Loading...
Logo TinLit
Read Story - Black Lady the Violinist
MENU
About Us  

Kepala Kenan menengadah ke langit kelam Sleman. Beberapa tetes sisa air hujan membasahi wajahnya dan menyegarkan dirinya yang mulai bosan. Dua jam tidak kurang lama baginya untuk menunggu hujan reda di bawah bayangan kanopi rumah tetangga. Masalahnya adalah... kanopi tempatnya berteduh tidak kurang kecil untuknya dan kedua kawannya. Belum lagi kedua makhluk itu begitu rusuh saling dorong untuk berebut tempat.

Pelangi seperti di langit desa wisata Kalibiru yang kulihat di tv ternyata bisa muncul di sini juga ya? Cantik... Mata Kenan berkilauan waktu memandang pelangi yang terbentang di angkasa. Ah, padahal sama-sama di Yogyakarta tapi kenapa rasanya kampung kumuh Parejo ini dan desa itu bagai langit dan kuburan?

 “Pelangi!!” Lena mendorong Rudi menjauh darinya. Ia pasti tidak sadar kalau ia mendorong temannya sampai terjerembap di lumpur. “Ihiy!! Ini sudah ketiga kalinya aku lihat pelangi!! Kenan, itu pelangi!!”

Tak usah berisik teriak-teriak juga aku tahu itu pelangi...

Lena berlari ke sana kemari, berputar-putar membentuk lintasan angka 8 lalu cengar cengir kuda. Setelah capek dan kepalanya pegal, ia berhenti. Matanya bersinar-sinar saat memandang Kenan–entah apa yang Lena ingin sampaikan dari senyuman bahagianya itu–lalu mulai berlari-lari lagi.

Di kesempatan berikutnya–saat Lena capek (lagi) dan istirahat sambil ngos-ngosan (lagi)–Rudi berjingkat-jingkat mendekatinya dari belakang. Tangannya–dan seluruh badannya–penuh lumpur. Tak perlu menunggu lama sampai gumpalan lumpur tersebut melayang ke kepala Lena. Semuanya. Yah, tak perlu tunggu beberapa detik juga sampai jeritan 5 oktaf Lena menggema.

“Ru... diii!!!!”

Mereka pun kejar-kejaran di area berlumpur. Lumpur yang mereka injak-injak itu ikut pula memantul-mantul ke segala arah. Jangan tanya kenapa nantinya dari ujung kepala ke ujung kaki Kenan penuh noda lumpur. Rasanya dua jam mereka untuk menunggu hujan reda (tujuannya kan supaya pakaian mereka tidak basah) sia-sia.

“Kau yang mulai duluan, anak cewek gila!”

Rudi menembakkan peluru lumpur ke dahi Lena. Dan... homerun! Mendarat sempurna di jidat lapangan tempur Lena. Alhasil, Lena tambah ngamuk.

Dari kejar-kejaran sekarang lempar-lemparan lumpur? Aku pasti tidak bisa sampai rumah dengan selamat sentosa ya...

Lemparan bola lumpur Lena sayangnya tidak ada yang tepat sasaran. Ia menghabiskan semua amunisi lumpur di tangannya dengan sia-sia. Waktu Lena menunduk untuk mengisi ulang amunisinya, Rudi melemparkan satu bola lumpur terbesar yang dibuatnya. Hiyat! Bola lumpur itu melayang melewati Lena menuju... Kenan.

Seinci lagi lumpur itu hampir mengenai muka Kenan yang ada di belakang Lena. Kenan mendongak ke belakang lalu pandangannya kembali ke kedua bocah lumpur di hadapannya. Matanya memelototi Rudi.

Sadar suasana jadi tegang, Lena bangkit berdiri. Ia melihat ke arah Rudi melihat. Di balik punggungnya, Lena mendapati Kenan yang diam saja. Lena mengerjapkan mata berkali-kali, masih berpikir kenapa badan Rudi bergetar (sebenarnya dia takut pada Kenan).

“Ehm, kenan?” Pandangan mata Lena kembali pada teman di belakangnya. “Oh, Ke.. nan...” Ekspresi Lena seketika berubah seperti melihat hantu. Ia BENAR-BENAR baru sadar ulah mereka berdua pada temannya tersebut. Lena celingukkan kemana-mana, ketakutan sama seperti Rudi ketakutan. Berikutnya, dengan gagah berani–dan terpaksa–Lena menarik baju Rudi kemudian berlari mendekati Kenan yang alisnya sudah terangkat sebelah. “Ma, maaf, Ken! Rudi, sini! Kamu kan yang salah!” Lena mencengkram tangannya pada pundak Rudi lalu memandang Kenan penuh harap supaya ia memaafkannya.

Rudi baru mau protes pada tuduhan semena-mena Lena tapi ia urungkan niatnya waktu melihat bola mata Kenan. Sejenak Kenan hanya menatapnya, terus menatapnya, bingung. Sekian lama, detik demi detik. Hening total. Akhirnya Rudi menyerah, ia menarik Lena menjauhi Kenan lalu memecah keheningan yang rasanya membuat mereka stres.

“Hmm, jangankan maafin kita, kau yakin dia bisa ngomong, Na?” tanya Rudi yang sebegitu herannya mengapa Lena kuat menghadapi kebisuan Kenan.

“Emangnya selama ini aku ngomong sama tembok? Emangnya Kenan tembok? Eh, iya kali ya. Eh, enak aja! Kupingku belum soak kaya kamu ya!”

Rudi tersinggung. “Aku kan nanyanya baik-baik! Kenapa malah sewot??”

Akhinya... mereka sendiri berdebat sementara Kenan diam sebisu rumput yang bergoyang tertiup angin. Terus saja begitu. Padahal mereka sendiri tak sadar ada Kenan di sana dari awal (baru sadar setelah Kenan berubah menjadi monster lumpur). Yah, salahnya juga yang terlalu pendiam sampai kehadirannya terlupakan. Saking pendiamnya, jumlah kata yang keluar dari mulutnya tiap hari bisa dihitung dengan jari. Karena itu tak jarang ia dikira bisu. Ia bahkan berpikir kalau mungkin sebentar lagi akan lupa caranya berbicara.

Rudi merengut. “Dosa lho bohong melulu! Aku sudah seminggu di sini dan tak pernah lihat ia ngobrol dengan siapapun!”

“Ken tidak suka padamu!” Lena cengengesan.

Katanya mau minta maaf, sekarang malah tuduh-tuduhan. Ergh...

Kenan buka mulutnya, “Hei. Kalian ini berisik sekali. Hari sudah senja, pulanglah.”

Rudi tercengang melihat Kenan bicara. Lena cengar-cengir bangga karena dianggap Kenan sebagai temannya. “Ih, kok cara ngomongnya si Ken aneh gitu? Memangnya dia pembaca berita yang kaku di tv?” bisik Rudi merasa ngeri sembari melihat punggung Kenan yang terus menjauhi mereka. “Serem banget.”

“Mana kutahu! Aku bukan pembantunya! Kalau gak salah, ayahnya pernah bilang ke aku kalau otak Ken terlalu pintar buat –“

“Ha, apa hubungannya pintar sama cara ngomong?” Rudi mulai nyolot.

Lena mengelak ikut tak mau kalah. “Mana kutahu! Umurku masih 5 tahun tahu! Masuk SD saja belum! Mana ngerti yang kaya gitu!”

“Jadi maksudmu, dia itu gak nor, mal?” Alis Rudi sebelah terangkat.

“Yah kamu lah yang gak normal itu!”

“Hah!? Kamu tuh!”

Mereka tenaga kuda ya...

Kenan sempat menengok ke belakang, menonton mereka sekilas. Tanpa menonton lebih lama, Kenan berjalan semakin jauh meninggalkan mereka berdua. Rudi dan Lena sadar kalau mereka ditinggal langsung berlari mengejar.

Tiba dirumah, Kenan makan malam bersama keluarga kecilnya. Ayahnya senang bertanya ini itu meski tahu putrinya takkan menjawab. Hal itu sudah cukup membuat Kenan bahagia karena merasa dicintai. Semua perasaan tersimpan di dalam hatinya–jelas karena Kenan tak bisa mengekspresikan senyum.

 

 

Satu-satunya teman bicara–iya kalau ngomong beneran–Kenan adalah Lena. Orang-orang mengiranya bisu, guru-guru di SD-nya pun mulanya demikian. Ia sama sekali takkan bersuara kalau tidak ditanya. Beberapa teman sekelas lainnya masih ada yang mau ngobrol dengannya dengan alasan tanya PR. Kepintaran Kenan yang seperti komputer bukan lagi rahasia umum, sehingga sering kali Kenan hanya dimanfaatkan dalam kerja kelompok.

Hmm.. Lena... Sepintas Kenan ingat cerita lama saat Lena menolongnya dari omelan teman-teman sekelasnya soal piket kelas. Dan soal piket kelas sebelumnya membuat Kenan tak sengaja melirik ke jam dinding. Oh! Aku lupa sama Lena!! Buru-buru Kenan merapikan buku yang daritadi  dibacanya di perpustakaan sekolah sampai lupa waktu.

“Yah. Molor lagi deh. Baca kamus atau kamu yang dibaca kamus?” sindir Lena pada temannya yang rambutnya super berantakan karena lari-lari. Kepala Kenan tertunduk malu. “Ya sudahlah. Ayo keliling dulu sebelum pulang!” ajaknya.

Senyuman Lena membuat Kenan merasa bersalah karena terlambat tapi ikhlasnya Lena tak marah. Menurut Kenan, Lena teman yang baik, tidak seperti si cerewet Rudi yang akhirnya pindah ke luar kota karena pekerjaan orang tuanya.

“Len, Lihat! Biola itu bagus ya! Oh ya, kau senang musik?” tanya Kenan.

“Apaan itu biola?” tanya Lena polos. “Alat musik? Enggak.”

“Bukan. Nama bibi tukang jaga kebun–Bibi Ola. Eh, merek kain pel deh.”

Lena cemberut. “Hah!?”

“Hoh,” balas Kenan gemas.

“Ih. Serius.” Lena cemberut.

“Aku tak jadilah. Lupakan saja,” jawab Kenan malas.

“Ih ngambek tuh. Padahal hari ini di rumahku mama buat es krim loh.”

Kenan terpancing. “Wah! Tante buat es krim lagi!? Mau dong!!”

“Ih, siapa loe tiba-tiba bilang mau mau?” sindir Lena menohok Kenan.

 

Kenan senang berada di dekat teman kecilnya, Lena. Dia baik, konyol, dan mudah dibego-begoin. Seperti itulah kira-kira Lena di mata Kenan yang kelewat polos tapi bodoh karena Lena sering dikerjai dengan cara yang sama berkali-kali.

Mereka pula selalu sama-sama, hingga masuk ke sekolah yang sama–SDN 17 Depok, Sleman. Dari balita sampai saat itu mereka sudah kelas 3 SD, di sebelah Kenan Lena selalu tak pernah capek merepet. Bahkan, selama hampir sejam mereka berjalan kaki dari sekolah ke rumah setiap hari. Ekonomi keluarga mereka serba kekurangan sampai untuk ongkos angkutan umum untuk ke sekolah pun tak ada. Padahal, dulu mereka orang yang terlebih dari mampu. Untungnya keduanya sepakat sama-sama cuek soal itu.

Biasanya, saat pulang sekolah mereka melintasi jalur yang berbeda-beda sesuka hati Lena. Bisa kadang-kadang lewat jalan yang sepi, biasa lewat jalan besar penuh truk, bahkan bisa potong jalan melalui perumahan. Yah, kurang lebih 5 bulan yang lalu Lena tak sengaja memilih jalur ruko pertokoan di dekat kompleks perumahan elit Luna garden, kemudian bagaikan Kenan bertemu dengan kembarannya yang sudah terpisah puluhan tahun, mereka menemukan sebuah toko musik di salah satu ruko-ruko itu. Sejak hari itu, Kenan ngotot kalau mereka harus pulang dari sekolah lewat jalur itu supaya bisa singgah di sana.

Satu minggu pertama mereka hanya selalu numpang lihat dari jauh. Mata Kenan hobi jelalatan melihat biola-biola yang tergantung dan terlihat jelas dari luar. Hari Senin berikutnya, Kenan mendengar alunan biola dari dalam toko tersebut dan sontak berlari sampai ke pintu depan toko. Sayangnya, begitu penjaga toko itu melihat Kenan, ia malah lari pontang panting. Ya, semenjak ‘itu’, Kenan berevolusi menjadi penggila biola.

“Hei! Bengong mulu! Kamu denger gak daritadi aku ngomong apa??”

Pikiran Kenan buyar. “Eh, enggak. Iya?Eh, apa apa?” jawab Kenan tergagap-gagap.

“Kenapa sih sama biola itu?” Ali Lena naik saat melihat biola yang tergantung di etalase toko. “Aa, sa, sta, stra.. –“

“Stradivarius.” Kenan menjawab dengan antusias. “Dari yang kubaca, itu biola antik. Yang ada di sana hanya replikanya. Mungkin. Replikanya saja mahal sekali tapi bukan itu yang kulihat. Coba lihat yang ada di sebelah pintu, yang berwarna coklat muda mengi–“ segera Kenan bungkam sampai lidahnya tergigit. Jebakan Lena sukses besar.

“Oh, bagus. Penjahat ngaku. Aku ngomong sama batu ya daritadi.”

“Maaf!” Kenan langsung menutupi kedua matanya.

“Penjara udah kepenuhan. Mau rebutan kamar di sana sama koruptor? Katanya kamarnya bagus-bagus lho, makan juga gratis.”

Ikh, sial. “Cita-citaku mewah sekali ya.”

“Makanya kembangkan terus bakat penjahatmu ya, Nak.” Keduanya tertawa-tawa tanpa berpikir sedikit pun tentang dimana mereka berdiri saat itu.

Lena menghela nafas panjang. “Haaahh. Andai aku orang kaya, aku beliin kamu biola itu,” sergahnya sedih. “Apa aku perlu jadi koruptor dulu ya?”

“Hmm.. kamu sudah kaya, Len.” Kenan menatap dengan jahil.

“Ngelucu ya? Keluargaku miskin, kamu juga kan, tetangga juga kan (?).”

“Hmm.. kukira tadi –“

Keringat mengalir deras di kening Kenan waktu lagi-lagi ia tertangkap basah berisik di depan toko musik tersebut oleh penjaga tokonya. Sebelum penjaga tokonya keluar, Kenan menarik tangan Lenan lalu lari kejar-kejaran seperti anak balita tapi Lena nyatanya memang seperti balita karena ia terlalu sering tersandung tanpa sebab. Mengherankan sekaligus menggelikan bagi Kenan.

Hanya saat bersama Lena Kenan bisa benar-benar tertawa. Namun, hanya saat bersama Lena juga Kenan selalu ingat kalau ia mulai bergantung padanya ketika masa lalu sempat membuatnya terpuruk. Rasanya benar-benar tenang dalam kesenangan itu hanya pura-pura belaka seperti mimpi yang akan lenyap ketika Kenan terbangun, lenyap bersamaan dengan Lena lenyap dari hidupnya.

Ia teringat kembali akan masa lalu. Tidak seperti dulu, dua tahun yang lalu masa terburuk keluarganya. Masa PHK masal dan ayahnya salah satu imbasnya. Oleh karena itu masa lalu yang tak perlu ditatap lagi, Kenan hanya bisa berharap pada Tuhan kalau masa-masa indah saat ini lebih dari harta berharga.

Kenan menghela nafas, tersenyum sambil menatap Lena yang ngos-ngosan dari jauh. Mudah saja kan menganggap masa lalu ya masa lalu. Bicara mah mudah. Sekali sudah mengalami hal tidak enak, hal yang enak malah seperti ilusi. Semua yang baik hari ini terjadi seperti mimpi saja. Apa aku salah kalau aku takut semua yang kumiliki sekarang akan hilang begitu saja seperti kejadian pada ayah dulu?? Kalau iya ini ilusi, aku harus berubah jadi seperti apa lagi saat semuanya lenyap lagi??

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Broken Wings
1300      777     0     
Inspirational
Hidup dengan serba kecukupan dan juga kemewahan itu sudah biasa bagiku. Jelas saja, kedua orang tuaku termasuk pengusaha furniture ternama dieranya. Mereka juga memberiku kehidupan yang orang lain mungkin tidak mampu membayangkannya. Namun, kebahagiaan itu tidak hanya diukur dengan adanya kekayaan. Mereka berhasil jika harus memberiku kebahagian berupa kemewahan, namun tidak untuk kebahagiaan s...
Warna Untuk Pelangi
8430      1793     4     
Romance
Sebut saja Rain, cowok pecinta novel yang dinginnya beda dari yang lain. Ia merupakan penggemar berat Pelangi Putih, penulis best seller yang misterius. Kenyataan bahwa tidak seorang pun tahu identitas penulis tersebut, membuat Rain bahagia bukan main ketika ia bisa dekat dengan idolanya. Namun, semua ini bukan tentang cowok itu dan sang penulis, melainkan tentang Rain dan Revi. Revi tidak ...
Welcome Aboard
634      382     2     
Inspirational
Inilah cerita kami, yang tak pernah kami ungkapan Dunia kami, yang tak pernah kalian ketahui Kebiasaan kami, yang tak pernah kalian bayangkan.
Why Joe
1295      663     0     
Romance
Joe menghela nafas dalam-dalam Dia orang yang selama ini mencintaiku dalam diam, dia yang selama ini memberi hadiah-hadiah kecil di dalam tasku tanpa ku ketahui, dia bahkan mendoakanku ketika Aku hendak bertanding dalam kejuaraan basket antar kampus, dia tahu segala sesuatu yang Aku butuhkan, padahal dia tahu Aku memang sudah punya kekasih, dia tak mengungkapkan apapun, bahkan Aku pun tak bisa me...
Antara Jarak Dan Waktu
15011      2453     3     
Romance
Meski antara jarak dan waktu yang telah memisahkan kita namun hati ini selalu menyatu.Kekuatan cinta mampu mengalahkan segalanya.Miyomi bersyukur selamat dari maut atas pembunuhan sang mantan yang gila.Meskipun Zea dan Miyomi 8 tahun menghilang terpisah namun kekuatan cinta sejati yang akan mempertemukan dan mempersatukan mereka kembali.Antara Jarak Dan Waktu biarkan bicara dalam bisu.
Sekilas Masa Untuk Rasa
3913      1272     5     
Romance
Mysha mengawali masa SMAnya dengan memutuskan untuk berteman dengan Damar, senior kelas dua, dan menghabiskan sepanjang hari di tribun sekolah sambil bersenda gurau dengan siapapun yang sedang menongkrong di sekolah. Meskipun begitu, Ia dan Damar menjadi berguna bagi OSIS karena beberapa kali melaporkan kegiatan sekolah yang menyimpang dan membantu kegiatan teknis OSIS. Setelah Damar lulus, My...
Hei cowok...I like you
830      532     1     
Romance
Hei cowok...i like you, kalimat itulah yang keluar dari mulut cewek berwajah pas-pasan kepada cowok berparas tampan yang wajahnya gak kalah cakep dengan cowok-cowok korea.
Kamu!
2176      854     2     
Romance
Anna jatuh cinta pada pandangan pertama pada Sony. Tapi perasaan cintanya berubah menjadi benci, karena Sony tak seperti yang ia bayangkan. Sony sering mengganggu dan mengejeknya sampai rasanya ia ingin mencekik Sony sampai kehabisan nafas. Benarkah cintanya menjadi benci? Atau malah menjadikannya benar-benar cinta??
HOME
331      246     0     
Romance
Orang bilang Anak Band itu Begajulan Pengangguran? Playboy? Apalagi? Udah khatam gue dengan stereotype "Anak Band" yang timbul di media dan opini orang-orang. Sampai suatu hari.. Gue melamar satu perempuan. Perempuan yang menjadi tempat gue pulang. A story about married couple and homies.
Fusion Taste
142      129     1     
Inspirational
Serayu harus rela kehilangan ibunya pada saat ulang tahunnya yang ke lima belas. Sejak saat itu, ia mulai tinggal bersama dengan Tante Ana yang berada di Jakarta dan meninggalkan kota kelahirannya, Solo. Setelah kepindahannya, Serayu mulai ditinggalkan keberuntunganya. Dia tidak lagi menjadi juara kelas, tidak memiliki banyak teman, mengalami cinta monyet yang sedih dan gagal masuk ke kampus impi...