"Pa, Ma, Shandy berangkat dulu."
Shandy terburu-buru pergi ke sekolah karena dia baru saja menerima pesan di ponselnya. Buruan kau datang, Shan! Kami belum menyelesaikan tugas Matematika. Sesampainya di sekolah, Shandy keluar dari mobil sport hitam menggunakan jaket kulit coklat dan kaca mata hitam. Sekumpulan murid perempuan yang terpesona padanya, sudah menunggu di parkiran sekolah. Wajah Shandy seperti orang Asia kebanyakan, hanya saja kulitnya lebih putih dan terawat. Karena kartu keluarganya, jadilah dia anak paling keren dan tajir di sekolah. Shandy juga ketua tim basket, postur tubuhnya yang tinggi sangat sesuai untuk olah raga itu.
"Woi, Shandy!" teriak dua orang murid laki-laki yang merupakan sahabat Shandy. Shandy hanya mengangkat sedikit dagunya ke arah kedua sahabatnya itu, kemudian menghampiri mereka namun dia tersandung batu di depannya. Dia hampir saja terjatuh.
Shandy adalah orang yang tidak bisa berkonsentrasi pada suatu keadaan. Apalagi jika dia sedang terburu-buru atau merasa tertekan.
Murid perempuan yang berada di sana ingin menolongnya, tapi dia sudah ditolong oleh kedua sahabatnya. Walaupun Shandy terlihat bodoh saat itu, tapi murid-murid perempuan yang berada di sana tetap tersihir oleh pesonanya. Seperti ungkapan, Tak perlu menjelaskan tentang dirimu, karena yang menyukaimu tak butuh itu.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Nando.
"Aku baik-baik saja, hanya grogi tadi!" jawab Shandy seadanya.
"Apa kau melihat pesan dariku? Kenapa kau lama sekali datang?" ujar Jerry.
"Saat kami menunggumu karena ada keperluan, batang hidungmu lama sekali muncul. Tapi jika kami tidak memerlukanmu, kami pasti sudah melihatmu di kerumunan cewek-cewek itu," sambung Nando.
"Santai ... santai! Aku baru saja membujuk papaku dan minta dibelikan ponsel baru. Kalian pasti tahu bagaimana papaku secara detail memeriksa, jika aku ingin mengajukan proposal permintaan dana," kata Shandy sambil mengeluarkan buku tugasnya dari dalam tas saat tiba di kelas.
"Apa kau berhasil membujuknya?"
"Tentu saja, dibantu dengan bujukan adikku yang bersyarat. Papa langsung menerima permintaanku," kata Shandy dengan bersemangat.
"Keren. Ponsel terbaru seharga belasan juta. Kami hanya bisa menunggu beberapa tahun lagi saat harganya sudah turun," ujar Jerry dengan jujurnya, "ngomong-ngomong, apa syarat yang diberikan adikmu?" tanya Jerry kembali.
"Seperti biasa, dia meminta ponsel lamaku. Anak itu selalu saja bersedia menerima barang bekas milikku. Seandainya dia meminta barang baru ke papa, pasti akan langsung diberikan," kata Shandy menunjukkan keheranannya.
"Bentar. Anak Sekolah Dasar sudah memakai ponsel canggih seperti ini. Meski ini sudah bekas, jangankan adik kau! Aku pasti akan menerimanya dengan senang hati," kata Nando sambil menggaruk kepalanya.
"Jangan bilang celana dalam bekas Shandy juga mau kau terima," canda Jerry.
"Gila kalian berdua, buruan selesaikan tugas Matematika kalian. Lima menit lagi bel masuk akan berbunyi!"
***
Stevi dan Sherly diantar oleh supir menggunakan alphard putih ke sekolah. "Bye, Pa! Bye, Ma! Bye, Maliq!" seru mereka berdua.
Sesampainya di sekolah, mereka berdua berpencar menuju teman masing-masing. Mereka berdua belajar di satu sekolah yang sama, sehingga ruang gerak jadi terbatas. Bila di antara mereka berdua melakukan kesalahan, berita itu pasti akan sampai ke telinga papa atau mama mereka. Jika harus disembunyikan, si pelaku harus merogoh uang saku untuk membeli beberapa barang sebagai tutup mulut si saksi. Setelah itu akan terlaksana kerja sama yang baik antara kedua adik- kakak itu.
Stevi berjalan di koridor sekolah bersama tiga sahabatnya. Mereka berempat adalah genk paling cantik dan galak di sekolah. Semua mata pasti tertuju pada mereka dari ujung kaki hingga ujung kepala. Seluruh murid perempuan sangat iri, terutama pada Stevi. Stevi terlihat paling mencolok di antara keempatnya, bahkan dia sangat mencolok di satu sekolah. Kakak kelas yang berparas cantik, fashionable, dan tajir.
Walaupun Sherly berada satu sekolah dengan Stevi, tapi dia masih saja anak cupu yang baru beranjak dewasa. Adik kelas yang belum mengerti tentang arti popularitas. Tapi Sherly masih memiliki keuntungan dari popularitas Stevi di sekolah, kakak kelas tidak akan menjahilinya ketika Masa Orientasi Siswa. Selain itu, banyak abang kelas yang memintanya untuk menyampaikan rasa cinta mereka pada Stevi. Berbagai bingkisan diterima Sherly dari para penggemar Stevi, tapi tidak satu pun dipilih Stevi. Akhirnya bingkisan itu menjadi milik Sherly dan terkadang dibagikan ke Shandy atau Maliq jika bingkisan itu berupa coklat atau makanan lainnya.
Stevi bersama Citra, Grace, dan Kartika mencoba menggoda seorang murid laki-laki kutu buku di dalam kelas. "Hei, Tino tampan!" goda Stevi, "bisa lihat tugas rangkuman Sejarah, enggak?" sambung Stevi dengan mengibaskan ujung rambutnya ke wajah Tino.
Tino langsung gemetar mendapat serangan kibasan rambut Stevi yang hitam dan harum. "Tentu, Stevi! Apa yang enggak boleh untukmu?!" kata Tino sambil memberikan buku tugas Sejarahnya ke Stevi.
Stevi memberikan senyuman mautnya. "Terima kasih, Tino," katanya dengan suara merdu yang menggoda.
Tino hanya mengangguk tak berdaya sambil mengeluarkan sedikit air liurnya.
Suara tawa teman-teman Stevi menggelegar di kelas. "Parah kau, Stev! Kasihan si Tino," sahut Kartika.
"Harusnya Tino jadi tambah semangat pagi ini," jawab Stevi asal dan tertawa.
Keempatnya lanjut tertawa.
***
Setelah Pak Fauzi berangkat ke kantor, Bu Asri bersiap-siap mengantar Maliq ke sekolah. Di luar komplek perumahan, Bu Asri dan Maliq melihat Bu Rahmah yang sedang duduk di depan warungnya. Bu Rahmah adalah sahabat Bu Asri semenjak tinggal di komplek perumahan elit itu. Bu Asri membuka jendela di sebelah Maliq lalu melambaikan tangan ke Bu Rahmah.
Bu Rahmah dan suaminya Pak Joni, berasal dari salah satu kampung di Tapanuli Tengah. Mereka pindah ke kota dan membuka warung di dekat komplek perumahan elit tempat Pak Fauzi dan Bu Asri tinggal. Ketika mobil Bu Asri lewat, Bu Rahmah sudah memasang senyum untuknya. Jendela mobil itu terbuka, Bu Rahmah membalas lambaian tangan Bu Asri dan Maliq.
Sesampainya di sekolah, Maliq memberi salam dan ciuman di pipi mamanya.
"Semua sudah di bawa?" tanya Bu Asri.
"Sudah!" jawab Maliq.
"Kotak pensil?"
"Sudah!" sambil mengangguk.
"Botol minum?"
"Sudah!" sambil menunjukkan botol minum bergambar Spiderman.
"Tugas?"
"Mama ... Semua sudah Maliq bawa. Ok!" sambil menunjukkan jempolnya.
"Uang jajan?"
"Beluuumm!" teriaknya dengan semangat.
"Bohong!" kata Bu Asri sambil mencolek hidung Maliq, "tadi sebelum berangkat, Mama lihat papa ada kasih uang jajan ke kamu," sambung Bu Asri dengan sedikit meledek.
"Tapi Mama belum ada kasih uang jajan ke Maliq. Beda dong!" jawab Maliq manja.
"Hmm. Masih kecil sudah bisa korupsi," ejek Bu Asri sambil merogoh lima ribu rupiah dari dalam dompetnya. "Jangan beli gorengan, somboy, dan jajanan yang asam, ya, Sayang!" perintah Bu Asri
"Ok, Ibu Ratu," jawab Maliq. Dia langsung menyambar selembar uang di tangan mamanya.
Di sekolah, Maliq termasuk anak yang cuek dan tidak terlalu peduli dengan lingkungan sekolah. Hanya ada beberapa teman yang diajak bermain. Dia tidak peduli dengan jajanan temannya, karena apa yang diinginkannya bisa dibeli dengan uang jajan yang dia miliki.
Kevin adalah sahabatnya di sekolah. Mereka sudah saling mengenal sejak Taman Kanak-kanak. "Hei, Maliq! Aku baru saja dibelikan ponsel oleh papaku," kata Kevin sambil mengeluarkan ponsel dari sakunya.
"Kevin, bukannya kita tidak boleh membawa ponsel ke sekolah?" tanya Maliq heran.
"Boleh, boleh aja, sih. Asalkan tidak ketahuan," jawab Kevin santai.
"Kalau ketahuan bisa disita ponselmu, Vin." Maliq mengerutkan keningnya. "Oh, iya! Aku baru ingat. Aku juga akan diberikan ponsel lama Bang Shandy," ucap Maliq dengan nada bahagia.
Kevin tertawa dan mengejek, "Maliq. Kau itu lucu banget, ya. Senang mendapat barang bekas pakai."
"Sepele kamu, Vin. Walaupun barang bekas, tapi lebih bagus dari punyamu. Ponsel itu juga bekas Bang Shandy, pasti sudah diatur secanggih mungkin. Kau kira kaleng-kaleng," balas Maliq mengejek.
Wajah Kevin berubah warna menjadi hijau, dia lupa bahwa temannya ini akan marah jika keluarganya diejek. "Iya, iya! Aku lupa kalau Bang Shandy itu jago masalah gadget," kata Kevin mencoba menghibur.
Maliq langsung tersenyum mendengarnya. "Aku sudah tidak sabar untuk menerima ponsel itu."
"Setelah kau menerimanya, bisakah kau membawanya ke sekolah? Kita bisa adu game dari ponsel masing-masing," tantang Kevin.
"Enggak ah, nanti kalau disita guru, baru tahu rasa," jawab Maliq menolak permintaan Kevin.
"Sekali aja, enggak apa. Cemen banget, sih. Huuuhh!" ejek Kevin. "Oh, iya! Jangan bilang-bilang ke guru kalau aku bawa ponsel, ya!" perintah Kevin sambil sedikit mengancam.
"Huuu!" sorak Maliq sambil memukul bahu Kevin.
keren, cerita dan diksinya
Comment on chapter Prolog