Bu Asri telah menghidangan berbagai menu makan malam di atas meja makan. Dia sudah sibuk memasak sepulang dari toko buku bersama kedua anaknya hari ini. Tanpa lelah, dia menyiapkan makan malam itu dengan cinta dan kasih.
"Sayang, cepat turun untuk makan malam!" panggil Bu Asri dengan teriakan yang menggema di seluruh sudut rumah. Bu Asri lalu menuju ruang kerja dan memanggil suaminya, "Mas, makan yuk! Keburu dingin."
Pak Fauzi meninggalkan pekerjaannya dan mengikuti istrinya ke meja makan sambil bertanya, "Apa kamu memasak sup hari ini?"
"Iya, aku memasaknya untukmu," jawab Bu Asri.
Keempat anak itu juga berlari keluar kamar. Maliq memanggil Shandy, "Bang Shandy! Gendong!" Maliq naik ke punggung Shandy setelah Shandy jongkok. "Apa Abang sudah membeli ponsel baru?" kata Maliq di telinga kiri Shandy.
"Sudah! Aku akan menunjukkannya padamu setelah makan malam," jawab Shandy.
Setibanya di depan meja makan, mereka tercengang melihat pemandangan di meja makan itu. Lukisan paling indah yang diciptakan seorang Ibu adalah saat dia menata meja makan dengan masakan buatannya.
Seperti biasa, Pak Fauzi memimpin doa dan mereka memulai makan malam. Tersedia banyak menu makanan kesukaan mereka malam ini sehingga sulit untuk memilihnya.
"Mama, apa aku tidak akan gemuk jika makan terlalu banyak malam ini?" tanya Stevi.
"Tentu saja tidak, kamu sudah sangat lelah beraktivitas hari ini. Makanlah sesukamu, Sayang!"
Pak Fauzi menyeruput sop daging kambing yang ada di hadapannya. "Ini enak sekali!" puji Pak Fauzi. Pak Fauzi melihat Shandy yang sangat bersemangat makan lalu bertanya, "Apa kamu sudah membeli ponsel baru itu, Shandy?"
"Sudah, Pa. Terima kasih, ya, Pa. Aku sangat menyukainya," jawab Shandy.
"Jangan lupa memberikan ponsel lama kamu ke Maliq, seperti janjimu."
"Ok, Pa," jawab Shandy.
Maliq bertanya ke papanya dengan nada manja, "Papa, Maliq ingin bertanya tentang Superman."
"Apa yang ingin kamu tanyakan? Papa sangat mengenal Superman."
"Kenapa Superman menggunakan celana dalam di luar?"
Pak Fauzi tertawa mendengar pertanyaan Maliq, tapi tanpa di duga, anak-anaknya yang lain juga menunggu jawabannya. Pak Fauzi merasa menyesal berkata bahwa dia sangat mengenal Superman. Dia melirik ke arah Bu Asri dan melihat warna wajahnya berubah merah menahan tawa. Pak Fauzi mulai memikirkan jawaban yang masuk akal, lalu memberikan penjelasan, "Sebenarnya Superman bukan menggunakan celana dalam, melainkan itu adalah celana pendek. Tapi karena Superman terbang setiap hari, akhirnya celana pendeknya terangkat ke atas akibat hembusan angin." Pak Fauzi berharap penjelasannya itu bisa diterima oleh anak-anaknya.
"Oh. Gitu, ya, Pa!" kata Maliq yang percaya dengan jawaban itu dan melanjutkan makan malamnya.
Bu Asri takjub mendengar karangan suaminya dan memberikan senyum padanya.
Pak Fauzi bernapas lega. Saat kau masih anak-anak, kau akan bertanya hal yang tidak masuk akal. Dan saat kau sudah memiliki anak-anak, kau harus bisa menjawab hal yang tidak masuk akal itu.
"Besok malam Mama ada acara dengan Papa di luar, jadi kalian berempat tinggal di rumah dan makan bersama. Mama akan menyiapkan makanan sebelum pergi, kalian harus memakannya. Jika butuh sesuatu panggil bibi, jangan melakukan hal-hal yang merumitkan kalian," kata Bu Asri.
"Yahhh. Maliq ingin ikut. Boleh, ya, Ma! Boleh, ya, Pa!" bujuk Maliq.
Bu Asri melihat ke arah Pak Fauzi. Ini semua karena rencana makan malam itu dan aku harus mencari alasan untuk meninggalkan anak-anakku.
Pak Fauzi hanya memberi wajah tenang dan menunggu jawaban Bu Asri untuk mengatasi masalah ini.
"Lain waktu, ya, Sayang. Mama ada acara penting besok malam bersama Papa," bujuk Bu Asri.
"Sudah! Enggak usah manja deh anak kecil," ejek Sherly.
"Hmm. Baiklah!" jawab Maliq. Dia melanjutkan makannya kembali.
Bu Asri masih tidak tega meninggalkan mereka, tapi demi syarat dari Pak Fauzi, dia harus menahannya sedikit.
"Mama. Aku mendengar Mama mensponsori studi lapangan ke pabrik aluminium itu. Benarkah?" tanya Shandy.
"Benar. Papa juga sudah menyetujuinya," kata Bu Asri sambil melirik Pak Fauzi.
Pak Fauzi sedikit tertawa mendengarnya. Karena kamu sudah memiliki niat baik, aku akan memenuhinya. "Iya, Papa sudah mengatur jadwal bus untuk studi lapangan kalian," jawab Pak Fauzi menegaskan.
"Ohh, begitu. Teman-temanku mengucapkan terima kasih kepada kalian."
"Iya, belajarlah yang rajin. Mama dan Papa sudah sangat bahagia melihat kalian bahagia!"
***
Selesai makan malam, mereka kembali pada kegiatan masing-masing. Maliq menuju kamar Shandy, mengetok pintunya, dan masuk setelah dipersilahkan Shandy. Maliq melihat sekeliling kamar Shandy, terdapat sebuah teropong bintang berdiri dengan kokoh di dekat jendela, dua buah bola basket yang dibiarkan di atas lantai, sebuah gitar, dan sepasang stik drum yang tergeletak di sofa.
"Apa kamu ingin mengambil ponselnya?" tanya Shandy yang sedang mengerjakan tugas Kimia di meja belajarnya.
"Selesaikan saja pekerjaan Abang, aku akan menunggu di sini," jawab Maliq sambil memainkan gitar yang ada di kamar itu.
"Jangan merusak barang-barangku, kamu duduklah dengan santai!" perintah Shandy saat mendengar petikan gitarnya.
Tangan Maliq terasa sakit saat memetik gitar, dia berinisiatif untuk memainkannya dengan bantuan sebuah stik drum yang ada di samping gitar. "Baiklah. Aku tidak akan merusaknya!" Tidak lama setelah perkataan itu keluar dari mulutnya, tanpa diduga tali gitar itu putus. Maliq sangat terkejut, karena tali gitar itu hampir saja mengenai tangannya.
Shandy bergegas melihat Maliq yang duduk di atas sofa. "Kamu terluka?"
"Tidak, Bang. Aku hanya sedikit terkejut," jawab Maliq yang masih menampilkan warna wajah putih.
"Abang sudah katakan, jangan menyentuh barang-barang ini. Jika tali gitar yang putus itu menyayat tanganmu, tanganmu pasti akan putus," kata Shandy menakuti Maliq. Dia sangat terhibur dengan wajah terkejut Maliq, sangat lucu, dan menggemaskan.
"Benarkah?" Maliq langsung melihat kedua telapak tangannya dan dengan cepat dimasukkan ke dalam saku celana.
"Ha-ha-ha .... " tawa Shandy. "Wajahmu sangat lucu sekali! Kamu tidak usah takut, tadi Abang hanya menakutimu saja. Abang juga mempunyai cadangan tali gitar, jadi Abang akan segera memperbaikinya," kata Shandy menenangkan adiknya. Kemudian Shandy berjalan menuju tempat tidur dan duduk di tepinya. Dia menunjukkan ponsel yang baru dibeli ke Maliq, "Kemarilah! Lihatlah ponsel baru ini!"
"Wow. Ini bagus sekali, Bang," puji Maliq.
Shandy mengambil ponsel lamanya di dalam laci meja samping tempat tidur. "Seperti janji Abang, Abang akan memberimu ponsel lama ini," sambil menyerahkan ponsel lamanya ke Maliq. "Ponsel ini tidak jauh beda dengan ponsel baruku, hanya beberapa kekurangan saja. Keamanannya juga sudah Abang hubungkan dengan ponsel baru ini," kata Shandy memberi penjelasan.
"Asyiik, ini sangat menyenangkan," kata Maliq dengan raut wajah bahagia, "apa Abang sudah men-download game di dalamnya?"
"Hanya beberapa game, kamu bisa memilihnya sendiri. Abang juga sudah menyambungkan ponsel ini ke jaringan wifi di rumah dan kamarmu," jawab Shandy.
"Baiklah. Terima kasih, ya, Bang!" kata Maliq sambil tersenyum dan mulai mengutak-atik ponselnya.
"Jika ada yang ingin kau tanyakan, tanyakanlah nanti. Sekarang kau keluar dari kamarku, karena aku ingin mengerjakan tugas sekolahku dengan tenang!" perintah Shandy.
Shandy mengeluarkan panggilan 'kau' pada Maliq jika sedang kesal. Kedua orangtua mereka menyuruh mereka untuk memanggil 'kamu' satu sama lain agar terdengar lebih lembut dan saling menyayangi, tapi keempatnya selalu menyebut 'kau' jika sedang kesal.
Maliq tertawa melihat Shandy kesal, lalu dia berkata, "Iya, iya. Aku keluar sekarang!" Maliq melangkah keluar kamar dan diikuti suara pintu tertutup dan terkunci.
Setelah Maliq keluar dari kamar, Shandy teringat kejadian siang ini di restoran sushi. Luka di kaki Raisa pasti akan menimbulkan bekas. Dia kemudian mencari kotak obat di kamarnya dan menemukan saleb dari Cina yang dibawakan oleh teman papanya. Saleb ini sangat manjur untuk menghilangkan bekas luka saat Shandy mengalami kecelakan motor satu tahun yang lalu bersama Maliq. Shandy meletakkan saleb itu ke dalam tasnya dan berniat memberikannya ke Raisa esok hari.
***
Sherly mengetuk pintu kamar Stevi dan memanggilnya, tapi tidak menerima jawaban. Saat itu Stevi sedang melakukan rutinitas berlulur di malam hari kemudian mandi air hangat, jadi dia tidak mendengar Sherly memanggilnya. Sherly meraih gagang pintu dan pintu itu ternyata tidak terkunci. Dia melihat tidak ada orang di dalam kamar yang luas itu. Kamar itu sangat mewah layaknya kamar di istana dongeng. Tempat tidur dengan ukiran indah dan karpet berwarna coklat yang lembut di lantai. Sherly melangkah masuk ke kamar Stevi, baru kemudian dia mendengar suara Stevi yang sedang bernyanyi di kamar mandi. Sherly menunggunya dengan melihat-lihat sekitarnya. Ada beberapa boneka beruang dan tumpukan koleksi majalah yang tersusun rapi di lemari buku. Dia tertarik mengambil salah satu majalah fashion lalu duduk santai di atas tempat tidur Stevi. Membuka lembar demi lembar halaman di majalah itu, yang terlihat adalah foto beberapa model wanita dengan costum sesuai tempat dan acara.
Maliq yang baru saja keluar dari kamar Shandy melihat pintu kamar Stevi terbuka saat melewatinya. Dia merasa penasaran dan melihat ke dalam kamar. Terlihat Sherly sedang duduk di tempat tidur Stevi sambil membaca majalah. "Apa yang Kak Sherly lakukan di sini?" tanyanya.
Sherly terkejut, seperti maling yang baru saja ketahuan pemilik rumah. "Kau mengejutkanku, Maliq," kata Sherly kesal.
"Ha-ha-ha. Maafkan aku, Kak. Aku tidak bermaksud mengejutkanmu," kata Maliq sambil menggaruk kepalanya, "apa Kakak tidak takut dimarahi kak Stevi bermain di kamarnya?"
"Aku sedang tidak bermain. Aku ada keperluan sedikit," jawab Sherly cuek.
"Emangnya ada keperluan apa?" tanya Maliq penasaran.
Sherly ingin membicarakan masalah saat dia bertemu dengan Farid siang tadi, tapi masalah ini tidak mungkin dibahas dengan anak kecil seperti Maliq. "Anak kecil tidak perlu tahu urusan orang besar. Minum susu yang banyak biar badan kamu cepat besar!" jawab Sherly mengejek.
Warna wajah Maliq berubah berbagai warna mendengar ejekan Sherly. "Sok besar!" ejeknya kembali sambil melempar sebuah boneka ke arah Sherly.
Stevi mendengar suara gaduh dari dalam kamar mandi, dia merasa suara itu berasal dari dalam kamarnya. Stevi lalu bergegas menyelesaikan mandinya dan keluar dari kamar mandi. Betapa terkejutnya dia melihat dua bocah itu berada di kamarnya, kamarnya menjadi berantakan. Seperti singa yang sedang marah, dia langsung mengaung, "Anak-anak kecil! Apa yang kalian lakukan di kamarku?!"
Sherly dan Maliq terkejut mendengar suara itu, tapi Maliq tidak bisa menahan tawanya. "Dipanggil anak kecil juga sama Kak Stevi," ejeknya ke Sherly.
Sherly hanya memanyunkan muncungnya ke depan dan kembali melempar Maliq dengan boneka yang ada di kamar Stevi.
Melihat kedua adiknya tidak terlihat takut mendengar suaranya dan kembali bertengkar satu sama lain tanpa mempedulikannya, darah Stevi semakin mendidih. Biasanya, tidak ada manusia yang tak takut melihat dia marah. Tapi kedua adiknya ini berbeda, mereka sudah tahu sifat Stevi. Kakak mereka hanya keras di luar tapi lembut di dalam. "Kenapa kalian tidak menjawab pertanyaanku?! Sedang apa kalian berdua di sini?!"
Maliq dan Sherly berhenti saling mengejek dan melihat kepala Stevi yang sudah mengeluarkan asap. "Aku sedang ada keperluan, tapi aku tidak tahu tujuan Maliq," jawab Sherly sambil mendorong Maliq dengan telunjuknya.
"Aku hanya lewat dan melihat ada penjahat yang masuk ke dalam markas Kak Stevi, jadi aku berniat untuk membasminya," kata Maliq berlaga pahlawan super.
Stevi tidak bisa tinggal diam dengan kekonyolan ini. "Kalian berdua keluar dari kamarku karena aku ingin beristirahat!" perintah Stevi sambil mendorong kedua bocah itu keluar dari kamarnya.
"Tapi Kak, aku ingin bercerita masalah .... " belum sempat Sherly selesai berbicara, pintu kamar Stevi langsung dibanting. Mereka berdua terpelongo di depan kamar. "Gara-gara kamu sih Maliq, berlagak super hero. Kita jadi diusir kak Stevi," kata Sherly kesal.
Maliq hanya memasang wajah bingung. Mereka berdua akhirnya kembali ke kamar masing-masing.
keren, cerita dan diksinya
Comment on chapter Prolog