Cempaka dan Soraya berjalan dengan penuh percaya diri di lorong kampus yang mulai hari ini akan menjadi tempat mereka menimba ilmu. Walau rambut yang diikat dengan pita kuning mencolok, kemeja putih dan rok hitam selutut yang dihiasi dengan kalung bawang merah di leher mereka. Ditambah lagi dengan nametag besar di dada. Sungguh tak menyurutkan semangat kedua gadis itu untuk menjadi mahasiswa seutuhnya.
Terdengar teriakan senior yang meminta seluruh mahasiswa baru berkumpul di aula. Dengan langkah tergesa, Cempaka dan Soraya berlari menuju aula agar tidak terlambat berkumpul. Kesan buruk jika hari pertama mereka terlambat.
Perkenalan panitia OSPEK yang merupakan anggota BEM berjalan dengan baik. Mereka memberikan materi dengan menyenangkan, bahkan sesekali tertawa dengan riang.
Cempaka merasa sangat beruntung di usianya yang ke dua puluh ini. Ia bisa menginjakkan kaki di kampus dan bahkan menjadi mahasiswa. Sesuatu yang sama sekali tak terbayangkan bahkan dalam mimpinya sekalipun.
Selama ini, untuk membiayai hidup, Cempaka harus bekerja keras. Memang ada peninggalan papa yang masih bisa menghidupi, gaji pensiun yang ia dapat setiap bulan. Tetapi, Cempaka selalu membagi dua untuk disumbangkan ke panti asuhan. Dan perihal rumah orangtuanya, sekitar satu bulan setelah Cempaka tersadar dari koma, ada pihak bank yang mendatangi Paman Saga. Mereka meminta paman untuk melunasi cicilan mobil Papa. Akhirnya, rumah peninggalan orangtuanya jadi jaminan untuk melunasi mobil yang sudah hancur itu.
“Kamu!”
Soraya menyenggol lengan Cempaka. Seketika lamunan Cempaka terbuyarkan. Ternyata senior yang tengah memberi materi yang memanggil. Ia mengisyaratkan pada Cempaka untuk maju dan menghampirinya. Mau tidak mau, Cempaka berdiri dan berjalan mendekat.
“Kamu nggak perhatiin saya ngomong, kan, daritadi?” tanya senior itu. Mahasiswa tingkat atas yang bernama Aldi.
Cempaka hanya terdiam, tak mampu melawan. Karena memang benar, jika ia tidak memperhatikan perkataan Aldi sejak tadi. Gadis itu tersenyum malu-malu lantas tampak begitu salah tingkah.
Aldi tersenyum, kemudian berujar tenang. “Nggak masalah, asal kamu mau jadi pacar saya.”
Seketika Cempaka mendongak dan tersentak saat bersitatap dengan sepasang mata hitam pekat di ambang pintu. Hanya sekian detik karena lelaki itu langsung berbalik pergi. Lelaki berjas almamater seperti senior-senior lainnya sudah cukup menjelaskan, jika ia adalah mahasiswa di kampus itu juga.
“Pangeran gue!” Cempaka bergumam sekilas.
Tiba-tiba, tawa Aldi berderai renyah mendapati kebingungan Cempaka. Aldi menjelaskan bahwa apa yang ia utarakan hanya candaan belaka. Mungkin Aldi juga takut hal itu akan menjadi bahan gunjingan anak baru. Aldi juga akhirnya menugaskan seluruh mahasiswa baru untuk meminta tanda tangan semua pengurus BEM. Dan dengan itu, Cempaka tersenyum senang karena memiliki alasan untuk mendekati pangerannya.
-ooo-
“Hai, lo ingat gue? Yang pakai kostum ayam di food fair! Yang ketemu di mall! Yang lo siram pakai coklat! Ya, gue juga nyiram lo, sih. Romantis banget deh. Main siram-siraman coklat cinta!” ucap Cempaka histeris dan tampak begitu senang saat melihat lelaki yang diyakini sebagai jodohnya tengah duduk di kursi taman kampus.
“Gue nggak nyangka kita ketemu lagi. Benar, kan, kita memang jodoh!” teriak Cempaka tambah antusias.
“Emm, nama lo—” Cempaka menerka-nerka jahitan nama di jas almamater lelaki itu hingga sedikit membungkukkan badan. “Raka Chandra Perwira. Nice! I like your name. More over, i like you all!”
Merasa jengah, lelaki itu berdiri dengan cepat dan memandang tegas Cempaka. Membuat Cempaka terhenyak sesaat lantas mendongakkan kepala dan menemukan tatapan tegas Raka padanya. Raka mengangkat tangan, menjulurkan telunjuknya ke kening Cempaka. Ia mendorong perlahan kepala gadis itu hingga Cempaka berdiri dengan sempurna.
“Nggak usah sok kenal,” ucap Raka jutek lantas menurunkan tangannya dan berlalu pergi meninggalkan Cempaka yang melongo sendiri dengan mulut yang menganga.
Cempaka menyentuh keningnya dan mengelus-ngelusnya dengan senang. Baru kali ini Cempaka teramat bahagia dengan lebar kening yang ia miliki. Ia tertawa sendiri dan tanpa sadar berjingkrak-jingkrak atas apa yang ia alami.
“Kening gue disentuh lagi! Waaa! Gue yakin dia jodoh gue! Hahaha! Aylapyu, aylapyu, ol!”
Cempaka melayangkan kecupan di udara seperti seorang artis yang menghadiahi ciuman pada para penggemarnya dari atas panggung.
Pergerakan Cempaka terhenti saat merasakan radar aneh menyapanya. Tatapan mata yang membekukan perbuatan konyolnya, pada posisi tangan yang tengah melambai-lambai seperti seorang Putri Indonesia.
“He? Halo, Kak!” sapa Cempaka kikuk seraya berpura-pura memang melambaikan tangan kepadanya.
“Ke mari kamu!” perintahnya, lantas Cempaka berjalan menghampiri senior yang kini duduk di tengah taman. Tepat di bawah pohon. Cempaka berdiri di hadapan senior itu sambil merapikan pakaian dan menerka nama kakak itu. Fernando Atmajaya, Cempaka menyebut nama itu dalam hati.
“Udah dapat semua tanda tangan pengurus BEM? Mana saya lihat!”
Cempaka menyodorkan buku yang ia pegang dan menanti Fernando berkata-kata lagi. Fernando menghela napas lalu mendongak. Ia menyerahkan kembali buku itu pada Cempaka.
“Ada yang bolong tiga. Lengkapi segera, waktu kamu tinggal lima belas menit!” ucap Fernando dengan nada memerintah. Cempaka mengangguk lalu berpamitan pergi dari tempat itu. Ia berlari dengan panik.
“Kak Nesia, Kak Fernando? Kak—Raka?! Gue barusan, kan, ketemu sama dua di antara mereka. Lha? Gue yang oneng apa mereka yang ngehe kawe super, sih?”
Cempaka menggerutu sambil berjalan cepat, kembali menghampiri Fernando. Fernando menoleh saat merasakan hawa mistis mendekat. Ia menatap Cempaka yang tengah menghela napas berulang-ulang. Senyuman tercetak di bibir Fernando, senyuman geli.
“Mereka nggak salah, sih. Kak Nesia nggak salah, Kak Fernando nggak salah, Kak Raka juga nggak salah. Gue yang salah dan berlumur dosa. Hiks!”
Cempaka berjalan menuju ke hadapan Fernando untuk meminta lelaki itu menandatangani catatannya, tanpa berniat protes karena Fernando sudah membodohinya tadi. Cempaka tahu, jika ia banyak protes, maka perjuangan yang ia lakukan akan semakin berliku tajam.
“Gue bakal tanda tangan asal lo kasih kontak whatsapp lo.”
“Hah?”
Fernando tidak menghiraukan tatapan heran Cempaka. Ia malah menyerahkan handphone-nya. Dengan ragu, Cempaka meraihnya dan menuliskan nomor whatsapp pribadinya. Setelah selesai, Cempaka menyerahkan handphone Fernando kembali.
“Nanti gue WA, ya?” ujar Fernando diiringi senyuman manis. Cempaka hanya menundukkan kepala lalu bergegas pergi.
Gadis itu menggeram kesal sembari jelalatan mencari sosok Raka Chandra Perwira. Kalau dipikir-pikir, ia sungguh tidak rela memberikan kontak whatsapp pada Fernando. Cempaka tidak begitu tertarik dengan lelaki yang sudah kentara player macam Fernando. Tatapan Fernando itu sama seperti tatapan Adrian-bosnya di yummie chicken.
Cempaka mencari Raka Chandra Perwira dan menemukan lelaki itu duduk sendiri di kantin kampus. Senyuman Cempaka melebar dan hatinya menghangat. Entahlah, melihat lelaki itu, Cempaka merasa seperti menemukan kembali caranya bernapas dengan nyaman.
“Hei, Pangeran!”
Cempaka melambaikan tangan lalu menutup mulut. Dia harus bersikap manis dan yang terpenting, jangan sok kenal. Itu yang Cempaka ingat dari perkataan Raka sebelumnya.
Raka menoleh sekilas dan menyadari kesialannya mendekat. Selang beberapa detik saja, gadis siluman ayam itu berada tepat di depannya. Ia tersenyum dan menatap Raka dengan berbinar.
“Permisi, Kak! Saya Berliana Cempaka mau minta goresan cintanya, dong!” ucap Cempaka lantas nyengir lebar. Raka mendongak dan menatap marah Cempaka.
Lelaki itu berujar datar. “Lo bisa bilang permisi dengan benar? Bisa minta dengan benar?” Cempaka mengangguk ragu. “Ulang,” tutur Raka kemudian seraya menunjuk ke tempat Cempaka berdiri pertama kali.
Dengan mimik muka heran, Cempaka berjalan kembali ke ambang pintu masuk kantin. Cempaka meneriakkan nama Raka dengan sopan. Raka menoleh dan mengisyaratkan Cempaka menghadapnya. Dengan memasang radar bodoh, Cempaka berjalan cepat dan memasang senyuman lebar seperti biasanya.
“Kak, saya—“
“Heh, lo nggak bisa bilang permisi?” Lagi-lagi, Raka berucap dengan datar, memotong perkataan Cempaka.
“Permisai, Kak!” Raka mendelik marah. “Eh, permisi maksudnya. Mohon ampuni hamba, Yang Mulia!” ucap Cempaka sambil membungkukkan badan dan tersenyum lebar.
Raka menatap heran Cempaka lalu sedikit menghela napas. “Lo berdiri di sana! Perintah selanjutnya gue kasih kalau lo bisa sampai sana dalam waktu kurang dari semenit.”
Cempaka menoleh lalu menatap sekilas sudut kantin dan tampak berpikir. “Kok mesti ke sudut, sih? Suruh kentut apa, ya, gue? Atau gue disetrap? Kayak anak SD disetrap segala. Huh!” gumam Cempaka.
“Heh! Lo ngomong apa? Dengar ucapan gue, nggak?”
Cempaka tersentak kaget lalu memposisikan badannya pada sikap sempurna. Ia mengangkat tangan kanan lalu menempelkan ujung jari telunjuk pada pelipisnya seperti orang yang sedang memberi hormat dalam upacara bendera.
“Siap laksanakan, Komandan!” seru Cempaka dengan lantang dan segera berjalan cepat sebelum Raka membentaknya.
Baru dua langkah Cempaka melewati Raka, lelaki itu kembali berteriak. “Siapa yang suruh jalan situ?!”
Cempaka memejamkan mata sesaat. “Ini cowok modus banget, deh! Untung gue suka.” Cempaka membalikkan badan dan menatap Raka.
“Lo tuh beneran nggak punya sopan santun, ya? Enak banget lo ngelewatin senior tanpa permisi!”
Cempaka membungkukkan badan lalu berujar, “Permisi, Kak! Saya mau ke pojokan dulu.”
“Oke,” balas Raka tanpa menoleh. Cempaka melangkahkan kembali kakinya saat Raka dengan tegas berucap kembali. “Siapa yang nyuruh lewat situ?!”
“Eh?” Cempaka menghentikan langkah dan meredam semua emosi yang mulai menguasai. “Ampun, deh, gue kecup membabi buta juga nih makhluk! Huh!” gumamnya nampak begitu kesal.
“Gue nggak suka ada junior yang seenaknya lewat depan muka gue. Ambil jalan lain dan masuk lewat pintu itu!”
Raka menunjuk pintu belakang kantin. Membuat Cempaka mengikuti arah telunjuk Raka seraya menatap sebal lelaki itu. Baru kali ini ia merasa dibuat jengah dengan sikap Raka. Setelah perlakuan kasar dan juteknya dari pertama kali mereka bertemu, baru kali ini Cempaka merasa kesal.
Cempaka menatap jam di pergelangan tangan dan terhenyak akan batas waktu mengumpulkan tanda tangan yang hanya tersisa sekitar tiga menit lagi. Ia menghela napas lalu berbalik menatap Raka dengan senyuman lebar, menutupi sekian kekesalannya pada lelaki itu.
“YE, OPPA! SARANGHAE!” (Ya, Kakak! Aku mencintaimu!)
Raka kembali mendelik marah saat mendengar ucapan Cempaka yang begitu keras. Ia hendak meneriaki gadis itu, namun Cempaka sudah pergi sebelum Raka sempat memarahinya. Lelaki itu mengedarkan pandangan ke area sekeliling, ia melihat mata orang-orang melihatnya. Mereka tertawa geli dan berbisik-bisik. Membuat Raka hanya bisa mendengkus sebal.
Menunggu memang mengesalkan, Raka mengetuk-ngetukkan jarinya ke permukaan meja. Waktu terus berjalan bahkan sudah hampir mendekati lima menit. Raka menarik napas dengan dalam, ia memandangi jam yang melingkar di tangan. Walau merasa kesal, lelaki itu akan menunggu gadis siluman ayam tersebut.
Tapi, semakin lama waktu bergulir, gadis itu entah sedang tersangkut di mana. Raka sudah merasa amat jengah menanti. Ia menghembuskan napas kasar lalu memutar otak. Seketika tersadar akan ketidak pentingannya menanti gadis aneh itu, gadis yang super over percaya diri.
Raka tersenyum kecut lalu mengusap wajah dan berdiri. Ia memutuskan untuk pergi. Ia berbalik dan melangkah menuju pintu keluar saat suara keras menyapa telinganya.
“Kak Raka!”
Mendengar suara cempreng yang memanggil, Raka menghentikan langkah walau tanpa berniat menoleh. Itu pun hanya beberapa detik saja. Karena Raka kembali berjalan menjauh. Cempaka terhenyak lalu berlari mendekati Raka. Ia menahan lengan lelaki itu dan berhasil menghentikan langkah Raka. Raka menoleh dan mengisyaratkan Cempaka untuk tidak menyentuhnya. Lelaki itu menatap Cempaka dengan jijik.
“Heh! Jijik? Memangnya gue sampah, apa? Sompret!”
Cempaka melepaskan tangannya dengan perlahan dari lengan Raka. Dan betul, Raka langsung menepuk-nepuk lengan yang baru saja dipegang Cempaka. Seolah gadis itu adalah kuman yang patut dibasmi. Cempaka mendengkus sebal. Namun, Raka kembali melangkah pergi dan Cempaka lagi-lagi menahan lengan lelaki itu dalam hitungan detik. Karena mengingat mata hitam pekat milik Raka menatap tak suka akan perbuatannya.
“Tanda tangan dulu, dong!” rengek Cempaka seraya menyodorkan buku catatannya. Raka menoleh dan lagi-lagi menatap jijik puppy eyes yang diperlihatkan Cempaka. Dengan terpaksa, lelaki itu mengambil buku di tangan gadis itu lalu menuliskan sesuatu. Setelah Raka menyerahkan catatannya, Cempaka langsung membungkukkan badan. “Gamsahamnida, Oppa! Sarang—“ Cempaka menghentikan ucapannya saat Raka menatapnya dengan marah.
“—TAWON! SARANG SEMUT! SARANG PENYAMUN!” teriak Cempaka lalu tersenyum tidak jelas pada Raka hingga lelaki itu pergi meninggalkannya. Cempaka melambaikan tangan dan melayangkan kecupan jauh ke arah Raka setelah lelaki itu tak terlihat lagi.
Merasa bahagia tidak terkira, Cempaka duduk di atas kursi dengan senyum terkembang. Mata Cempaka melotot saat melihat catatan yang dibuat lelaki itu. “SORI, LO NGGAK BERUNTUNG. ASYEM!”
Cempaka berteriak untuk ke kali ke sekian. Ia menghela napas lelah. “Hah, susah banget, sih, godain lo, Pangeran!” lirih Cempaka lantas menenggelamkan wajahnya ke atas meja. Ia sama sekali tidak memedulikan apapun yang orang sekitar pikirkan.
nice story
Comment on chapter 1. Balada Gadis Siluman Ayam