Tiga minggu berakhir sejak perang dinginku dengan Peter dan pertemuan terakhir dengan Nazriel. Perasaanku sedikit lega karena hubunganku dan Peter sudah membaik setelah dia menelepon tengah malam, membangunkanku yang sedang tertidur lelap di malam yang dingin tanpa bintang-bintang. Dia membacakan surat yang ia tulis sebagai permohonan maaf yang berkisar sekitar empat halaman. Itu katanya. Mulailah aku tertawa cekikikan di kamar itu karena kata-kata dalam surat itu sangat formal dan imajinatif. Katanya ia sempat meminta bantuan pada temannya yang jago menulis surat kepada pemerintah daerah dan hasilnya menjadi aneh. Karena saat itu ia memposisikanku sebagai gubernur, bukan pacarnya.
Hari ini Peter kembali ke Jakarta. Ia punya waktu tiga hari disini tepat pada hari natal mereka. Hari ini ia mengajakku ke suatu tempat. Rahasia katanya. Sepanjang perjalanan aku disuruh tidak bertanya akan kemana kami. Ikut saja, itu perintahnya.
“Loe tau apa?” Tanyanya ketika kami dalam perjalanan
“Apaan?”
Peter mendekatkan bibirnya ke telingaku, tangannya masih memegang setir.
“Yofanna udah married”.
Spontan aku terkejut. Harus senang atau sedih kah ini? Aku menutup mulutku yang ternganga.
“Serius loe?”
“Iya, dua hari lalu ketemu dia di gereja, ada suaminya juga sih, sempat kenalan sama gue, kalo nggak salah mereka selisih lima tahun. Suaminya udah kerja di perusahaan bokapnya.”
Aku mangut-mangut.
“Dan, udah bunting aja tuh anak. Badannya udah berisi, tapi tetep cantik dan seksi” Lanjut Peter. Aku menatapnya tajam. Ku jewel telinga kirinya hingga ia merintih kemudian tertawa.
“Parah banget sih loe, puji dikit aja nggak boleh” Balasnya semakin membuatku geram. Aku melipat tangan kedalam sambil terus menatap lurus. Peter mencuri-curi pandang padaku sambil cekikikan.
Kubuka resleting tas jinjingku dan mengambil handphone. “Mending gue telepon Nazriel” Ucapku sambil mencari-cari kontak Nazriel disana. Peter merebut Handphone itu.
“Apaan sih? Loe kan lagi sama gue?!”
“Trus kenapa kalo gue lagi sama loe? Kenapa loe nggak coba telepon Yofanna aja, puji terus tuh abis-abisan!” Balasku sewot.
Peter malah tertawa makin keras dan mencubit pipiku lama. Jadilah di perjalanan tadi terjadi pertengkaran kecil dan diakhiri dengan lelucon dan gelak tawa kami.
Mobil berhenti di sebuah pesantren unik daerah Kediri . Ternyata yang ia rahasiakan itu adalah pesantren ini. Peter tau benar aku sudah sangat merindukan Nina. Setelah turun dari mobil, kami mengunjungi kantor pimpinan Pesantren. Aku takjub. Pesantren ini jauh dari sekedar menyenangkan, bahkan lebih menyejukkan. Di setiap sisinya berdiri kokoh pohon-pohon mangga, beringin, dan pohon-pohon yang biasa di gunakan untuk berteduh di bawahnya. Santri dan santriwati yang lewat berpakaian sopan menutup aurat dan terlihat damai. Jauh dari penampilan sehari-hariku yang cenderung terbuka dan jauh dari nilai-nilai islami. Pimpinan pesantren yang berumur 60-an dan bernama Pak Amin itu juga sangat ramah, kami tak perlu menunggu lama untuk bertemu dengan Nina. Tak lama setelah kami keluar dari ruangan pak Amin, Nina sudah menunggu di bawah pohon mangga yang sedang menguning.
Tanpa berkata-kata lagi aku mendekapnya. Senang bercampur haru masih diberi kesempatan bertemu sahabatku yang sudah dua tahun lebih terpisah itu. Nina juga merasakan hal yang sama. Hanya saja dari penampilannya aku tau bahwa sahabatku itu sudah mulai berhijrah pada kebaikan. Ia mengenakan jubah putih dengan tangan dan kaki dibaluti kaus dan tentu rambutnya sudah terlidungi dengan jilbab panjang dan lebar. Anggun sekali. Jauh lebih rapi dari penampilannya dulu.
“Terima kasih udah menjenguk gue, Biel, Peter” Sapa Nina. Aku merangkul bahu sahabatku itu, memastikan bahwa yang kutemui itu benar-benar Nina.
“Loe berubah banget, kapan ya gue bisa kayak loe, Nin”
Nina melirik Peter yang tersenyum meremehkanku.
Aku menyikut lengan Peter.”Apaan sih lu? Nggak percaya gue bisa lebih dari Nina?”
Bukannya membalas dengan cibiran, Peter malah mengelus rambutku yang setengahnya kututupi dengan selendang. Cepat-cepat kutepis tangannya karena risih dilihat oleh santri dan santriwati disana
“Bukannya gitu, Biel. Kalo loe jadi tertutup kayak Nina, orang kan semakin aneh liat gue. Masa’ ustadzah pacaran? beda agama lagi? Nah, lho?” Jawab Peter santai.
Benar juga katanya. Udah umur 20 tahun aja aku masih sering pakai rok mini. Bagaimana ceritanya bisa langsung tertutup utuh seperti Nina? Apalagi masih pacaran.
Nina mengantarkan kami pada tempat-tempat penting di Pesantren itu mulai dari kelasnya, mesjid, hingga ruang masak. Semuanya bersih dan tertata rapi. Tak salah ia menjatuhkan pilihannya pada pesantren ini.
Suatu kali ketika kami beristirahat di bawah pohon mangga yang belum berbuah. Peter tidak bersama kami, ia memilih duduk bersama penjaga pesantren untuk sekedar berbagi cerita. Nina mengutarakan pengalamannya dan kejernihan batin yang ia dapatkan. Belum pernah ia merasakan ketenangan seperti ini.
“Alhamdulillah, semuanya terasa berubah, Biel. Gue merasa terlahir kembali” Kata Nina, menggenggam tanganku.
“Gue yakin, orang tua loe udah berhasil menunjukkan tempat yang tepat buat loe, Nin”
Ku tatap mata Nina lekat-lekat. Ia mendekat, setengah berbisik. “Dan suatu saat, gue pingin loe juga disini, menghabisin waktu kayak waktu sekolah dulu”
Aku mengangguk pelan. Batang pohon mangga bergoyang di terpa angin, begitupun daun-daunnya yang hijau tua melambai-lambai seiring cuaca semakin panas. Bulan ini April, pantas saja terik terus sambung menyambung dari hari ke hari. Meninggalkan peluh-peluh penduduk bumi yang kian menjarah seisi dunia.
“Udah hampir sore, Nin. Gue sama Peter pamit dulu, Ya” Ucapku, mengakhiri pertemuan singkat kami. Nina mengantarkanku ke pintu gerbang sembari mengenalkanku pada teman-teman santrinya walaupun sebenarnya aku agak risih dengan penampilanku yang casual ala remaja tanggung ini. Kaos panjang dan blue jeans dengan rambut yang tidak tertutup sempurna.
Di depan mobil, aku dan Peter pamit sekali lagi padanya juga pada pemimpin pesantren serta orang-orang yang turut menyambut kedatangan kami. Nina menggenggam tanganku, kami saling berpelukan untuk sekian kalinya bahkan air mata ikut keluar dari sudut mataku.
Nina berbisik padaku. “Gue selalu berdoa agar sahabat gue ini selalu dalam lindungan Allah swt. Kalo loe sedih, sakit dan butuh gue, loe kesini ya Biel. InsyaaAllah gue selalu ada buat loe. Tapi ingat, sebelum itu pergilah pada Allah SWT, minta pertolongan-Nya, dan jika atas izin-Nya, gue akan menjadi perantara buat menghapus air mata loe, Biel” Itulah kata-kata terakhir Nina. Aku mengiyakan semua nasihatnya. Hingga sekarang Nina tetap dan akan selalu menjadi malaikatku.
***
Lima jam menempuh perjalanan sangat membuat badanku penat. Aku sudah berencana untuk mandi air hangat malam ini karena rasa lengket disekujur tubuhku. Kami tiba di depan rumahku. Dari luar tampak lebih sunyi mungkin Ayah dan Ibu terlanjur capek dan tertidur. Aku tak langsung turun dari mobil itu, Peter menahan tanganku agar tidak dulu keluar. Ya, aku tau ia akan pulang besok. Besok pagi, karena sorenya ada rutinitas dengan teman-temannya. Katanya pertandingan futsal dengan teman-teman seangkatan dan Peter juga tak bisa meninggalkan hal yang satu itu. Besok pagi juga aku harus cepat-cepat ke kampus disebabkan rapat UKM yang kuikuti.
“Gue kangen loe” Kata Peter menggenggam tanganku.
“Gue tau. Seharian loe udah sama gue, masih kangen?” Tanyaku mengejeknya. Peter diam sesaat.
“Yaudah , loe masuk aja gih, udah malam.” Ia melepaskan tanganku. “Ntar bokap loe marah lagi”.
Kuiyakan kata-katanya dan beranjak keluar tapi kemudian ia mencegatku. Melayangkan kecupan di keningku dan membelai rambutku sebentar. Ku balas dengan senyuman dan keluar dari mobilnya. Tepat di depan pagar, ia membuka pintu mobilnya dan mencegatku. Spontan saja ia langsung memelukku erat. Mendekap hingga aku dapat merasakan degup jantungnya. Ia mendekapku lama dan dekat sekali. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat itu, tapi satu yang pasti, ia tidak seperti biasanya. Malam itu, dia seperti pengecut yang pernah ku kenal.
Peter melepaskan pelukannya itu meskipun antara aku dan dia tak satupun berani membuka suara. Peter menurunkan wajahnya beberapa senti hingga tanpa izin ia mencium bibirku. Hanya sekali. Saking kagetnya kutampar wajahnya, aku sama sekali belum pernah dicium di bibir oleh laki-laki manapun karena pacaran saja sudah berdosa, apalagi sampai sejauh ini meskipun itu hanya sekali saja. Reaksi laki-laki yang di depanku ini salah tingkah. Ia menggaruk-garuk kepalanya mencoba menghindar dari tatapanku.
“Ma, maaf Biel, gue udah keterlaluan”
“Emang. Sekalipun loe minta izin tadi, gue gak bakal izinin. Loe tau nggak sih? Bokap gue aja nggak pernah cium gue, apalagi loe!” Bentakku saking geramnya. Aku memang mencintainya, tapi cinta tak menjadikan segala hal menjadi halal dilakukan dan cintaku memiliki batas-batas tertentu, termasuk mencium tanpa izin.
Pelan-pelan, Peter berani menatap mataku. “Gue janji, itu yang terakhir. Setelah itu, nggak ada lagi alasan untuk membuat loe marah” Ia menarik napas panjang. “Kita bahkan belum tentu berjodoh, bego banget sih gue”
Aku kehilangan kata-kata. Ku rangkul tangannya dan tersenyum tipis, itu saja cukup untuk mengakhiri pertemuan ini.
Beberapa saat kami berpegangan, Peter pamit pulang dan melambaikan tangannya. Besok kami akan berpisah untuh beberapa waktu lagi. Meskipun begitu, ia membuat aku begitu menikmati hari ini, lebih tepatnya, ciuman tanpa rencana tadi, hihi.
@Ardhio_Prantoko hehe, terima kasih sudah membaca :)
Comment on chapter Pemilik Tatapan Teduh