“Assalamualaikum, Pagi, Pak. Ini laporannya sudah siap sesuai perintah”
Aku meletakkan laporan dengan tebal lima belas halaman itu tepat di atas meja Pak Helmy yang sedang membaca koran. Lelaki paruh baya itu menurunkan surat kabar yang sedang ia baca setingkat dadanya. Laporan itu hanya di bolak-balik saja kemudian di sodorkan kembali kepadaku.
“Bukannya laporannya sudah diserahkan kemarin siang?” Tanya Pak Helmy.
“Maksud Bapak?”
Sebuah makalah bersampul biru yang sama tebalnya diserahkan oleh Pak Helmy kepadaku.
“Kemarin siang, Peter yang memberikan ini”
Aku melihat cover laporan itu dan benar, namaku dan nama Peter ada disitu.
“Nama lengkapmu Salsabiela Saffarizky, kan?” Tanya lelaki paruh baya itu lagi. Aku mengangguk. Setelah berbincang-bincang sebentar, kuputuskan untuk pamit hingga ketika akan membuka pintu, Pak Helmy kembali memanggilku.
“Salsabiela, kamu begadang ya?” Tanyanya sambil menunjuk area bawah mataku yang sudah pasti tak jauh beda dengan mata panda. Ku balas dengan senyuman dan cepat-cepat menghilangkan jejak dari Pak Helmy.
Hatiku geram seakan ingin mencabik-cabik wajah Peter. Dia berhasil mempermalukanku di depan guru bukan hanya tentang laporan. Namun juga kantung mata yang menjadi daya tarik siapapun yang menyadari perubahan ini. Tiap kali berpapasan dengan orang lain pasti mereka bertanya atau malah mengejekku. Begitu menyedihkan tampilanku hari ini. Mata cekung, pandangan samar-samar, dan mulut yang menguap tiap 15 menit. Kalau saja dia lebih dulu memberi tau penyerahan laporan itu, tentu semuanya tak akan menjadi sekonyol sekarang.
Itu dia. Manusia yang dari tadi menjadi tersangka tunggal yang akan ku habisi tanpa sisa. Dengan santai ia tersenyum dari kejauhan melihat perempuan bodoh yang menggenggam laporan sebagai tanda keberhasilannnya.
Kini aku dan dia saling berhadapan. Matanya melirik sekilas pada lembaran-lembaran yang kupegang itu. Kali ini giliranku yang menatapnya tajam walaupun Peter tertawa geli dan aku mengerti maksudnya. Kantung mataku lagi-lagi menjadi objek bahan candaan laki-laki ini.
“Eh, gimana laporannya, udah siap?” Tanyanya sambil melipat tangan ke arah dalam berlagak seorang Direktur yang menagih laporan dari bawahanya.
Aku menempelkan laporan itu di dadanya secara keras.
“Gue memang bego’. Puas loe!”
Aku berlalu. Tak ku hiraukan lagi panggilannya meskipun panggilan itu yang dari dulu kurindukan. Panggilan dari seseorang yang membuatku melupakan semua panggilan lain. Aku mencintai suaranya. Tidak kali ini. Aku membenci seseorang itu. Aku mengutuk semua hal tentang dirinya.
***
Gadis mungil itu memutar-mutar mainan kunci berbentuk sepatu boots berkali-kali. Di depannya tergeletak sebuah buku absen milik kelas lain yang ia curi entah bagaimana. Ia lama mematung bersama tatapan kosong tanpa berpaling. Setiap kali ku tanya mengapa, ia menggeleng. Belakangan ini juga dia yang kerap kali kurang fokus pada pelajaran dan tertangkap basah oleh beberapa guru ketika sedang memainkan handphonenya. Nina masih terpaku seperti ini. Diam dalam kebisuan dan terdampar entah dimana.
“Dia menghilang, Biel” Ucapnya seketika sambil terus memutar-mutar mainan kunci itu.
“Nazriel?”
Nina mengangguk. Aku menggenggam tangannya, menyalahkan diriku yang terlambat menyadari bahwa seorang sahabatku itu sudah lima hari tidak terlihat lagi. Semenjak dia menolak membantuku dan pulang lebih awal dari panti asuhan di waktu itu, Nazriel sudah berkelana entah dimana. Kami sudah mencoba menghubunginya lewat nomor telepon dan social media namun laki-laki itu juga tidak menunjukkan keadaannya, atau berkali-kali berkunjung ke rumahnya dua hari lalu, dan menolak diberitahukan keberadaannya lewat pembantu rumah tangga.
Andai Nazriel tau. Satu jam saja ia menghilang, dunia bagaikan berhenti berotasi. Sedetik saja ia tak memberi kabar, Nina tak lebih dari sekedar layang-layang tanpa pengendali.
“Dia dimana, Biel?”
Aku menarik napas berat. “Maaf, Nin. Gue juga nggak tau”.
“Kenapa nggak tau? Loe yang paling dekat sama dia ketimbang gue. Gue yakin loe tau!”
Aku tergagap. Dengan cara apa lagi harus meyakinkan sahabatku ini bahwa memang tak ada berita apa-apa yang kusembunyikan darinya. Aku nyaris seperti Nina. Keteduhan hilang perlahan dari hidupku. Kalau bukan karena janjiku pada diri sendiri untuk menyimpan semua rahasia di dalam hati, maka rasa kehilangan milikku lebih dahsyat daripada Nina. Aku bahkan lebih merindukannya.
“Nin, Nazriel baik-baik aja, kok. Mungkin dia cuma perlu waktu untuk memahami keadaan asing” Aku memeluk Nina dan saat itu kurasakan seragam bagian bahu kananku basah karena derai air mata Nina.
“Biel, dia nggak akan ninggalin gue, kan? Iya kan?” Lanjutnya lagi.
Suaranya tenggelam bersama isak tangis Nina. Beberapa menoleh ke arah kami dan ku isyaratkan dengan senyuman ketika mereka bertanya mengapa gerangan Nina menangis.
“Sepatu sebelah kanannya cuma lagi di laundri bentar doang, kok” Aku melepaskan pelukan Nina. Mata sembabnya tertuju pada mainan kunci berbentuk sepatu yang diberikan Nazriel. Konon katanya, sepatu itu ada sepasang. Yang sebelah kiri untuk Nina, dan sebelah kanannya milik Nazriel yang mereka beli pada pedagang aksesoris keliling di kebun teh lalu.
“Nanti kalo udah bersih dan wangi, dia bakal balik lagi” Hiburku. Nina mulai menyunggingkan senyumannya. Seketika ia tertawa dan memelukku erat. Jadilah gadis itu tertawa sambil menangis sehingga yang melihat kami sampai garuk-garuk kepala merasa konyol sendiri.
***
Pulang sekolah, Nina balik ke rumah lebih awal dengan dijemput oleh laki-laki bernama Marco yang disebut-sebut sebagai teman kakaknya.
“Gue balik ya, Biel!” Lirih Nina sesaat sebelum duduk sebagai penumpang sepeda motor Vixion itu. Aku melongo. Laki-laki itu membuka bagian depan helmnya dan tersenyum ramah. Kesimpulan tepat bagi laki-laki ini adalah keren dan bersahabat. Ia pandai memilih waktu tepat untuk mengulur hati Nina saat ini. Ketika Nazriel entah dimana, sehingga Nina memiliki sandaran untuk menepis sejenak bayangan sosok itu. Namun dari tadi ia tak menunjukkan ekspresi apa-apa. Nina bersama Marco, namun pikirannya melayang dengan pertanyaan berbelit-belit tentang Nazriel. Ya, aku yakin itu.
“Laporannya banyak salah, Pak Helmy minta revisi lagi” Suara itu secara sengaja mengalihkan pikiranku. Peter kini hanya berjarak sekian senti disamping kananku.
“Laporan kita beda jauh sama punya teman-teman” Sambungnya lagi tanpa menoleh padaku.
“Terus?”
Peter mengarahkan tatapannya padaku yang secepat kilat menatap lurus seperti yang dia lakukan tadi.
“Ya, Revisi!!”
“Yang buat kan loe, kenapa harus gue yang revisi?” Tanyaku balik. Lima hari sejak laporan itu ditolak, aku menjaga jarak pada laki-laki ini. Tak ada lagi ritual menontonnya di lapangan basket atau mencari-cari kabar tentangnya. Aku dendam pada sikapnya yang semena-mena dan sekarang dengan mudahnya dia menginginkanku merevisi sesuatu yang bukan kubuat dengan tanganku sendiri.
“Malam minggu, jam 08.00 gue tunggu di taman Nightflower. Telat lima belas menit, loe ngerjain revisi itu sendiri” Bisiknya kemudian berlalu tanpa menyempatkanku menyanggah perintah zalimnya itu.
Terlalu aneh bila malam minggu dijadikan sebagai malam pembuat tugas. Seenaknya saja dia menjatuhkan martabatku sebagai jomblo. Dia bahkan tidak tau harus sampai jam berapa ku habiskan malam minggu dengan menonton drama korea meskipun berpasang-pasang disana sedang berpesta pora. Lihat saja. Aku tak akan datang. Biar dia yang mengerjakan revisi itu sendiri.
Azan Zuhur berkumandang. Ku langkahkan kaki menuju mushala sekolah untuk shalat zuhur. Selama ini, aku mengerjakan shalat itu sesuka hati. Ada rasa malas yang berkali-kali lipat bila disuruh melakukan hal demikian. Seperti saat ini, aku membutuhkan pertolongan Tuhan untuk memberi petunjuk di mana Nazriel berada karena semua orang membutuhkannya.
***
Mushalla ini dibangun sembilan tahun setelah sekolahku berdiri. Pondasinya kuat, dan sedang gencar-gencarnya direnovasi agar tampilannya lebih menarik. Pagar besi melingkari mushalla agar tidak ada lagi hewan yang menyusup menjadikan mushalla itu sebagai apartemen mereka. Berada di dalamnya cukup sejuk karena sebulan lalu AC dihadirkan untuk membantu yang berada di dalam agar enggan berpindah. Kumasuki tempat wudhu wanita hingga terlihat beberapa siswi juga dua guru berjilbab disana. Tidak denganku. Rambutku masih tergerai sebab belum sanggup berpanas-panasan seperti mereka.
“Hei Biela!” Sapa seseorang itu saat aku membungkuk akan berwudhu.
“Ranti. Eh, Hai!” Aku memasang senyum sementara tanganku menarik-narik rok yang selutut karena minder melihat tampilan Ranti yang serba tertutup mulai kepala hingga mata kaki, kecuali wajahnya.
“Aku duluan ya, Biel” Ujarnya lagi.
“Eh, iya. Ntar aku nyusul”
Ranti melangkahkan kakinya pada tangga-tangga kecil menuju mushala sementara kulanjutkan berwudhu dan membalut tubuhku dengan mukena putih agak usang di lemari. Aku memulai shalat dibelakang imam. Melafadzkan ayat demi ayat yang kuhafal masa SD dulu entah panjang pendeknya benar. Aku lupa. Lima menit kemudian shalat berakhir.
Aku tak beranjak dari tempat itu. Kutadahkan tangan kepada Yang Maha Kuasa agar diberi kesempatan untuk berjumpa lagi dengan Nazriel dan semoga ia baik-baik saja. Setelah shalat, hatiku terasa tenang. Ingin rasanya tetap seperti ini, dalam balutan kedamaian tanpa ujung yang kerap kali kutinggalkan karena kemalasan tanpa kompromi.
Kulipat mukena itu kemudian meninggalkan mushala bersama Ranti dan kami berbincang-bincang sejenak sambil memakai kaus kaki dan sepatu.
“Kalau Biela yakin, InsyaaAllah , Allah swt. akan memantapkan hati Biela untuk berhijrah dijalan-Nya” Ranti memandangku tulus. Kuikuti dengan anggukan kecil.
“Amin... semoga, ya Ranti. Tapi untuk sekarang, Biela belum benar-benar yakin akan menjadi seperti Ranti”
“Nanti, Biel. Proses itu tidak selalu cepat. Ranti doakan agar Biela tetap di jalan yang benar” Ucapnya lagi. Aku memeluknya sebelum kami berpisah dan kembali pada kesibukan masing-masing.
Kata-kata gadis itu terngiang dalam di telinga dan otakku. Diam-diam, aku mengagumi gadis yang dikenal karena keikutsertaannya di organisasi rohanian Islam itu. Aku kagum pada caranya berbicara yang lemah lembut, menyihir setiap orang meyakini semua yang dia katakan tanpa bantahan. Aku ingin melangkah bersamanya untuk lebih mendekatkan diri pada sang Pencipta.
***
“Benar kok, tadi kak Nazriel kesini!” Seru bocah keriting bernama Amir.
“Iya, kak Bil. Tapi enggak lama” Sambung bocah perempuan yang sedang mengenggam lolipop pemberianku pada anak-anak panti asuhan itu. “Kak Naz juga nggak pakai seragam sekolah” Lanjutnya lagi kemudian mengemut kembali lolipop itu.
Aku menggigit bibir. Degup jantungku berdetak hebat setiap kali mulut-mulut kecil itu memberikan clue tentang keberadaannya. Setidaknya hatiku membawa pada jalan yang benar setelah shalat tadi. Keputusanku untuk tidak pulang dan menemui anak-anak ini telah menemukan titik terang. Ku genggam buku dongeng berjudul “Kera dan Buaya” erat-erat. Aku memikirkan cara lebih cepat menemukan Nazriel.
“Kak Biel, lanjut dong, ceritanya. Kenapa berhenti?”
Anak-anak yang lain ikut menimpali.
“Tadi waktu naik mobil putih, Amir lihat Kak Nazriel di depan rumah sakit di samping kafe mewah yang ada gambar not balok bertebaran itu.”
“Kafe? Kafe apa, Dik?”
Mataku menangkap jelas kata-kata Amir. Mobil putih itu adalah milik panti asuhan yang disediakan bagi mereka untuk jalan-jalan tiap sabtu dan minggu agar anak-anak ini tidak bosan. Amir memicingkan matanya seperti mengingat-ingat nama tempat yang barusan ia gambarkan.
“Kafe.. Kafe..” Ucapnya berat.
“Kafe Melodi Taste, Kak Biel” Fanni ikut menimpali hingga semua mengiyakan. Aku ingat bagaimana Fanni mengucapkan vokal “e” di kata “taste” yang seharusnya tidak diucapkan lagi.
Buku dongeng itu kembali ku buka. Aku berjanji akan menceritakan mereka satu cerita lagi. Lima detik kemudian bocah-bocah polos yang berjumlah dua puluhan itu berbondong-bondong mendekat saling mendorong agar tidak kehilangan kesempatan mendengar suara burung yang kutirukan dan melihat aksiku memperagakan si kera sementara menunjuk salah satu dari mereka sebagai buayanya. Mereka tertawa riuh.
Setengah jam kemudian dongeng itu berakhir. Beberapa dari mereka bahkan enggan beranjak, berharap akan ada bonus cerita lagi seperti hari-hari lalu namun ku katakan bahwa dongeng ini akan berlanjut esok hari.
“Horee! Kak Biela besok kesini lagi, jangan lupa ajak kak Nazriel, Ya!” Pinta Titi.
“Iya, jangan pisah-pisah lagi, dong!” Balas Amir diikuti anggukan yang lain.
Aku tersenyum dan mengakhirinya dengan salam serta membelai lembut rambut malaikat-malaikat kecil itu.
***
Jarak panti asuhan ke kafe Melodi Taste cukup memakan waktu lima belas menit dengan angkot. Dekorasinya mengandalkan not-not balok berwarna soft diatas lukisan bunga-bunga sakura. Fantastis. Pengusaha kafe pintar mengambil tema dekorasi itu berdasarkan pemandangan taman kota di depannya. Sehari-harinya, kafe itu kerap digandrungi oleh anak-anak muda setempat dengan berbagai wacana. Sekedar mejeng, kerja kelompok, merayakan ulang tahun, dan hal lain yang kerap menjadi ritual mereka. Cukup asing bagi orang sepertiku yang suka menghabiskan waktu di rumah. Namun, tujuan utamaku bukan menghampiri melodi taste, melainkan menjelajah rumah sakit cukup terkenal di sebelahnya. Rumah sakit itu juga berhadapan dengan taman kota yang letaknya di tengah-tengah. Bila malam tiba, taman itu dihuni oleh anak-anak muda dan keluarga kecil karena keindahan lampu beserta sarana lain yang sangat menenangkan.
Dengan langkah kecil, aku menginjakkan kaki ke depan lobby rumah sakit “Flower Hospital”. Ini kali pertama aku berada disini dan disuguhkan dengan pemandangan rumah sakit pada umumnya. Seorang bapak di atas kursi roda yang di dorong oleh wanita muda hingga sekumpulan orang-orang yang mengantri di depan pintu kecil bertuliskan nama-nama dokter spesialis. Wajah mereka lebih banyak merenung, walaupun TV 21 inchi terpampang jelas sebagai penghilang bosan sejenak sembari menunggu panggilan.
“Selamat pagi, Mbak. Ada yang bisa kami bantu?” Tanya seorang Resepsionis.
Aku bingung harus mengatakan apa. “Saya...sa..” Wanita itu tersenyum.
Walaupun sudah mengenal Nazriel selama dua tahun lebih, aku masih belum mengenal anggota keluarganya. Jika ku katakan namanya, tidak mungkin resepsionis itu mengenal karena Nazriel bukan pasien di rumah sakit ini.
“Maaf mbak. Saya lagi nunggu teman, ntar saya tanya lagi, ya” Jawabku kemudian yang hanya diikuti anggukan dan senyuman dari wanita itu.
Aku memalingkan wajah. Seketika lelaki yang kucari itu berjalan cuek sekitar sepuluh meter dariku.
“Nazriel!”
Aku mempercepat langkah untuk mengimbanginya namun langkah Nazriel terlu cepat. Kuulangi panggilan itu dan ia juga tak menoleh. Dia salah menilai jika wanita sepertiku akan menyerah. Tidak sama sekali. Dia harus menoleh karena apapun itu, dia harus bertanggung jawab karena menitipkan rindu pembunuh itu pada Nina, juga padaku.
“Mbak, permisi, mbak!” Kata perawat diikuti segerombolan yang lain tengah mendorong tempat tidur yang ditiduri seorang ibu yang menjerit kesakitan. Mungkin karena kecelakaan. Karena sekilas wanita itu masih memakai seragam PNS. Yang sangat menyebalkan adalah kini aku kehilangan jejak Nazriel. Tapi, apa dia memang tak mendengar? Sementara suaraku sudah terlampau nyaring dibandingkan jeritan sehari-hari untuk memanggil Nina.
Aku mengehela napas berat. Memutuskan untuk berjalan saja tanpa tau Nazriel telah berbelok ke arah mana. Aku telah meninggalkan dua lorong karena memilih jalan lurus. Hatiku yakin ia tidak berbelok. Entah apa yang membuat seyakin itu. Kurasakan kedua kaki lunglai dan sepertinya akan patah beberapa detik lagi.
Fyuuuhh!
Tiba di penghabisan jalan, hanya nampak kendaraan berlalu-lalang. Aku tiba di pengujung, pintu keluar dari rumah sakit. Kusandarkan tubuhku di dinding. Aku kembali kehilangan Nazriel. Ku tutup wajahku dengan kedua telapak tangan, bukan untuk menangis. Tapi mengingat betapa dia tega pura-pura tak mendengar padahal jarak kami tidak begitu jauh.
“Kamu cari aku?” Suara seseorang mengagetkanku.
“Nazriel?”
Aku sumringah!
Laki-laki itu berdiri tegak di depanku. Kali ini aku dapat jelas melihat postur tubuhnya semakin ringkih. Pipi dan matanya cekung, penampilannya satu level diatas kumal. Kemarin-kemarin, senyumnya adalah penghias hariku sedangkan penampilannya lebih dari sekedar pelengkap ketidaksempurnaan penampilanku. Tapi kini, aku membencinya. Seseorang yang berdiri di depanku ini tak pantas disebut penyejuk lagi. Ini lebih dari sekedar mimpi buruk.
Nazriel menyodorkan sehelai tisu.”Jangan terlalu berlebihan, Biel.”
“Berlebihan?”.
Aku menerima tisu itu. “Maksud kamu?”. Lantas menyapukan tisu itu agar menyerap peluh karena letih mengejarnya.
“Aku baik-baik saja, kamu nggak perlu berlelah-lelah mencari aku” Ucapnya menunduk. Kata-katanya mengesankan sesuatu yang berlawanan dengan hatinya. Aku yakin itu.
“Baik-baik saja?”
Aku bergerak selangkah mendekatinya.
“Aku nggak menanyakan kondisi kamu, dan tanpa kamu jelaskan pun, aku tau kamu nggak baik-baik aja”
Seketika ia mengangkat wajahnya. Mulutnya bergetar ingin mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan hatinya lagi. Sorot matanya bukan untukku. Terlalu jauh entah disudut mana. Dia begitu bodoh merancang kata-kata palsu pada orang sepertiku.
Aku memegang lengannya yang kurus “Kamu kemana aja, Zriel?”
“Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, Biel” Jawabnya. Matanya melirik pada tanganku yang masih menggenggam tangannya. Pelan-pelan ku lepaskan pegangan itu.
“Termasuk sama sahabatmu sendiri?” Aku bertanya lagi berharap ia akan benar-benar menjelaskan walaupun hanya satu kalimat saja.
Laki-laki itu menarik napas dalam. Sedapat mungkin menghindari tatapanku.
“Pulanglah, Biel. Aku lagi ingin sendiri. Bukankah sahabat itu harus mengerti?” Kali ini sorot matanya untukku.
Dia keterlaluan!
Aku rela berlelah-lelah hanya untuk menemukannya hingga kali ini dengan mudahnya ia mengusirku. Langkahku mantap meninggalkannya setelah menatapnya beberapa saat. Tatapan penuh kebencian pada sikapnya yang tidak membuatku kagum seperti dulu.
Hingga beberapa langkah di depannya. Sepatu itu berdecit di lantai dan sebuah pelukan melingkar dari balik bahuku.
“Biel, kita harus bicara” Nazriel memeluk bahuku erat mengairi mataku dengan bulir-bulir bening.
Aku bilang juga apa? Dia tidak cukup pintar menyembunyikan kesedihannya di depanku karena tidak lama kemudian ia pasti menyerah. Pelan-pelan ia melepaskan pelukan itu dan menarik tanganku pada sebuah tempat.
Aku mengenal baik ruangan kecil ini. Peralatan medis seperti infus, EKG, tabung oksigen, dan wanita paruh baya yang terbaring lemah cukup menggambarkan bagaimana perasaan Nazriel. Wanita itu masih kelihatan anggun meskipun tidak lagi memamerkan senyum anggunnya. Sesekali ia menyipitkan matanya, bertanya-tanya siapa gerangan perempuan yang berdiri disamping anaknya itu. Dia tidak bersuara. Yang ada, bibirnya bergetar dan gurasan air mata yang menetes dari setiap sudut matanya.
Sepuluh tahun lalu, Nenekku juga seperti ini. Mendekam dalam penyakit stroke yang menyiksa tubuhnya bagaikan di neraka. Tak bisa apa-apa, mengingat saja susah. Hingga sebulan setelah itu, nenek dipanggil kehadapan-Nya di depan mataku sendiri. Aku ingat jelas ketika gerakan tubuhnya tidak terkendali, dadanya naik turun, suaranya putus-putus mengucapkan kalimat syahadat. Pada saat itu, aku berlari akan memeluk Nenek namun dengan cepat tangan Ibu mendekapku sehingga pilihan yang dapat ku lakukan adalah menangis sejadi-jadinya.
“Siang, Tante. Saya Salsabiela, temannya Nazriel. Tante udah makan?” Aku menggenggam lembut tangan pucatnya. Dingin. Ia tak menjawab. Yang kurasakan adalah jemarinya yang berusaha menggenggam balik jemariku. Perlahan air matanya mengalir lambat sembari matanya mencari-cari Nazriel yang membalasnya dengan tersenyum.
Handphoneku berdering dan kutinggalkan Nazriel dan ibunya beberapa saat.
“Biela, kamu di mana?” Sapa seseorang di kejauhan sana
“Biela di Rumah sakit, Bu. Ada nyokapnya temen lagi sakit”
“Yaudah, jangan pulang kelamaan. Ibu sama Ayah mau ke rumah Tante Silva”
“Oke, Bu. Hati-hati ya.” Telepon ditutup.
Aku lupa memberitahu Ibu jika pulang terlambat hari ini, untung saja nada suara ibu tidak galak seperti dulu. Itu artinya Ibu tidak kesal, mungkin karena anaknya sudah beranjak dewasa sekarang, batinku geli. Aku membalikkan tubuh kembali ke ruangan ibu Nazriel dirawat. Langkahku terhenti ketika laki-laki itu tepat berada di depan dan segera mengajakku ke central park yang berada tepat di depan rumah sakit.
Kami memilih bangku yang berada di depan kolam ikan. Kulirik jam tangan yang menunjukkan pukul 16.40 WIB. Siang telah berakhir dan itu tidak begitu terasa karena aku berada disampingnya.
Ini kali pertama aku disini. Kata orang, taman ini adalah taman paling romantis. Lihat saja, di pintu masuk kita disambut dengan dedaunan menjalar-jalar di setiap gazebo. Jika memilih lurus, maka diujungnya adalah taman khusus membaca gratis buku fiksi dan non fiksi, atau sebelah kanan dari pintu masuk, akan disambut dengan perkebunan tropis dan kebun binatang mini, lain halnya jika disebelah kiri, pengunjung akan mendapati ketenangan berhiaskan bunga-bunga indah tanpa ujung. Disana juga tersedia bangku-bangku putih yang disebelahnya ada ayunan berlapis daun dan bunga kertas. Nazriel memilih bangku yang lebih luas, dan jauh dari hingar bingar anak-anak yang berebutan ayunan dan segala permainan di TK mereka.
“Mama sakit kanker ginjal, Biel” Ujarnya. Kuhadapkan wajahku pada wajahnya yang menatap lurus.
“Trus, sekarang siapa yang jagain beliau disana?”
Nazriel membalas melihatku. “Waktu kamu diluar, Papa tiba disana, beliau menyuruh aku istirahat, Aku ngajak kamu kesini”.
Tapi sedari tadi, aku tak melihat ada pria yang masuk ke ruangan itu.
“Mama adalah hidupku” Lanjutnya.
“Karena alasan itu kamu nggak masuk sekolah dan nggak melihat hidupmu yang dulu lagi?’
Nazriel mengangguk. Kuperhatikan tubuh kurusnya dengan pakaian yang tak terurus. Tidak serapi dulu lagi. Rambutnya acak-acakan bagaikan pengemis liar yang hidup di pinggir jalan.
“Waktuku habis setiap hari hanya untuk menjaga mama., menghapus air matanya, walaupun papa dan saudaraku memaksa untuk tetap sekolah”
“Sampai kamu nggak menulis puisi lagi?”
Ia mengangkat kedua tangannya sedikit. Bergetar, kemudian menjatuhkannya lagi. “Aku nggak punya harapan lagi untuk itu”.
Kepada laki-laki yang disampingku ini, responku hanya geleng-geleng kepala menunjukkan betapa aku kecewa pada dirinya. Dia memandangku penuh arti dengan mengundang pelangi di matanya. Keadaan membisu bersamaan rintik hujan yang mengguyur kota, namun salah satu dari kami tak ada yang memilih untuk berteduh.
“Nanti kamu sendiri akan tau, bagaimana rasanya memegang ujung jari orang yang kamu cintai sementara raganya tertarik kesisi lain. Kamu cuma punya pilihan jika ingin tetap bersamanya, maka jangan lepaskan ujung jarinya itu atau dia akan pergi tanpa pamit” Nazriel menunduk. Memejamkan matanya kemudian bening-bening itu masih tampak meskipun langit semakin memerintahkan partikel hujan untuk membasahi makhluk bumi.
Aku menarik napas berat. “Aku nggak nyangka kamu bisa segegabah ini”.
Nazriel menoleh padaku.
“Coba kamu pikirin, bagaimana jika orang yang kamu pertahankan itu akan pamit pada suatu tempat yang memberikan kenyamanan lebih daripada kenyamanan yang kamu berikan? Dan sekarang coba berbalik, orang-orang disana bukan malah menyemangatimu untuk berhasil membawanya kembali ujung jari itu. Mereka berlama-lama menanti kehadiran kamu untuk kembali menjalani kehidupan normal seperti dulu. Kamu masih punya banyak pilihan, Zriel..”
Kali ini wajah Nazriel memerah. “Pilihan untuk melepaskan orang yang sudah aku pertahankan mati-matian? Begitu?”
Laki-laki itu memalingkan wajahnya dariku.
“Ikhlas, Zriel. Andai kamu tau keajaiban ikhlas itu, tak ada yang sia-sia. Sesuatu yang pergi, akan diberi ganti yang lebih baik oleh Tuhan.” Kusentuh lengan kirinya. “Kamu percaya?”
Tubuh kami basah. Hujan terus mengguyur dan perlahan pengunjung taman berlarian mencari tempat untuk berteduh sementara kami memilih bertahan di bangku itu. Wajahku basah dengan hujan, begitupun Nazriel. Tapi yang kutau ada butiran air lain yang ikut membasahi kedua sudut matanya. Butiran kesedihan.
Beberapa saat kemudian suara manusia hening. Terkuras habis oleh tenaga boombastis hujan. Kami sama-sama menghadap lurus ke depan seolah acuh tak acuh. Seketika kurasakan bahu kananku berat karena ditindih sesuatu. Aku melirik dan mendapati Nazriel menyandarkan kepalanya ke bahuku tanpa menoleh. Ada rasa iba bercampur rindu yang tak bisa kujelaskan saat itu.
Seiring hujan mereda, ia masih bertahan menyandarkan kepalanya ke bahuku. Kejadian ini membuatnya lelah, mungkin juga bingung akan membawa perasaan menyiksa ini kemana. Entah disadari atau tidak, tanganku ikut membelai rambutnya seakan mengisyaratkan bahwa ia tak sendiri. Aku akan setia menjadi penopang lelahnya sampai kapanpun. Air mataku ikut menetes, namun sebisa mungkin kusembunyikan agar lelaki ini tidak tau. Andai dia tau, aku juga orang yang ikut terpukul dengan nasib ibunya. Ternyata rindu itu tak cukup menyiksaku, bahkan setelah kejadian ini, kekecewaan terus menyayat perih hati kecilku.
“Kapan dan dimanapun itu, aku siap berada disamping kamu. Tapi kamu harus janji apapun yang terjadi, cowok yang disampingku ini harus ikhlas dan bangkit menjadi idola lagi” Aku mengelus rambutnya. Nazriel tertawa.
“Mengapa aku jadi cengeng di depan kamu, ya?” Katanya sambil menegakkan kepalanya namun kucegah. Aku membiarkan dia lebih tenang meskipun dalam keadaan asing saat itu.
“Istirahatlah, aku tau kamu lelah. Jangan coba-coba menampakkan wajah kusut dan mata merah itu lagi!” Ancamku.
Nazriel menurut.
Kelopak matanya perlahan menutup. Ia tertidur dalam belaianku meskipun hatiku berulang kali mengutuk diriku sendri yang baru kali ini membiarkan laki-laki begitu dekat denganku, dan seribu kali terkutuk karena telah membiarkan Nina sakit hati jika melihat hal ini. Tapi sungguh, hal ini tidak ada dalam skenarioku. Ini terjadi begitu saja ketika melihat salah satu orang yang kusayangi begitu terpukul.
Desah napasnya terdengar jelas. Sore menjelang senja ini, ia benar-benar tertidur. Aku mengatur posisi dudukku berulang-ulang karena bahu kananku terlalu pegal, bergeser sedapat mungkin agar Nazriel tidak terbangun. Wajahnya begitu damai walaupun tubuhnya sedikit kurus. Berada disampingnya membuatku melupakan banyak hal dan menutupkan mata sekejap.
***
Handphoneku berdering dan tertera nomor asing di layarnya sekaligus mengisyaratkan bahwa senja telah berganti malam. Aku menekan tombol dial dan mendengar suara seseorang di kejauhan sana.
“Loe dimana? Gue udah di Nightflower nih” Ucap seseorang itu. Aku hafal benar suara ini adalah suara Peter.
Darimana harimau itu mendapatkan nomorku?. Seketika teringat jelas bahwa ia menjanjikanku ke taman itu untuk merevisi tugas. Aku membaguskan posisiku sehingga Nazriel ikut terbangun.
“Gue... ehm.. ia bentar lagi gue kesana” Sahutku yang sebenarnya tidak mengetahui pasti alamat Nightflower itu.
Nazriel meluruskan posisinya sambil melepas kantuk.
“Zriel, Nightflower dimana, sih?” Aku mencoba mengalihkan ponsel agar Peter tak mendengar.
“Nightflower?” Nazriel tertawa geli. “Tempat yang kamu duduki sekarang” Sambungnya tertawa geli.
Aku terhenyak.
Benarkah?
Kupastikan kedatangan Peter dengan berdiri dan berjalan beberapa langkah dari bangku putih itu sehingga dapat melihat jelas tubuh Peter yang terhalang oleh dedaunan-dedaunan berlampu. Laki-laki itu merapatkan ponselnya ke telinga.
“Zriel, gue harus ketemu seseorang, nih” Kataku sambil mematikan Handphone.
“Oke, aku balik ke Rumah Sakit dulu, Ya. By the way, makasih udah menghibur” Nazriel meninggalkanku setelah itu melalui gerbang keluar.
Aku menarik napas lega.
Semenit kemudian bayangan Nazriel tak kelihatan lagi. Pengunjung Nightflower berganti dengan di dominasi oleh pasangan muda mudi dan kini suasananya lebih ramai dari sore tadi. Ada yang membawa gitar, makanan ringan, dan hal lain yang biasa dibawa anak muda pada malam minggu. Handphoneku kembali berdering bersamaan langkahku menuju pada Peter. Aku berada lima meter dibelakangnya yang dia sadari setelah aku mengangkat panggilannya.
“Gue dibelakang loe” Secepat mungkin ia membalikkan arah dan berjalan ke arahku.
“Cepet banget nyampenya” Ucapnya. Mata Peter memperhatikanku dari ujung kaki hingga rambut dan aku melakukan hal yang sama. Laki-laki ini selalu berhasil membuatku terpukau. Ia memilih nuansa kemeja biru tua dengan padanan jeans biru muda dan sneakers dominasi biru tua juga garis lengkung putih di setiap sisinya. Perfect. Ditambah lagi wangi parfum yang terkesan glamour bisa tercium dari jarak lima meter.
“Jelek banget sih, loe!” Peter melemparkan kata-kata itu padaku membuatku juga ikut mengiyakan kata-katanya. Aku masih memakai seragam sekolah dengan wajah berminyak dan belum mandi.
“Ah, pertemuan macam apa ini?” Batinku kesal.
“Yaudah ikut gue” Lanjutnya melangkah ke arah kanan menuju kebun buah-buahan dan aku menurutinya. Sepanjang perjalanan beberapa orang melirik padaku mungkin karena seragam ini dan beruntung saja aku tak berjalan berdampingan dengannya sebelum mulutnya mengeluarkan ejekan lagi.
Kami melewati kebun stroberi, anggur, semangka kemudian berbelok ke kanan menjumpai monyet, burung bangau, koala, dan binatang lain dalam kurungan.
“Eh, kita mau kemana?” Tanyaku yang berada tiga meter dibelakangnya sementara ia terus berjalan kali ini entah kemana. Setahuku, kebun binatang adalah objek terakhir di sana. Kali ini ia membawaku menyusup ke sebuah gua kecil berhiaskan daun-daun menjalar di atasnya.
Aku berhenti dan dia menyadarinya.
“Ikut aja, gua ini nggak sehoror yang loe pikir” Lanjutnya.
Aku tetap menggeleng.
“Gue nggak mau. Pulang aja deh, kalo nggak cari tempat lain”
Peter mendekat. “ Nyusahin banget sih loe”.
“Yaudah, gue pulang!” Aku berbalik dan secepat kilat ia berdiri di depan untuk menghentikanku.
“Oke, tunggu disini.” Peter berjalan beberapa langkah. Ia tak menghiraukan panggilanku yang mulai berpikir macam-macam. Pohon kayu mati itu terlihat seperti monster serta angin berhembus bagai membisikkan sesuatu yang mistis, belum lagi udara dingin yang menusuk tulang. Aku merapatkan tangan ke tubuh. Selang tiga menit kemudian Peter datang dan memberikan sebatang kayu sepanjang 45 cm kemudian memerintahkanku untuk menggenggam ujungnya. Ia menggenggam ujung satunya lagi.
“Pegang ini yang erat, loe nggak bakal kenapa-napa” Ungkapnya.
Kini jarak kami hanya dibatasi kayu itu. Peter menyenterkan dalam gua yang awalnya sangat gelap. Selama ini, tak ada yang mengatakan bahwa Nightflower memiliki gua seseram ini. Aku berjalan dengan hati was-was , mungkin tidak baginya. Tempat ini pasti tak asing untuk orang senekat dan seberani Peter.
Tujuh menit kemudian kami keluar dari gua. Kami melepaskan kayu itu dan membuangnya di pintu gua. Segerombolan nyamuk-nyamuk nakal mulai menggigitku tanpa ampun. Ah, mungkin karena mereka tau aku belum mandi.
Peter mematikan senternya sementara aku menyapu rambutku yang kotor karena serangan sarang laba-laba. Tempat yang lain lagi, malah jauh dari kata-kata horor seperti yang ku bayangkan. Tempat ini indah. Lampu-lampu hias menerangi sekelilingnya. Hanya ada empat kursi dikelilingi dedaunan menjalar. Sementara yang menarik perhatianku adalah kolam ikan dengan lilin-lilin putih disepanjang lingkarannya. Selain itu di depan kolam ada tikar anyaman rotan yang diatasnya terdapat jagung bakar dan dua mangkuk cappucinno hangat. Menakjubkan.
Tapi, mengapa disini sangat sepi?
“Sumpah, keren banget!” Kagumku.
“Dasar anak rumahan kuno!” Balasnya sambil melangkahkan kaki ke sebuah pondok beratap rumbia putih. Aku mengejeknya dari belakang.
Tak lama kemudian ia datang dengan dua buah pancingan.
“Ini? Buat apa?”
“Laporannya udah diterima, jadi kita have fun aja dulu sambil mancing” Peter menyodorkan sebuah pancingan berwarna cokelat dan aku menerimanya. “Lagian orang gila mana yang mau buat laporan malam minggu?” Lanjutnya terbahak.
“Jadi, loe bohongin gue?”
Peter tersenyum ketus.
“Ah, gue pulang aja. Sialan loe!” Aku kesal, lalu menjatuhkan pancingan itu sambil meninggalkannya yang sedang mengetes alat pancing. Langkahku terhenti ketika dihadapkan gua hitam pekat yang baru saja kami lewati. Aku berbalik menghadap Peter.
“Mengapa gak jadi pulang?”
Kusodorkan tangan. “Senternya?”
Peter menatapku, kemudian menarik tanganku untuk duduk di atas tikar anyaman.
“Kalo gue kasih senternya, loe nggak berani juga, kan?”
Dia benar juga. Di sana nanti pasti terdengar suara aneh yang macam-macam yang membuat bulu kudukku merinding.
“Udah, ikut aja. Gue nggak akan ngapa-ngapain loe. Gue janji bakal anterin loe pulang” Ucapnya ketus sambil kembali menyodorkan pancingan itu.
Malam ini tak berbintang. Juga bukan malam valentine atau malam spesial yang biasanya dimanfaatkan untuk menciptkan memori indah bagi yang merasakannya. Peter menyeruput cappucinno hangat disebelahnya, sejurus kemudian melemparkan pancingan itu tepat ke tengah kolam. Suasanya hening, kalau bukan suara jangkrik menemani kekakuan kami. Peter menoleh.
“Cappucinno itu dibuat untuk diminum, bukan diliatin kayak lukisan!”
Mungkin ia tak sadar tatapan jengkelku lalu secepat mungkin ku seruput minuman itu habis tak tersisa dan membuat orang disampingku itu menelan ludahnya.
Sama sepertinya, aku melemparkan pancingan itu ke kolam “Mengapa gue harus mancing malam-malam suntuk begini?”
“Terus, loe mau buat laporan aja?”
Dengan jengkel kutarik ulur pancingan itu. “Ini bahkan lebih gila daripada buat laporan di malam minggu”.
“Yeah, I got it!” Serunya.
Seketika pancingannya mematuk seekor ikan emas sepanjang telapak tangan orang dewasa. Entah apa maksudnya, setelah beberapa detik ia mengangkat ikan dari airnya, kemudian hewan itu ia kembalikan lagi ke kolam.
Dasar bodoh!
Memilih diam mungkin lebih baik daripada menanyakan maksud sikap bodohnya itu yang pasti membuatnya semakin mengejekku. Bukan kali itu saja, ia berulang-ulang melakukan hal itu. Dapat, dilepaskan lagi. Dapat, dilepaskan lagi. Apa dia tidak berpikir bagaimana sakitnya mulut ikan kecil itu terhunus mata pancing dan mengapa tidak dibakar saja. Seharusnya dia bertanya aku sudah makan atau belum karena dari tadi perutku berdisko saking kosongnya.
Peter mulai mengatur strateginya. “Yaudah, kita buat kesepakatan aja. Kita berlomba untuk mengumpulkan ikan siapa yang paling banyak. Kalo hasil tangkapan loe yang paling banyak....”
“Kita bakar, abis itu langsung pulang” Potongku cepat. Peter tertawa.
“Kalo hasil gue lebih banyak.............” Otaknya berpikir keras. “ Kita nggak pulang, nginap disini sampe pagi”
Tanpa pikir panjang tanganku melayang meninju keningnya. Yang ditinju malah tertawa geli bukannya meringis kesakitan.
“Ini kesepakatan, apa hak loe melarang kemauan gue?” Balasnya
Peter menghilang dibalik pondok dan kembali dengan dua ember berisi air.
“Timing-nya dimulai dari sekarang dan berakhir satu jam ke depan!” Serunya sambil mengatur stopwach. Aku cekatan memasang umpan ikan-ikan kecil yang tersedia di dalam ember itu.
Jadilah malam itu kami habiskan dengan berlomba hasil tangkapan siapa yang paling mujur. Sedapat mungkin akan ku buktikan kemampuan memancingku yang tidak bisa diragukan dan memastikan laki-laki sombong itu akan kalah malam ini. Laparku terasa ringan seketika. Di tengah kompetisi aneh itu kami saling berbagi cerita tentang pengalaman kami serta Peter menyempatkan menghadirkan leluconnya yang membuatku terpingkal-pingkal. Hilang sudah rasa kaku itu bersamaan salah satu dari kami berhasil menangkap ikan dan menceburkannya ke ember. Hal yang paling mengkhawatirkan adalah dia telah mengumpulkan dua ikan sementara aku belum satupun.
“Jadi Pak Soleh penjaga kebun itu, Pamannya loe?” Tanyaku ketika Peter menceritakan bagaimana aksi Pak Soleh menggantikan hukuman Peter dan teman-temannya menyapu halaman kebun sekolah karena kedapatan bolos dua hari yang lalu.
Peter mengangguk. “ Besoknya gue ditampar sama bokap dan Buku Rekening sama ATM gue disita selama sebulan”. Aku menanggapinya dengan tertawa geli. Sama halnya dengan dia.
Tiba di menit ke empat puluh lima. Pancinganku bergerak-gerak namun agak sulit ditarik sehingga membutuhkan bantuannya. Benar saja, ikan mas itu sangat besar melebihi ukuran dua ikan hasil tangkapan Peter. Bukan main senangnya sampai aku menari-nari sekaligus mengejeknya.
“Pokoknya walaupun dia cuma satu, hitungannya harus dua karena gendut!” Perintahku sambil menjulurkan lidah pada laki-laki ini.
Peter menedang kakiku “Enak aja, nggak bisa gitu dong, satu ya tetap satu. Apaan hitung-hitung dua segala?” Alisnya terangkat. “Curang amat!”
Ku geser kursi kecil milikku itu sedikit menjauh darinya. Aku memperhatikan gerakan-gerakan kecil di kolam untuk mengukur bagian mana yang menjadi prioritas ikan untuk berkumpul, dengan cara itu pasti ikannya semakin cepat didapat. Walaupun Peter mengejekku setiap kali berpindah tempat, sama sekali tidak membuatku menyerah dan kembali duduk disampingnya lebih dekat. Namun karena terlalu banyak berpindah, otot-otot kakiku malah nyeri dan akhirnya aku kembali duduk di tempat awal.
“By the way, cowok loe nggak marah pergi sama gue?” Itu pertanyaannya yang kesekian kali. Aku meliriknya dengan ujung mata, mencoba tak menjawab. Lilin-lilin sekitar kolam menerangi wajah kami.
“Gimana rasanya pake seragam putih abu-abu seharian?” Cuping hidungnya kembang kempis seolah mencium sesuatu yang buruk dari arahku. Buru-buru kuarahkan hidungnya ke arah lain.
“Mau gue nggak mandi setahun kek, gue tetap wangi” Balasku tak mau kalah. Sudah pasti ia menjauhkan tubuhnnya, memasang senyum ketus dan mengerutkan alisnya.
Kalau bukan karena bertemu dan mengikhlaskan bahuku sebagai bantalnya Nazriel, aku sudah pasti mengenakan pakaian terbaikku saat ini apalagi akan tau momennya akan romantis seperti sekarang bersama laki-laki yang sudah lama kucintai.
Sepanjang hari, dua manusia itu memberikan kejutan dengan cara berbeda dan aku menyukainya. Bersama Nazriel, aku merasa menjadi seperti malaikat yang menina bobokkannya tanpa nyanyian. Cukup bahu sebagai bantal, belaian, dan kata-kata sebagai penenang, Nazriel tertidur di pundakku dan mengisyaratkan bahwa ia terlalu lelah mempertahankan seseorang yang ia cintai. Lain halnya dengan manusia disampingku ini, dia membuatku selalu ingin berjuang dan menyukai tantangan sehingga aku mengerti bahwa kebahagiaan tidak dicari, ia datang sendiri pada saatnya. Walaupun Peter menyebalkan namun saat-saat bersamanya membuatku betah berlama-lama meskipun harus berjuang mati-matian.
“Kenapa liatin gue segitunya?”
Aku terhenyak. Secepat kilat ku tundukkan wajahku agar ia tak bisa menangkap semu merah di pipiku.
“Pacar loe nggak marah kan?” Tanyanya lagi antusias.
Tanggapanku hanya senyum berat. “Gue nggak pacaran. Loe? Yofanna tau kita di sini? Mengapa dia nggak diajak?”
Peter memalingkan wajahnya.“Tolong jangan dibahas tentang dia”
Ekspresi masamnya sudah cukup meyakinkan bahwa ada sesuatu diantara mereka dan aku tidak berhak tau. Lebih tepatnya, aku mengalihkan pada pokok pembicaraan lain sehingga kekakuan yang sempat muncul sejenak itu hilang segera. Kami kembali tertawa bersama saat ada cerita-cerita konyol sehingga membuat kami lupa waktu.
Di menit ke lima puluh tujuh, pancinganku bergerak dan seekor ikan mas tertangkap. Begitupun halnya dimenit terakhir, aku berhasil memboyong satu ikan mas lagi. Lengkaplah sudah, aku menjadi pemenangnya. Milikku tiga, dan dia masih berkutat dalam jumlah dua. Bukan main senangnya ku ekspresikan dengan meninju-ninju lengannya dan ia membalas dengan mengacak-acak rambutku.
Dia kalah. Tapi kekalahan lain berpihak padaku. Aku kalah melawan hatiku untuk konsisten pada keputusan bahwa akan pulang segera setelah ini. Sejak saat itu, hatiku kuat berpihak pada keputusannya untuk menginap disini hingga esok pagi walaupun semua itu awalnya mustahil. Sayangnya, perasaan ini tak mampu kuutarakan agar ia tidak berpikiran macam-macam. Malam itu setelah memancing, ikan hasil tangkapan yang berjumlah lima itu dibakar dan dinikmati bersama dengan melodi indah yang ia nyanyikan melalui nada-nada gitar yang ternyata ia persiapkan di belakang pondok kecil itu. Suaranya lumayan, saat itu ia menyanyikan lagu your call-nya secondhand serenade.
Beritahu aku, apa ini mimpi?
Andai sepanjang malam bisa seperti ini, bahkan aku lebih dulu menggerutu pada diriku sendiri mengapa kebahagaiaan ini harus sementara. Jika boleh memilih, lebih baik aku saja yang kalah agar dapat menikmati keajaiban bersamanya lebih lama. Sebelum kembali, ku sempatkan melihat tempat tersembunyi itu sekali lagi, membisikkan sesuatu bahwa suatu hari aku akan kesini lagi bersama Peter, menyulap keindahan sementara ini menjadi keajaiban seutuhnya.
@Ardhio_Prantoko hehe, terima kasih sudah membaca :)
Comment on chapter Pemilik Tatapan Teduh