Read More >>"> Varian Lara Gretha (4) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Varian Lara Gretha
MENU
About Us  

Semenjak pertemuan di mall tiga hari yang lalu, situasi di rumah, antara Gretha dan ayahnya makin dingin. Ibunya sedikit heran dengan hal itu, namun enggan bertamya. Biasanya memang anaknya itu jutek dan cuek, hanya saja saat ini lebih parah. Setiap berpapasan secara sengaja atau tidak dengan ayahnya, Gretha akan langsung pergi. 

Seperti saat ini, Tio pulang ke rumah lebih cepat dari biasanya, membuat pria itu ikut makan malam bersama dengan istri dan anaknya. Baru saja Tio memasuki area dapur, Gretha langsung bangkit berdiri dari duduknya, mengambil nasi dan lauk pauk, kemudian pamit pada ibunya untuk nonton di depan tv dengan alasan ada acara yang tak mau ia lewatkan. 

“Ayah ngapain sampai Gretha kelihatan marah gitu?” tanya Prada sambil menaruh sepotong ikan di nasi suaminya.

Tio mengedikkan bahunya, “Nggak tahu. Makin hari makin kurang ajar. Pasti gara-gara gaul dengan anak orang kaya itu.”

Prada mengerutkan dahinya, “Noel? Mana mungkin Noel jadi pengaruh buruk untuk Gretha. Dia anaknya baik kok, nggak nakal.”

Tio mendecak, “Halah, mana ada anak baik-baik kerjanya main ke rumah perempuan sampai masuk kamar. Kamu mau kalau Gretha jadi ikut nggak baik juga?”

“Ngomong apa sih Ayah?” Prada heran dengan suaminya. Tiba-tiba berbicara buruk mengenai anak orang lain. “Lagian kan mereka kalau main di kamar, kamarnya dibuka. Sama anak itu kasih kepercayaan, dong, bukan malah negatifan.”

“Pokoknya Ibu harus larang Gretha dekat-dekat Noel.”

“Noel tuh orangnya setia kawan, Yah dan nggak pernah nebar-nebar hal negatif.” Gretha sudah ada di dapur lagi. Ia tadi lupa membawa stoples yang berisi kerupuk. Cewek itu juga menekankan kata setia agar ayahnya tersindir.

Tio sedikit kaget dengan kedatangan anaknya. Pria itu memilih makan dalam diam. Prada merasa ada yang aneh. Tadi suaminya dapat berbicara panjang lebar saat Gretha tak ada, namun tiba-tiba diam ketika anak mereka memasuki dapur.

Sebelum keluar dari dapur, dengan memeluk stoples kerupuk, Gretha berbicara lagi, “Lagian, bilangin orang nggak benar main ke rumah perempuan. Nggak sadar diri.”

“Gretha.” Prada menegur anaknya, “Kamu ngomong apa sih?”

Gretha menggeleng, “Lupain, Bu. Aku tadi ngeliat acara gitu, bapaknya ketahuan suka datangin rumah perempuan lain,” ujarnya.

Tio berkeringat. Ia takut kalau anaknya itu mengatakan semuanya pada istrinya. Kalau Gretha membocorkan semuanya, maka Prada akan menceraikannya, dan Tio mau tidak mau harus keluar dari rumah itu.

Selama ini, uang makan selalu ditanggung Prada dari hasil berjualan roti dan pemesanan kue untuk acara-acara besar maupun kecil. Tio selalu menyisihkan uangnya untuk perempuan lain. Uang yang ia berikan pada Gretha untuk ongkos hanya sedikit dari pendapatannya. Bahkan, pria itu jarang memberikan uang belanja pada Prada.

“Ada aja ya, Yah, orang kayak gitu.” Prada membuka percakapan.

“Eh, o– orang kayak gimana, Bu?” taya Tio gelagapan.

“Itu, kata Gretha, suka datangin rumah perempuan lain. Nggak ada rasa bersyukurnya.”

 

**

Selama empat hari, lagi-lagi para adik kelas libur karena anak kelas dua belas melaksanakan ujian nasional. Gretha sebenarnya sangat senang, tapi sayangnya Noel pergi ke luar kota bersama keluarganya. Untungya, Silvi hari ini bersedia menemani untuk jaga bakery, karena ibunya sedang sibuk mengantarkan berkotak-kotak kue pesanan yang akan dihidangkan dalam sebuah seminar di salah satu perguruan tinggi di kotanya.

“Sil, kamu jaga kasir, tolong.” Gretha keluar dari belakang meja kasir karena baru saja melihat Rhea lewat di depan bakerynya bersama seorang anak yang diperkirakan berusia empat tahun.

“Kamu mau kemana, Tha? Nanti aku sendirian,” keluh Silvi.

“Udah ah, tuh sama Kak Thalia aja,” tunjuk Gretha pada seorang perempuan yang bertugas melayani pengunjung bakery.

Gretha segera berlari keluar bakery dan mengikuti langkah Rhea setelah sebelumnya ia mengambil ponsel dan hoodie-nya. Cewek itu menduga, Rhea tidak tahu kalau Tio adalah seorang pria yang telah bersitri dan memiliki anak perempuan remaja.

Rhea tampak menaiki sebuah taksi, sepertinya hendak pergi ke suatu tempat. Perempuan itu ternyata memang benar sudah punya anak. Apa dia juga berselingkuh dari suaminya? Atau Rhea merupakan janda muda? Semua kemungkinan terbayang dalam pikiran Gretha. Kemungkinan terakhir yang paling menyakitkan baginya ialah, anak kecil itu adalah anak dari Rhea dan ayahnya.

Kali ini mungkin Gretha kehilangan jejak Rhea dan anaknya itu, tapi besok, anak SMA itu berkeras untuk mencari tahu mengenai semuanya. Semua yang selama ini ayahnya sembunyikan, dan mau tidak mau dia harus mengadukan semua itu pada ibunya setelah mendapat bukti kuat. Setelahnya, ia akan memulai hidup baru hanya berdua dengan sang ibu.

“Silvi!” Gretha menepuk dahinya kemudian segera berlari kembali ke bakery-nya.

Sesampainya di bakery, Gretha mendapati sahabatnya, Silvi, sedang melayani pengunjung yang hendak membayar dengan telaten. Yah, paling tidak sahabatnya ini bisa diandalkan. Tunggu dulu, sahabat yang bisa diandalkan? Apa Gretha harus meminta bantuan Noel untuk mencari tahu soal selingkuhan ayahnya?

Cewek itu membuka ponselnya, mengirimkan pesan pada sahabatnya yang sedang di luar kota tersebut.

El, kpn plg? Ak bth bantuan. Soal Ayah.

 

**

Hari terakhir libur membuat Gretha mengeluh lebih banyak karena merasa masih ingin menikmati masa-masa indah berlibur sambil berdiri di belakang meja kasir dan membaca novel. 

“Nanti juga kan kamu mau libur kenaikan kelas, Tha, sabar aja,” seloroh Prada sambil mengepel lantai bakery, selagi tokonya itu sepi.

Gretha mengangguk-angguk menyetujui perkataan ibunya sambil membolak balik novel yang ia baca.

“Permisi?” suara bel tanda ada tamu memasuki bakery mencuri perhatian Gretha. Belum lagi ada suara seorang cowok yang beriringan dengan bel itu.

“Al? Ngapain?” ujar Gretha sedikit berteriak kemudian keluar dari sangkarnya, meja kasir.

Alberth tersenyum, menyapa Prada kemudian dipersilakan duduk oleh ibu Gretha itu. Gretha turut duduk di dekat Alberth, menemani cowok itu, setelah sebelumnya mengambil minuman dan sepotong kue untuk disuguhkan.

“Aku cuma pengin main aja ke sini, soalnya setahu aku hari ini anak SMA masih pada ujian nasional, jadi pasti kamu libur. Dan aku nggak tahu rumah kamu, tahunya tempat ini.” Alberth memberi cengiran.

“Hm iya ya, kamu nggak tahu rumah aku. Besok, aku bakal ajak kamu main ke rumah, bareng Noel, biar kita main bertiga.” Gretha berpikir sejenak, “Tapi main apa, ya?”

Alberth tertawa gemas melihat wajah Gretha yang tampak berpikir. Cewek itu mencepol asal rambutnya, menyisakan beberapa anakan rambut di sisi wajahnya. Belum lagi pipinya sedikit chubby, mungkin akibat sering makan kue buatan ibunya yang full cream. Siapa yang tidak gemas melihat penampilan natural namun cantik cewek tersebut?

“Kenapa harus ada Noel sih, Tha?”

“Soalnya Noel kan sahabat aku, Al. Lagian, kalau nggak diajak, dia bisa ngamuk, apalagi sama kamu. Kita kan baru kenal sebulan ini.”

Alberth manggut-manggut, “Iya, bisa-bisa Noel cemburu buta lihat kamu cuma main berdua dengan aku. Iya, kan?”

“Iya, Al. Dalam persahabatan kan pasti ada rasa cemburu, juga.”

Alberth menghela nafas frustrasi. Dia tak habis pikir melihat cewek di hadapannya ini. Kenapa selalu lari dari perasaannya? Cowok itu yakin, tak hanya dirinya, semua yang melihat persahabatan Noel dan Gretha pun tahu kalau dua manusia itu tidak hanya saling menyayangi sebagai sahabat. Hanya saja keduanya mungkin sengaja melarikan diri dari rasa tersebut.

“Ngomong-ngomong, kamu ada mikirin nggak sih, Mar, omongan aku pas di pensi sekolah kamu waktu itu?”

“Omongan?” tanya Gretha bingung, “Yang mana, Al?”

Alberth menoleh ke arah Prada yang melirik mereka seakan ingin tahu apa yang dibicarakan. Gretha membeo, turut menoleh ke arah ibunya dan menepuk dahi.

“Ibu, Alberth jadi berhenti ngomong nih, malu dia. Ibu ke dapur aja ya, Bu?” pinta Gretha membuat Prada dan beberapa pegawai di bakery tertawa kecil. Alberth tentu saja jadi malu.

“Maaf ya, Al, lanjutin bahasan yang tadi. Omongan kamu yang mana?”

“Soal bikin kamu jatuh cinta sama aku. Kan kamu bilang kalau persahabatan nggak boleh dinodai dengan tragedi jatuh cinta, jadi kamu kan sahabatannya dengan Noel, bukan dengan aku. Bisa kan perlahan, kamu suka sama aku?”

Gretha tertegun. Dia pernah berada di posisi ini. Dulu, saat menjadi murid baru di SMA Bahari, ada dua cowok, kakak kelas dan anak kelas sebelah, yang mengejar cintanya mati-matian. Tentu saja dua anak manusia itu ditolak mentah-mentah karena Gretha sama sekali tidak berniat pacaran.

“Gimana, Mar? Kalau nggak mau juga nggak papa, berarti kita bisa berteman. Tapi jangan sahabatan, aku takut nggak ada kesempatan sama sekali, kayak Noel.”

Gretha menatap dalam manik mata Alberth. Semua yang ia ucapkan tulus tapi apa dasarnya?

“Kamu suka sama aku apa alasannya?”

Alberth mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jarinya, “Pertama karena kamu apa adanya, nggak dibuat-buat. Walau kemarin sempat aku perhatiin selama dekor panggung, kamu itu termasuk anak yang ekspresinya selalu datar ke semua orang kecuali Noel dan satu lagi yang cewek siapa namanya aku nggak tahu.”

“Kedua?” tanya Gretha penasaran.

“Kedua karena kamu.”

“Hah? Aku?”

Alberth meneguk minuman yang tadi diberikan Gretha, “Iya, kamu. Karena itu kamu. Coba kalau kamu itu orang lain, aku nggak bakalan suka.”

Gretha tersenyum manis, “Makasih udah suka sama aku. Tapi, aku nggak tahu harus gimana,” jawabnya polos.

“Nggak papa, Mar. Jalani kayak biasanya, aku bakal berusaha semampu aku dan senyamannya kamu. Kalau aku berlebihan, tolong ditegur ya, aku takut bikin kamu risi.”

Gretha mengangguk.

 

**

Hari pertama masuk sekolah, Gretha sedikit bermalas-malasan karena Noel baru akan pulang hari itu. Artinya, cowok beralis tebal itu akan mulai masuk sekolah keesokan harinya. Gretha keluar dari kamar menuju dapur, untuk sarapan. Sudah ada ayahnya juga di sana. 

“Bu, aku makannya dikit aja.” Gretha mengingatkan Prada yang menuangkan nasi goreng ke piringnya.

“Kenapa? Diet kamu?” tanya Tio sambil tersenyum, menggoda anak perempuannya yang sudah sangat malas berhadapan dengannya.

“Bukan urusan Ayah.”

“Gretha? Kok kayak gitu sih sama ayahnya?” Prada memperingatkan anaknya. 

Cewek berseragam SMA itu tidak menghiraukan lagi yang dikatakan ibunya, memilih memakan nasi gorengnya dalam diam. Tio melirik anaknya itu dengan tatapan sedikit tidak suka. Padahal dia sudah berusaha ramah, agar Gretha tidak emosi dan malah membeberkan perselingkuhannya, walau cewek itu tidak memiliki bukti.

Tiba-tiba, Tio merasa tidak enak pada perutnya. Rasanya ia harus segera ke toilet. Karena buru-buru, pria itu meninggalkan ponselnya di atas meja. Gretha tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini, kemudian mengambil ponsel ayahnya.

“Ngapain, Tha?” tanya ibunya yang sudah ikut duduk untuk sarapan.

“Oh, cuma mau misscall hape aku, Bu, pengin dengar nada deringnya. Hehe,” kekeh Gretha sambil mencoba berbagai sandi untuk membuka ponsel ayahnya itu.

“Bu?” panggil Gretha pada Prada, “Tahu sandi hape Ayah nggak?”

Prada mengedikkan bahu, “Coba aja tanggal ulang tahunnya, atau tanggal ulang tahun kita berdua.”

Gretha mengangguk, mencoba, namun hasilnya gagal. Dia berpikir keras. Apa tanggal lahir Rhea? Cewek itu menyerah, meletakkan kembali ponsel Ayahnya itu.

“Nggak jadi, Tha?”

Gretha menggeleng, meminum habis susu yang sudah disediakan ibunya, “Jangan bilang Ayah ya, Bu! Aku mau berangkat dulu kalau gitu, takut telat,” pamitnya.

 

**

 

Gretha memainkan games yang ada di ponselnya, tak menghiraukan keadaan sekitar. Cewek itu saat ini sedang menunggu Silvi yang sedang rapat OSIS. Gretha sedang tidak berniat untuk pulang ke rumah cepat-cepat, jadi dia memilih untuk duduk dulu di sekolah, sambil menunggu sahabatnya si bendahara OSIS itu.

“Sendirian aja, Tha?” sebuah cewek dengan rambut sebahu menegur Gretha.

“Hm,” jawab Gretha sekenanya dengan fokus masih pada ponsel.

“Emang Noel kemana, Tha?” 

“Pulang kampung, kakeknya sakit.” Gretha masih sibuk melayani pembeli dalam permainan memasak di ponselnya. 

“Kapan pulangnya?”

“Hari ini.”

“Noel sudah ada pacar belum sih, Tha?”

Berhasil. Gretha mengalihkan perhatiannya dari ponsel akibat satu pertanyaan dari cewek yang sejak tadi mengajaknya berbicara. Itu Caya, cewek yang juga satu kelas dengan Noel dan Gretha. Cewek itu biasanya hanya diam di kelas, tidak ada niat menyapa Gretha, dan sekarang mendadak menegur Gretha dan membahas Noel. Apa sih?

“Belum. Kenapa?” tanya Gretha jutek. 

Caya menggeleng, “Nanya doang,” ujarnya lalu ikut duduk di samping Gretha. “Kalian cuma sahabat kan, Tha?”

Gretha menghembuskan napas kesal, “Gini ya, Caya. Aku itu penganut prinsip kalau persahabatan nggak boleh dinodai dengan tragedi jatuh cinta. Jadi itulah alasan kenapa aku dan Noel bisa sahabatan awet dari SD,” jelasnya panjang lebar.

Caya manggut-manggut, “Berarti Noel bisa didekatin sama siapa aja kan yah, Tha.” Cewek berwajah timur tengah itu tersenyum penuh kepercayaan diri.

“Iya, bisa. Tapi orang tua Noel pengin aku jadi menantu mereka,” ucap Gretha enteng, membuat senyum kepercayaan diri Caya sedikit memudar. “Tapi aku nggak berniat,” lanjut Gretha lagi membuat Caya mengembalikan senyumnya.

“Iya, soalnya Gretha itu calon pacar aku.” Alberth lagi-lagi secara mendadak, muncul di hadapan Gretha membuat cewek itu memekik tertahan.

“Siapa?” Caya  mengerutkan dahinya menatap Alberth heran.

“Ngapain, Al?” senyum di wajah Gretha mengembang. Tidak tahu kenapa, sejak pertama kali mengenal Alberth, Gretha merasa cowok itu menyenangkan. 

Alberth mengulurkan tangannya ke arah Caya, “Aku Alberth. Panggil aja Al. Temannya Gretha. Teman loh, ya, bukan sahabat.”

“Caya,” balas Caya. “Hm kalau gitu, aku pulang deh. Duluan ya, Tha, Al.”

Gretha dan Alberth mengangguk.

“Jadi, apa alasan mahasiswa datang ke sekolah? Kan nggak ada acara di sini, jadi nggak pakai panggung,” ledek Gretha.

“Aku baru pulang kuliah, lewat sini, kepikiran mau mampir gitu. Iseng-iseng berhadiah, eh dapat beneran.” Alberth memberikan cengiran.

Gombalan kecil yang dilontarkan Alberth membuat Gretha terkikik geli, padahal biasanya cewek itu bakal anti digombalin dengan cowok, kecuali Noel. Ya, Noel selalu jadi pengecualian dalam kehidupan Gretha. Noel bisa bebas keluar masuk kamar Gretha, bisa bebas memanggil orang tua Gretha seperti cewek itu memanggil mereka, atau juga bisa bebas memeluk Gretha di mana pun ia mau. 

Keduanya sudah seperti anak kembar. Tapi, bukan berarti tak banyak yang iri. Beberapa pengagum Noel sangat membenci Gretha yang bisa dengan bebas berinteraksi dengan pujaan hati mereka. Noel itu tipe cowok yang mau bergaul dengan siapa saja, tapi tidak bisa membuka hati untuk siapa saja. 

“Kamu ngapain sendirian di sini? Mana sahabat kamu itu?” tanya Alberth sambil memilih duduk di samping Gretha.

Gretha keluar dari permainannya, karena mengabaikan orang karena ponsel itu tidak baik menurutnya, “Oh, aku lagi nunggu Silvi rapat OSIS. Masih dua jam lagi sih katanya, udah disuruh pulang juga, tapi aku nggak mau.”

“Sahabat kamu?” ulang Alberth. Cewek di sampingnya belum menjawab pertanyaan itu.

“Oh, Noel? Dia baru balik dari luar kota hari ini, jadi masuk sekolahnya besok. Makanya aku milih nunggu Silvi di sini. Hari ini juga Ibu lagi nggak buka bakery. Libur sehari.”

Alberth manggut-manggut, “Kenapa nggak pulang aja? Toh kamu di sini pun main hape.”

Gretha tertegun. Dia hanya malas kalau nanti di jalan atau di rumah tak sengaja bertemu ayahnya. “Cuma lebih nyaman di sekolah,” ujarnya pelan, menutup mata, menikmati hembusan angin yang membuat rambut ikalnya yang ia gerai menutupi wajah. 

Alberth memperhatikan wajah Gretha dengan seksama. Tangannya terulur untuk merapikan rambut cewek itu, tapi terhenti dengan sebuah panggilan yang sedikit menyentak.

“Gretha!”

Gretha membuka matanya, dan mendapati manusia beralis tebal yang berstatus sahabatnya itu berdiri sekitar tujuh meter di depannya. Senyum mengembang di wajah Gretha. Alberth menoleh ke arah Noel kemudian ke arah Gretha dan sadar bahwa cewek ini memang sangat menyayangi Noel melebihi sahabat bagaimana pun dia menyembunyikannya.

“Noel!” Gretha berdiri kemudian merentangkan kedua tangannya hendak memeluk Noel, tapi cowok itu malah diam saja enggan membalas, bahkan menatap marah ke arah Gretha.

“Noel jahat,” sungut Gretha seraya melipat kedua tangannya di depan dada dan mengerucutkan bibir.

Noel menghela napas kesal, “Kamu tuh yang jahat. Aku udah bela-belain pas sampai langsung ke bakery, eh taunya tutup, Aku ke rumah, nunggu kamu pulang sekolah, kamu nggak nongol. Aku chat kamu nggak dibaca, aku telfon nggak nyambung. Padahal ini aku masih jet lag loh, Tha! Aku tanya Silvi akhirnya, katanya kamu di sekolah.” 

Noel memegang kedua bahu Gretha, “Aku telfon kamu terus-terusan tapi tetap nggak bisa. Hape kamu mati?”

Gretha menggeleng kemudian mengeluarkan ponselnya, menunjukkannya pada Noel, “Hidup kok. Tapi, aku pakai mode pesawat, soalnya lagi main games, takut baterai habis, biar hemat gitu, El. Gamesku kan nggak butuh jaringan.”

“Gretha!” ujar Noel gemas kemudian memeluk cewek itu, melepas rindu, “Kalau kamu kenapa-napa gimana? Kalau ada yang butuh kamu gimana? Jangan gitu lagi, dong. Aku cemas loh ini.”

Alberth menghembuskan napas kecewa. Lagi-lagi adegan mesra berkedok sahabat yang ia saksikan. Kenapa sulit sekali untuk mendapatkan Gretha tanpa gangguan Noel? Kenapa harus ada Noel di antara mereka? Atau Alberth yang salah karena datang di antara Noel dan Gretha? Ah, siapa peduli? Takdir kan sudah diatur Tuhan.

“Maaf ya, El, aku udah bikin kamu cemas. Besok-besok mau gini lagi, deh.”

Noel melepas pelukannya, menatap Gretha heran. “Kenapa?”

“Soalnya kalau cemas kamu lupa pakai kaca mata. Jadi, ganteng.”

Noel baru sadar kalau kaca matanya ketinggalan di rumah Gretha.

“Hm, jadi aku salah waktu ya, Tha, untuk ajak kamu pergi jalan?” Alberth mendekati kedua sahabat yang sedang melepas rindu itu. “Kemarin, kamu lagi jadi kasir. Sekarang, sahabat tercinta sudah pulang. Waktu untuk aku kapan, Tha?”

Gretha merasa tidak enak dengan Alberth, “Maaf ya, Al. Kalau aku ada waktu, aku bakal kasih tau kamu, biar kita bisa jalan-jalan. Ini, catat nomor whatsapp kamu, biar aku chat nanti kalau ada waktu.” Gretha mengulurkan ponselnya.

Alberth menyambut dengan suka cita karena ia memang ingin meminta kontak cewek itu, tapi selalu terhalangi oleh Noel. Kemarin mau minta, malah lupa karen keasikan berbincang. Noel menatap tidak suka ke arah Alberth. Mahasiswa semester dua itu sadar kalau cowok alis tebal di dekatnya sudah memberikan tatapan membunuh, tapi tak diacuhkannya. 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • cnuel_

    Bagus kak crita nya, saya suka????

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
The Last Mission
548      317     12     
Action
14 tahun yang silam, terjadi suatu insiden yang mengerikan. Suatu insiden ledakan bahan kimia berskala besar yang bersumber dari laboratorium penelitian. Ada dua korban jiwa yang tewas akibat dari insiden tersebut. Mereka adalah sepasang suami istri yang bekerja sebagai peneliti di lokasi kejadian. Mereka berdua meninggalkan seorang anak yang masih balita. Seorang balita laki-laki yang ditemuka...
Ojek
779      530     1     
Short Story
Hanya cerita klise antara dua orang yang telah lama kenal. Terikat benang merah tak kasat mata, Gilang dihadapkan lagi pada dua pilihan sulit, tetap seperti dulu (terus mengikuti si gadis) atau memulai langkah baru (berdiri pada pilihannya).
Dialogue
8161      1681     1     
Romance
Dear Zahra, Taukah kamu rasanya cinta pada pandangan pertama? Persis senikmat menyesapi secangkir kopi saat hujan, bagiku! Ah, tak usah terlalu dipikirkan. Bahkan sampai bertanya-tanya seperti itu wajahnya. Karena sesungguhnya jatuh cinta, mengabaikan segala logika. With love, Abu (Cikarang, April 2007) Kadang, memang cinta datang di saat yang kurang tepat, atau bahkan pada orang yang...
Who You?
696      454     2     
Fan Fiction
Pasangan paling fenomenal di SMA Garuda mendadak dikabarkan putus. Padahal hubungan mereka sudah berjalan hampir 3 tahun dan minggu depan adalah anniversary mereka yang ke-3. Mereka adalah Migo si cassanova dan Alisa si preman sekolah. Ditambah lagi adanya anak kelas sebelah yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk mendekati Migo. Juya. Sampai akhirnya Migo sadar kalau memutuskan Al...
Rain, Coffee, and You
490      338     3     
Short Story
“Kakak sih enak, sudah dewasa, bebas mau melakukan apa saja.” Benarkah? Alih-alih merasa bebas, Karina Juniar justru merasa dikenalkan pada tanggung jawab atas segala tindakannya. Ia juga mulai memikirkan masalah-masalah yang dulunya hanya diketahui para orangtua. Dan ketika semuanya terasa berat ia pikul sendiri, hal terkecil yang ia inginkan hanyalah seseorang yang hadir dan menanyaka...
My Big Bos : Mr. Han Joe
589      347     2     
Romance
Siapa sih yang tidak mau memiliki seorang Bos tampan? Apalagi jika wajahnya mirip artis Korea. Itu pula yang dirasakan Fraya ketika diterima di sebuah perusahaan franchise masakan Korea. Dia begitu antusias ingin segera bekerja di perusahaan itu. Membayangkannya saja sudah membuat pipi Fraya memerah. Namun, apa yang terjadi berbeda jauh dengan bayangannya selama ini. Bekerja dengan Mr. Ha...
Mencari Virgo
444      309     2     
Short Story
Tentang zodiak, tentang cinta yang hilang, tentang seseorang yang ternyata tidak bisa untuk digapai.
Innocence
4334      1452     2     
Romance
Cinta selalu punya jalannya sendiri untuk menetap pada hati sebagai rumah terakhirnya. Innocence. Tak ada yang salah dalam cinta.
The Diary : You Are My Activist
12789      2223     4     
Romance
Kisah tentang kehidupan cintaku bersama seorang aktivis kampus..
Ellipsis
1939      806     4     
Romance
Katanya masa-masa indah sekolah ada ketika kita SMA. Tidak berlaku bagi Ara, gadis itu hanya ingin menjalani kehidupan SMAnya dengan biasa-biasa saja. Belajar hingga masuk PTN. Tetapi kemudian dia mulai terusik dengan perlakuan ketus yang terkesan jahat dari Daniel teman satu kelasnya. Mereka tidak pernah terlibat dalam satu masalah, namun pria itu seolah-olah ingin melenyapkan Ara dari pandangan...