34. Menyerah?
34 // Menyerah?
Ara berbaring di kasurnya dengan jantung yang berdegup kencang. Tidak disangkanya kalau Ervin memiliki rasa padanya. Entah mengapa wajah Ervin selalu terbayang di kepala Ara sekarang ini.
"Bagaimana bisa di saat kamu menyukai seseorang kamu malah memikirkan orang lain," gumam Ara, "tapi seseorang itu bahkan tidak menyukaiku. Apa yang harus kulakukan?"
Matanya mulai tertutup dan memasuki dunia mimpi.
????????????
Pagi hari yang berawan. Tidak ada orang di kantin sekolah selain seorang laki-laki yang sedang melamun. Fabian melamunkan sesuatu dengan begitu serius sehingga tidak merasakan kehadiran Clara.
Tap
"Astaga, kamu mengejutkanku." Fabian tersentak. Clara terkekeh dan duduk di samping Fabian.
"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Clara. Fabian terdiam lama sambil mengetuk meja dengan tangannya.
"Aku menyukai seseorang. Tapi Bella, yang memaksaku menjadi pacarnya tidak memperbolehkanku putus dengannya." Clara menatap teman sejak kecilnya prihatin.
"Apakah seseorang itu Ara?"
Fabian mengangguk. "Tahu dari mana?"
"Sikapmu berbeda di depan Ara. Aku tebak kamu punya suatu rasa padanya. Pasti sulit untukmu berpura-pura pacaran dengan Bella. apalagi Ara benar-benar mengira kalian serius." Clara menatap Fabian dengan penuh rasa kasihan.
"Ngomong-ngomong, kenapa kamu ada di sini?" tanya Fabian.
"Aku memimpikan hal itu lagi. Dan beberapa kali aku melihatnya," cerita Clara.
"Melihatnya? Maksudmu di dunia nyata?"
Clara mengangguk. "Aku melihatnya saat aku sedang ada di tengah keramaian. Tiba-tiba aku melihat sesosok anak kecil dengan alat bantu dengar. Orang itu bahkan memakai baju yang terakhir kali Gerald pakai saat dia tertabrak."
"Ayolah Clara, kamu berhalusinasi."
"Tapi aku benar-benar melihatnya."
Fabian duduk menghadap Clara dan membelai kepalanya. "Sepertinya kamu kelelahan. Gerald sudah meninggal. Kita bahkan hadir dalam pemakamannya."
Clara terisak. "Sepertinya aku benar-benar merindukannya. Mengapa saat itu aku menangis?"
Fabian memeluknya sambil membelai kepalanya. "Jangan menyalahkan dirimu sendiri, Clara. Itu salahku dan Ervin juga. Itu salah kita bertiga dan Gerald. Lagipula itu sudah berlalu. Jalanilah hidupmu sekarang. Jika kamu benar-benar merindukannya, kita akan pergi ke kuburannya setelah pulang nanti."
Clara mengangguk.
Fabian tersenyum. "Bel sudah berbunyi. Basuhlah wajahmu dan masuk ke kelasmu."
????????????
Ara menatap kedua sosok itu dengan sedih. Apakah itu seperti yang dia pikirkan? "Aku tidak menyangka Clara pacaran dengan Fabian. Aku tidak akan pernah percaya jika tidak melihat kejadian barusan."
Ara berjalan lesu. Haruskah dia menyerah. Lagipula Clara adalah temannya. Haruskah dia merelakan Fabian untuk Clara? Jantungnya berdenyut cepat dan meninggalkan rasa sakit di hatinya.
"Dengar ini Ara. Mungkin saja ini kesalahpahaman. Mungkin saja Clara sangat sedih sehingga Fabian terpaksa menghiburnya. Kan, Fabian teman masa kecil Clara," gumam Ara.
Teringat kembali olehnya kejadian kemarin. Clara berada di pantai, bermain air bersama Fabian. Mengapa Clara tidak mengajaknya? Apakah benar semua yang dipikirkannya itu?
Ara menghela napas. "Pikirkan hal ini setelah sekolah, Ra. Bel sudah berbunyi." Ara berjalan lemas ke kelasnya.
????????????
Bella tidak bisa fokus sama sekali di kelas. Sejak tadi ada dua hal yang dipikirkannya. Mengapa dia merasa iba pada kakak kembarnya? Apakah dia akan berhenti menyakiti hati Ara? Bella mengacak rambutnya kesal.
Diva menyenggolnya untuk menyuruhnya fokus kembali. "Pikirkan hal itu nanti. Kalau kau berencana kembali melakukan hal itu, aku sarankan kamu ceritakan hal-hal buruk tentang Kak Ara," bisik Diva.
Bella mengangguk. Ide yang diberitahu Diva tidak begitu buruk. Dengan segera, diketikkannya pesan untuk Fabian.
Bella
Kak Fabian!
Fabian
Ada apa?
Bella
Apa kakak ingin sebuah rahasia tentang Kak Ara?
Fabian
Hm, boleh.
????????????
@silviagina makasih sudah mampir dan baca ceritaku ini :)
Comment on chapter 1. Ara & Bella