Matahari bersinar lembut, menghangatkan suasana kelasku yang sepi. Hanya aku dan Jenny yang berada di dalam kelas. Menghabiskan dua kotak sandwich serta sebotol jus mangga. Sebetulnya Jenny yang request makanan ini kepada Papaku. Ah entahlah, Jenny benar-benar keterlaluan, bagaimana bisa ia meminta Papaku untuk membuatkan sandwich seperti kemarin sore. Dan aku tak habis pikir, Papaku mengiyakan ucapan Jenny. Papa berkata bahwa ia sangat senang jika harus membuatkan dua bekal makan siang untukku dan Jenny, seperti punya dua orang anak katanya. Coba saja Papa tahu bahwa Jenny memendam perasaan lain. Perasaan yang tak sewajarnya ada pada sahabatku itu. Entah Jenny benar-benar memiliki perasaan itu atau tidak, aku tetap merasa illfeel jika Jenny terus mengatakan ia ingin menjadi Mama tiriku.
Jenny meneguk tetes terakhir jusnya, ia tersenyum lebar sembari mengangkat jempol. Aku menepuk dahi, membayangkan jika aku memiliki Mama tiri seperti Jenny. Hal ini tentu tak boleh terjadi. Terlebih sosok Mama masih terus teringat di benakku dan Papa.
"Jel, Papamu pandai memasak. Aku jadi semakin kagum, Jel. Dan semakin gak sabar juga untuk jadi Mama tirimu, hehe"
Benar apa kataku. Jenny lagi-lagi mengatakan hal itu. Aku menggeleng kepala. Tak mau ambil pusing kali ini.
"Jel, kalau aku jadi Mama tirimu, kita satu rumah, Jel. Pasti seru. Dan sangat menyenangkan jika setiap hari aku harus memakan masakan Papamu yang ganteng itu, Jel" Lanjut Jenny. Mataku membelalak. Tidak, aku harus bisa bersikap tenang agar Jenny bosan menggangguku.
"Setiap hari kita bisa main bareng, Jel. Bertiga sama Papamu. Kita bisa nonton film bareng berempat, Jel" Lanjut Jenny lagi.
"Berempat?" Tanyaku heran. Jenny mengangguk cepat. Ia tersenyum semringah. Wajahnya mulai memerah.
"Tentu berempat, Jel. Berlima juga bisa, sama-" Jawab Jenny. Aku semakin heran. Jenny tertawa pelan sembari mengelus perutnya. Oh tidak! Adik? Itu pasti yang dimaksud Jenny. Sungguh amat keterlaluan, bagaimana bisa Jenny membayangkan hingga sejauh itu.
"Cepat bersiap, Jen. Sebentar lagi kita harus kumpul ekskul di aula" Ucapku mengalihkan pembicaraan sekaligus membuang rasa kesalku.
"Oke, Jel" Jawab Jenny singkat. Ia merapikan kotak makan dan botol minum diatas mejanya. Begitupun denganku.
"Jel, kamu ikut aku kan?"
"Iya, Jen. Kita ke aula bersama"
"Bukan itu, Jel"
Aku menoleh ke arah Jenny. Jenny masih sibuk mencari sesuatu di dalam tasnya.
"Ekskul memasak. Kamu ikut aku kan?" Lanjut Jenny.
"Aku ikut KIR, Jen" Jawabku singkat. Jenny segera menoleh ke arahku. Seolah tak menyangka bahwa aku akan memilih ekskul yang lebih banyak diminati anak IPA dibanding anak IPS.
"Serius, Jel? Yahhh.. Kita gak satu ekskul dong" Jenny menatapku sedih. Setelah berpikir panjang, aku akhirnya memilih KIR, bukan hanya karena saran Kak Zearon. Tetapi mungkin akan lebih baik jika aku ikut mempelajari lebih banyak materi sains pada ekskul itu. Selain ilmu sosial yang selalu ku pelajari.
"Tak apa, Jen. Di sana kamu pasti mendapat teman baru kok" Ucapku menasehati. Jenny mengangguk pelan. Ia kemudian kembali sibuk dengan tasnya.
"Kamu cari apa, Jen?" Tanyaku.
"Formulir ekskul, Jel. Yang diberikan Kak Zearon itu lho"
"Oh ini maksudmu?" Ucapku. Aku menunjukan selembar kertas yang berada dalam genggaman tanganku. Jenny mengangguk melanjutkan mencari.
"Coba cari di laci mejamu" Saranku. Jenny menurut, memeriksa laci mejanya. Dan ia menggeleng. Tanda tak menemukannya.
"Di dalam buku mungkin, Jen. Coba cari" Jenny kembali menggeleng.
"Di tempat pensilmu. Di kotak makan. Di saku seragammu. Di kamarmu. Mungkin tertinggal" Ucapku panjang lebar. Jenny segera memeriksa saku seragamnya. Jenny tersenyum, ia menemukan formulir itu. Formulir yang telah ia lipat menjadi bagian kecil.
"Oh iya, Jel. Aku ingat, setelah minta tanda tangan dari supir taksi, aku langsung menyimpannya di saku seragamku" Jenny nyengir lebar.
"Apa katamu? Supir taksi?"
"Iya, Jel. Aku baru mengisinya tadi pagi. Orangtuaku belum pulang. Jadi aku minta tanda tangan Pak supir taksi aja deh" Ucap Jenny menjelaskan. Aku menggeleng kepala. Ada-ada saja tingkah Jenny ini.
Kami segera berjalan menuju aula yang letaknya tak jauh dari kelas kami. Aula terasa sesak beriringan dengan semakin banyaknya siswa-siswi yang berdatangan. Aku dan Jenny baris paling belakang, mendengarkan Bu Sophie berbicara mengenai program ekstrakurikuler sekolah. Tak lama, kami pun dibagi menjadi beberapa kelompok sesuai dengan ekstrakurikuler yang kami pilih untuk mengikuti sosialisasi ekstrakurikuler atau yang lebih sering disebut 'ekskul'. Untuk KIR, berkumpul di lab biologi, dan ekskul memasak di lab tata boga. Sedangkan ekskul lain, aku tak tahu.
Jenny merengek kepadaku agar menemaninya ke lab tata boga. Biar bagaimanapun aku harus segera menuju lab biologi yang arahnya berlawanan dengan lab tata boga.
"Tak apa, Jen. Kamu pasti mendapat teman disana" Bujukku. Jenny menekuk wajahnya.
"Ijel, kamu ikut ekskul memasak aja yuk. Kita bisa makan banyak nantinya. Pasti menyenangkan" Rengek Jenny. Aku menggeleng tegas. Ku lihat rombongan KIR yang dipimpin Kak Zearon semakin menjauh.
"Jel, Jen. Kelas memasak kumpul dimana? Aduh aku terlambat"
"Kamu ikut ekskul memasak, maksudku kelas memasak, Johan?" Tanyaku. Johan tampak terengah-engah. Sepertinya ia habis berlari.
"Iya, Jel. Kumpulnya dimana ya?"
"Di lab tata boga, Johan. Kalau gitu, kamu bareng Jenny aja, Johan"
"Jen, kamu kelas memasak juga?" Tanya Johan. Jenny mengangguk pelan.
"Ayo, Jen. Kita kesana. Aku sudah terlambat" Lanjut Johan. Jenny menatapku sekilas, aku mengangguk, meyakinkan Jenny bahwa ia akan mendapat banyak teman di sana.
Jenny dan Johan berlalu. Tak lama, aku sudah sampai di lab biologi. Peminat KIR cukup banyak. Mungkin sekitar 30 orang atau lebih. Aku duduk di belakang, tak ada yang ku kenal di sini. Tak apa, seperti nasehat yang ku berikan kepada Jenny. Aku juga nanti bisa mendapatkan teman di sini. Kak Zearon selaku ketua KIR dan Bu Poppy selaku pembina KIR mulai menjelaskan mengenai program KIR selama satu tahun ajaran. Aku cukup menyimak banyak dari belakang sini. Tampak menarik, tak menyesal aku memilih ekskul ini.
"KIR juga?"
"Eh?" Kagetku. Aku menoleh ke kanan melihat seseorang yang menyapaku. Axel, dialah Axel. Aku mengangguk pelan.
"Bu-bukumu, nanti aku kembalikan. Aku sudah selesai mengerjakan tugasnya" Ucapku sedikit terbata. Axel menoleh ke arahku.
"Sudah selesai bacanya?" Tanyanya. Aku menggeleng.
"Selesaikan dulu"
"Tapi-"
"Selesaikan. Baru kamu boleh mengembalikannya" Potong Axel. Aku mengangguk pelan. Jujur saja, aku memang ingin menyelesaikan membaca buku itu. Tapi aku selalu merasa tidak enak jika meminjam barang oranglain terlalu lama. Kami kembali memperhatikan Bu Poppy yang saat ini sedang menjelaskan mengenai kegiatan ekskul pertama yang akan dilaksanakan esok.
Sosialisasi ekskul berjalan lancar hingga bel pulang sekolah sudah terdengar. Aku segera menuju kelasku, bersiap untuk segera pulang. Dalam perjalanan menuju kelas, aku beriringan langkah dengan Axel, meski tanpa bercengkrama. Benar kata Johan, Axel kelas IPS 6. Kelasnya tepat berada di atas kelasku. Aku tersenyum kecil segera berlari masuk ke kelas.
Ruang kelas sudah cukup sepi. Hanya ada beberapa tas yang masih di dalam kelas. Ku pikir hanya sosialisasi KIR saja yang cukup lama, tapi ternyata kelas memasak pun sama. Buktinya tas Jenny masih berada di laci mejanya. Aku segera memesan taksi untuk pulang ke rumah. Meninggalkan Jenny yang ku pikir bisa pulang bersama dengan Johan.
***
Senja yang tenang. Aku terduduk di teras rumahku menunggu Papa yang sebentar lagi pulang. Sesekali aku menatap langit yang indah, tak mendung serta tak tertutup awan. Langit sore memang indah. Aku mendengarkan musik klasik dengan earphone yang menutupi telinga. Amat tenang.
Drrtdrtt..
Ku lirik ponselku yang bergetar, tanpa mematikan musik yang sedang ku dengar. Satu pesan masuk dari Jenny.
Jenny : "Jel, besok ekskul berangkat jam berapa? Pakai baju apa? Dan bawa apa? Kamu naik apa?"
Aku menepuk dahi. Bukankah ia sudah ikut sosialisasi ekskul memasak di lab biologi? Seharusnya ia tahu apa saja yang harus disiapkan. Barangkali jika Jenny lupa, ia bisa bertanya kepada Johan yang satu ekskul dengannya.
"Kita lain ekskul, Jen. Aku jam 8, pakai pakaian sopan dan rapi, untuk esok aku hanya membawa alat tulis. Papa yang mengantarku"
Jenny : "Wah, kalau gitu aku bareng kamu ya. Tadi aku tertidur saat Bu Maya menjelaskan ekskul memasak. Jangankan memberitahu, membangunkanku saja Johan lupa. Bayangkan Jel, aku ditinggal sendirian di lab biologi. Apa itu yang disebut teman?"
Lagi-lagi aku menepuk dahi. Pantas saja aku tak melihat Jenny saat pulang sekolah. Gadis itu benar-benar ceroboh. Bagaimana bisa ia tertidur ditengah keramaian.
"Iya, Jen" Jawabku singkat disertai emoticon senyum. Tak ingin aku membahas soal Johan, toh mereka akan semakin ribut nantinya.
Pukul 4, mobil Papa sudah terparkir rapi di garasi. Aku menghampiri Papa, menyambut kedatangannya. Papa pun ikut tersenyum.
"Selamat sore, Tuan Putri Arinzell. Kamu sudah makan belum?" Tanya Papa. Aku menggeleng tersenyum. Papa mengacak-acak rambutku gemas.
"Ayo kita masuk, nanti Papa buatkan makanan spesial untuk kamu" Lanjut Papa. Aku mengangguk cepat. Kami melangkah menuju ruang makan. Aku membantu Papa memasak. Sungguh menyenangkan masak bersama Papa. Kami tersenyum dan tertawa bersama. Tak ada kata lelah dalam dirinya. Aku bersyukur memiliki Papa.
Tidak terasa hari mulai menggelap. Aku duduk di kursi belajarku sambil membaca buku biru itu. Banyak sekali pengetahuan yang aku dapat dari buku itu. Aku membacanya perlahan tanpa sadar aku sudah hampir menyelesaikannya. Target malam ini adalah membaca buku itu hingga selesai, agar besok aku bisa mengembalikannya.
"Ijel, kamu sudah tidur, Nak?"
Tanya Papa dari luar pintu kamarku. "Belum, Pah" Jawabku.
Papa membuka pintu kamarku, ia membawakan segelas susu coklat hangat. Aku tersenyum kepada Papa. Papa membalas senyumku, ia menaruh susu coklat itu di meja belajarku. Pukul 8, aku masih belum bisa tidur.
"Kamu masih membaca buku itu, Jel?" Tanya Papa. Aku mengangguk sembari meminum segelas susu coklat yang dibuatkan Papa.
"Bukannya kamu mau mengembalikannya?" Lanjutnya. Aku meneguk tetes terakhir susu coklat buatan Papa. Lalu menaruh gelasnya kembali di atas meja belajarku.
"Ijel mau mengembalikannya, Pah. Tapi gak boleh"
"Lho kenapa?" Papa sedikit Heran.
"Katanya Ijel harus selesai membacanya baru boleh mengembalikannya"
"Wah, temanmu itu baik sekali ya, Jel" Papa tersenyum lebar. Aku mengangguk.
"Iya, Pah. Ijel mau selesaikan membacanya. Agar besok bisa Ijel kembalikan"
"Oh iya, besok kamu ekskul, Jel? Papa dengar kamu ikut KIR?" Aku sedikit bingung, dari mana Papa tahu sedangkan aku belum memberitahunya.
"Iya, Pah. Ijel ikut KIR" Jawabku. Mungkin Papa ingat sejak aku meminta tanda tangannya di formulir ekskul. Tapi saat meminta tanda tangan Papa, aku bahkan belum sama sekali mengisi formulir itu, memilih ekskul pun belum.
"Oh iya, Pah. Besok Jenny-"
"Iya, Jel. Besok Jenny bareng kita. Papa antar kalian ke sekolah" Potong Papa. Aku semakin bingung.
"Darimana Papa tahu?" Aku memutuskan bertanya. Papa tersenyum, menunjukan ponselnya.
"Tadi Jenny telepon Papa" sontak mataku membelalak sempurna. Anak itu, darimana ia tahu nomor telepon Papaku. Benar-benar kelewatan.
"Ya sudah, Jel. Lanjutkan bacanya, Papa tinggal dulu ya" Papa mengelus rambutku lembut, lalu berlalu sembari membawa gelas susu coklat yang sudah ku minum. Aku melanjutkan membaca, tak sabar untuk menyelesaikan halaman terakhir. Dan tak sabar pula menunggu hari esok. Bukan menunggu Axel, melainkan tak sabar memarahi Jenny karena ulahnya.
***
Aku membuka tirai jendela kamarku, matahari bersinar terang, langit cerah berawan, pagi yang indah. Aku memakai sepatu sketku dan mengikat setengah rambutku, membiarkan setengahnya tergerai indah di antara kemeja merah muda yang aku kenakan. Sedikit liptint dan bedak tipis, senyumku mengembang indah, tak sabar untuk ke sekolah. Aku membawa ransel kecil berukuran 30x20 berwarna merah muda senada dengan kemeja yang ku kenakan. Tak lupa aku memasukan alat tulisku dan buku biru itu. Ya, aku berhasil menyelesaikan halaman terakhir tepat pukul 9 malam.
Dari bawah sana, aku dapat mendengar suara wajan dan blender, Papa sedang memasak. Aku menuruni anak tangga dengan cepat. Hari sabtu, Papa libur bekerja dan aku hanya ekskul di sekolah. Papa menyambutku dari bawah tangga, ia tampak lebih muda dengan kaus putih dan jeans selutut yang ia kenakan. Tunggu, jika Papa menyambutku tepat dibawah tangga, lalu suara wajan dan blender? Oh tidak, benar saja, lihatlah Jenny sedang asyik membuat jus di dapur sana. Wajahnya semringah, ia melambai ke arahku. Aku menatapnya sekilas, lalu menghampirinya. Sedangkan Papa, Papa naik ke atas tangga, mengangkat ponselnya yang berdering.
"Pagi, Jel" Sapa Jenny. Aku mengangguk malas.
"Jangan gitu dong sama calon Mamamu ini. Lihatlah aku sudah bisa memasak, Jel"
Aku menatap Jenny lagi, ia sangat bersemangat, tak peduli celemek yang dikenakannya tampak kotor dengan sisa-sisa bumbu masakan. Dan tunggu dulu, asap kenapa ada asap dibelakang Jenny?
"Jen" Ucapku pelan. Aku menunjuk asap yang berada dibelakang Jenny. Jenny tampak tak mendengar, ia terlalu asyik membuat jus. Aku segera berdiri menghampiri sumber asap. Dan lihatlah, ayam goreng yang dibuat Jenny hangus serta wajan yang dikenakannya mengeluarkan api. Aku menepuk Jenny cepat. Jenny terkejut melihat api di belakangnya. Kami segera mematikan kompor dan melempar serbet basah ke atas wajan yang terbakar. Aku menyeka peluh di dahi, hampir saja terjadi kebakaran di rumahku.
Papa menuruni anak tangga, ia menghampiri aku dan Jenny yang berada di dapur, tampaknya suara teriakan panik kami cukup terdengar sampai atas sana, sehingga dengan cepat Papa menghampiri kami. Wajah Jenny tampak pucat, begitupun denganku, wajahku berkeringat, bedak yang ku kenakan pun luntur. Bukan itu masalahnya, melainkan kondisi dapur yang amat berantakan, air dan minyak berceceran di lantai, serta jus jambu yang tumpah dari blender. Habislah riwayat kau, Jenny!
"Ada apa ini?" Tanya Papa pelan. Jenny menunduk takut. Papa pun mengangguk pelan.
"Tak apa Jen. Namanya belajar pasti ada saja tantangannya" Ucap Papa lembut. Jenny mengangkat wajahnya. Ia tercengang dengan ucapan Papaku yang justru tidak memarahinya. Begitulah Papa, ia pandai mengatur emosi, walau bagaimanapun Papa selalu saja bersikap lembut, kepada siapapun itu.
"Ma-maafkan Jenny, Om Chef" Ucap Jenny sedikit terbata. Papa mendekat ke arah aku dan Jenny.
"Ijel, tolong ajak Jenny ke kamarmu. Tampaknya ia masih shock" Aku segera mengangguk.
"Nah, Jenny. Kamu ikut Ijel ke kamarnya ya. Biar kekacauan ini Om bereskan" Lanjut Papa. Jenny kembali mengangkat wajahnya.
"Om Chef tidak marah?" Tanya Jenny. Papa menggeleng.
"Untuk apa marah. Om justru senang Jenny main ke sini, temenin Ijel. Bahkan Jenny mau membantu Om memasak"
"Ta-tapi-" Ucap Jenny terbata. Ia masih terlihat takut dan merasa bersalah atas kejadian ini.
"Tak apa, Jen. Papaku itu baik, ia tidak akan marah. Apalagi sama calon-"
"Aduh!" Teriakku pelan. Jenny mencubit lenganku. Wajah Jenny sedikit memerah.
"Ayo, Jen. Kita ke kamarku. Masih pukul 7, kita berangkat jam 8" Ucapku. Jenny mengangguk segera ikut aku menuju kamarku.
Aku memang sering kesal atas sikap Jenny yang selalu membuat ulah. Namun, melihat wajahnya sendu seperti tadi, hatiku luluh. Ia memang Jenny, Jenny sahabatku. Walau bagaimanapun sikapnya, ia tetaplah sahabatku.
"Oh iya Jen, kamu ke rumahku jam berapa?" Tanyaku sembari membuka pintu kamarku. Jenny segera duduk di atas ranjangku.
"Jam 6, Jel. Aku memang sengaja bangun pagi, ingin bantu Papamu memasak. Tapi aku malah membuat ulah" Jawab Jenny. Wajahnya kembali sendu. Begitupun denganku, aku merasa malu kepada Jenny. Jenny yang rumahnya cukup jauh pun rela datang pagi ke rumahku hanya untuk membantu Papaku memasak. Sedangkan aku yang satu rumah dengan Papa, sangat jarang membantu Papa. Seharusnya walau Papa melarangku membantunya aku harus tetap membantunya karena itulah kewajibanku sebagai seorang anak. Aku akan menerapkan hal itu. Jenny, walau sikapnya menyebalkan, ia selalu bisa membuatku tersadar betapa pentingnya hidup ini.
"Tak apa, Jen. Tak perlu sedih. Aku bangga punya teman sepertimu" Ucapku menatap Jenny.
"Aku kan bukan temanmu, Jel"
"Oh iya, maksudku sahabat"
"Tidak juga, Jel" Aku melotot bingung, jika bukan teman ataupun sahabat, lalu?
"Aku calon Mama tirimu" Lanjut Jenny. Aku menepuk dahi. Sikap menyebalkannya kini keluar lagi. Sontak aku segera melempar guling ke wajahnya. Kali ini Jenny telat menghindar.
Pukul 7.30. Papa memanggilku dan Jenny. Kami segera menuju ruang makan. Dapur yang sebelumnya tampak kacau kini berubah menjadi bersih seperti semula. Papa membawa 3 gelas susu coklat disertai kebab yang dibuatnya. Jenny tak lagi sendu seperti tadi, wajahnya berbinar ketika Papaku tersenyum ke arahnya. Terlebih Jenny amat bersemangat menghabiskan sarapannya. Tak banyak yang kami bicarakan di ruang makan. Semua kembali seperti semula, Jenny yang ceria, Papa yang ramah dan aku yang tetap biasa saja. Meski begitu aku bersyukur memiliki dua orang yang sangat menyayangiku.
Papa mengantar aku dan Jenny ke sekolah. Seperti biasa kami turun di depan gerbang sekolah. Suasana sekolah sudah mulai ramai, terlihat jelas dari luar gerbang. Papa melambai ke arahku dan Jenny kemudian berlalu dengan mobilnya. Jenny menggandeng tanganku, kami segera masuk ke dalam sekolah.
Tepat 10 menit sebelum ekskul dimulai, Johan datang dengan napas terengah-engah. Ia menghampiri aku dan Jenny yang tak jauh darinya. Kami mengobrol sebentar sebelum berpisah di ruang aula. Inilah hari pertama ekskul, meski belum memiliki teman dekat, setidaknya aku nyaman dengan ekskul yang ku pilih, begitupun dengan Jenny dan Johan, yang sangat bersemangat memulai kelas memasak. Tak ada trauma memasak sedikit pun dari Jenny, itulah yang membuatku kagum dengannya, ia selalu bisa bangkit dalam keadaan apapun itu.
Aku memasuki lab biologi, tampak di depan sana Kak Zearon dan Bu Poppy sedang berbincang. Kak Zearon tersenyum ke arahku, aku membalas senyumnya sopan. Setelah itu aku segera duduk di antara keramaian. Ekskul pertama akan segera di mulai dengan percobaan membuat listrik menggunakan buah. Aku sangat antusias.
"Hai, kenalin aku Dita. Kamu?" Ucap seorang perempuan dengan rambut sebahu dan kaus hitam yang dikenakannya. Tampak tomboy, namun terlihat ramah.
"Arinzell, panggil aja Ijel" Jawabku. Ia tersenyum ke arahku. Kami cukup dekat kali ini, ia satu kelompok denganku. Dan tentu saja kami beda kelas. Dita kelas 10 IPA 2 dan aku kelas 10 IPS 5.
Kelompok kami berjumlah 5 orang. Tentu bukan hanya Dita yang ku kenal. Ada Ririn, Fiya, Nana dan satu lagi Axel. Meski Axel terlambat hadir. Tak percaya namun inilah takdir, aku segera mengambil buku biru dari dalam tasku lalu menyerahkannya kepada Axel. Axel menggeleng.
"Nanti saja" Ucapnya. Aku mengangguk pelan.
Ekskul dimulai, kami mulai sibuk menyiapkan perlengkapan. Dan Axel, tentu ia menjadi ketua di tim kami. Meski anak IPS, kecerdasannya memang sangat luar biasa. Aku semakin kagum dengannya. Kami semakin sibuk merancang aliran listrik yang akan kami buat, dengan cepat lampu kecil kami menyala. Lihatlah kelompok kami lebih dulu menyelesaikannya, meski Bu Poppy belum selesai menjelaskan mengenai cara pembuatannya.
"Jadi KIR juga?"
"Eh? Oh iya kak, hehe" Ucapku sedikit kaget. Kak Zearon menghampiriku tiba-tiba. Ia melihat hasil kerja kelompokku yang memuaskan. Meski semua ini karena Axel, aku cukup senang sekali.
"Lanjutkan ya, Jel. Meski anak IPS kamu harus bisa belajar sains lebih dalam. Semangat!" Lanjut Kak Zearon. Aku mengangguk tersenyum. Lalu kembali sibuk dengan kelompokku.
"Jel, kamu dekat dengan Kak Zearon?" Tanya Dita. Aku menggeleng.
"Aku tidak terlalu mengenalnya, Dit"
"Hati-hati, Jel. Jika terlalu dekat, kamu bisa diserbu oleh fans-fansnya Kak Zearon" Lanjut Dita. Pipiku memerah, merasa malu jika diejek seperti itu. Lagi pula aku memang bukan siapa-siapa Kak Zearon. Tak ada perasaan apapun, dan kami pun baru kenal beberapa hari lalu. Cukup risih aku jika dibilang dekat dengan Kak Zearon.
"Ijel, ini untuk kamu. Silakan isi ya" Kak Zearon kembali, ia memberiku selembar kertas formulir. Aku membacanya bingung.
"Tak apa, Jel. Di sana ada mata pelajaran IPS kok, seperti Ekonomi dan geografi" Ucap Kak Zearon menjelaskan. Aku mengangguk pelan. Kak Zearon berlalu sembari membagikan formulir itu ke seluruh anggota KIR.
"Tuh kan. Kamu orang pertama" Ejek Dita. Aku menatapnya risih. Dita dan Fiya tertawa. Sedangkan yang lain masih fokus membaca formulir itu.
"Nah teman-teman mungkin kalian bingung mengenai formulir itu. Akan Kakak jelaskan sedikit mengenai program tahunan dari KIR, harap disimak baik-baik ya" Ucap Kak Zearon menjelaskan, lab biologi tampak lengang, menunggu Kak Zearon menjelaskan.
"Baik, jadi KIR selalu mengadakan kelas bimbingan khusus untuk mata pelajaran sains. Dapat kalian lihat sendiri mata pelajarannya di formulir itu. Nah, tentunya kelas bimbingan ini sangat bermanfaat untuk kalian, maka dari itu untuk dapat bergabung harus diadakan yang namanya seleksi"
"Yahhhhhhh" Sahut beberapa murid mengeluh. lab Biologi mulai terdengar ramai.
"Harap tenang ya teman-teman. Seleksi ini akan diadakan nanti sekitar pukul 10. Jadi yang mau ikut silakan isi formulirnya lalu kumpulkan ke Kakak. Oh iya, kenapa sih kak, kok dadakan? Nah mungkin kalian berpikir seperti itu. Seleksi ini dadakan karena untuk menguji beberapa kalian yang benar-benar serius belajar di kelas. Maka dari itu diharapkan ikut semua dan jangan takut untuk mencoba ya!" Lanjut Kak Zearon menjelaskan. Aku sedikit mengerti, namun apa orang sepertiku bisa mengikuti seleksi ini? Entahlah, rasanya aku enggan mengikutinya. Aku segera melipat formulir itu lalu memasukannya ke dalam tasku.
Pukul 09.30. Kelas KIR dibubarkan, aku keluar lab Biologi untuk segera pulang ke rumah. Tak lupa aku mencari Axel untuk mengembalikan bukunya sebelum aku pulang. Tepat sekali, Axel baru keluar lab Biologi. Aku menghampirinya, ia terlihat terburu-buru.
"Axel!" Teriakku memanggil. Axel menoleh, jarak kami tak begitu dekat. Aku mengeluarkan buku itu menunjukan padanya.
"Kembalikan saat kau ikut seleksi. Jangan lupa kabari aku. Aku ada urusan"
Deghhh..
Axel berlalu. Aku tercengang. Mudah sekali ia berkata seperti itu. Aku tak berminat untuk mengikuti seleksi itu, tapi bagaimana dengan buku ini. Terlebih ia meminta aku mengabarinya saat seleksi akan dimulai. Oh Tuhan bagaimana ini.
"Ijel, kamu sudah pulang? Yuk pulang bareng. Aku ingin main ke rumahmu, Papamu sedang libur kan?" Jenny menepuk bahuku. Menyadarkanku dari lamunku.
"Kelas memasak tidak seru, Jel. Bayangkan aku harus satu kelompok dengan Johan. Kami membuat cup cake bersama. Namun karena Johan salah memasukan bahan, cup cake kamilah yang paling buruk. Asin dan tak manis, tidak mengembang pula. Entah apa isi pikirannya, ia bahkan tak bisa membedakan yang mana garam dan yang mana gula" Curhat Jenny panjang lebar. Aku hanya mengangguk.
"Coba lihat ini, Jel. Aku sudah membeli banyak bahan kue. Aku ingin membuat kue bersama Papa kamu. Mungkin Papa kamu bisa memberitahuku resep rahasia cupcake lembut dan enak" Lanjut Jenny.
"Maafkan aku, Jen. Aku masih ada urusan di sini. Kamu pulang duluan saja ya"
Jenny sedikit menekuk wajahnya. Aku tahu ia mungkin kecewa denganku. Terlebih kejadian kelas memasak yang membuat hatinya semakin tak karuan.
"Tak apa, Jel. Aku pulang dulu ya" Ucap Jenny pelan. Aku mengangguk mengiyakan. Jenny berlalu dengan cepat bersama 2 kantung besar berisi bahan-bahan kue.
10 menit lagi seleksi di mulai. Dengan berat hati aku harus datang ke ruang seleksi. Menunggunya untuk mengembalikan buku miliknya. Suasana cukup ramai, kursi dan meja sudah hampir penuh dengan peserta seleksi. Aku duduk di depan ruangan yang kebetulan adalah kelasku. Teringat bahwa aku harus mengabari Axel jika seleksi akan di mulai. 5 menit lagi, waktu semakin cepat berlalu. Bagaimana bisa aku mengabarinya jika aku sendiri pun tak tahu dimana keberadaannya. Jangankan keberadaannya, nomor ponselnya pun aku tak punya.
Kak Zearon berjalan cepat beriringan dengan Bu Poppy. Mereka membawa 2 amplop besar berisi lembaran soal. Semua peserta yang ada di luar kembali masuk ke dalam kelas. Kecuali aku. Ya, aku yang tak berminat mengikuti seleksi ini.
"Ijel, cepat masuk. Seleksi akan di mulai" Seru Kak Zearon. Aku semakin kebingungan.
"Ta-tapi"
"Cepatlah sebelum Bu Poppy marah" Lanjutnya sembari menunjuk punggung Bu Poppy yang sudah lebih dulu masuk ke ruangan seleksi.
Tanpa berpikir panjang, Kak Zearon menarik tanganku. Kami masuk ke ruang seleksi bersama. Oh Tuhan, aku harus apa? Axel tak ada, menghubunginya saja aku tak bisa. Aku segera duduk di kursi belakang, dengan keringat yang bercucuran di wajah. Sungguh aku amat bingung. Dan kini aku malah terjebak di ruang seleksi.
Bu Poppy membagikan lembaran soal, aku semakin bingung. Aku segera mengambil pensilku, mengisi soal yang aku mengerti. Ada banyak sekali soal, yang kebanyakan adalah soal IPA. Tak apa, masih ada sedikit pelajaran IPS pada soal itu, aku bisa mengerjakannya pelan-pelan. Meski aku tak berminat mengikuti seleksi, aku tak bisa mengerjakan soal dengan jawaban asal-asalan.
"Maaf saya terlambat"
Aku menoleh, menatap pemilik suara di depan. Lelaki berjaket merah, Axel. Ia akhirnya datang. Setelah mengambil soal dari Bu Poppy, Axel segera menempati kursi kosong di belakangku. Ingin aku menyapanya, meminta maaf karena tidak memberinya kabar saat seleksi akan dimulai. Tapi saatnya belum tepat. Ia begitu serius mengisi soal yang baru ia terima.
Ruangan seleksi amat lengang. Semua sibuk mengerjakan soal yang ada. Kecuali aku, aku yang kebingungan saat menatap soal IPA. Hanya beberapa soal yang aku bisa kerjakan. Bu Poppy berjalan mengawasi sembari memberitahu bahwa 3 menit lagi waktu habis. Semua peserta terlihat panik kali ini. Kecuali aku, yang sudah pasrah dengan jawabanku.
3 menit berlalu, kami mengumpulkan lembar jawaban disertai formulir yang sudah kami isi. Aku segera bersiap mengambil tasku. Mengikuti seleksi ini benar-benar menguras kemampuanku. Dan lihat, Axel. Ia tak ada di kursinya. Aku menepuk dahi. Kenapa ia selalu pergi. Bahkan aku belum sempat mengembalikan bukunya. Hari semakin siang, ruang seleksi semakin sepi, aku berjalan lunglai ke depan gerbang mencari taksi. Ingin rasanya aku segera berbaring di ranjangku yang empuk. Mencari Axel benar-benar membuatku semakin lelah.
Adalah 3 menit bagiku untuk mendapatkan taksi. Meski Papa menawarkan untuk menjemputku, rasanya aku ingin pulang sendiri selain tak memerlukan waktu lama untuk menunggu Papa. Aku memasuki taksi sembari memijat pelipisku yang terasa amat pusing. Hari ini benar-benar melelahkan.
Mobil Papa masih terparkir rapi di garasi. Aku membuka gerbang rumahku setelah membayar tagihan taksi. Seperti biasa, rumahku memang selalu terlihat sepi. Bagaimana tidak, jika hanya dihuni olehku dan Papa. Aku membuka pintu rumah, Papa menyambutku di sana. Tampaknya Papa sedang memasak. Aroma kue tercium jelas dari tempatku berdiri.
"Ijel, kamu sudah pulang? Kenapa tidak kabari Papa? Kan Papa bisa jemput kamu" Ucap Papa menghampiriku. Aku tersenyum tipis.
"Tak apa, Pah. Ijel bisa naik taksi kok. Lagi pula Papa bisa istirahat di rumah"
"Kalau gitu, ayo kita makan kue bareng. Jenny dan Johan baru saja membuat cupcake" Mataku membelalak sempurna. Apa? Jenny dan Johan? Mereka benar-benar serius belajar memasak rupanya.
"Ijel!" Panggil Jenny. Benar saja, belum juga aku memasuki dapur, Jenny dan Johan sudah menghampiriku dengan cup cake yang baru mereka buat.
"Silakan dicoba, Jel. Kali ini Johan sudah bisa membedakan yang mana garam dan yang mana gula" Seru Jenny nyengir lebar, begitupun dengan Johan yang terlihat amat bangga. Aku mengambil sepotong cup cake yang dibawa mereka. Rasanya enak, dan tak aneh.
"Papaku pandai mengajari kalian" Ejekku sembari tersenyum.
"Kamu bisa saja, Jel. Jenny dan Johan memang pandai memasak, Jel. Mereka sangat antusias" Ucap Papa. Seketika wajah Jenny dan Johan memerah. Mereka malu dipuji seperti itu.
"Jadi, kuenya enak kan, Jel?" Tanya Johan. Aku mengangkat jempol. Jenny dan Johan tertawa bersama.
"Oh iya, Pah, Jenny, Johan. Ijel tinggal ke kamar dulu ya, Ijel mau istirahat. Jenny, Johan semangat belajar masaknya!"
"Siap, Ijel!" Jawab Jenny dan Johan bersamaan. Papa mengangguk mengiyakan.
Aku segera menaiki anak tangga menuju kamarku. Ranjang yang sejak tadi aku tunggu kini sudah di depan mata. Aku melempar sembarang tasku di ranjang. Dan dengan cepat aku berbaring mengistirahatkan tubuhku yang lelah ini. Amat nikmat berbaring di kamar sendiri.
Drrttdrrt..
Suara ponselku mengagetkanku. Ku raih tasku yang kebetulan tak jauh dariku. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.
"Kenapa kau tidak mengabariku saat seleksi akan dimulai?"
Deghhhh..
"Axel?" balasku cepat.
"Iya, aku Axel"
"Kau kemana? Bukumu bagaimana? Aku sudah mencarimu kemana-mana. Maaf aku tidak mengabarimu, aku tak tahu dimana keberadaanmu"
"Simpan saja. Untukmu"
"Hah? Untukku?"
"Iya lagi pula aku sudah selesai membacanya. Kau simpan saja"
"Aku juga sudah selesai membacanya, Xel"
"Tak apa. Aku ingin kamu yang menyimpannya. Ya sudah, aku masih ada urusan. Selamat siang"
Deghhh..
Orang itu, kenapa selalu seenaknya memintaku melakukan hal yang ia mau. Sungguh sulit untukku tebak. Buku biru yang memang sangat aku inginkan kini benar-benar jadi milikku. Bukankah buku itu sudah jarang di toko buku. Dan kini dengan mudahnya ia memberikannya kepadaku. Axel, kau aneh. Kau pergi saat aku ingin mengembalikan buku milikmu. Dan kini kau juga mengakhiri pesan saat aku ingin membalasnya.
Hari semakin siang. Aku terlelap di atas ranjangku. Tanpa memikirkan Jenny dan Johan yang masih belajar memasak di dapurku.