Pukul 9 pagi.
Alunan langkah kaki terdengar seirama, suara highheels semakin terdengar jelas seolah tega membuat rasa takut semakin mendera. Di balik rak buku ini, aku dan Jenny bersembunyi. Jenny menutup matanya erat, menyembunyikan beberapa makanan dan minuman di balik tubuhnya. Walau begitu, ia tetap memakannya dalam diam.
"Jenny!" Aku melotot ke arahnya. Jenny hanya cengengesan karena ulahnya. Lihatlah dalam keadaan seperti ini, ia tetap mengunyah makanannya.
"Aku lapar, Jel" Ucap Jenny dengan suara tak berdosa. Aku melotot lagi, kali ini Jenny menghentikan aksi makannya.
"Baiklah, silakan kamu pilih beberapa buku yang kamu suka untuk karya ilmiahmu, ibu tinggal sebentar ya"
Suara Bu Sophie terdengar samar-samar di balik rak buku ini. Suasana semakin menegangkan. Meski ruang perpustakaan sepi, aku dan Jenny tetap saling berjaga agar tidak ketahuan yang akan berimbas pada hukuman. Jenny mengintip Bu Sophie dari celah-celah buku tua di rak tempat kami bersembunyi. Ruang perpustakaan kembali lengang. Hanya menyisakan aku, Jenny dan orang yang tadi berbicara dengan Bu sophie.
"Sudah sepi, Jel" Jenny menoleh ke arahku. Aku menyeka peluh di dahi. Merasa lega.
Jika bukan karena Jenny yang memaksaku untuk mengantarnya ke kantin pada jam pelajaran, pasti hal ini tak akan terjadi. Ini bukan pertama kalinya aku dan Jenny bersembunyi seperti ini, atau lebih tepatnya bukan pertama kalinya Jenny memaksaku untuk menemaninya melakukan hal konyol seperti ini. Sempat beberapa kali aku menolak, namun hatiku selalu merasa iba dengan Jenny. Teman semejaku itu selalu saja merengek jika perutnya lapar
.
"Ayo Jel kita keluar" Jenny menarik tanganku, kami segera bergegas keluar perpustakaan sebelum Bu Sophie kembali.
Adalah 3 menit untuk tiba di ruang kelas. Namun, Jenny berbelok. Tak lagi menuju arah ke kelas kami. Jenny menarik tanganku semakin erat. Ia berjalan cepat sembari bersembunyi. Aku mengerti maksudnya. Ia menuju tempat persembunyian kedua. Belakang gudang sekolah.
Gudang sekolah memang lebih aman dibanding ruang perpustakaan. Namun, suasana di tempat ini amat tidak nyaman. Kursi dan meja rusak bertumbukan penuh di ruangan ini. Belum lagi buku-buku tua dan debu-debu yang berhamburan. Membuat ruangan ini semakin terlihat kusam. Tentu saja banyak yang tak mau melewati gudang ini.
Jenny melepas genggaman tangannya pada lenganku setelah ia merasa cukup aman di tempat ini.
"Tanggung, Jel. Aku habiskan makanan aku dulu ya. Lagi pula 1 jam lagi mata pelajaran Pak Herry akan habis kok" Ucap Jenny santai. Ia mengeluarkan semua sisa makanannya.
Aku mendengus kesal. Bagiku 1 jam mata pelajaran itu amat berharga. Lain dengan Jenny yang merasa makanan adalah segalanya.
"Jenny, harus berapa kali aku ingatkan, bawa makanan dari rumah. Setidaknya makan sembunyi-sembunyi di kelas tidak terlalu berbahaya dibanding di luar kelas. Apalagi di perpustakaan!" Ucapku kesal.
Jenny manggut-manggut, ia memasukan burger berukuran besar ke dalam mulutnya. Bagaimana bisa ia tetap asyik makan setelah melewati hari menegangkan ini! Oh tuhan, Jenny memang keterlaluan!
"Pokoknya aku gak mau bolos, Jen" Lanjutku.
"Tunggu ya Jel, dikit lagi aku selesai kok.
Jangan tinggalin aku" Jenny mempercepat makannya. Aku sebenarnya tak tega memarahinya, biar bagaimanapun Jenny adalah teman baikku.
"Ayo Jel, kita ke kelas" Jenny kembali menarik tanganku setelah selesai membuang kaleng minuman.
Kami berjalan sembunyi-sembunyi menuju kelas. Dari pintu kelas, suara Pak Herry amat terdengar. Meski begitu, kami harus berani melangkahkan kaki ke dalam kelas.
"Kalian dari mana saja?!" Suara Pak Herry terdengar tegas berwibawa terlebih tubuh tinggi besarnya membuatnya semakin terlihat menyeramkan.
"Ka-kami-"
"Ijel sakit perut, Pak. Jadi aku ajak dia ke toilet deh. Hehe" Jenny menatapku sejenak.
Ruang kelas yang sebelumnya lengang kini mulai ramai oleh bisik-bisik. Andai saja tidak ada Pak Herry di sini, sudah ku sumpal mulut Jenny dengan sepatu. Bisa saja ia mengarang cerita seperti itu, terlebih Pak Herry percaya dan membiarkan aku dan Jenny kembali ke tempat duduk kami. Aku mengutukmu Jenny!
Ruang kelas kembali lengang. Pak Herry dengan semangat 45 tetap melanjutkan mengajar mata pelajaran sejarah. Kali ini ia membahas mengenai perang dunia. Jam pelajaran Pak Herry memang selalu menegangkan, bukan hanya karena ketegasannya tapi karena semua orang merasa segan melihatnya, terlebih ia juga menjabat sebagai wakil kepala sekolah di sekolah ini.
"Jel, kamu tau ngga siapa laki-laki di perpustakaan tadi" Jenny bicara santai sambil memainkan bolpoinnya. Aku mengabaikannya, tak ingin dimarahi Pak Herry jika ketahuan kami mengobrol.
"Jel.. Kamu kenal ngga?"
"Ijel!"
"JENNY! Tutup mulutmu!" Ucap Pak Herry tegas. Aku tak tahan menahan tawa, lihatlah Jenny yang menyebalkan kini sudah mendapatkan imbasnya. Jenny hanya mendengus kesal.
Meski begitu, efek teguran Pak Herry tidaklah bertahan lama. Pada jam istirahat pertama ini misalnya. Jenny sudah mulai kembali seperti semula, merengek karena lapar. Lagi-lagi aku yang terkena imbas untuk mengantarnya. Tapi kali ini aku tak marah, berhubung saat ini adalah jam istirahat dan perutku pun sudah mulai lapar.
Kami memesan dua mangkuk bakso kesukaan Jenny. Ketahuilah semua makanan yang ada di kantin ini Jenny selalu berkata ia amat menyukainya. Tapi aku akui, bakso kali ini memang berbeda, selain harganya murah, rasanya pun tak kalah enaknya dengan bakso di kedai-kedai besar.
Aku membaca novelku sejenak sembari menunggu pesanan aku dan Jenny tiba. Tidak di kantin, tidak di kelas, Jenny selalu saja menggangguku. Kali ini ia sangat asyik memainkan garpu dan sendok seolah itu adalah mainan yang seru. Aku hanya menggeleng kepala, sudah terbiasa. Jenny selalu berkata bahwa memainkan garpu dan sendok di saat lapar akan sedikit menghibur perut yang mulai berisik.
"Jel, kamu kenal nggak sama laki-laki yang tadi di perpustakaan?" Jenny mulai membuka suara. Tampaknya ia masih penasaran dengan pertanyaannya tadi. Aku menggeleng, melanjutkan membaca novelku.
"Yang benar?" Jenny menatapku lamat-lamat. Mengganggu konsentrasiku.
"Aku gak kenal dia, Jenny" Jawabku ketus. Kali ini aku benar-benar menutup novelku.
"Yahhh.. Sayang sekali" Jenny menunduk tak seceria tadi.
"Memangnya kenapa? Kamu menyukainya?"
"Ah ngga, hehe" Jawab Jenny. Ia tersenyum lebar. Begitulah Jenny moodnya cepat berubah.
"Lalu kenapa kamu selalu menanyakannya?" Tanyaku lagi.
"Oh itu, hmmm.. Kamu mau tau rahasia kecil ngga?" Ucap Jenny berbisik. aku meliriknya. Wajah Jenny tampak serius. Aku mengangguk pelan.
"Apa? Kau mau bilang apa?" Aku mulai penasaran. Jenny hanya menatapku sembari terkekeh pelan.
"Jadi gini Jel. Sebenarnya aku ingin kenalan sama dia-"
"Tuh kan. Kamu jatuh cinta pada pandangan pertama. Sudah ku duga" Potongku. Kali ini aku tertawa puas.
"Isshhh! Aku belum selesai bicara, Jel!" Jenny mendengus kesal. Ia melempar sendok yang dipegangnya ke arahku. Aku segera menghindar. Dan lagi-lagi Jenny membuat masalah. Sendok yang dilemparnya mengenai kepala ketua basket di sekolah. Namanya Kak Zearon. Seluruh siswa di sekolah mengenalnya, selain ketua basket, ia juga ketua OSIS. Bukan hanya itu, wajah tampannya pun semakin membuatnya mudah dikenal. Terlebih oleh kaum hawa.
Jenny menggigit bibirnya. Ia menggenggam tanganku erat. Jangankan Jenny, aku pun mulai takut. Lihatlah tiga orang anak basket itu berjalan mendekati kami. Dan.. Mereka pergi begitu saja.
Aku menyeka peluh di dahi. Nafasku dan Jenny mulai lega. Sungguh hari ini adalah hari yang buruk bagi kami.
"Jel. Percayalah, aku tak menyukainya. Aku hanya ingin mengenalnya"
Aku menepuk dahi. Jenny benar-benar keras kepala. Ia tak mudah jera dengan apa yang ia lakukan.
"Lalu kenapa kau ingin mengenalnya kalau kau tidak menyukainya?"
"Nah, itu dia rahasianya" Jenny nyengir lebar.
"Aku ingin kenal dia karena dia dekat sama Bu Sophie. Jadi kalau aku mau sembunyi-sembunyi makan di perpustakaan, aku bisa ajak dia" Lanjut jenny. Senyumnya semakin lebar.
Aku menimpuk Jenny dengan gulungan tisu. Dan naas, gulungan tisu itu mengenai kepala Kak Zearon. Orang itu, kenapa selalu datang di saat aku dan Jenny melempar sesuatu.
"Ayo Jel, kita kabur!" Jenny menarik tanganku sebelum aku mengangguk. Aku memang tak suka menghindar dari kesalahan, tapi hal ini sungguh di luar dugaan.
"Setidaknya kita pergi membawa burger. Kamu tau ngga? Burger ini adalah makanan kesukaanku" Ingin sekali aku berkata 'kamu sudah mengatakan hal itu ribuan kali, Jen'. Tapi semenjak kejadian tadi aku jadi tak ingin banyak bicara, rasa lapar aku pun hilang begitu saja.
Kami meninggalkan kantin saat sedang ramai, sehingga Kak Zearon tak bisa mengejar kami. Cukup sudah hari melelahkan ini. Lain kali aku harus membawa bekal ke sekolah.
"Jel, kita mau kemana?" Jenny melirikku. Nafasku masih terengah-engah.
"Aku mau ke kelas. Terserah kau mau ikut atau tidak" Jawabku. Jenny mengangguk. Rasanya hari ini benar-benar amat melelahkan. Rasa laparku hilang. Bersamaan dengan rasa penasaran Jenny. Saat ini, di depan kami, orang yang selalu Jenny tanyakan sedang berjalan bersama Bu Sophie.
Begitu pentingkah dia? Hingga Bu sophie yang terkenal sebagai guru killer, kini selalu ikut bersamanya.