18. Mimpi Clara
18 // Mimpi Clara
Ara menatap kembali ke jendela. Untuk pertama kalinya, dia merasakan bolos. Walau begitu, dia tetap paham tanggung jawabnya. Ara kembali ke kelas begitu dirinya puas.
"Kenapa otakku selalu merekam wajah Fabian dan diputarkan pada waktu seperti ini? Kan aku tidak bisa fokus belajar," pikir Ara. Dilihatnya sebuah awan yang menyerupai wajah Fabian. "Bahkan awan kulihat seperti wajah Fabian. Konyol."
Clara menyenggolnya. "Ada tugas. Silahkan dikerjakan," bisiknya.
Ara langsung tersadar.
????????????
"Kamu merasa baik-baik saja sekarang?" tanya Fabian saat bel pulang sekolah telah berdentang nyaring. Di depannya, Ara sedang mencoba mengontrol perasaannya. Dia tidak ingin Fabian menyadarinya.
"Kamu tahu dari mana?" tanya Clara. "Bukannya dia cuma cerita padaku?"
"Tadi kami bolos bersama," jelas Fabian. Ara yang ada di depannya panik.
"Bu—bukan bolos bersama. Dia cuma menemani aku bolos," katanya.
"Sama aja, bodoh." Clara kembali menjitak kepala Ara di tempat perban ditempelkan.
"Clara, sakit!" teriak Ara kesal. Clara terkikik.
Fabian melihat interaksi keduanya dengan geli. "Semoga kamu cepat sembuh, Ara. Ngomong-ngomong, rambutmu sekarang membuatmu lebih cantik." Fabian berjalan meninggalkan mereka dengan tas di punggungnya.
"Kenapa dia harus berkata seperti itu?" geram Ara. "Bagaimana aku menutupi wajahku sekarang?"
"Ara, sebaiknya lain kali kalau ke sekolah, pakailah bedak yang banyak. Dengan begitu wajah merahmu tidak akan ketahuan," saran Clara.
"Tapi kalau aku pakai, aku bakal mirip hantu."
"Sejak awal, wajahmu sudah mirip dengan hantu," tawa Clara.
Ara berteriak kesal. Clara berlari menjauh. Dia sudah tahu peringai Ara satu ini. Ara berlari mengejarnya dengan tas yang siap menghajar Clara.
????????????
Ara pulang dengan sangat senang. Perjalanannya terasa sangat singkat. Padahal, jarak antara sekolah dan rumahnya tidak terlalu dekat bila berjalan kaki.
"Apa dia suka padaku?" pikirnya sambil memasuki pekarangan rumahnya. "Bagaimana cara membuktikannya?"
Otak Ara yang biasa dipenuhi dengan pelajaran di sekolah berubah memikirkan seorang laki-laki yang bernama Fabian, yang beberapa hari ini membuat hidup Ara lebih berwarna.
Dimasukinya kamarnya dengan bahagia. "Aku mungkin tidak bisa memeluk Fabian secara langsung. Paling tidak, aku bisa memeluk topinya." Diambilnya topi Fabian yang belum dikembalikannya dan memeluknya erat. Beberapa detik kemudian, dia jatuh tertidur.
????????????
"Tendang ke sini, Clara!" teriak seorang bocah laki-laki yang kira-kira berumur lima tahun. Mereka berada di sebuah taman, sedang bermain bola.
Anak yang disebut Clara menendang bola itu dengan pelan. Dia benar-benar lemah, sampai tidak bisa menendang bola dengan benar. Clara menangis.
"Clara, jangan menangis," kata anak yang tadi memanggilnya. "Cengeng banget, sih, jadi orang."
Tangis Ara makin keras.
"Clara, kamu kenapa?" tanya anak yang lain yang sedang duduk di kursi taman.
Clara menolehkan kepalanya pada anak yang baru saja berbicara dan mendatanginya. "Aku tidak bisa menendang bola dengan benar. Lalu Fabi panggil Clara cengeng," adu Clara pada anak itu dengan menggunakan bahasa tubuh.
"Shh," kata anak itu sambil mengelus kepala Clara. "Mulut Fabi memang seperti itu. Nanti aku nasihati dia, ya. Clara jangan menangis lagi."
"Clara kamu kenapa?" tanya anak yang lain.
"Tanya Fabi. Ervin jangan tanya aku," sahut Clara kesal.
"Aku cuma nanya, Clara." Ervin menatap Clara kesal.
"Fabi, boleh aku bicara sama Fabi?" kata anak itu sambil berdiri dari posisi duduknya.
"Fabi, ke sini."
Fabian berlari ke arah mereka. "Kenapa?" tanyanya dengan bahasa tubuh.
"Aku mau bicara," kata anak yang menghibur Clara tadi. Fabian menatapnya kesal.
????????????
"Ervin, kira-kira mereka bahas apa, ya?" tanya Clara pada Ervin.
"Nggak tahu. Paling lagi dinasihati." Ervin berbaring di atas rumput, di bawah pohon yang rindang.
"Kami sudah selesai. Ayo, main lagi," ajak Fabian. Di belakangnya, ada orang yang tadi menasihatinya.
"Aku mau ikut boleh?" tanyanya.
"Boleh!" Clara menarik tangan anak tadi dengan senang sambil mengangguk semangat. "Fabian sama Ervin, ya. Aku sama dia."
"Aku mulai duluan, ya." Anak itu menendang bola tadi dengan lemah, malahan lebih lemah daripada Clara. Bola itu berguling di depan Fabian dan Ervin. "Maaf, aku tidak terlalu kuat untuk hal seperti ini."
"Ya sudah, tidak usah ikut saja. Orang lemah sepertimu dan Clara sebaiknya main boneka saja," geram Fabian.
"Kamu bilang apa? Boleh ulangi dengan lebih pelan?" pinta anak itu.
"Ka-mu per-gi sa-ja," ulang Fabian. "O-rang yang ma-in bo-la i-tu ku-at se-per-ti a-ku."
Anak itu mengerti. "Maafkan aku."
Fabian menendang bolanya dengan sangat kencang dan kuat. Anak itu mencoba mengejarnya. Bola itu berguling ke tengah jalan raya. Tiba-tiba, muncul sebuah truk dengan kecepatan tinggi. Pengemudinya sedang mabuk.
Anak yang tadi baru saja sampai di tengah jalan, mengambil bola itu tanpa tahu apa-apa. Saat dilihatnya ke samping, truk itu sudah menabraknya.
"Gerald!" teriak Clara.
????????????
Clara terbangun dengan napas tersengal-sengal. Ingatannya selalu terputar adegan sepuluh tahun yang lalu, di mana teman baiknya, Gerald mati ditabrak mobil.
Clara mengambil secangkir air dan obat tidur yang ada di samping tempat tidurnya. Diminumnya dan akhirnya dia tertidur.
????????????
@silviagina makasih sudah mampir dan baca ceritaku ini :)
Comment on chapter 1. Ara & Bella