“Meminta maaf memang sulit, tapi cobalah relakan kejadian buruk yang menimpamu, dengan begitu kau akan sadar bahwa sejatinya manusia hidup untuk saling menerima kekurangan dan saling memaafkan kesalahan orang lain”
**
Hari ini, hari kamis. Satu jam sebelum pulang sekolah, sebuah tragedi terjadi di kelasku. Johan, lihatlah, wajahnya penuh lebam, hidungnya berdarah, rambutnya rontok tak karuan dan seragam sekolahnya tak dapat didefinisikan lagi. Begitu mengenaskan jika kau melihatnya. Tentu banyak yang tak menyangka anak laki-laki seperti Johan akan terlibat dalam perkelahian hebat yang terjadi tepat di tengah lapangan sekolah.
Ialah Max, lelaki bertubuh tinggi besar, berkulit gelap dengan wajah yang cukup menyeramkan adalah lawan yang tak sepadan dengan Johan lelaki tinggi kurus yang terkesan melambai karena lebih sering bergabung dengan anak perempuan dibanding anak laki-laki di kelasnya. Tak heran jika Johan mendapat luka yang cukup parah dibanding Max yang hanya kehilangan 2 kancing seragamnya karena ditarik Johan ketika hendak melakukan perlawanan.
Dan saat ini, di kelas kami. Semua teman sekelas ikut menghampiri Johan dengan menunjukan rasa cemas bercampur penasaran atas kejadian yang menimpa Johan. Di antara banyaknya kerumunan, Jennylah yang terlihat paling sibuk. Ia membersihkan luka Johan, memberikan obat, serta merapikan seragam dan rambut Johan yang amat kacau. Anak itu fokus sekali mengobati luka Johan hingga lupa bahwa lengannya pun ikut berdarah lantaran ia berada di lokasi kejadian termasuk sebagai penyebab kejadian tersebut.
“Masih sakit, Johan? Apalagi yang sakit. Bilang ke aku” Ucap jenny, suaranya parau, matanya pun tampak berembun. Aku tahu, Jenny amat merasa bersalah atas kejadian ini. wajahnya semakin memerah tak kuasa menahan tangis.
“Tak apa, Jen. Aku baik-baik saja kok” Jawab Johan, tersenyum. Jenny menggeleng tegas.
“Tidak apa-apa bagaimana! Lihat wajahmu. Lihat lukamu, Johan! Ayo kita ke UKS, Johan. Atau kita ke rumah sakit. Aku gak bisa kayak gini. Lihat lukamu, semakin parah jika tak diobati!” Kali ini tangis Jenny pecah begitu saja. Sebuah tangisan hebat dari seorang Jenny. Aku mendekati Jenny, mencoba menenangkannya dengan mengusap bahunya. Jenny memelukku erat, ia semakin menangis.
“Johan! Jenny! Maju ke depan!”
Seketika semua mata tertuju kepada sumber suara, termasuk Jenny yang saat itu masih menenggelamkan wajahnya di bahuku. Jenny menahan isakan tangisnya, kali ini ia bersembunyi di belakangku. Dan Johan, lihatlah, wajahnya begitu terkejut. Bagaimana tidak, jika di depan kelas sudah berdiri guru BK dan Max. Lihatlah Max dengan wajah seramnya ada di depan sana dengan santainya. Aku mulai bergidik ngeri, tak tega dengan kasus yang menimpa kedua sahabatku. Terlebih di luar sana, dibalik jendela, banyak anak kelas lain yang mengintip lantaran penasaran akan masalah ini.
“Jenny! Johan! Cepat maju!” Kali ini suara Pak Ranto selaku guru BK yang terkenal amat killer di sekolah kami, semakin lantang. Jenny memegang bahuku erat. Ia amat takut, aku dapat merasakan itu. Dan Johan, lihatlah ia sudah berjalan ke depan.
Jenny yang melihat Johan di depan tentu tak tinggal diam, Jenny menatapku, wajahnya dipenuhi air mata. “Aku temani kamu, Jen” Ucapku menenangkannya.
“Kalian bertiga ini, seperti anak tak berdidikan. Bagaimana bisa kalian berkelahi di area sekolah! Amat memalukan!”
Jenny semakin mencengkram bahuku erat. Kami berempat di depan kelas, aku di sebelah Jenny. Walau begitu, jantungku berdetak amat cepat. Ucapan Pak Ranto begitu mengerikan.
“Saya tidak akan melawan jika monster itu tidak melempar bola kepada Jenny!”
Mataku dan Jenny membelalak sempurna. Johan! Oh tidak darimana ia mendapatkan keberanian itu, terlebih ia mengatakan Max adalah monster di hadapan pak Ranto. Max yang tak terima dibilang monster mulai mengepal jemarinya kuat.
“Apa kau bilang?!” Ucap Max penuh amarah.
“KAU MONSTER, MAX!” Sahut Johan tak kalah hebat.
Max tak tinggal diam, ia mendekati Johan dan mendorong Johan. Johan yang bertubuh kurus pun dengan mudah terjatuh. Dengan cepat, Jenny segera membantu Johan berdiri.
“HENTIKAN! Tingkah kalian semakin memalukan!”
Rupanya tak hanya kami berempat yang merasa begitu menegangkan. Aku yakin, seisi kelas dan semua anak yang turut mengintip di luar jendela pun turut merasakan ketegangan ini.
“Saya tidak mau tahu, kalian harus bertanggung jawab atas kejadian ini. Johan, Jenny dan Max, cepat kalian saling meminta maaf!” Lanjut Pak Ranto.
Jenny dan Johan saling tatap. Max tentu saja tak ingin meminta maaf lebih dulu. Jenny menatap Johan, ia menggeleng takut. begitu pun Johan, yang kurasa ia amat tak sudi untuk meminta maaf kepada Max, karena ia tahu bahwa Max amat bersalah atas kejadian ini. meminta maaf memang sulit, tapi cobalah relakan kejadian buruk yang menimpamu, dengan begitu kau akan sadar bahwa sejatinya manusia hidup untuk saling menerima kekurangan dan saling memaafkan kesalahan orang lain.
Tak kusangka, Max, ia mengulurkan tangannya kepada Johan. Johan yang masih merasa kesal, hanya membalas uluran tangan itu tanpa menatap Max. Selanjutnya, Max melakukan hal yang sama kepada Jenny.
“Walau begitu, kalian harus tetap dihukum. Saya akan memberikan kalian hukuman berupa pendidikan karakter. Karakter kalian itu amat mengecewakan!”
Aku, Jenny, Johan saling tatap, memikirkan hukuman yang akan diberikan Pak Ranto.
“Siapkan mental, kesehatan dan semua keperluan kalian mulai saat ini. Minggu depan kalian akan berangkat menjalani pendidikan karakter di perkemahan yang dilakukan setiap tahun di kota kita”
Mata Jenny membelalak sempurna, aku tahu bahwa Jenny adalah orang yang tak mau repot dan seumur hidupnya tentu saja ia belum pernah berkemah sebelumnya.
“Dan kau, siapa namamu?” Tanya Pak Ranto sembari memegang kepalanya. Belum sempat kumenjawab, ia sudah mengatakannya lebih dulu. “Oh iya, Arinzell. Kau juga siapkan semuanya. Karena perkemahan memerlukan 5 orang. Jangan membantah” Lanjut Pak Ranto. Kali ini aku terdiam kaku tak percaya. Apa dia bilang? Aku ikut berkemah? Oh tidak.
“Max, ajak satu orang temanmu untuk ikut perkemahan ini. kalian semua jangan membantah. Ini hukuman untuk kalian” Ucap Pak Ranto sebelum berlalu meninggalkan kelas. Tak habis pikir kupikirkan, aku mendapat hukuman atas kejadian ini yang menimpa sahabatku. Aku, Jenny dan Johan saling tatap, saling mengembuskan nafas berat. Siapkan mental. Minggu depan kita kemah!