45. 15 Tahun Kemudian
45 // 15 Tahun Kemudian
Udara dingin berhembus memasuki rumah. Melintasi pertokoan dan menembus pintu yang terbuka. Rambut bergerak terkena terpaan angin, membawa serta wangi roti hangat. Duduk menghadap jendela, Ara menghirup kopi yang dipesannya sambil menikmati pemandangan putih di depannya. Kini musim dingin sedang berkuasa atas kota itu.
Bern, tempat dirinya melarikan diri. Kota yang kecil namun, mampu membuat Ara merasa nyaman. Orang-orang yang bersahabat ditemuinya. Dalam hati, Ara merasa senang memilih tempat ini sebagai tempat melarikan diri. Tak disangkanya sudah 15 tahun dirinya meninggalkan Indonesia.
"Mama!" panggil seorang anak laki-laki berumur dua tahun lebih. Ara menoleh dan tersenyum sambil melambaikan tangan.
Seorang anak perempuan yang berusia sama berlari menuju Ara bersama anak laki-laki tadi. Ara memeluk keduanya.
"Mama, tadi aku belajar berhitung," kata si anak laki-laki bernama Carlo sambil menunjukkan buku catatannya.
"Loh, kok bisa? Kamu kan baru playgroup." Ara membaca catatan Carlo dan menyadari kalau Carlo benar-benar sudah bisa berhitung.
"Kan dia jenius." Sebuah suara yang tidak asing bagi Ara terdengar dari belakang kedua anak itu.
"Ervin," senyumnya.
????????????
"Halo, Mutter. Sekarang pergi ke bandara, jemput seseorang bernama Ara. Kalau tidak delay, pesawatnya akan tiba jam 8 waktu Swiss. Tolong bantu dia di sana, ma. Berikan dia salah satu rumah kita."
"Hey, anak bodoh. Tahu tidak kalau di sini jam menunjukkan angka berapa?" Orang di seberang telepon berteriak marah.
Ervin menatap jam dinding. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Jam empat pagi."
"Tuh, pintar. Tenang saja, mama pasti jemput dia." Amarah mama Ervin mulai mereda.
"Jangan beritahu kalau mama adalah mamaku, ya." Ervin berkata dengan panik.
"Oke deh, Auf wiedersehen."
"Danke." Ervin menutup telepon dan kembali ke rumahnya.
Ujian nasional sudah tiba. Ervin yang duduk di bangku kelas XII mengikutinya dengan begitu serius. Tak ada celah untuk bermain-main. Dia ingin segera menyelesaikan sekolahnya dan menyusul Ara.
"Selamat, kawan. Kamu juara 1." Fabian menepuk bahu Ervin. "Sebenarnya kita cuma beda sedikit, sih."
Ervin tersenyum bangga melihat nilainya. Dengan begini, mamanya pasti membiarkannya masuk ke universitas pilihannya. Jelas dalam pikirannya hanya satu tempat. University of Bern, tempat Ara berkuliah.
"Sudah tahu mau kuliah di mana?" tanya Clara. Dia tidak lagi bersekolah setelah Ara pergi. Dia lebih memilih mengikuti jejak papa dan kakak laki-lakinya yang menjadi seorang ilmuwan.
"Aku akan menyusul Ara," jawab Ervin tegas.
????????????
Ara menyiram bunga di dalam toko sambil bersenandung. Ibu Müller, nama panggilan yang dia inginkan atas dirinya, sangat baik padanya. Terdengar suara orang masuk. Ara berbalik. "Willkommen."
"Sepertinya kamu sudah bisa bahasa Jerman, Ra."
Ara membelalakkan matanya. "Bagaimana kamu tahu aku di sini?"
"Clara memberitahuku." Ervin menyandarkan dirinya pada sebuah tembok. Sebuah jaket tersampir di pundaknya. Jantung Ara mulai berdetak kencang.
"Dia bahkan tidak tahu aku ada di toko ini."
Ibu Müller muncul dari pintu dan melihat Ervin. "Wah, ngapain kamu ke sini?"
Ara mulai bingung.
"Dia mamaku, Ra," kata Ervin, "aku yang menyuruhnya menjagamu beberapa bulan ini hingga aku lulus."
"Hah?"
"Ya, walaupun dia bodoh, tapi dia jujur. Aku mamanya. Dia anakku." Mama Ervin tersenyum melihat wajah Ara yang kebingungan. Lalu dia pergi saat Ervin memberi kode untuknya meninggalkan mereka berdua.
"Ara, saat itu kamu pergi tanpa menjawab pertanyaanku. Sekarang aku ingin bertanya lagi. Aku cinta kamu. Pacaran, yuk." Ervin tersenyum sambil memberikan sebuah bunga yang diambilnya dari toko itu.
Ara tertunduk malu. Dia mengangguk.
????????????
"Sudah terbukti kalau Carlo anakku." Ervin duduk melipat tangannya. "Dia jenius seperti papanya."
"Siapa yang bilang kalau Carlo anak orang lain?" Ara marah.
"Jangan ngambek, dong. Wajah cantik Anna kan datang darimu," gombal Ervin. Ara mendengus kesal. Sebelas tahun dirinya dan Ervin berpacaran hingga akhirnya menikah.
Di umurnya yang ke 19, dia lulus. Saat itulah diketahuinya kalau Ervin memiliki umur yang sama dengannya. Hanya saja, otak Ervin yang super menyebabkannya berada di tingkat yang jauh di atasnya.
"Hari ini kita berangkat?" tanya Ara. Ervin mengangguk.
"Anak-anak, hari ini kita akan naik pesawat," seru Ervin pada Carlo serta Anna dan diiringi seruan riang. Wajah kedua anak itu berbinar-binar.
????????????
Ara menatap kedua anak kembarnya, Carlo dan Anna. Dirinya tidak pernah menyangka kalau akan diberkahi anak kembar yang berbeda jenis kelamin. Dalam hati dia bertekad untuk tidak membedakan keduanya agar tidak terjadi seperti yang dia alami.
"Wah, pesawatnya turun," seru Anna, "kita akan terjatuh."
"Ini namanya landing, Na," timpal Carlo tanpa melepas pandangannya dari buku miliknya. Anna menatap keluar jendela dan menikmati pemandangan di luar pesawat.
Mereka sampai di bandara. Terlihat Clara dan Fabian menjemput mereka. "Ara!" jerit Clara memeluk Ara. Ara balas memeluknya. Carlo yang digandeng Ara merasa was-was.
"Orang aneh ini siapa?" tanyanya.
"Orang aneh?" Clara menatap Carlo sinis. Fabian tersenyum melihat diri Clara yang satu ini.
"Hai, Clara, Bian." Ervin muncul dengan Anna di gendongannya. Clara terpana melihat Anna yang sangat manis dalam gaun berwarna putih.
"Wah, Fabian. Aku pingin anak cewek," serunya pada Fabian.
"Jangan teriak-teriak di sini, Clara. Ayo, mobilku di sini." Fabian memimpin jalan menuju mobilnya. Clara memasang wajah cemberut. Ekspresinya berganti saat Anna mendekatinya dan ingin dipeluk.
"Sekarang kita ke mana?" tanya Ara. Clara sudah sibuk bermain dengan Anna.
"Rumah masa kecilmu," jawab Fabian.
????????????
@silviagina makasih sudah mampir dan baca ceritaku ini :)
Comment on chapter 1. Ara & Bella