Cuaca siang itu terasa terik, lumayan membakar kulit. Kalau saja ibu-ibu semuanya rajin, cucian hari ini pasti langsung kering. Tapi, cuaca siang itu pula yang membuat pakaian Gretha basah. Karena cuaca sangat panas di bulan Agustus, seragam yang dikenakan cewek berambut sedikit ikal tersebut basah oleh keringatnya yang mengucur deras. Belum lagi, dia tadi harus berlari karena nyaris ketinggalan angkutan umum yang hendak ditumpanginya.
Walau cuaca terik, Gretha masih tersenyum, membuat beberapa orang yang melihatnya berpikir dia sudah tidak waras. Hari ini, dia menerima uang dari hasil pengiriman cerpen ke sebuah koran lokal di kotanya. Sekarang, cewek itu tengah menuju ke sebuah toko buku, berniat membelikan kumpulan resep kue keluaran terbaru untuk sang ibu.
Senyum dan langkah riangnya terhenti saat melihat sebuah pemandangan menyakitkan. Napas siswa kelas 2 SMP itu tersengal seakan baru saja berlari 10 putaran di lapangan sepak bola. Dia mengerjap beberapa kali, berharap apa yang dilihatnya hanya ilusi. Tapi, itu adalah kenyataan.
“Ayah,” bisik Gretha pelan.
Gretha menghembuskan napas melalui mulut, berusaha membuang ingatan baru yang ia dapat. Dia lebih memilih untuk masuk ke toko buku, tanpa mengindahkan pemandangan yang berjarak 100 meter di hadapannya. Ayahnya ... sedang memeluk perempuan lain dan tertawa bahagia.
Bagus kak crita nya, saya suka????
Comment on chapter Prolog