Perempuan Bernama Maryam
Sekitar pukul setengah lima pagi. Igo bangun, tapi tidak langsung bangkit dari tempat tidur. Dari posisi rebahannya sekarang, dia masih biasa menjangkau BB dan menekan asal salah satu tombolnya-supaya notifikasi di layar bisa kelihatan. Kosong. Jangankan SMS, miscall pun ngga ada. Igo sedikit berharap saat melihat tanda di atas Blackberry Messenger-nya. Siapa tahu, pikirnya. Tapi sejurus kemudian kecewa karena ternyata notifikasi itu untuk broadcast informasi tentang bahaya mengonsumsi buah-buahan yang dijual di pinggir jalan-kemungkinan besar sih hoax.
Igo menguap. BB itu dihempaskannya kasar dia atas tempat tidur, dengan posisi layar menghadap ke bawah. Meski begitu, saat dia benar-benar bangkit dari tempat tidur, Igo mengurungkan niatnya meninggalkan benda mungil berwarna hitam itu di sana. Meskipun dengan hati gondok, dia mengantungi BB-nya, lalu berjalan ke arah kamar mandi. Mengambil wudlu. Sholat subuh.
Igo berniat jogging keliling taman kota pagi ini. Kuliahnya masih seminggu lagi. Masih cukup waktu untuk dia beradaptasi di sini. Dengan kaos dan celana jersey AC Milan, Igo bersiap untuk segera jogging pagi. Sejenak Igo membuka tirai jendela kamar.
Pandangan mata Igo langsung melihat suasana pagi hari di kota Norwegia di minggu pertama bulan ke sebelas, saat ia telah rampung mengurusi tujuan awalnya di Mesjid yang memberinya cukup rezeki. Pasca kegiatan masjid iapun berusaha mengembangkan seni lukis kaligrafinya. Dalam beberapa lukisan ternyata banyak yang tertarik.
Ia mendapat kesempatan libur 1 (satu) bulan di masjid. Cuti dari mengajar. Dimanfaatkannya benar-benar untuk mempersiapkan kuliahnya. Ke depan ia bisa menyambi ambil kuliah. Igo berdiri di sisi jendela, mata elangnya sejenak mengamati. Dia merasa beruntung mendapatkan kamar di lantai dua ini. Selain interiornya yang terlihat mewah, kamar ini mempunyai jendela besar yang menghadap langsung jalan raya menuju jantung kota Norwegia. Bangunan tinggi di sepanjang jalan dan deretan pepohonan di sepanjang sisi kiri kanan. Norwegia saat ini lagi musim semi. Di sela - sela pohon berderet bangku - bangku yang terbuat dari kayu dan besi, juga rotan. Igo bergegas keluar kamar. Pelan-pelan menuruni tangga. Tak sabar ia ingin segera jogging dan menghirup udara pagi di negeri orang. Bluetooth headseat memutar musik kesukaanya telah bertengger manis di telinga kanannya.
Kurang lebih setengah jam Igo jogging. Denyut kehidupan kota Norwegia mulai nampak. Lalu lalang orang dengan langkah cepat menuju ke kantor. Lalu lintas yang mulai ramai.
Igo sejenak berhenti di sebuah bangku taman yang masih sepi. Duduk dengan berselonjor kaki. Istirahat. Igo mengambil botol air mineral dalam saku celananya. Minum. Igo bangkit dan meneruskan jogging ke arah pulang ke apartemen.
Hari ini Igo itu tidak bermaksud ke mana-mana, hanya ingin menghabiskan waktu sepanjang hari di kamar dengan menonton TV kabel, menonton film-film dari koleksinya, juga membaca buku dan novel yang dia bawa dari Jogja.
Di sebuah tikungan jalan, tidak sengaja Igo berpapasan dengan seorang perempuan yang juga sedang jogging. Sekilas dari wajah perempuan itu terlihat dari Indonesia, seperti dirinya. Igo penasaran, lalu berbalik arah, sedikit berlari mengejar perempuan itu, setelah berhasil, Igo langsung mensejajari lari perempuan di sebelahnya. Jarang sekali ia bisa menemukan perempuan Indonesia sekira umurnya di sini.
" Hai, Aku Igo Garuda. Boleh kenalan. Aku dari Jogja. Kamu dari Indonesia kan?” Igo tak perduli dengan sikap SKSD- nya. Belum juga ada sahutan. Nafas sedikit ngos - ngosan yang terdengar dari perempuan di sebelahnya. Tapi perempuan itu masih terlihat semangat untuk jogging.
Wajah gadis itu mirip sekali dengan Sophia Muller di usia belia. Igo sejenak terpesona dengan kehadiran perempuan itu. Igo jadi memperhatikan dengan seksama fitur wajah gadis itu, wajah yang manis, natural, hidung sedikit mancung, bibir yang penuh. Igo bahkan sempat menghitung dua tahi lalat kecil di pipinya dengan sebuah senyuman bodoh yang tak kunjung memudar. Jelas saja, di menit ke sekian Igo menerima tatapan tidak senang dari perempuan yang menoleh ke arahnya. Igo segera merubah haluan tatapan matanya kearah jalan.
Di sebuah bangku taman perempuan itu berhenti. Igo ikut berhenti. Haus. Igo menawarkan sebotol kecil air mineral yang masih penuh. Entah mengapa tadi Igo tergerak membaa dua botol. Perempuan itu sibuk menyeka keringat di pelipis dan leher yang tertutup hijab dengan handuk kecil. Akhirnya pertahanan perempuan itu menyerah kalah. Tangan perempuan itu meraih botol mineral yang sejak tadi di biarkan menggantung begitu saja di uluran tangan Igo. Igo tersenyum. Pendekatannya sudah berhasil. Sebentar lagi perempuan ini pasti akan memperkenalkan dirinya. Batin Igo. Benar sekali, setelah tegukan terakhir melewati kerongkongan perempuan itu, terdengar lembut perempuan itu menyebutkan namanya.
"Aku Maryam. Maryam binti Azzhur. Aku dari Purwokerto, Jawa Tengah. Syukron untuk mineralnya. Maaf gara - gara aku persediaan air minummu habis. " Ucapan Maryam terdengar lembut dan sopan.
Kejadian sore harinya.
“Igo…” Suara yang familiar itu segera menyapa pendengarannya.
“Ya, Ibu...”
“ Sekedar memastikan kalau hari pertamamu untuk melanjutkan kuliah berjalan baik, Nak.
“Baik, kok, bu terima kasih ya nu untuk semuanya.”
“ Ya, Nak,,, ini lagi apa kamu, Igo?´Terdengar Ibunya sedang menyalakan TV.
“Igo baru habis mandi, bu. Ini juga belum sempat ganti baju. Habis ini sholat mahgrib. "
“Oh ya, kamu sudah dapat kenalan, belum disekitar tempat barumu?”
“Sudah, bu... Perempuan.” Saat mengatakan itu kepala Igo secara otomatis membayangkan wajah Maryam, gadis yang baru dikenalnya. Igo tersenyum samar. Nampak dari wajah Igo ada guratan gairah baru.
“Oh, ya?. Ya sudah cepat sana ganti baju. Hati-hati di sana ya, Igo”.
“Terima kasih, Ibu. I love you, Ibu.”
“Ya, Nak, Ibu juga sayang Igo, sehat dan tetap semangat ya nak.” Suara telephone di matikan. Igo membuka lemari baju. Sejenak memilih baju koko. Sholat Mahgrib.
Beberapa menit kemudian Igo telah berganti baju kali ini Ia mengenakan Polo T-shirt warna hijau lumut dengan setelan jeans warna hitam, sepatu panthofel membuat Igo terlihat gagah dan tampan. Rambut di sisir rapi. Sebelum pergi, tidak lupa cowok itu menyemprotkan minyak wangi ke beberapa bagian tubuhnya.
****************
Maryam berdiri di cermin besar dalam kamarnya. Sejenak mengamat-ngamati bayangan dirinya yang sedang di depan cermin. Seulas senyum tipis samar terlihat dari ujung bibirnya, mengagumi dirinya yang terlahir sebagai cewek yang nyaris begitu sempurna; tinggi, cantik, dengan bibir sensual. Sexi dan cute, batinya. Dalam balutan gamis warna hijau tosca yang di padu dengan hijab warna senada semakin membuat Maryam terlihat cantik. Syal warna putih menutup lehernya yang jenjang.
Igo mengiriminya pesan via BBM tadi, menyatakan dirinya sudah di luar. Perempuan itu sekali lagi merapikan syal dan hijabnya, sementara tangannya yang satu lagi sibuk mengetikan balasan:
I am ready for dinner, now, Man. Awaiting for minute.
*********************************
So far, semuanya berjalan menyenangkan bagi Igo dan Maryam. Dinner dengan menu bebek goreng bumbu pedas khas jawa disalah satu restauran di Norwegia yang menyajikan masakan Indonesia, sukses membuat mereka berdua berdesis-desis kayak ular. Mendesah-desah kepedasan, lalu window shopping di sebuah butik sebelum akhirnya ke sebuah toko galeri seni kaligrafi.
“Aku ngerasa kelakuan mu tadi pagi konyol banget”.
“Aku ...minta maaf soal itu.”
Mereka sekarang sedang berjalan beriringan sepanjang trotoar jalan. Terlihat Igo menenteng sebuah kaligrafi ukuran sedang. Demikian pula Maryam.
“Kamu ke Norwegia dalam rangka kerja atau kuliah, Igo?” Igo terlihat diam sejenak sebelum akhirnya menjawab pertanyaan perempuan di sebelahnya.
"Aku kuliah di sini, mengambil S2 Designer Grafis, sambil berjuang cari nafkah dan... " Igo membiarkan menggantung saja ucapan terakhirnya itu. Sejenak laki-laki itu kembali diam. Alisnya berkerut mencoba mencari alasan yang tepat. Igo tidak merasa nyaman kalau dia harus curhat galau dengan perempuan yang juga baru dia kenal.
“Kok lama jawabnya”, Maryam menyenggol pelan lengan Igo.
Igo mengaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal dengan satu tangannya. Igo menarik nafas berat.
Aku baru putus dengan tunanganku. Suara Igo melemah namun masih terdengar jelas di telinga Maryam.
“What??????”.
“Sorry ya, Igo”. Diam sejenak.
“Tapi percaya deh, pasti akan ada perempuan cantik yang datang sebagai pengganti, kamu lelaki tampan dan baik.” Hibur Maryam. Igo diam saja. Di dalam kepalanya sendiri sudah terlalu sesak dengan kekecewaan.
Mereka terus berjalan. Keramaian jalan tak dihiraukan. Lampu-lampu sorot kendaraan yang serupa kunang-kunang raksasa saling berkejaran, sinarannya sesekali mengenai tubuh mereka. Tak mereka pedulikan. Masih asyik menikmati ritme perasaan masing-masing.
Rintik-rintik gerimis tiba-tiba turun kecil-kecil. Mereka berdua memutuskan berteduh dengan masuk ke sebuah cafe.
******************************
Jazz Cafe ramai dengan pengunjung. Mereka memilih tempat duduk yang sedikit masuk ke dalam ruangan. Sebuah Home Band menghibur dengan musik-musik Jazz.
“Maaf kalau aku merusak suasana hatimu, Igo.” Maryam meneguk capucino pesanannya. Igo terlihat sama. Wajah Igo sedikit terlihat rilek setelah diam sepanjang perjalanan. Igo sangat menikmati kebersamaan dengan Maryam hari ini. Akan banyak hal harus ku ketahui darimu Maryam.