Loading...
Logo TinLit
Read Story - BIYA
MENU
About Us  

Pindah Rumah

Kalau Captain America punya kekuatan super setelah disuntikkan serum ‘Super Soldier’ oleh dr. Erskine, maka orang tuaku punya kekuatan super setelah mendapat suntikkan kata-kata dari nenekku. Kekuatan pindah rumah dengan instan lebih tepatnya. Suatu malam Papa mendapat telepon dari Uti, panggilan ibu Papa alias nenekku, meminta kami sekeluarga menemani hari tuanya di rumahnya, yaitu kampung halamanku. Yang berarti pindah rumah ke sana meninggalkan kehidupan nyaman kami di Ibukota. Dan yang perlu dicatat, segalanya terjadi serba instan.

Hanya butuh tepat satu minggu untuk mengurus soal kepindahan kami sekeluarga berkat kekuatan super orang tuaku. Papa yang memiliki posisi cukup tinggi di kantornya berhasil mengambil kesempatan yang kebetulan ada untuk mutasi ke Jogja. Keenan, kakak tertuaku, yang sedang membangun bisnis minumannya tak ada masalah untuk pindah. Ia berhasil menemukan partner bisnis di daerah rumah Uti dan dengan senang hati menyerahkan bisnisnya di Jakarta ke seorang teman untuk dikelola. Tapi dua orang itu belum apa-apa dibanding Mama. Ia lah yang paling luar biasa. Mama mampu mengurus kepindahanku ke sekolah baru dengan begitu cepat. Aku bahkan sudah resmi di terima di sekolah baru saat barang-barangku bahkan belum semuanya masuk ke kardus. Beruntunglah Marsha, kakak keduaku, yang saat ini sedang kuliah di Semarang sehingga pindah rumah ini tak berpengaruh apa-apa baginya.

Tunggu dulu! Kalau kalian berpikir keluargaku akan pindah ke Jogjakarta karena Papa dimutasi kesana, maka kalian salah besar. Keluargaku dan aku akan pindah ke Magelang. Sebuah kota di Jawa Tengah, Indonesia. Jangan bayangkan alun-alun kota Magelang yang cantik dengan air mancur menarinya. Jangan juga bayangkan keramaian khas daerah sekitar Candi Borobudur karena banyaknya pengunjung. Jangan pernah!

Rumah Uti berada di Magelang pelosok dan jauh dari kota. Mendaki gunung, lewati lembah. Persis seperti Ninja Hatori. Sinyal susah yang amat sangat adalah hal lumrah. Angkot lewat satu jam sekali menjadikan kendaraan itu tidak terlalu diandalkan warga disana. Pokoknya desa banget.

Lalu disinilah aku, di Desa Sumur Arum, Magelang, Jawa Tengah bersama Mama, Papa, Keenan, dan tentu saja, the one and only, Uti. Rumah Uti berada di ujung Desa, dekat jalan menuju ke jalan besar. Jangan bilang aku masih beruntung! Meskipun dekat jalan menuju jalan besar, tapi aku harus melalui tanjakan yang super curam nyaris miring 90 derajat sebelum kesana. Oke aku berlebihan, nggak 90 derajat juga sih, tapi aku serius kalau jalannya curam sekali.

Rumah Uti dikelilingi rumah tetangga kami, kecuali halaman depan yang menghadap ke jalanan utama desa, dan masih tetap tanpa jaringan sinyal yang mencukupi. Aku tak bisa mengirim pesan apapun ke siapapun, bahkan SMS. Dalam kondisi terisolasi seperti ini lebih lama kurasa bisa membuatku depresi berat.

Rumah Uti berjenis rumah semi tradisional berlantai satu yang terdiri dari 5 kamar. Satu dipakai Uti sehari-hari, berada di depan dekat halaman. Satu dipakai orang tuaku, berada di sebelah kamar Uti. Satu dipakai Keenan, berada di belakang dekat ruang makan. Satu yang kupakai, dekat sisi lain halaman depan. Dan satu lagi yang nantinya mungkin dipakai Marsha apabila dia sedang liburan semester.

Satu yang perlu kubanggakan setelah 24 jam lebih tinggal di rumah Uti adalah, aku sudah handal mengendarai motor atau mobil di jalanan ini karena sudah bolak-balik ke pasar demi membeli kartu perdana ponsel. Total sudah 7 jenis kartu kucoba hingga aku menemukan yang akhirnya bisa berfungsi dengan baik untuk telepon, SMS, dan internet. Paling tidak aku sudah mengabari teman-temanku di Jakarta yang tak sempat kutemui karena keribetan urusan pindah rumah ini.

*Jakarta Friends Chat Group*

Gian     : Guys, gue udah sampe di Magelang nih. Baru dapet sinyal dan jaringan.

Jess      : Wah gila sih, gue masih ga percaya lo pindah, Yan.

Yohan  : Sama gue juga!

Saras   : Ga sempet farewell juga lagi, kampret!

Gian     : Hahahaha sori-sori. Liburan nanti gue main deh kesana.

Erwin   : Atau kita aja yang kesana, Yan?

Yohan  : Ogah gue! Jangan ajak gue kalo mau kesana

Saras   : Same here!

Jess      : Hahahaha

Gian     : Sialan lo semua! Hibur gue kek! Apaan kek!

Percakapan tersebut pun berlangsung cukup lama hingga akhirnya aku tertidur dengan ponsel entah dimana. Hari itu menjadi hari terakhirku bisa bersantai karena senin besok adalah awal kehidupan baruku akan benar-benar dimulai.

***

Senin pagi di Desa Sumur Arum berbeda sekali dengan apa yang biasa kudapati di Jakarta. Disini semua orang tampak sangat bersemangat. Saat aku membuka jendela di depan kamar, aku bisa melihat bapak-bapak dan ibu-ibu saling sapa sambil mengendarai motor bebek keluaran tahun 90an. Ada juga yang membawa celurit dengan santai seolah membawa lollipop ke arah persawahan. Atau beberapa anak berseragam putih-putih yang berjalan sambil mengobrol soal sinetron semalam. Di waktu yang belum ada jam 6 itu, desaku sudah menjalankan motor aktivitasnya. Iya desaku. Aku sekarang jadi cowok desa.

Tak berbeda dari mereka, Mama pun sudah aktif lagi menjadi ibu rumah tangga yang sibuk. Belum ada 10 menit aku nongkrong di jendela, teriakan Mama sudah terdengar sampai seantero jagat raya. Uti sampai marah-marah. Bukan pada Mama, tapi padaku yang belum juga beranjak dari jendela meski sudah diteriaki tiga kali. Hehe.

Sama seperti Mama, Papa pun full energy pagi ini. Papa sudah siap dengan kemeja putih bergaris biru kecil dan celana hitam yang nantinya akan dibalut jas hitam yang sekarang masih tersampir di sofa. Juga dasi biru gelap yang sudah rapih mencekik lehernya. Papa sekarang sedang menyeruput kopinya sambil menggeser-geser layar tablet, membaca berita terbaru dari situs berita langganannya atau email-email penting yang tak kutahu apa isinya. Aku terkejut karena Papa bisa begitu mudahnya berselancar di internet pagi-pagi begini. Seingatku Papa bilang bahwa ia tidak tahu kartu apa yang bekerja dengan baik disini. Aku harus melakukan interogasi nanti.

Keenan pun sama rapihnya dengan Papa. Bedanya, Keenan tidak mengenakan jas. Ia memilih memakai bomber hitam yang harus kuakui, sangat fashionable. Pasti dia mau cari-cari perhatian plus tebar pesona ke orang yang ia akan temui nanti. Yah harus kuakui sekali lagi kalau Keenan bisa dibilang tampan. Begitulah gen Papa-Mama bercampur menjadikan paras anak-anaknya lumayan bisa dibanggakan kalau dibawa ke kondangan.

Lalu aku. Hari ini adalah hari pertamaku sekolah di sekolah baru. Kata Uti sih sekolahku ini adalah sekolah paling bagus se-kecamatan, tapi aku tidak yakin juga. Bagaimana aku bisa tahu mana sekolah yang bagus kalau aku saja tiba-tiba sudah terdaftar disana sebelum sempat mencari tahu sedikitpun. Kepindahan ini adalah kepindahan paling instan yang pernah kualami. Maka dari itu aku cukup panik memikirkan seperti apa tempat belajar satu setengah tahun sisa SMAku nanti, bagaimana orang-orangnya, bagaimana guru-gurunya, bahkan bagaimana rasa makanan di kantinnya.

Saat berkaca di cermin seusai mandi dan berganti pakaian, aku belum merasakan banyak perubahan berarti karena seragam yang kupakai masih sama. Bedanya aku tidak bisa memakai macam-macam jenis sepatu karena di sekolah baru ini hanya diperbolehkan memakai sepatu bertali warna hitam. Tasku juga masih seringan bulu karena aku belum punya buku pelajaran. Hanya satu buku tulis, satu binder, dan satu pulpen yang sudah kujampi-jampi supaya tidak hilang di hari pertama. Aku belum sempat beli cadangannya, ini saja hasil menyelinap ke kamar Keenan dan meminta satu semalam. Semoga saja Keenan masih punya banyak karena aku meminta pulpen ini dalam hati, alias tidak bilang. Jangan dicontoh ya.

Setelah meminum jus jeruk buatan Mama dan setengah piring nasi goring buatan Uti, aku langsung duduk manis di sebelah Papa di dalam mobilnya. Karena dari segala hal yang sudah disiapkan serba instan oleh kedua orang tuaku, hal yang terlupakan hanyalah motor kesayanganku. Si Ireng, motor sport hitam yang resmi menjadi milikku tahun lalu itu masih dalam perjalanan menuju kesini. Papa baru memasukkannya ke agen pengiriman barang di hari yang sama pada hari kami pergi kesini. Harusnya sih lusa sudah sampai. Jadi selama itu aku masih diantar Papa atau Keenan saat berangkat, dan entah bagaimana caraku pulang nanti. Semoga ada kendaraan umum, atau kalau tidak nanti kusuruh Keenan menjemputku pulang. Ya walaupun kesempatan dia mau menghentikan aktivitas bisnisnya dan menyetir ke sekolahku tak lebih dari 20%. 10 persen suruhan Mama dan sisanya ancaman Papa tidak membaginya warisan.

Sampai di sekolah, Papa mengantarku masuk ke dalam gedung. Papa langsung membawaku ke ruangan kepala sekolah. Ternyata kepala sekolahku, pria gendut dengan peci hitam dan kumis lebat, adalah teman sekolah Papa dulu. Mereka berbincang akrab soal kepindahan keluarga Papa dan sedikit tentang reuni SMA sebelum akhirnya ingat keberadaanku yang hampir bosan ini. Kepala sekolah yang baru kutahu namanya Pak Ahmad itu langsung mengambil alih diriku dan lekas menyuruh Papa pergi kerja. Setelah Papa keluar gedung, aku langsung diajak ke ruang guru dan dia meninggalkanku dengan seorang ibu guru muda berkerudung hitam yang katanya adalah wali kelasku.

Bu Siti, wali kelasku, mengantarkanku ke lapangan saat semua murid sudah rapih berbaris menghadap ke tiang bendera. Aku masuk ke barisan paling belakang kelas 11 IPA 2. Beberapa murid yang melihat kedatanganku pun menoleh, beberapa langsung berbisik-bisik. Setelah Bu Siti menegur mereka untuk kembali fokus ke upacara, keadaan menjadi tenang kembali. Bu Siti lekas pergi ke barisan para guru.

Sekolah baruku, SMA Jaya Semesta, merusak segala fantasiku akan sekolah yang berada di pedesaan. Bayangan sekolah satu lantai dengan bangunan reot dan lapangan becek pupus oleh gedung tiga lantai bercat kelabu, pagar depan tinggi menjulang, dan lapangan semulus porselein. Bahkan aku melihat sebuah masjid megah warna kelabu-emas di pojok lapangan. Ini sih 11-12 dengan sekolah lamaku. Bedanya, tak banyak kendaraan terparkir di parkiran sebab mobil Papa tadi bisa berlalu-lalang dengan bebas disana. Bahkan aku tak menemukan satu pun mobil di parkiran siswa, hanya beberapa di parkiran guru. Aku bisa melihat deretan sepeda motor dan bahkan beberapa sepeda onthel yang menurutku antik sekali. Satu poin bagus karena aku tak perlu lagi pusing mencari tempat parkir untuk si Ireng nanti.

Upacara berjalan selayaknya upacara bendera biasa. Yang membedakan adalah pidato dari kepala sekolah yang menggunakan separuh Bahasa Jawa, dan aku nol besar soal Bahasa ibu Papa itu. Alhasil aku hanya mendengar separuh-separuh saja seperti, selamat pagi anak-anak semua… kita semua harus memikirkan ujian… hidup adalah untuk kebaikan… saya selaku kepala sekolah sangat bangga pada… air mengalir tapi kita harus punya pendirian. Seperti itulah kira-kira.

Selesai upacara, aku dihampiri Bu Siti lagi dan kemudian diajak ke kelas 11 IPA 2. Kelasku itu berada di lantai 3, satu-satunya kelas 11 yang berada di lantai itu. Sisanya kelas 12 semua. Sedikit informasi penting yang harus kuingat supaya aku tidak salah bertindak dan mendapat masalah dengan kakak kelas.

Jam pelajaran pertama ternyata pelajaran Bu Siti, Pendidikan Kewarganegaraan. Tapi sebelum dimulai, Bu Siti mengenalkanku pada anak satu kelas lalu menyuruhku duduk di satu-satunya kursi kosong, baris kedua dari belakang, di sebelah laki-laki berambut spike yang cukup keren. Perjalanan dari depan kelas ke kursi cukup membuat jantung copot karena semua mata tiba-tiba mengarah padaku seolah aku adalah alien nyasar. Namun akhirnya kelas kondusif kembali setelah Bu Siti memulai pelajaran.

Sejauh ini hari pertamaku sekolah berjalan sangat lancar, sampai aku menyapa teman sebangkuku itu. Aku sudah berusaha seramah dan sesopan mungkin padanya dengan menyapa duluan, tapi yang kudapat adalah sebuah kepahitan. Oke aku berlebihan, tapi si pria spike ini benar-benar menyebalkan. Dia langsung menyemprotku dengan deretan kalimat super tidak enak didengar.

“Aku Angga dan aku mau kasih tahu aja kalau disini ada beberapa peraturan yang harus kamu pahami. Pertama, kamu ga boleh asal bicara denganku. Kedua, kamu nggak usah sok kenal denganku dan temanku. Ketiga, kamu jangan cari masalah denganku dan temanku.”

Aku melongo mendengar kata-katanya barusan. Seolah aku segitunya depresi ingin punya teman sampai harus mengganggu dia dan temannya? Don’t be silly! Untung rasa terkejutku tak berlangsung terlalu lama karena aku langsung membalas kata-katanya, “Well, lo harus tahu juga kalo gue juga punya peraturan yang lo harus pahami. Pertama, lo nggak boleh asal ngomong ke gue karena bikin gue mules. Kedua, lo nggak usah sok kenal sama gue dan calon temen gue. Dan ketiga, lo nggak usah nunjukkin sifat sok kuasa lo itu kalau nggak mau gue kentutin. Sekian.”

Setelah itu sepanjang pelajaran kami hanya saling mendiamkan, seperti orang pacaran yang sedang ribut karena orang ketiga. Kalau saja ada kursi kosong lain, aku sudah pindah saat itu juga. Sialnya, kelas ini tak punya bangku kosong lain, tak satu pun. Sepertinya ini cobaan pertama yang harus kulalui di sekolah baru yang awalnya kuanggap aman-aman saja ini.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
Similar Tags
For One More Day
489      343     0     
Short Story
Tentang pertemuan dua orang yang telah lama berpisah, entah pertemuan itu akan menyembuhkan luka, atau malah memperdalam luka yang telah ada.
Prakerin
7786      2048     14     
Romance
Siapa sih yang nggak kesel kalo gebetan yang udah nempel kaya ketombe —kayanya Anja lupa kalo ketombe bisa aja rontok— dan udah yakin seratus persen sebentar lagi jadi pacar, malah jadian sama orang lain? Kesel kan? Kesel lah! Nah, hal miris inilah yang terjadi sama Anja, si rajin —telat dan bolos— yang nggak mau berangkat prakerin. Alasannya klise, karena takut dapet pembimbing ya...
Aditya
1413      636     5     
Romance
Matahari yang tak ternilai. Begitulah Aditya Anarghya mengartikan namanya dan mengenalkannya pada Ayunda Wulandari, Rembulan yang Cantik. Saking tak ternilainya sampai Ayunda ingin sekali menghempaskan Aditya si kerdus itu. Tapi berbagai alasan menguatkan niat Aditya untuk berada di samping Ayunda. "Bulan memantulkan cahaya dari matahari, jadi kalau matahari ngga ada bulan ngga akan bersi...
Behind Friendship
4585      1327     9     
Romance
Lo harus siap kalau rasa sahabat ini bermetamorfosis jadi cinta. "Kalau gue cinta sama lo? Gue salah? Mencintai seseorang itu kan hak masing masing orang. Termasuk gue yang sekarang cinta sama lo," Tiga cowok most wanted dan dua cewek receh yang tergabung dalam sebuah squad bernama Squad Delight. Sudah menjadi hal biasa jika kakak kelas atau teman seangkatannya meminta nomor pon...
The Maiden from Doomsday
10679      2385     600     
Fantasy
Hal yang seorang buruh kasar mendapati pesawat kertas yang terus mengikutinya. Setiap kali ia mengambil pesawat kertas itu isinya selalu sama. Sebuah tulisan entah dari siapa yang berisi kata-kata rindu padanya. Ia yakin itu hanya keisengan orang. Sampai ia menemukan tulisan tetangganya yang persis dengan yang ada di surat. Tetangganya, Milly, malah menyalahkan dirinya yang mengirimi surat cin...
the invisible prince
1555      844     7     
Short Story
menjadi manusia memang hal yang paling didambakan bagi setiap makhluk . Itupun yang aku rasakan, sama seperti manusia serigala yang dapat berevolusi menjadi warewolf, vampir yang tiba-tiba bisa hidup dengan manusia, dan baru-baru ini masih hangat dibicarakan adalah manusia harimau .Lalu apa lagi ? adakah makhluk lain selain mereka ? Lantas aku ini disebut apa ?
Lepas SKS
157      134     0     
Inspirational
Kadang, yang buat kita lelah bukan hidup tapi standar orang lain. Julie, beauty & fashion influencer yang selalu tampil flawless, tiba-tiba viral karena video mabuk yang bahkan dia sendiri tidak ingat pernah terjadi. Dalam hitungan jam, hidupnya ambruk: kontrak kerja putus, pacar menghilang, dan yang paling menyakitkan Skor Kredit Sosial (SKS) miliknya anjlok. Dari apartemen mewah ke flat ...
Rumah Arwah
1030      556     5     
Short Story
Sejak pulang dari rumah sakit akibat kecelakaan, aku merasa rumah ini penuh teror. Kecelakaan mobil yang aku alami sepertinya tidak beres dan menyisakan misteri. Apalagi, luka-luka di tubuhku bertambah setiap bangun tidur. Lalu, siapa sosok perempuan mengerikan di kamarku?
Hujan Paling Jujur di Matamu
8565      1968     1     
Romance
Rumah tangga Yudis dan Ratri diguncang prahara. Ternyata Ratri sudah hamil tiga bulan lebih. Padahal usia pernikahan mereka baru satu bulan. Yudis tak mampu berbuat apa-apa, dia takut jika ibunya tahu, penyakit jantungnya kambuh dan akan menjadi masalah. Meski pernikahan itu sebuah perjodohan, Ratri berusaha menjalankan tugasnya sebagai istri dengan baik dan tulus mencintai Yudis. Namun, Yudis...
Musyaffa
138      120     0     
Romance
Ya, nama pemuda itu bernama Argya Musyaffa. Semenjak kecil, ia memiliki cita-cita ingin menjadi seorang manga artist profesional dan ingin mewujudkannya walau profesi yang ditekuninya itu terbilang sangat susah, terbilang dari kata cukup. Ia bekerja paruh waktu menjadi penjaga warnet di sebuah warnet di kotanya. Acap kali diejek oleh keluarganya sendiri namun diam-diam mencoba melamar pekerjaan s...