Read More >>"> Anderpati Tresna (Bab 3 : Moodbreaker) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Anderpati Tresna
MENU
About Us  

Bab 3. Moodbreaker

 

                     Matahari selasa sungguh menyengat, panas membara bagai uap yang menguar keluar dari panci penanak nasi. Peluh bening mengalir deras di sekitar dahi para siswa yang sedang melakukan kegiatan olahraga, sungguh mengenaskan sekali mendapatkan jadwal olahraga pada jam pelajaran kelima dan enam. Mungkin itulah yang sekarang ada di pikiran para siswa yang saat ini sedang berlari mengitari lapangan, hal tersebut tak lantas membuat sang pembina atau guru olahraga mereka merasa iba. Pak Rofik, guru olahraga SMA Garuda malah semakin gencar menyemangati muridnya untuk terus berlari. Sesekali ia meneriaki siswa yang terlihat terengah-engah sambil membungkukkan badan. Beberapa anak mengutuk pelan guru kejam yang kini malah berdiri di bawah naungan genteng kelas yang melebar tepat di sebelah lapangan olahraga outdoor. Pak Rofik memang selalu kejam kepada anak didiknya, ia tidak akan membiarkan mereka berleha-leha selama jam pelajarannya. Tapi jangan salah, segalak-galaknya Pak Rofik dan sekejam-kejamnya Pak Rofik beliau akan membayar semua kerja keras siswanya pada saat pembagian nilai raport.

                    

                     Tidak ada pemandangan yang lebih indah daripada pemandangan yang ada dihadapanku saat ini, mendengar suara Pak Rofik yang menggelegar memarahi siswa yang kini basah keringat di lapangan membuatku senang. Tunggu dulu, bukannya aku seorang yang antagonis loh! tapi peristiwa yang kini berada di hadapanku dan juga seluruh anak kelas XII IPA 3 ini sungguh pemandangan yang tak layak untuk dilewatkan.

 

“Pak Rofik k tuh si Arka, duduk duduk cantik tuh Pak.” teriak Arna mengundang tatapan tajam Pak Rofik. Dan terdampratlah siswa laki-laki yang tadi diteriaki Arna oleh suara Pak Rofik yang seperti toa.

 

“Haha rasain lo... ngerjain gue sih kemaren.” gumam Arna sambil menyengir puas.

 

“Kayaknya lo seneng banget Na.” suara Ismi terdengar heran menatap Arna.

 

“Jelaslah. Asal lo tau aja Is sama lo Res, gue tuh benci banget sama si Arka. Lo ingetkan pas kita olahraga kemaren, masa gue diteriakin katanya gue mau kabur ke kantin. Padahal jelas-jelas gue mau ngejar bola voli, tapi gara-gara dia teriakin gue jadinya telinga gue nih yang jadi korban jeweran Pak Rofik.” tutur Arna tak lupa memanyunkan mulutnya.

 

“Ati-ati lo Na.” kataku memperingatkan. Arna menatapku mengerutkan dahi.

 

“Ati-ati kenapa?” tanya Arna yang semakin mengerutkan keningnya mendapati diriku yang malah nyengir kuda.

 

“Ati-ati ntar hati lo kenapa-napa.” jawabku ngasal.

 

                     Arna tak membahasnya lagi, kini pandangannya kembali fokus ke depan. Memandang keramaian lapangan olahraga yang dipenuhi anak-anak kelas XII IPA 2.

Begitulah yang sering kami, anak kelas XII IPA 3 lakukan saat siang hari menjelang istirahat ke-2. Menyoraki dan memprovokasi Pak Rofik agar menghukum siswa yang melakukan sesuatu yang mungkin bisa memicu kemarahan sang guru. Hal itu dilakukan bukannya tanpa sebab, meskipun saat ini baru semester awal kelas XII, tradisi saling menyoraki ini sudah terjadi beberapa tahun yang lalu. Tentu saja meniru perilaku kakak kelas angkatan terdahulu. Biasanya masing-masing kelas menaruh dendam pada kelas lain yang telah mengejeknya di depan Pak Rofik, kemudian pada jam olahraga kelas gilirannya saat itulah mereka melancarkan aksi menyoraki dan mengejek balik. Namun, kegiatan tak berguna seperti ini tentu saja bisa lancar terlaksana jika ada jam kosong saja, selain itu juga saat tak ada guru yang melintas di koridor kelas. Kalo ketahuan, ya siap-siap saja jadi santapan omelan.

 

“Wehh wehh ada Bu Irma. Masuk masuk!!!” Teriak Rudi, murid slengean IPA 3 dengan suara tertekan, memperingatkan agar semua teman-temannya masuk ke kelas.

 

Tanpa menunggu perintah selanjutnya, semua siswa yang sedari tadi duduk menyantai di teras depan kelas berhamburan tak karuan, saling berebut masuk kelas. Tak terkecuali aku, Ismi dan Arna. Gina temanku yang satunya mungkin sudah lebih dulu berada di dalam kelas, karena kelasku dan Gina tidak sama. Gina itu murid pintar jadi ya masuk kelas intensif, XII IPA 1.

 

Setelah semua siswa masuk ke dalam kelas dan duduk pada tempatnya masing-masing, barulah beberapa saat kemudian Bu Irma menyusul masuk ke dalam kelas. Wanita yang berusia sekitar akhir tiga puluhan itu memasuki kelas dengan langkah yang anggun dan berwibawa, parasnya yang ayu berhasil menutupi usianya yang semakin tak muda lagi. Bu Irma adalah guru Bahasa Inggris, sayang sekali. Bu Irma ini salah satu guru farovitku di sekolah, tapi tidak dengan mata pelajaran yang beliau ajarkan. Ya begitulah diriku, menurut kata hatiku yang terdalam bahasa Inggris itu a learn is difficult. Sungguh aku sama sekali tak menyukai mata pelajaran yang satu ini, selain ribet juga membuat ngantuk. Padahal sewaktu SMP aku pernah bertekad ingin keliling dunia dan saat itulah aku mulai (terpaksa) menyukai mata pelajaran orang bule ini. Semakin giatnya diriku mempelajari pelajaran Bahasa Inggris waktu itu semakin terpuruklah nafsu makanku, eh maksudnya semakin aku memaksakan sesuatu disitulah aku akan merasa muak pada masa selanjutnya. Karena itu juga kini, aku tak ingin memaksakan suatu pelajaran agar hanya bisa memuaskan mimpiku yang sesaat.

 

                     Balik lagi ke dasar kenyataan yang menyayat pikiran, Bu Irma sibuk menjelaskan sesuatu yang sama sekali tak aku perhatikan. Buku LKS pun aku belum membeli, bagaimana mau memperhatikan. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan kelas, beberapa anak fokus mendengarkan penjelasan dari Bu Irma tapi sebagian lagi sibuk menekuni buku mereka sambil memegang sebuah pulpen. Aku yakin sekali mereka pasti merasakan apa yang aku rasakan sekarang.

 

“Any question?” suara Bu Irma membawa pandangan mataku kembali ke tempat yang seharusnya. Bu Irma terlihat mulai membereskan buku-bukunya yang ada di atas meja, apa pelajarannya sudah selesai? Kok cepet banget? Aku bertanya-tanya dalam hati tapi tak mengelak juga merasakan kesenangan tak terbendung di dalam dada. Aku menegakkan tubuh bersiap menyambut salam perpisahan dari guru di hadapan kelas ini.

 

“Kalau tidak ada pertanyaan, saya anggap kalian sudah mengerti tentang bab ini. Besok ada jam saya lagi kan? Nah besok kita akan langsung ulangan mengenai bab ini. Belajar yang giat dan dapatkan nilai yang bagus.” Bu Irma mengamanati seluruh kelas.

 

“Sudah ya. Wassalamualaikum Warrohmatullahi Wabarokatuh.” kalimat salam dari Bu Irma menutup perjumpaannya hari ini, seketika itu juga kepalaku tak henti-hentinya ku jedotkan keatas meja.

 

“Hey hey ada apa sayang?” tanya Arna bingung menatap kefrustasianku, tangannya ia letakkan di atas meja untuk menahan benturan yang kulakukan.

 

“AHHHHHHHHHHH...” teriakku frustasi yang membuat seluruh kelas menengok kearahku sebal. Tatapan mereka seperti mengatakan ‘apa-apaan sih’.

 

“Lo udah gila ya Res?” kini giliran Ismi yang bertanya.

 

“Kantin ayo.” ajakku kepada Arna dan Ismi yang masih saling tatap-menatap.

                    

                     Suasana kantin yang ramai sudah menjadi pemandangan yang lumrah untuk seluruh siswa SMA Garuda, beberapa celotehan anak-anak mendominasi tempat yang dipenuhi meja ini. Aku, Arna dan Ismi memilih meja paling pojok sebelah kanan kantin. Menikmati menu makanan yang telah dipesan. Aku mengamati Ismi yang sedang asyik menyantap mie ayam di mejanya, sedangkan Arna sibuk memandangi ponselnya sambil sesekali menyuap sendok berisi batagor ke dalam mulutnya. Aku sendiri memilih memesan bakso untuk menjadi santapan makan siangku.

 

“Eh... Gina kemana kok gak keliatan dari tadi.” aku memulai pembicaraan, karena sedari tadi memang temanku yang satu itu belum menampakkan batang hidungnya di hadapan kami.

 

“Lo gak tau? Dia gak masuk hari ini, sakit katanya.” jawab Ismi yang kini mengalihkan perhatiannya kepadaku. Aku mengangguk-anggukan kepala khidmat.

 

“Eh masa? Ya udah pulang sekolah kita jengukin aja. Gimana?” usulku.

 

Ismi dan Arna saling bertukar pandangan, kemudian menganggukkan kepala mereka secara bersamaan. Aku tersenyum melihat respon mereka, saatnya melancarkan unsur terselubung.

 

“Tapi gue nebeng ya, kalian kan tau gue gak pernah bawa kendaraan.” aku menyengir menampakkan sederetan gigi putihku. Arna menghela nafas jengah.

 

“Gue tadi juga udah nebak Res, tenang aja apa sih yang enggak buat elo.” Arna mengibaskan tangan kanannya, menganggap ucapanku tadi adalah hal yang sudah bisa diprediksi olehnya.

 

**

                    

                     Dan disinilah akhirnya kami berada, di sebuah ruangan bernuansa ungu yang terlihat menghampar luas diseluruh penjuru kamar. Gina si maniak ungu, dari mulai baju-bajunya yang kebanyakan berwarna ungu, sepatu yang kebanyakan juga terdapat aksen ungu-nya, ruang kamar yang seluruh ruangannya bercat ungu begitupula seprai yang menyelimuti spring bed­-nya pun berwarna dominan ungu. Sampai-sampai si Gina ini pernah atau mungkin lebih bisa dikatakan sering dihukum oleh guru BK karena tertangkap basah mengenakan kaus kaki berwana ungu. Sudah seringkali memang aku, Arna dan Ismi datang ke rumah Gina tapi tetap saja kita tak dapat menghentikan hasrat ingin tahu apa saja yang mungkin telah diperbarui di kamar suram Gina ini. Ya, seringkali aku dan Ismi mengatakan kalau kamar Gina ini terlihat suram karena sejauh mata memandang hanya terlihat warna darkmagenta atau mungkin lebih ke arah warna purple ini yang menurut kami membuat mata mengantuk. Sudah pernah aku tanyakan kepada Gina kenapa tidak memilih warna fuchsia, violet atau orchid saja dibandiing warna yang sekarang menempel pada dinding kamarnya ini, dan kata Gina begini

 

“Gue suka warna ungu bukannya campuran warna antara reddish pink-ungu atau apalah yang lo tanyain tadi, pokoknya gue taken-nya sama yang warna ungu. Ya udah, gue berusaha nurutin kata hati aja kok.”

 

Jujur aku tidak tahu apa maksud jawaban Gina itu, bukannya warna ungu juga merupakan warna campuran antara biru dan merah? Terus apa hubungannya gitu warna ungu dengan taken? Ah sudahlah, lupakan saja.

 

                     Tadi sepulang sekolah, kami langsung tancap gas menuju rumah Gina yang terletak di perumahan green house dekat sekolah. Aku memboceng Arna dengan motor matic merah putihnya yang selalu ia bangga-banggakan, sedangkan Ismi menyetir sendirian dengan motor scoopy warna cream miliknya.  Sebelumnya juga Arna menanyakan kabar Gina via telepon bagaimana kondisinya dan apakah ia dirawat di rumah sakit atau tidak, Gina memberitahukan bahwa ia sudah mulai mendingan, hanya mengalami demam biasa pagi tadi.

 

“Kalau diliat-liat baju lo ternyata ungu semua yah Gin?” kata Ismi ketika sedang membuka lemari pakaian Gina untuk menaruh selimut yang baru saja selesai dicuci dan diantar ke kamar Gina oleh mbok Sumi-asisten rumah tangga di rumah Gina.

 

Aku ikut melirik meneliti jejeran baju-baju dan dress milik Gina yang ada dalam lemari. Benar juga kata Ismi, hampir semua baju disana tak lepas dari warna ungu. Salah satunya yang bisa aku lihat dari sini adalah dress selutut bermotif batik berwarna biru, memang kalau tidak dilihat secara teliti akan memberikan kesan bahwa warna pada baju tersebut adalah keseluruhan biru, tapi jika lihat secara seksama dan dalam tempo yang tidak singkat kita akan menemukan renda-renda bermotif bunga melati berwarna purple menggantung di pinggang baju terusan itu, juga ada renda yang sama berwarna purple juga menghiasi bagian ujung dress  yang ada di bawahnya. Sugguh Gina si maniak ungu.

 

“Ehm... gak juga Is, itu mah gue beli sendiri jadi gue pastiin ada warna ungunya, tapi ada baju selain warna ungu di lemari kamar mandi. Kebanyakan di beliin, jadi gak sesuai selera warna gue.” jawab Gina santai, mulutnya tak lepas dari mengunyah buah apel yang tadi aku kupaskan. Ismi hanya manggut-manggut tak berminat untuk mendebat jawaban Gina.

 

“Jadi gimana?” tanya Gina mengarahkan tatapannya kepadaku. Aku bingung celingak-celinguk tak mengerti maksud dari pertanyaan yang diajukan Gina.

 

“Gimana apanya?” tanyaku bingung, Arna dan Ismi sudah terduduk di karpet bawah kamar Gina. Memperhatikan pembicaraan apa yang akan di bahas antara aku dan Gina.

 

“Sama Eza? Katanya dia suka sama lo. Gue kan udah cerita kemaren-kemaren. Dia bilang ke gue katanya suka sama lo Nares.” Gina memberi tatapan gemas kepadaku yang kubalas dengan memutar kedua bola mata gemas.

 

Eza Rahmana, anak kelas XII IPA 1. Satu kelas dengan Gina, jujur aku belum terlalu mengenal semua murid di SMA Garuda mengingat aku juga baru tahun kemarin pindah ke sekolah itu. Jadi akupun belum terlalu mengenal Eza Eza itu, dan seperti kata Gina bahwa Eza menyukaiku, ya apa boleh buat semua orang berhak untuk menyukai lawan jenisnya bukan? Itu hal yang lumrah menurutku. Tapi sejak tiga hari lalu Gina mengatakan padaku bahwa ada orang yang menaruh hati padaku dan ingin lebih dekat berhubungan denganku, aku merasa sedikit... ehm risih...mungkin. Aku tidak terlalu tertarik untuk menjalani hubungan dengan lawan jenis atau yang sering disebut pacaran itu, setidaknya untuk saat ini aku belum ingin berpacaran. Tapi kalau hanya sekedar berteman ya boleh lah, gak masalah. Menurutku juga banyak teman banyak rezeki hehe.

 

“Terus kenapa emangnya Gin, yaudah lah kalo dia suka sama gue. Gak ada yang ngelarang kan suka sama orang lain.” aku menyuap potongan apel yang telah terkupas, mengunyahnya perlahan dan menikmati sari apel yang mengalir di tenggorokan dengan nikmatnya.

 

“Jadi lo juga suka sama dia?” tanya Gina dengan suara lantang. Astaghfirullah... kalau suara bisa membunuh manusia, mungkin aku, Arna dan Ismi sudah menggelepar seketika di lantai ini. Halah...

 

“Ntu mulut di kondisikan, main teriak aja. Lo pikir gue budeg?” aku meniup meniup tanganku yang mengepal kemudian menempelkannya ke dekat telingaku, berusaha meredam teriakan Gina yang masih menggema di gendang telingaku.

 

“Jadi gimana? Gue kasih ni nomer hp lo ke Eza, gapapa?” tanya Gina, aku menghentikan aksi tiup meniup pada kepalan tanganku. Berusaha serius dengan pembicaraan khas anak remaja ini.

 

“Menurut lo gimana Ar?” tanyaku mengalihkan tatapan kepada Arna yang sedari tadi cengo mendengar pembicaraan antara aku dan Gina. Arna memandangku bingung, kemudian menghela nafas ringan. Asik si calon ibu psikolog mau memberikan saran. Ehehe

 

“Menurut gue sih terserah lo aja.” Arna melengos dari duduknya, beranjak menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar Gina.

 

“Gin, lo pakek cuci muka apaan? Gue minta, muka gue panas daritadi liat Nares kayak orang idiot.”  lanjut Arna dari dalam kamar mandi.

 

“Dasar lo Ar, psikolog mbahmu. Dimintain saran ora pernah nanggepi*.” aku menggerutu keras kepada Arna.

 

“Jadi gimana Yatri?” Tanya Gina, kini ia mungkin mulai kesal kepadaku. Karena ia sudah memanggil nama tengahku GaYATRI. Sial ini anak. Aku mendengus pelan, memusatkan seluruh perhatianku kepada Gina.

 

“Jujur ya Gin, gue sebenernya gak suka sama cowok yang apa-apa minta bantuan ke orang lain. Ya salah satunya ini, mau kenalan sama gue aja pake perantara elo. Gue juga gak bodo-bodo banget kali, gue juga udah tau dia pengen deket sama gue pengen kenal gue lebih jauh. Tapi kalo awalnya aja dia udah gak gantle gini, gue malah ilfil jadinya.” Jelasku panjang lebar. Gina memandangku dengan tanda tanya besar mucul di bola matanya. Ampun ini anak katanya pinter, tapi kok masalah gini aja gak nyambung. Aku mendecakkan lidah keras-keras.

 

“Pokoknya jangan kasih nomer hp, ID Line, Pin BB, nomer WA ataupun apapun yang menyangkut gue ke Eza temen lo itu. Kalo mau minta temenan kan bisa langsung ngomong ke gue ngapain pake perantara elo sih. Ah.” Aku mewanti-wanti kepada Gina dengan nada bicara yang sudah tak bisa di bilang normal itu. Ah menyebalkan. Rusak sudah moodku hari ini.

 

**

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • dede_pratiwi

    wah miopi saya juga miopi nih hehe

    Comment on chapter Bab 1 : Murid Baru dan Insiden
Similar Tags
Thieves Sister
14092      2369     7     
Action
Remaja kembar yang bisa mencuri benda-benda bersejarah milik dunia dan membalas dendamkan kematian kakaknya. Apa yang terjadi selanjutnya?
High Quality Jomblo
38232      5311     53     
Romance
"Karena jomblo adalah cara gue untuk mencintai Lo." --- Masih tentang Ayunda yang mengagumi Laut. Gadis SMK yang diam-diam jatuh cinta pada guru killernya sendiri. Diam, namun dituliskan dalam ceritanya? Apakah itu masih bisa disebut cinta dalam diam? Nyatanya Ayunda terang-terangan menyatakan pada dunia. Bahwa dia menyukai Laut. "Hallo, Pak Laut. Aku tahu, mungki...
Satu Koma Satu
14209      2617     5     
Romance
Harusnya kamu sudah memudar dalam hatiku Sudah satu dasawarsa aku menunggu Namun setiap namaku disebut Aku membisu,kecewa membelenggu Berharap itu keluar dari mulutmu Terlalu banyak yang kusesali jika itu tentangmu Tentangmu yang membuatku kelu Tentangmu yang membirukan masa lalu Tentangmu yang membuatku rindu
Sampai Nanti
446      236     1     
Short Story
Ada dua alasan insan dipertemukan, membersamai atau hanya memberikan materi
Kenangan
576      351     1     
Short Story
Nice dreaming
Sadness of the Harmony:Gloomy memories of Lolip
589      315     10     
Science Fiction
mengisahkan tentang kehidupan bangsa lolip yang berubah drastis.. setelah kedatangan bangsa lain yang mencampuri kehidupan mereka..
Melting Point
4930      1025     3     
Romance
Archer Aldebaran, contoh pacar ideal di sekolahnya walaupun sebenarnya Archer tidak pernah memiliki hubungan spesial dengan siapapun. Sikapnya yang ramah membuat hampir seluruh siswi di sekolahnya pernah disapa atau mendapat godaan iseng Archer. Sementara Melody Queenie yang baru memasuki jenjang pendidikan SMA termasuk sebagian kecil yang tidak suka dengan Archer. Hal itu disebabkan oleh hal ...
Tentang Kita
1579      681     1     
Romance
Semula aku tak akan perna menduga bermimpi pun tidak jika aku akan bertunangan dengan Ari dika peratama sang artis terkenal yang kini wara-wiri di layar kaca.
Forestee
429      301     4     
Fantasy
Ini adalah pertemuan tentang kupu-kupu tersesat dan serigala yang mencari ketenangan. Keduanya menemukan kekuatan terpendam yang sama berbahaya bagi kaum mereka.
Hati Langit
6782      1542     7     
Romance
Ketika 2 orang teman yang saling bertukar pikiran mengenai suatu kisah sehingga terciptalah sebuah cerita panjang yang berwujud dalam sebuah novel. Buah pemikiran yang dikembangkan menjadi suatu kisah yang penuh dengan inspirasi dan motivasi dalam menghadapi lika-liku percintaan. Persembahan untuk mereka yang akan merengkuh jalinan kasih. Nani Sarah Hapsari dan Ridwan Ginanjar.