru menunjukan pukul setengah tujuh pagi—dan hal itulah yang membuat Alvin bisa merokok di kantin. Suatu keajaiban Alvin sudah datang disaat biasanya laki-laki itu akan tiba sepuluh menit setelah bel berbunyi. Atau tidak masuk sama sekali.

            Tiba-tiba Alvin mendengar sebuah suara lembut mengalun tidak jauh darinya. Kepalanya segera menoleh, mencari sumber suara. Sampai akhirnya Alvin melihat Arinda yang sedang membeli sebotol minuman. Senyum cerah langsung terbit dari bibirnya, dengan cepat Alvin mematikan rokoknya dan berjalan menghampiri gadis yang sudah siap beranjak dari kantin itu.

            “Pagi banget datangnya,” kata Alvin pelan. Membuat gadis di depannya menegang. Alvin hanya terkekeh melihat respon Arinda, kemudian dia melangkah ke samping Arinda.

“Ada jadwal piket?” tanya Alvin ketika gadis itu sama sekali tidak bersuara.

            Arinda mengangguk kaku.

            “I-iya, makanya saya datang pagi.”

            Alvin manggut-manggut.

            “Mau saya bantu? Kebetulan saya lagi baik hari ini.”

“Jadi hari-hari biasanya kamu nggak baik, gitu?”

            Alvin terkekeh renyah. Lelaki itu mengangkat kedua bahunya. “Bisa dibilang gitu. Orang-orang selalu berpikiran buruk tentang saya.”

            Arinda tersentak. Merasa tersindir.

            “Kenapa nggak piket kemarin siang sehabis pulang sekolah?”

            “Hah?”

            “Biasanya anak-anak di sini piket pas pulang sekolah, biar besoknya nggak usah datang pagi-pagi.”

            Kemudian setelahnya hanya diisi keheningan. Arinda memilih untuk tidak menjawab perkataan Alvin. Karena merasa harus memberi jarak dengan laki-laki paling berbahaya di sekolahnya ini. Mereka berdua berjalan bersampingan menuju kelas. Sepanjang jalan baik Alvin maupun Arinda tidak ada yang membuka suara. Mereka hanya bergelung dengan pikiran masing-masing. Mencoba menebak-nebak bagaimana perasaan mereka saat berdiri bersampingan seperti sekarang.

            Sampai ketika mereka tiba di kelas, Alvin tidak mendapati siapapun di sana. Kelas masih kosong. Hanya ada tas Arinda di atas mejanya.

“Yang lain belum datang?” Arinda menggeleng pelan. “Mungkin mereka nggak bakalan datang.”

            “Ya, biasanya saya juga malas buat piket.”

            “Terus kenapa sekarang kamu mau bantuin saya piket?”

            “Saya nggak tega biarin cewek secantik kamu nyapu sendirian.”

            Arinda merona mendengarnya. Dasar Alvin genit! Bisa-bisanya lelaki itu bergombal demikian. Buru-buru Arinda mengambil sapu di pojok kelas. Dan menyapukan debu-debu atau sampah kertas yang berserakan di atas lantai. Alvin yang melihat Arinda merona hanya tersenyum samar. Merasa senang bisa membuat gadis itu bereaksi seperti barusan.

            Kemudian Alvin melangkah mengambil kemoceng, lelaki itu segera membersihkan jendela dan meja dari debu yang mengendap di atas sana. Sepuluh menit kemudian teman-temannya mulai datang satu persatu memenuhi kelas. Ada yang masih terlihat mengantuk dan ada yang terlihat segar. Robi yang melihat Alvin baru saja menggantung kemoceng, menatap lelaki itu heran. Kemudian Robi berjalan ke bangkunya.

            “Tumben lo piket.” Robi menjatuhkan bokongnya di atas kursi. Alvin berjalan mendekati dan melakukan hal yang sama.

“Lagi usaha,” jawabnya.

            “Usaha apaan?”

            Alvin menyeringai tipis.

            “Cari pasangan.”

“Kayak ada yang mau aja sama lo,” ejek Robi. Alvin menepuk pundak Robi keras, membuat Robi mengaduh. Laki-laki itu melotot pada sahabat karibnya.

“Makanya gue lagi usaha, biar ada yang mau sama gue.”

Robi tertawa, laki-laki itu benar-benar merasa aneh melihat Alvin yang mengatakan ingin mencari pasangan. Sesuatu yang sudah lama sekali tidak dilakukan oleh sahabatnya itu. Robi sudah mengenal Alvin dari kelas satu SMP—selain itu kedua orang tua mereka ternyata berteman dekat. Dari sana mereka mulai berteman baik. Pahit dan manisnya persahabatan sudah Robi rasakan. Puncaknya adalah ketika ayah Alvin tersandung kasus korupsi yang menyeretnya ke dalam jeruji besi.

            Saat itu Alvin benar-benar hancur, ke mana Alvin melangkah cacian dan hinaan selalu terlontar di belakangnya. Membuat mental Alvin yang masih remaja benar-benar terguncang. Alvin yang baik dan disiplin berubah menjadi Alvin yang seperti sekarang. Pemberontak dan berandalan.

            Robi tidak bisa melakukan apapun untuk mengubah Alvin menjadi seperti dulu. Alvin yang lembut dan perhatian, penuh kasih sayang. Berbeda sekali dengan sekarang. Tetapi, sebagai sahabat satu-satunya yang dimiliki oleh Alvin, Robi berdoa, semoga saja Tuhan mau memberikan kesempatan kedua untuk Alvin, agar lelaki itu kembali menjadi dirinya seperti dulu.

            “Lo lagi ngincer siapa?” tanya Robi penasaran.

            Alvin kembali menyeringai. Tatapannya lurus pada seorang gadis berambut panjang yang sedang membaca buku paket. Alvin menunjuk gadis itu dengan dagunya. Membuat Robi mengikuti arah pandangannya.

            “Anak baru itu?” tanya Robi meyakinkan. Alvin mengangguk sebagai jawaban.

            “Dia cantik, ‘kan?” pertanyaan Alvin itu dijawab toyoran di kepalanya.

            “Gue pikir cowok kayak lo nggak percaya cinta.”

***

            Hobi menyanyi Arinda dari kecil membawanya ke tempat ini; sebuah ruangan khusus untuk anak-anak ekskul paduan suara. Sejak menjadi salah satu murid SMA Tunas Bangsa, Arinda memang sudah gencar mencari informasi tentang ekskul itu. keberuntungan baginya ketika Youse—ketua paduan suara—mengatakan bahwa ekskul paduan suara masih bisa menerima anggota baru, dengan cepat Arinda mengisi formulir pendaftaran dan beberapa hari kemudian dia sudah boleh mengikuti pelatihan rutin.

            Seperti hari ini, ketika jam pelajaran usai, langkahnya langsung membawa diri pada ruang seni di lantai dua. Arinda melangkah mendekati Youse dan beberapa anak yang sudah berkumpul di dalam ruangan. Mereka duduk di atas kursi yang di sediakan. Sementara sisanya duduk-duduk di atas lantai yang di lapisi oleh tikar bermotif kartun.

            Arinda menghitung dalam hati, hanya ada delapan orang—termasuk dirinya—sangat sedikit sekali.

“Gue pikir lo nggak dateng,” kata Youse menyambut kedatangannya. Arinda melempar senyum tipis.

“Gue pasti dateng. Gue suka nyanyi soalnya.” Arinda nyengir lebar.

            Youse manggut-manggut, kemudian lelaki itu berdiri dari kursi dan mempersilakan Arinda duduk di tempatnya itu. Arinda merasa canggung berada di dalam lingkungan baru ini.

            “Hari ini kita latihan vokal kayak biasa, sebentar lagi Bu Merlyn dateng. Jadi, kalian boleh nyantai-nyantai dulu,” ucap Youse berdiri di depan ruangan.

            Yang lain mengangguk paham.

            “Lo murid baru, ya?” seorang gadis berambut pendek menatap Arinda penasaran. Arinda tersenyum dan menganggukan kepalanya pelan.

            “Nggak terlalu baru juga, sih.”

            “Kelas apa?”

            “Sebelas IPS dua.”

“Lo sekelas sama Alvin, dong?”

            Arinda mengernyit. Kenapa semuanya harus menanyakan Alvin?

“I-iya.”

            “Wah, hati-hati. Biasanya dia doyan jailin anak baru. Ngomong-ngomong, nama gue Shena.” Gadis bernama Shena itu menjulurkan tangannya di depan Arinda. Otomatis Arinda menjabat tangannya dan memperkenalkan diri, “Gue Arinda.”

            “Dulu gue pernah naksir sama Alvin,” kata Shena tiba-tiba. Sontak membuat Arinda terkejut dengan perkataan gadis itu. “Lama sebelum gue tahu kalau bokapnya koruptor.”

            “Terus lo udah nggak naksir Alvin lagi pas tahu bokapnya koruptor?” tanya Arinda hati-hati.

            Shena mengangguk. “Iya. Lagian, semua orang benci koruptor. Tikus berdasi yang hobi makan uang rakyat. Pasti si Alvin makan dan dihidupi dari hasil korupsi. Amit-amit deh kalau gue masih naksir sama dia.”

            Arinda menggigit bibir bawahnya pelan. Merasa kurang nyaman dengan perbincangan mereka. Entah kenapa.

            Kedatangan Bu Merlyn menyelamatkannya. Dia tidak harus menghindar dari Shena dan percakapan mereka. Maka Arinda mendesah lega dan segera berdiri, kemudian anak-anak ekskul paduan suara itu berkumpul menjadi dua baris. Menunggu intruksi dari Bu Meryln untuk latihan siang ini.

***

            Arinda berjalan dengan terburu-buru menuju kelasnya di lantai tiga, setelah latihan paduan suara dia baru menyadari bahwa ponsel kesayangannya tertinggal di kolong mejanya. Dengan perasaan merutuk kesal, Arinda segera memasuki kelasnya dan berjalan menuju bangkunya. Dia merogoh kolong mejanya dan mendapatkan benda persegi miliknya itu, kemudian dengan segera menariknya dari dalam meja.

            “Belum pulang?” Arinda terperanjat, gadis itu benar-benar terkejut ketika dia membuka pintu dan mendapati Alvin tengah bersandar pada tembok di sebelahnya. Laki-laki itu mengenakan jaket berwarna hitam, menutupi seragamnya yang di keluarkan dari celana.

            “Belum pulang?” Alvin kembali menyuarakan pertanyaannya ketika Arinda hanya diam membisu di depan pintu. Arinda tersadar, kemudian dengan cepat dia menggeleng.

            “Belum. Habis ekskul,” jawabnya pelan. Padahal Alvin tidak bertanya dirinya habis melakukan apa.

Alvin tersenyum, entah apa maksudnya. Membuat Arinda sedikit takut dengan tingkah teman sekelasnya itu. Alvin yang melihat sorot ketakutan di mata gadis di depannya hanya mampu terkekah geli.

            “Kamu keliatan banget kalau takut sama saya.”

            Arinda membelalakan matanya. “Kata siapa? Saya nggak takut sama kamu,” katanya tak yakin.

            Alvin mengangkat kedua bahunya tak acuh. “Pupil mata kamu membesar pas liat saya. Itu tandanya kamu takut sama saya.”

            “Kenapa saya harus takut sama kamu?”

            “Karena saya berandalan, mungkin.”

            Arinda terdiam.

            “Udah mau pulang?” tanya Alvin mengalihkan pembicaraan. Arinda mengangguk pelan mengiyakan.

            “Bareng saya saja, mau?”

            “Eh?”

            Sedetik kemudian Arinda merasakan Alvin sudah menarik pergelangan tangannya. Mereka berdua berjalan menuruni tangga, masih dengan tangan Alvin yang menggenggamnya erat. Membuat jantung Arinda terpompa cepat, bertalu-talu tanpa tahu malu. Sampai Arinda takut Alvin akan mendengar bunyi jantungnya.

            “Jangan takut sama saya, karena saya nggak pernah nakalin cewek,” kata Alvin ketika mereka berjalan menuju parkiran motor. Arinda berdehem pelan, “Saya nggak takut, kok. Atau mungkin belum?” Alvin kembali terkekeh geli.

            Alvin melepas genggamannya, kemudian lelaki itu merogoh saku celananya dan menemukan kunci motornya. Dengan cepat Alvin menaiki motor dan menyalakan mesin.

            “Ayo naik.”

            “Emang saya udah setuju mau pulang bareng sama kamu?”

            “Kalau kamu nggak setuju, kamu pasti udah ngelawan pas saya tarik ke sini.”

            Arinda terhenyak.

            Benar juga … tiba-tiba Arinda merasa malu.

            Alvin tersenyum tipis melihat mimik wajah Arinda yang mudah dibaca. Kemudian laki-laki itu kembali mengatakan hal yang sama,”Ayo naik.”

            “Tapi saya pakai rok,” ucap Arinda ragu.

            Alvin berdecak, “Kamu duduknya kayak saya, jangan nyamping. Nanti jatuh.”

            Lama Arinda berpikir, membuat Alvin lagi-lagi berdecak. Laki-laki itu menarik tangan Arinda agar segera menaiki motornya.

“Kamu emang harus ditarik dulu ya, baru mau?”

            Arinda membelalak, gadis itu tanpa sadar memukul bahu Alvin. Membuat Arinda tersentak dan menatap Alvin takut-takut. Tapi hatinya mendesah lega ketika Alvin tidak terlihat marah.

            Di depannya Alvin melepaskan jaket yang dipakainya, kemudian menyerahkannya pada Arinda. Membuat gadis itu mengernyit bingung.

            “Apa?”

            “Buat nutupin paha kamu.”

            Arinda melotot, ingin rasanya dia menceburkan diri ke dalam kolam. Buru-buru dia mengambil jaket yang diserahkan oleh Alvin dan segera menutupi pahanya yang sedikit terbuka karena roknya yang tersingkap.

            Tak berhenti di sana, setelahnya Alvin menyerahkan helm padanya, membuat Arinda heran. Alvin membawa dua buah helm? Ketika mereka berdua sudah memakai helm, Alvin segera bersiap-siap untuk melajukan motor besarnya. Membuat Arinda berpegangan pada tas gendong Alvin. Dan sore hari itu, Arinda pulang bersama Alvin … laki-laki yang sebenarnya, ditakutinya.

***

            Setelah mengerjakan PR Ekonomi yang diberikan oleh Pak Ujang, Arinda segera mengistirahatkan tubuhnya yang pegal karena duduk berjam-jam di atas kursi belajarnya. Gadis itu melangkah menuju tempat tidur dan menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Mendesah nikmat saat merasakan empuknya tempat tidur miliknya itu.

            Arinda menatap langit-langit kamarnya yang ditempeli dengan bintang-bintang yang akan menyala di dalam gelap. Gadis itu masih memikirkan Alvin yang tiba-tiba seolah mendekatinya. Bukan … Arinda bukan bermaksud terlalu percaya diri dengan pemikirannya itu. Dia hanya merasa aneh saja dengan Alvin yang mau repot-repot mengantarnya pulang. Padahal, rumah mereka tidak satu arah—Arinda mengetahui itu dari cerita Laras yang merupakan tetangganya Alvin.

            Lama Arinda masih berkutat dengan pikirannya, sampai dia dikejutkan dengan suara notifikasi dari ponselnya. Arinda meraih ponselnya yang terletak di atas bantal, gadis itu memilih untuk tengkurap dan segera membuka layar ponselnya. Kemudian dia tertegun.

            Alvin Jonathan menambahkan anda dengan Id line

            Alvin?!

            Arinda buru-buru menegakkan tubuhnya. Gadis itu duduk bersandar pada kepala ranjang. Masih menatap layar ponsel yang sama sekali tidak berubah dari sejak dia melihatnya.

            “Alvin?” tanyanya pada diri sendiri.

            Kemudian satu pemberitahuan kembali masuk ke ponselnya, lagi-lagi membuat Arinda tersentak kaget melihat nama si pengirim.

            Alvin Jonathan

            Hai. Lagi apa?

            Arinda masih tertegun di tempatnya. Benar-benar tidak menyangka bahwa Alvin akan mengirimnya pesan singkat melalui aplikasi chating. Kepalanya berdenyut nyeri, memikirkan pesan balasan apa untuk lelaki di sebrang sana. Apakah Arinda harus membalasnya atau tidak? Tetapi Arinda merasa penasaran.

            Dengan jemarinya yang sedikit bergetar, akhirnya gadis itu mengetik pesan balasan untuk Alvin.

            Ada apa?

            Beberapa detik kemudian pesan balasan masuk ke dalam kolom chatnya. Tanpa sadar Arinda menggigit bibirnya.

            Saya cuma mau tanya kamu lagi apa? Jangan lupa add back line saya, ya.

            Kemudian Arinda memilih untuk mengabaikan pesan itu.

Bersambung ...

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • dede_pratiwi

    nice story, ditunggu kelanjutannya :)

    Comment on chapter Kau yang Berbeda
Similar Tags
When I Was Young
8239      1654     11     
Fantasy
Dua karakter yang terpisah tidak seharusnya bertemu dan bersatu. Ini seperti membuka kotak pandora. Semakin banyak yang kau tahu, rasa sakit akan menghujanimu. ***** April baru saja melupakan cinta pertamanya ketika seorang sahabat membimbingnya pada Dana, teman barunya. Entah mengapa, setelah itu ia merasa pernah sangat mengenal Dana. ...
CATCH MY HEART
2451      907     2     
Humor
Warning! Cerita ini bisa menyebabkan kalian mesem-mesem bahkan ngakak so hard. Genre romance komedi yang bakal bikin kalian susah move on. Nikmati kekonyolan dan over percaya dirinya Cemcem. Jadilah bagian dari anggota cemcemisme! :v Cemcemisme semakin berjaya di ranah nusantara. Efek samping nyengir-nyengir dan susah move on dari cemcem, tanggung sendiri :v ---------------------------------...
Run Away
6667      1493     4     
Romance
Berawal dari Tara yang tidak sengaja melukai tetangga baru yang tinggal di seberang rumahnya, tepat beberapa jam setelah kedatangannya ke Indonesia. Seorang anak remaja laki-laki seusia dengannya. Wajah blesteran campuran Indonesia-Inggris yang membuatnya kaget dan kesal secara bersamaan. Tara dengan sifatnya yang terkesan cuek, berusaha menepis jauh-jauh Dave, si tetangga, yang menurutnya pen...
Rinai Hati
488      258     1     
Romance
Patah hati bukanlah sebuah penyakit terburuk, akan tetapi patah hati adalah sebuah pil ajaib yang berfungsi untuk mendewasakan diri untuk menjadi lebih baik lagi, membuktikan kepada dunia bahwa kamu akan menjadi pribadi yang lebih hebat, tentunya jika kamu berhasil menelan pil pahit ini dengan perasaan ikhlas dan hati yang lapang. Melepaskan semua kesedihan dan beban.
I have a dream
270      221     1     
Inspirational
Semua orang pasti mempunyai impian. Entah itu hanya khayalan atau angan-angan belaka. Embun, mahasiswa akhir yang tak kunjung-kunjung menyelesaikan skripsinya mempunyai impian menjadi seorang penulis. Alih-alih seringkali dinasehati keluarganya untuk segera menyelesaikan kuliahnya, Embun malah menghabiskan hari-harinya dengan bermain bersama teman-temannya. Suatu hari, Embun bertemu dengan s...
injured
1218      657     1     
Fan Fiction
mungkin banyak sebagian orang memilih melupakan masa lalu. meninggalkannya tergeletak bersama dengan kenangan lainya. namun, bagaimana jika kenangan tak mau beranjak pergi? selalu membayang-bayangi, memberi pengaruh untuk kedepannya. mungkin inilah yang terjadi pada gadis belia bernama keira.
School, Love, and Friends
16504      2601     6     
Romance
Ketika Athia dihadapkan pada pilihan yang sulit, manakah yang harus ia pilih? Sekolahnya, kehidupan cintanya, atau temannya?
Hati Yang Terpatahkan
1839      833     2     
Romance
Aku pikir, aku akan hidup selamanya di masa lalu. Sampai dia datang mengubah duniaku yang abu-abu menjadi berwarna. Bersamanya, aku terlahir kembali. Namun, saat aku merasa benar-benar mencintainya, semakin lama kutemukan dia yang berbeda. Lagi-lagi, aku dihadapkan kembali antara dua pilihan : kembali terpuruk atau memilih tegar?
Move on
63      42     0     
Romance
Satu kelas dengan mantan. Bahkan tetanggan. Aku tak pernah membayangkan hal itu dan realistisnya aku mengalami semuanya sekarang. Apalagi Kenan mantan pertamaku. Yang kata orang susah dilupakan. Sering bertemu membuat benteng pertahananku goyang. Bahkan kurasa hatiku kembali mengukir namanya. Tapi aku tetap harus tahu diri karena aku hanya mantannya dan pacar Kenan sekarang adalah sahabatku. ...
Kisah yang Kita Tahu
5107      1446     2     
Romance
Dia selalu duduk di tempat yang sama, dengan posisi yang sama, begitu diam seperti patung, sampai-sampai awalnya kupikir dia cuma dekorasi kolam di pojok taman itu. Tapi hari itu angin kencang, rambutnya yang panjang berkibar-kibar ditiup angin, dan poninya yang selalu merumbai ke depan wajahnya, tersibak saat itu, sehingga aku bisa melihatnya dari samping. Sebuah senyuman. * Selama lima...