Ketika suhu di Inggris mulai menghangat, Kenan keluar dari tempat persembunyiannya, keluar memandangi kolam di pekarangan rumahnya. Gletser mengakibatkan debit airnya bertambah. Setelah sekian lama ia melihat kolam yang membeku, akhirnya ia dapat merasakan air jernih lagi. Tentu masih ada beberapa balok es yang tertinggal dan mengapung di sana.
“Mana ada sungai seperti ini di Indonesia. Aku rindu rumahku. Aku rindu rumah Lena. Aku rindu toko musikku.” Wajah Kenan memancarkan kesedihan. “Sudah satu musim aku terjebak di sini. Kalau aku kembali nanti, apa yang dapat kukatakan pada teman sekelas Lena ketika aku masuk ke kelas tanpanya?”
Kenan meringsut untuk duduk di rumput lembap. Tak lama ia bangkit berdiri, membersihkan celananya dan masuk ke dalam lagi.
Ia membiarkan televisi menontonnya selama berjam-jam. Pikirannya melayang entah kemana. Bahkan matanya yang lelah itu melihat tanpa hampir berkedip. Mungkin benar kata Ryan dan Lena kalau aku makin aneh di Inggris.
Kenan duduk meringkuk di sofa. Tiba-tiba telinganya berdiri karena mendengar langkah kaki seseorang di belakang sofanya.
“Ah, Vincent?”
Vincent yang awalnya berjalan terburu-buru langsung menghentikan langkah kakinya seakan-akan ada rem otomatis di tumit sepatu pantofelnya.
“Yes, Miss?” jawab Vincent sopan.
“Tommorow is a valentine day, right?”
“Yes, Miss.”
“Can I have your time again to accompany me?”
“Anytime as you wish, Miss.”
Kenan menatap mata pelayannya itu. “I think I need another dress.”
“Sure, Miss. Also, Mrs. Challysto told me a new boutique a few moments ago. Would you like to go to that place, Miss?” tanya Vincent dengan sopan.
“Ok. Thanks,” jawab Kenan singkat.
Vincent membungkukan badannya lalu pergi. Setelah pergi, Kenan kembali menghadapkan dirinya ke penonton setianya lagi. Kembali melamun lagi.
“Kerjaku hanya menghabiskan uang untuk gaun-gaun yang tak berguna itu saja,” bisik Kenan.
Benar sekali kalau membeli gaun baru tiap ada pesta dimana pun itu, entah kenapa menjadi kebiasaan baru. Sering kali terpikirkan andaikan Kenan juga bisa membelikan satu gaun untuk Lena, ia pasti senang sekali. Pikirannya jadi cerah setiap kali memikirkan tentang Lena sehat.
“Syiapa itu? Kenapa hali ini mukanya celah syekali,” goda Lena.
Kenan terkejut, senyumnya jadi ciut. “Masa? Memang sejarang itu aku senyum ya? Menyedihkan sekali.” Lena tertawa. “Kau masih suka merah muda ‘kan?” Lena mengangguk. “Kalau gitu kupikir tak salah aku memberikanmu ini.”
Kenan menyodorkan kotak yang berhiaskan pita di atasnya. Lena penasaran akan isinya dan langsung merebutnya dari tangan Kenan begitu saja.
“A Dless?” tanya Lena tak percaya.
“Aku ingin lance. Aku pikir dulu aku pernah mengatakannya.”
Lena tersenyum senang. “Thanks!” seru Lena gembira.
Kenan tersenyum ketika melihat Lena senang menerima benda pemberiannya. Ia lalu duduk di sebelah Lena dan mengambil apel yang ada dekatnya untuk dikupas. Kebiasaan anehnya yang berikutnya.
“Tak ada yang bisa kuberikan lagi padamu selain benda-benda kecil seperti itu.”
Lena terkesiap. “Benda kecil? Kehadilan dan kelembutan nada biolamu bukan hal kecil bagiku. Kenapa kau belpikil syepelti itu?” tanyanya agak marah.
“Entahlah. Aku merasa diriku begitu kecil, apalagi kalau aku sampai kehilanganmu. Rasanya lebih baik mati.”
Lena membuka lipatan gaun itu. “Aku pikil Mrs. Litsena melahilkan Kenan bukan untuk ia sygela mati.,” ujarnya santai. Mata Kenan terbelalak mendengar nama ibunya disebutnya. “Kenan lahil di kelualga Challysto juga bukan kalena kebetulan. Jadi, coba untuk matamu telbiasya memandang ke depan, Kenan. Kalau kau tak bisya, bial aku yang menjadi kacamata kuda buat Kenan.”
Mulut Kenan menganga lebar mendengar perkataan bijak Lena. “Bisa saja kau menasehatiku,” jawabnya. Di lain hal, jari Kenan jadi teriris pisau saking terkejutnya dengan hal konyol tadi. “Aduh, jari telunjukku.”
“Kau tak apa!?" seru Lena panik. “Celoboh syekali!” Lena yang tak bisa banyak bergerak memakai selimutnya untuk menekan jari Kenan yang berdarah. “Aku helan nada bicalamu masyih datal-datal syaja. Jalimu belhalga tahu.”
Lena berubah seperti ibu-ibu yang tidak berhenti mengomel dengan tetap menekan jari Kenan yang darahnya tidak mau berhenti dengan selimut putihnya. Tentu saja warnanya tidak jadi putih lagi.
Beberapa saat kemudian pendarahan ringan itu berhenti. Kenan yang merasa geli menghentikkan aksi Lena yang lucu.
“Kau seperti ibu-ibu saja.” Kenan tertawa geli. “Itu hanya luka kecil. Lagipula,” ucapnya, “aku yakin kau mau aku mainkan satu lagu lagi, bukan? Kalau kau masih asyik menekan lukaku, waktuku di sini semakin berkurang.”
“Tetap syaja syakit, kan. Jangan pula-pula baik-baik syaja.” Lena meringut.
Kenan menenangkan perasaan Lena dengan menggerak-gerakkan jari telunjuknya. Lena kembali tersenyum, mengingat Lena tak bisa tertawa lebar lagi.
“Baiklah, baiklah,” ucap Lena senang.
Kenan mengambil violinnya dan meletakkan bow-nya di atas senar. Badannya yang sedang berdiri tegak kapan saja siap menggesekkan biolanya.
“Johann Strauss: The Blue Danube.”
Selesai memainkan lagu, Kenan buru-buru pergi sebelum perawat sempat masuk kamar Lena. Ia dikejar waktu untuk kembali ke butik tempat ia membeli gaun karena ia pulang terlalu sore. Oleh karena itu, begitu sampai si tempat parkir Kenan langsung menaiki mobilnya dan berangkat.
“Kenapa di hari Valentine kau malah ada di sini?” tanya Ryan yang asyik main hp di depan butik yang baru dikunjungi Kenan.
“Kau sendiri kenapa malah di sini?”
“Mom butuh gaun baru untuk menemani Dad pergi.”
“Oh.”
“Hei,” panggil Ryan sebelum Kenan menghambur kembali ke mobilnya–minatnya untuk beli gaun baru lenyap begitu melihat anak itu. “Happy valentine.”
“… ya. Happy valentine, Ferliaz.”
Ryan memasukkan hpnya ke saku. Ia tak berani mendekati Kenan karena tahu hubungan mereka tidak bertambah baik, makanya ia berbicara dari jauh. “Ehm, bagaimana kalau kau coba main violinmu di atas panggung?” tanyanya. Kenan terkesiap. Matanya cepat melirik ke arah Ryan. “Ya ya Alexa. Ada kompetisi violin untuk anak-anak usia di bawah 17 tahun di Wiltshire. Aku pikir bagus juga kau ke sana. Yang juara akan terpilih untuk mengiringi opera anak di Royal Albert Hall. Jadi, karirmu sendiri,” kata Ryan menawarkan sesuatu yang menggiurkan pada Kenan.
“Akan kupikirkan.” Ia buang muka. “Terima kasih informasinya, Ferliaz.” Ia melanjutkan langkah kakinya kembali ke mobil.
Mobil yang melaju itu tampak oleh bibi Vani yang bertepatan keluar dari butik.
“Ryan, itu Kenan, ‘kan? Kok dia tidak jadi masuk?”
Ryan menghela nafas. “Kita semua tahu alasannya, Mom.”