Pagi yang cerah. Aku menuruni anak tangga dengan seragam sekolah lengkap yang sudah aku kenakan. Aroma sandwich tercium jelas dari anak tangga, tak salah lagi, papaku sedang memasak. Lelaki berusia 42 tahun itu terlihat lihai dengan celemek yang dikenakannya, tubuh tinggi besarnya tak membuatnya sulit untuk memasak. Ia memanggang sosis sekaligus membuat jus jambu dengan blender. Sejak aku lahir, Papa memang sudah menggantikan peran Mama. Mamaku meninggal saat melahirkanku, hal itulah yang membuat Papa berjuang keras untuk membesarkanku, bukan sekadar mencari uang dan menggantikan peran Mama dalam rumah tangga, melainkan Papa juga berjuang untuk meluangkan waktunya agar aku tidak kekurangan kasih sayang. Bahkan Papa rela mengganti profesinya sebagai dokter bedah di rumah sakit ternama menjadi seorang dokter anak di rumah sakit biasa. Semua itu ia lakukan agar ia bisa selalu menemaniku di rumah. Usiaku 16, meski aku sudah berani di rumah sendiri, tetap saja Papa selalu mengkhawatirkan aku.
"Ijel, kamu sudah rapi? Ayo sini, sedikit lagi masakan Papa matang" Ucap Papa, senyumnya mengembang pada pipinya yang mulai keriput. Aku mengangguk segera menuju ruang makan.
"Aduh Papa agak kesiangan Jel, jadi belum sempat membangunkan kamu tadi" Lanjut Papa. Aku menoleh melihat jam tanganku. Pukul 06.20. Lebih 15 menit dari hari biasanya.
"Bagaimana sekolahmu kemarin? Apa menyenangkan?" Papa menghampiriku dengan sandwich dan jus yang telah selesai ia buat.
"Seperti biasa, Pah" Jawabku sembari meminum jus buatan Papa. Soal masakan, Papa memang tak kalah dengan chef-chef terkemuka dunia. Bagiku, masakan Papa memang selalu lezat setiap harinya.
"10 menit lagi kita harus berangkat agar kamu tidak telat. Kamu mau Papa buatkan bekal makan siang tidak? Papa buatkan saja ya, kita gak punya banyak waktu pagi ini, jadi Papa mau kamu menghabiskan makanan kamu di mobil ataupun di sekolah" Tawar Papa, Papa memang selalu menawarkan diri untuk membuatkanku bekal sekolah. Namun aku selalu menolaknya lantaran tak ingin membuat Papa repot. Namun kali ini berbeda, sedikit bangun terlambat yang tentunya harus tetap berangkat pada jam yang sama seperti biasa.
"Pah" Cegahku saat Papa sudah beranjak bangun hendak mengambil kotak makanku yang kosong.
"Hmm.. Kalau Ijel minta 2 kotak, boleh tidak?" Lanjutku. Papa mengacak-acak rambutku pelan.
"Berapapun boleh Ijel. 100 pun boleh. Asal kamu tidak takut gemuk aja" Jawab Papaku. Aku tertawa melihat tingkahnya. Lihatlah, lelaki itu sekarag sibuk memasukkan potongan sandwich ke dalam dua kotak makan sekaligus.
Jika bukan karena Jenny. Aku enggan merepotkan Papa untuk membantuku membuat dua bekal makan siang. Meskipun Papa tak pernah keberatan, aku tetap tak enak dengan Papa.
Adalah 10 menit waktu sarapan yang sangat singkat disertai dengan membuat bekal sekolah. Aku dan Papa kini sudah beranjak dari ruang makan setelah aku membantu Papa mencuci beberapa piring kotor. Kini aku dan Papa sudah berjalan bersama menuju mobil yang sudah terparkir rapi di depan rumah kami.
"Ijel, kamu masuk mobil duluan. Papa mau ambil tas dulu"
Aku mengangguk. Menatap punggung Papa yang begitu cepat menghilang. Papa memang selalu mengantarku ke sekolah. Meski jarak sekolahku dan rumah sakit tempat Papaku bekerja berlawanan arah.
Suasana ruang makan yang tenang kini sudah tergantikan dengan suara bising klakson kendaraan. Matahari mulai menyengat meski masih pukul 06.15. Asap kendaraan terlihat dimana-mana. Pedagang asongan yang berlalu lalang membuat suasana semakin tak karuan. Tepat tadi malam, sebuah kecelakaan telah terjadi di jalan yang akan aku lalui. Membuat kemacetan berangsur lama hingga pagi ini. Papa menekan klakson mobilnya, hendak menghentikan beberapa sepeda motor yang menyalip sembarangan di sela-sela kemacetan yang semakin parah.
"Pah, Papa putar balik aja. Nanti Papa bisa telat ke rumah sakit lho" Aku melirik Papa yang mulai terlihat kesal menatap kemacetan ini.
Papa menoleh, tersenyum padaku.
"Tidak Ijel. Papa harus mengantarmu ke sekolah"
"Ijel bisa naik ojek kok. Lagi pula coba Papa lihat jalan di belakang, Papa masih bisa putar balik sekarang" Ucapku membujuk. Papa ikut melirik jalan di belakang kami yang masih sepi.
"Ijel gak akan telat kalau naik ojek, Pah" Bujukku lagi. Kali ini Papa mengangguk mengiyakan.
Aku segera turun dari mobil Papa. Papa menatapku lamat-lamat. Aku tahu dari tatapannya itu, Papa amat mengkhawatirkan aku.
"Hati-hati ya, kalau sudah sampai sekolah cepat kabari Papa. Atau jika terjadi sesuatu di jalan. Kamu juga harus kabari Papa. Semoga harimu menyenangkan, tuan putri Arinzell" Aku mengangguk, mengiyakan ucapan Papa. Papa melambaikan tangan dari dalam mobil. Aku ikut membalasnya.
Tak lama setelah mobil Papa berlalu. Ojek online pesananku sudah tiba. Aku pun bergegas menuju sekolah sebelum terlambat.
Adalah 10 menit perjalanan naik motor ke sekolah. Setelah melewati jalan tikus yang berliku akhirnya aku tiba tepat 20 menit sebelum bel masuk kelas. Suasana sekolah masih terlihat sepi meskipun beberapa murid mulai berdatangan ke sekolah. Suasana inilah yang aku suka. Pagi. Sekolah masih bersih,nyaman dan tak bising oleh keramaian. Petugas kebersihan dengan gesit membersihkan setiap sampah dedaunan yang bertaburan di taman sekolah. Aku melirik kelasku, tampaknya Jenny belum tiba. Bisa jadi Jenny terlambat karena kemacetan di jalan tadi. Setidaknya pagi ini aku bisa tenang menunggu 20 menit sebelum masuk kelas.
Aku memilih menuju perpustakaan, membaca novelku dan meminjam beberapa buku pelajaran yang belum ku pinjam. Pintu perpustakaan terbuka sedaritadi, tampak sepasang sepatu tergeletak di depan perpustakaan. Aku melangkah masuk perlahan. Astaga! Perpustakaan amat berbeda kali ini. Lihatlah beberapa meja dan kursi baru sudah tertata rapi disertai rak buku tambahan. Aku menatapnya takjub, rasanya baru kemarin aku dan Jenny bersembunyi di belakang rak buku kuno di pojok perpustakaan, kini rak buku itu sudah tergantikan oleh rak dan buku yang baru.
Aku segera melangkah mencari buku yang hendak ku pinjam. Perubahan pada perpustakaan ini membuatku sulit untuk menemukan buku di tempat biasa aku melihatnya.
"Ahhh. Dimana sih buku Sejarah" Gumamku kesal sembari berjinjit mencari buku di rak yang lebih tinggi.
"Di rak buku kedua, paling bawah. Kau dapat menemukannya disana"
"Eh" Kagetku, suara itu berasal dari belakangku. Seorang anak lelaki berjaket merah. Ia yang berbicara, meski ia tak menoleh dan tetap terfokus pada bukunya, aku tahu bahwa ia adalah anak yang kemarin aku dan Jenny temui.
"Terimakasih" Ucapku pelan. Ia tak menjawab.
Benar saja. Aku menemukan buku yang ku cari. Ruang perpustakaan mulai ramai oleh beberapa murid yang hendak meminjam buku. Setelah mengisi daftar pinjam, aku segera melangkah menuju kelas. Meski harus mengurungkan niat membaca novel di perpustakaan karena teringat aku harus segera menghubungi Papa, memberi kabar bahwa aku baik-baik saja.
***
Pagi ini jadwal pelajaran pertama adalah Sosiologi. Tepat 5 menit sebelum jam pelajaran pertama dimulai, Jenny telah terduduk rapi di kursinya. Meski nafasnya sedikit terengah-engah karena berlari, setidaknya ia tidak terlambat. Tak banyak waktu kami untuk mengobrol, karena suara highheels Bu Vera, guru Sosiologi kami amat terdengar, menandakan tak lama lagi Bu Vera akan segera tiba.
Benar saja, Bu Vera kini memasuki ruang kelas dengan laptop dan buku yang dibawanya. Wajahnya masih terlihat cantik dan anggun. Meski tak dapat dipungkiri keriput di wajahnya mulai terlihat. Guru berusia 50 tahunan itu mengenakan rok hitam dan kemeja putih, kepalanya tertutup Kerudung hitam bermotif, senada dengan rok yang dikenakannya. Dan tepat di sebelah meja Bu Vera terdapat meja kecil berisi kumpulan ponsel. Itulah salah satu peraturan dari Bu Vera, mengumpulkan ponsel sebelum jam pelajaran di mulai. Mengingat Bu Vera adalah guru Sosiologi, ia menerapkan peraturan seperti itu guna untuk mencegah hal negatif dari ponsel di mata pelajarannya. Dan ia sangat ingin muridnya belajar dengan pola pikir dan nalar yang telah diberikan Tuhan, bukan hanya sekadar browsing saja lewat internet. Maka tak dapat dipungkiri, Bu Vera adalah guru paling tegas di sekolahku.
Ruang kelas lengang. Hanya suara bu Vera yang terdengar lantang menjelaskan tugas makalah yang harus dibuat perkelompok. Beberapa murid yang duduk di belakang tampak menguap berkali-kali, padahal masih pukul 8. Bu Vera, guru sosiologi sekolah kami sangat senang berbicara. Apapun ia bahas baik topik yang berada di dalam buku maupun dalam kehidupan yang berkaitan dengan mata pelajarannya, sosiologi. Aku amat memperhatikan penjelasan Bu Vera, tak ingin salah melangkah dalam membuat makalah yang ditugaskannya.
"Baik anak-anak, sosiologi itu ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku manusia dalam bermasyarakat, termasuk dalam hal bersosialisasi. Ibu sudah menjelaskan mengenai materi sosialisasi di kelas 10. Namun nampaknya kalian mudah sekali lupa. Bagaimana tidak lupa, kalau masih pagi saja kalian sudah terlelap di atas meja" Bu Vera menatap beberapa murid yang tertangkap basa telah tertidur pulas. Aku menyeka peluh di dahi, meski bukan aku yang ditatapnya, namun tatapan Bu Vera amat terlihat menyeramkan. Meski usianya sudah kepala 5, ketegasannya tidaklah berkurang sedikit pun.
"mata pelajaran Ibu tutup saja. Kalau sampai di pertemuan selanjutnya ada yang tidak mengumpulkan makalah, jangan harap ada toleransi dari Ibu. Sekian"
Langkah kaki Bu Vera terdengar jelas. Tampaknya ia amat marah dengan kelasku sehingga ia meninggalkan kelas sebelum jamnya habis. Aku menghembuskan nafas berat. Masygul untuk bersikap tenang. Terlebih tugas makalah yang harus dikerjakan tentu harus maksimal agar Bu Vera tidak kembali marah. Ruang kelas mulai ramai oleh tawa riang beberapa murid saat Bu Vera sudah melangkah jauh. Lagi-lagi aku menyeka peluh di dahi. Inilah cobaan mencari ilmu.
"Ijel.. Ke kantin yuk" Jenny menyikutku, ia tersenyum lebar. Aku menggeleng tidak menjawab.
"Ayolah, dari pada diam di jam kosong"
"Ini bukan jam kosong, Jenny. Tentu ini adalah saat dimana kita memikirkan topik apa yang akan kita tulis dalam makalah" Ucapku menjelaskan. Jenny menekuk wajahnya. Aku tahu pasti ia tidak sependapat denganku.
"Tapi aku la-"
"Ini" Potongku sembari memberi kotak makan berisi sandwich dan sebotol jus jambu buatan Papa. Jenny melotot tak percaya. Wajahnya seketika berbinar-binar.
"Makanlah, Papaku yang membuatnya"
"Papa kamu?" Jenny mengerutkan dahi. Ia baru tahu bahwa selama ini yang selalu memasakan aku makanan adalah Papaku. Aku mengangguk, menatap Jenny yang dengan cepat melahap sandwich di hadapannya.
"Ijel. Ini sandwich terenak yang pernah aku makan" Jenny menggenggam tanganku. Ia cukup lebay kali ini. Jenny terus saja mengatakan 'enak' pada setiap suapannya.
"Papa kamu pintar masak Jelll.. Apa dia koki di restoran besar?"
Aku menggeleng. "Tidak, Papaku seorang dokter"
Jenny kembali mengerutkan dahi. "Kalau begitu pasti Papamu adalah dokter bedah ya?" Ucap Jenny asal tebak.
"Iya dulunya memang begitu. Tapi sekarang Papaku lebih memilih menjadi dokter anak. Memangnya kenapa?"
"Benar dugaanku, Jel. Lihatlah, potongan sosis ini amat rapi" Jenny benar-benar bercanda kali ini. Lihatlah, ia menerawang potongan sosis itu di dalam kelas. Lagi pula apa hubungannya potongan sosis dengan dokter bedah. Pun jika memang potongan sosis itu terlihat rapi, Papaku tak akan memotongnya dengan pisau bedah, bukan? Lagi-lagi aku menggeleng kepala.
"Asal kau tak tahu saja kalau sosis yang kau makan adalah sosis dari daging bayi landak" Aku melirik Jenny yang mulai menghentikan makannya. Entah darimana ucapan iseng itu berasal. Ku rasa cukup untuk membuat Jenny tidak bertingkah lebay.
"Apa kau bilang?" Jenny melirikku. Ia menatapku lamat-lamat dengan mulut yang masih terisi penuh.
"Iya, kemarin Papaku mengoperasi Ibu landak. Dan bayinya tidak selamat, makanya bayinya ia jadikan sosis" Lanjutku asal bicara. Aku benar-benar menahan tawa kali ini.
"Kalau begitu. Ini, ambillah. Aku tak tega membayangkan bayi landak malang itu"
"Aduhhh Jenny.. Bagaimana bisa kamu percaya dengan ucapanku? Papaku memang dokter bedah. Tapi itu dulu, dan ia bukan dokter hewan, Jenny" Ucapku sembari tertawa. Jenny menatapku dengan tampang polosnya. Aku benar-benar puas mengerjai Jenny kali ini. Tapi, saat aku menoleh kepadanya lagi, ia telah melahap habis sisa sandwich di kotak makannya. Aku menepuk dahiku.
***
Tugas Bu Vera memang dikumpulkan minggu depan. Bukan berarti sisa waktu yang lama ini harus digunakan dengan bermalas-malasan. Setelah aku mengancam Jenny dan Johan untuk mencari referensi tugas, kini beradalah kami di ruangan yang rapi tempat sumber ilmu berasal. Jenny menatap ruang perpustakaan takjub, sama sepertiku tadi. Dengan cepat Jenny memasuki ruang perpustakaan dan berkeliling disana, aku dan Johan mengikuti dari belakang. Melihat Jenny antusias mencari buku yang kami perlukan, rasanya tak sia-sia kami berkelompok. Johan pun ikut mencari buku yang akan kami jadikan sumber referensi makalah.
Aku mengelilingi rak buku pertama. Mencari buku sosiologi pendukung. Berhubung susunan buku berubah drastis, kami cukup kesulitan mencari buku yang ingin kami pinjam. Aku berjinjit melihat buku di rak yang lebih tinggi. Sesekali aku melirik kursi kosong di dekatku. Kursi tempat lelaki berjaket merah itu duduk tadi pagi. Ah tidak! Mengapa aku jadi mengingatnya. Aneh.
"Ijel, kamu sudah menemukannya?" Johan bertanya padaku melalui celah-celah buku. Aku dapat melihat rambutnya jelas dibalik celah buku itu. Aku menggeleng. Johan pun demikian.
"Kalau Jenny bagaimana? Dimana dia?" Tanyaku.
"Entah, ku rasa Jenny sangat menikmati sudut kecil di pojok sana" Johan menghampiriku. Ia menunjuk sudut yang ia maksud. Aku melihat punggung Jenny disana.
"Jen, gimana? Udah dapat bukunya?" Johan menepuk bahu Jenny. Aku berdiri di samping Johan. Jenny berdiri, ia mengelap sisa saus di mulutnya. Astaga, setelah aku dan Johan kesulitan mencari buku, Jenny sedang asyik makan disana.
"Jenny, ini kan sudah jam pulang sekolah. Kamu bisa dengan puas makan di luar sana, Jen. Tidak di perpustakaan" Ucapku ketus. Anak itu terus saja menjadikan perpustakaan sebagai tempat makan favoritnya.
"Hehe, maaf Jel. Makan di perpustakaan rasanya jauh lebih nikmat dibanding makan di restoran manapun" Ucap Jenny cengengesan. Aku melirik ke arah Johan. Memberi kode agar melanjutkan mencari buku sebelum perpustakaan di tutup.
Aku menghembuskan nafas berat. Mengingat awal mula kelompok kami dibentuk. Bisa di bilang kelompok kami adalah kelompok buangan. Ya, begitulah julukannya. Saat itu, Johan tidak sekolah karena sakit. Sedangkan aku dan Jenny terpaksa bolos karena Jenny terus saja merengek memintaku menemaninya makan di kantin. Mau tak mau, kami menerima takdir untuk satu kelompok. Kelompok buangan bukan berarti tak bisa apa-apa, bukan? Maka dari itu, kami sepakat untuk menyelesaikan tugas ini sebaik mungkin.
Johan mulai mengelilingi rak buku lainnya. Tubuhnya yang tinggi memudahkan ia untuk mencari buku di rak yang lebih tinggi. Beberapa kali Johan membawakan buku yang ia temukan. Dan beberapa kali pula aku menggelengkan kepala. Ku akui semangat Johan memang tak tertandingi. Namun, buku yang ia temukan selalu saja tidak ada hubungannya dengan tugas kami. Tugas kami adalah membuat makalah mengenai perkembangan dunia di bidang globalisasi melalui data pustaka. Pun rupanya Johan masih belum memahami tugasnya. Ia selalu saja membawakan buku batuan, fosil, dan iklim. Sedangkan Jenny, ia sangat asyik mengumpulkan buku-buku memasak dan budidaya strawberry di tangannya.
Aku kembali menghela nafas, melirik jam tanganku. Waktu sudah semakin sore, perpustakaan mungkin akan segera ditutup. Tak apa jika kami belum bisa menemukan buku yang cocok. Mungkin aku bisa meminta bantuan Papa untuk membelikannya di toko buku.
"Johan, Jenny, kita pulang saja" Ucapku. Johan dan Jenny menoleh ke arahku.
"Tapi bukunya bagaima-"
"Tak apa, nanti ku coba cari di toko buku" Potongku. Johan dan Jenny meletakan buku yang mereka genggam. Mereka mengambil tas dan menghampiriku, bersiap pulang.
"Kalau gitu, nanti aku dan Johan juga bantu cari di toko buku, Jel" Jenny tersenyum ke arahku. Aku membalas senyumnya. Pun jika di toko buku Jenny tidak salah mengambil buku. Kami berjalan bersama menuju pintu keluar perpustakaan.
"Aduh" Lirihku. Lenganku tak sengaja menabrak sebuah buku tebal di atas meja baca.
"Kamu gak apa-apa, Jel?" Tanya Jenny cemas. Aku menggeleng.
"Yaudah, yuk kita pulang" Ucap Jenny, ia menggandeng lenganku.
"Tunggu dulu, coba lihat buku itu. Itu buku yang kita cari" Cegahku. Jenny dan Johan menoleh. Mencoba melihat sebuah buku tebal berwarna biru yang tergeletak di meja baca.
"Akhirnya kita menemukannya" Ucap Jenny. Matanya berbinar-binar.
"Yaudah, Jel aku isi daftar pinjam dulu ya" Ucap Johan. Wajahnya tak kalah berbinar dengan Jenny. Aku mengangguk melihat Johan yang berjalan cepat menuju buku daftar pinjam. Sedangkan aku dan Jenny bersiap keluar dan memakai sepatu kami.
"Jel, daftar pinjamnya gak ada. Mungkin sudah dibawa pulang sama Ibu perpustakaan" Ucap Johan. Wajahnya terlihat bingung.
"Kita bawa pulang dulu aja, Jel. Toh jika ditinggal, takut besok tidak ketemu lagi. Sudah payah kita mencarinya" Bujuk Jenny. Aku sedikit bingung. Perkataan Jenny memang benar, tapi membawa buku tanpa izin bukankah sama saja seperti mencuri.
"Ijel, itu buku daftar pinjamnya" Johan menepuk bahuku. Tak jauh dari kami, seorang anak laki-laki sedang berjalan menuju perpustakaan dengan buku daftar pinjam di tangannya. Ya, dialah anak tadi pagi. Lelaki berjaket merah.
"Kalian mau pinjam buku?"
"Eh?" Ucapku pelan.
"Iya, sini kembalikan buku daftar pinjamnya! Merepotkan saja! Membawa buku daftar pinjam tanpa izin itu termasuk tindakan kriminal, tahu!" Ucap Johan asal ceplos. Ia mengambil paksa buku daftar pinjam yang dibawa anak lelaki itu.
"Jenny, tolong ambilkan pulpen di tasku" Lanjut Johan. Dengan cepat Jenny menuruti perintahnya.
"Kalian mau meminjam buku itu?" Tanya anak lelaki itu lagi. Rupanya ia tak membalas ucapan kasar Johan. Aku mengangguk mengiyakan.
"Jangan ditulis di daftar pinjam" Lanjutnya.
"Kenapa?" Tanyaku pelan.
"Bawa saja buku itu, itu buku milikku"
Aku menatapnya tak percaya. Begitupun dengan Jenny dan Johan. Setelah ucapan kasar Johan tadi, kejadian ini cukup memalukan.
"Ke-kenapa ada di meja baca perpustakaan?" Tanyaku lagi. Aku cukup gugup menahan malu kali ini.
"Aku lupa membawanya tadi. Kalian boleh meminjamnya kapanpun kalian boleh mengembalikannya. Lagi pula aku sudah selesai membacanya" Ucapnya lagi. Kali ini aku, Jenny dan Johan hanya berdiam diri. Sungguh amat memalukan.
"Kalau begitu, aku ambil lagi ya buku daftar pinjamnya. Dan aku juga harus menutup perpustakaanya" Lanjutnya. Aku menatapnya sekilas. Ia mengunci perpustakaan dan membawa kunci itu. Sebenarnya siapa dia? Kenapa Ibu perpustakaan mempercayakan kunci perpustakaan kepadanya? Dan mengapa ia sangat dekat dengan Bu Sophie?
Aku hanya dapat melihat punggung tubuhnya berjalan menjauh. Meninggalkan banyak pertanyaan di kepalaku. Dan satu lagi, Johan. Aku harus memastikan ia harus meminta maaf kepada anak lelaki itu.