19. Keputusan
19 // Keputusan
Tiga orang murid sedang duduk di kantin, dengan makanan di depan mereka.
"Aku—memimpikan kejadian itu lagi," cerita Clara. "Bahkan hampir tiap hari. Sepertinya, aku akan bisa tidur tanpa obat."
"Aku juga mengalami itu. Baru saja aku menutup mata, kejadian itu berputar-putar di dalam ingatanku." Ervin menggelengkan kepalanya.
"Aku ingin sekali-kali tidur dengan nyenyak tanpa bantuan obat tidur. Aku ingin tidur seperti anak-anak lainnya. Bukan mengalami sebuah mimpi yang membuatku insomnia." Clara mengaduk-ngaduk makanan di depannya malas. Hilang sudah rasa laparnya yang ia rasakan sejak pagi.
"Maaf, ini salahku." Fabian tertunduk dengan penuh rasa bersalah.
"Itu bukan hanya salahmu, Fabian. Aku juga salah. Seharusnya aku melarangnya ikut bermain. Maaf," kata Ervin.
"Sebenarnya, aku juga salah. Kalau saja aku bisa menendang bola dengan benar dan tidak menangis, pasti dia tidak akan mengajukan dirinya untuk ikut bermain." Clara ikut menunduk.
"Kalau saja aku tidak mengejekmu, Clara, mungkin dia tidak akan mengajukan dirinya untuk ikut bermain. Coba saja aku mengajarimu cara bermain dengan benar dan bukannya mengataimu cengeng. Kalau saja aku tidak pamer padanya, dia tidak akan tertabrak."
Ketiganya menunduk penuh perasaan bersalah masing-masing. Makanan yang ada di atas meja belum tersentuh sama sekali.
????????????
"Jadi, Ara. Kamu mau ikut atau tidak?" tanya seorang guru pada Ara.
Ara terlihat berpikir keras. Dia benar-benar ingin pergi lebih cepat. Sayangnya, fisiknya tidak akan cukup kuat untuk menopang kerja kerasnya dalam belajar.
"Lebih baik aku pergi lebih cepat atau sakit karena terlalu banyak belajar?" pikirnya.
"Ara?" panggil guru itu lagi.
"Sepertinya—aku tidak akan mengambilnya. Aku menolak." Ara mengatakannya dengan tegas.
????????????
Keheningan masih melanda meja Clara, Fabian, dan Ervin.
"Apa sebaiknya kita lupakan saja kejadian ini?" celetuk Ervin yang sudah tidak tahan lagi dengan keheningan itu.
"Melupakan Gerald? Kamu bercanda?" marah Clara. "Dia masih orang ketiga dalam urutan laki-laki yang paling kusayang."
"Bukan itu maksudnya, Clara." Ervin berusaha menenangkan Clara.
"Kalau aku ada di urutan berapa?" tanya Fabian.
Clara menatapnya tajam. "Ini bukan saatnya bercanda."
"Tapi aku hanya bertanya."
"Clara!" panggil Ara dari kejauhan.
"Ara datang. Anggap saja kita tidak ada masalah apa-apa," bisik Clara.
"Oh, kalian juga di sini," liriknya pada Fabian.
"Hai."
Ara mulai salah tingkah lagi. Diambilnya segelas teh milik Clara dan meneguknya dengan cepat. Sialnya, teh milik Clara adalah teh panas.
"Hua, panas!" jeritnya. Clara menatap temannya sambil tertawa terbahak-bahak. Ervin yang ada di depannya juga melakukan hal yang sama.
"Perlu air dingin?" Fabian memberikannya sebotol air dingin. Ara langsung menyambut pemberiannya dan meminumnya dengan cepat.
"Sakit sekali," katanya. "Kenapa hari ini kamu pesan teh panas," marahnya pada Clara.
"Memangnya aku biasa pesan es teh?" seringai Clara.
"I—iya, kan. Ka—kamu jangan pura-pura tidak tahu." Ara berkata dengan gagap.
Tawa Clara kembali meledak.
"Diam."
"Ada yang kamu mau ceritakan, Ra?" tanya Clara.
"Aku tidak akan ikut kelas akselerasi. Aku akan tetap mengikuti pelajaran seperti anak-anak yang lain."
"Kenapa, Ra?"
"Aku sering sekali pingsan. Aku hanya ingin belajar lebih santai dari biasanya hingga tidak mengalami hal ini lagi," jelas Ara.
"Untuk merayakan Ara yang batal mengikuti kelas akselerasi, aku akan traktir dia bakso dan es jeruk." Fabian mengeluarkan dompetnya dan berjalan untuk membelinya.
Di meja, Clara sibuk menggoda Ara yang menunjukkan perasaannya dengan sangat jelas. Ervin menatapnya nanar.
????????????
@silviagina makasih sudah mampir dan baca ceritaku ini :)
Comment on chapter 1. Ara & Bella