PROLOG
Langit terlihat begitu kelam. Ditemani angin yang berembus layaknya kipas listrik baru dicuci dan kehilangan beban yang selama ini memperlambat putaran baling-balingnya. Aku pun kedinginan. Bukan karena tanda-tanda hujan yang sudah sejelas ini, namun karena tatapan wanita di hadapanku. Mata indahnya mampu membekukanku dalam sekali kedip. Dan aku masih terus bertahan, bermantel rasa tak tahu malu juga keras kepala. Sementara dia sudah terlihat muak.
“Kamu pergi dari sini,” ujarnya pelan. Biya membuka pintu rumahnya lebar-lebar dan berdiri menungguku pergi.
Aku bangkit dari duduk, tak berniat pergi tapi spontan menghampirinya, “aku benar-benar tidak ada maksud untuk… maaf Biya.”
Sorot mata gadis itu tak melunak sedikitpun. Hanya ada marah di sana, aku tahu pasti. Ia tak memalingkan wajah, tapi menatapku dengan penuh keberanian. Juga kemarahan. Atau luka? Pengetahuanku tak terlalu banyak mengenai ekspresi wajahnya. Ia tak pernah memberi tahu sejauh itu.
“Tidak ada maksud untuk apa? Mengorek informasi mengenai keluargaku sebanyak-banyaknya supaya kamu tahu seberapa hina dan tak berharganya hidupku dibanding dengan hidupmu yang oh-sangat-luar-biasa itu?”
“Aku samasekali nggak punya niat seperti itu, Biya. Aku di sini karena aku peduli—“
Ia tersenyum, tapi bukan jenis senyum yang biasanya selalu melambungkan hatiku ke langit teratas. Senyum itu, entahlah, membuat nyeri datang tiba-tiba di dada. Cukup untuk membuatku tersulut api kemarahan yang diciptakannya.
“Orang sepertimu? Peduli denganku? Jangan buat aku tertawa sekarang! Orang seperti kamulah yang membuat hidupku semenderita ini! Orang seperti kamu lah yang membuat ibuku… seperti bukan ibuku lagi!”
“Tidak semua orang sepertiku punya perilaku seperti ayahmu yang brengsek itu! Itu semua hanya di kepalamu, Biya. Dan pikiran sempitmu itu yang selama ini menyingkirkan orang-orang yang peduli padamu. Kamu sendiri yang membuat hidupmu menderita! Bukan aku, bukan juga orang tua angkatmu. Tapi kamu!”
Raut wajah Biya berubah seketika. Ia terlihat begitu tertampar dan runtuh. Namun ketahuilah Biya, saat kamu terluka seperti itu maka aku dua kali lebih terluka melihatmu. “Dan yang muncul di kepalaku saat ini hanyalah, kenapa kamu melakukannya? Menyingkirkan orang-orang yang berusaha peduli padamu. Kenapa?”
Namun aku tak pernah menunggu jawaban, karena aku tahu jawaban itu tak bisa begitu saja muncul di kepalanya. Bahkan aku tak yakin apakah dia punya. Seperti rumus matematika yang belum terpecahkan. Seperti percobaan yang belum berhasil menjadi sebuah penemuan. Aku pergi dari rumah Biya meninggalkan pertanyaan untukku, untuknya, juga untuk langit yang malah sibuk menumpahkan air mata.
Aku pun kedinginan. Bukan karena air hujan yang membasahi jaket tipisku. Bukan juga karena tubuhku terus melawan angin. Melainkan karena kulit ini tak lagi bekerja menghalau dingin. Ia terlalu sibuk menahan rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuh. Rasa sakit yang tak tahu sampai kapan bisa kutahan sendiri.
nice story!! :)
Comment on chapter Prolog