Pengadilan Semu Alvira
Alvira tertegun menatap ummi yang membuka pintu. Kaget dia terlalu cepat pulang apalagi bersama Khairizka. "Alvira, sakit nak, mengapa cepat pulang?" tanya Sabrina umminya. Alvira menggeleng. Khairizka langsung mengambil inisiatif situasi.
"Maaf tante. Kami buru-buru pulang lebih cepat dari sekolah, ada yang mau dibicarakan dengan tante." Pungkasnya.
"Oh. Ayo. Ayo masuk.Silakan Rizka."Sabrina masih terperangah.
"Sebentar tante buatkan minum ya. Oya, tante tadi buat koktail dan kolak pisang alpukat. Cobain ya." Tambah Sabrina.
"Iya tante." Khairizka mengikuti langkah lemah Alvira ke sudut sofa balutan kain emas dipojok ruang keluarga rumah mereka.
Ada banyak pigura Tante Sabrina terpajang didinding dengan balutan busana penari tayub. Ada beberapa cuplikan foto Alvira juga saat mengikuti beberapa pementasan kabaret. Ada foto Alvira bersama abi dan umminya saat umroh, liburan di Tokyo, Holland dan beberapa daerah di Indonesia. Sabrina memasuki ruang dengan 3 mangkuk koktail dan kolak pisang alpukat serta nugget goreng.
"Alvira kenapa nak?" sapa Sabrina.
"Ika boleh bantu bicara ya tante" pelan Khairizka memohon kesempatan.
Sabrina menggangguk. Khairizka pun memulai percakapan.
"Undangan jingga ini tante. Awal keadaan Alvira begitu sedih." Lugas Khairizka menunjukkan undangan jingga.
Sabrina terkesiap. Dia tak tau harus memulai dari mana, sekejap lintas. Tapi dia segera tersadar. Dia adalah orang dewasa diantara semua. Dialah yang harus mengambil peran bijak.
Ditatapnya Alvira lembut. Sangat dalam. Alvira tiba-tiba menangis. Lari ke pangkuan Sabrina. Namun tiada suara. Hati ibu dan anak itu menyatu. Sabrina dapat merasakan detak jantung buah hati yang sekaisan nafas sekitar 9 bulan lebih bersamanya lalu.
Dibelainya dengan hati-hati kepala Alvira. Dikuatkannya dengan segenap jiwa.
"Alvira taukan nak. Alquran mengenal konsep poligami, ummi akan cerita banyak hal. Tapi ummi mau Alvira jangan potong penjelasan ummi ya nak. Ummi saat inipun butuh penguatan. Alvira mau dengar ummi dan jadi penguat hidup ummi?"
Sabrina bicara dengan tenang dengan kata yang disusun satu-satu.
"Iya ummi." cuma itu ucapan Alvira.
"Kita sangat kenal Abi dengan baikkan. Insyaallah Abi menikah lagi untuk menambah ritual ibadahnya. Bukti penghambaannya pada Allah. Ummi selama ini juga hidup dengan berbagai gelimang kenikmatan. Saatnya ummi diuji. Abi juga demikian. Abi yang cukup sukses sebagai seorang laki-laki, Allah sedang minta ia tambahi ritual ibadahnya, ingat Alvira, menikah itu ibadah." Maka kita doakan ya, abi bisa menjalankan ibadah ini dengan baik, walau kita tahu satu sisi abi juga hanyalah manusia biasa. Sabrina berhenti sejenak, berpikir sambil menyuap sesendok isi koktail ke mulutnya.
Dilafazkannya Surat Annisa ayat 29.
"Bismillahirrahmanirrahim,
?????? ????????????? ???? ?????????? ?????? ?????????? ?????? ?????????? ???? ????????? ????? ????????? ???????????? ???????????????? ?????? ?????????? ??????????? ??????? ??????? ????? ???????? ????????
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Alvira, mengangkat badannya. Menatap tak percaya pada mata kelam Sabrina. Beranjak dari pangkuan Sabrina. "Ummi percaya dan sama kita doakan, abi bisa berlaku adil. Abi punya kondisi kuat untuk itu." Sabrina diam sejenak. "Bukankah menurut kita selama ini abi cukup bijaksana, tidak sekalipun kita mengingat kecewa dan rasa amarah pada abi kan? abi juga punya harta yang cukup untuk memenuhi tanggung jawab menafkahi, abi masih sehat untuk meneruskan banyaknya generasi masa depan yang rabbani. Abi punya kemudahan berbuat, abi punya banyak ilmu pengetahuan. Maka ummi pikir dengan hanya memenjara abi bersama kita. Kita akan melakukan kezhaliman. Abi layak beribadah lebih, karena selama ini dalam banyak hal sudah cukup terpenuhi lebih, nak."
"Ummi sedih? sangat. Bahkan Sangat terpukul. Berbulan-bulan abi membantu ummi untuk rasional. Berhari-hari ummi terpuruk dalam tangis. Walau ummi berusaha menyembunyikan dari Alvira. Tapi ummi sadar ada bias kecil secara naluriah Alvira lambat laun juga akan menyadari kondisi ummi, tak bisa ummi elakkan. Alvira pasti akan mengetahui."
Sabrina jeda menarik nafas kembali. Sudut matanya mengarahkan Alvira dan Khairizka untuk memakan kolak alpukat buatannya.
"Nak, kita tidak akan bisa memaksa Allah untuk selalu memberikan takdir baiknya pada kita. Mungkin dalam prosesnya kita rasakan abi jauh, abi tidak seperti yang dulu. Dekat dan segalanya bagi kita hadir penuh detik menit kita. Tapi kita harus memahami itu. Abi juga manusia. Pasti punya kelemahan. Percayalah nak. Keikhlasan kita semoga Allah yang akan mengganjarnya. Allah pemilik segalanya bukan?
Saat ini Allah minta kita harus rela berbagi abi dengan makhluk lain. Auntie Maryam. Jadi dia bukan musuh kita ya nak. Kita ikhlashkan ya semuanya. Penting kita doakan agar abi segera mampu konsisten berlaku adil. Ingat akan aturan Alquran Annisa ayat 129 juga, ummi akan lafazkan, sebagai berikut :
Bismillahirrahmanirrahim
?????? ????????????? ???? ?????????? ?????? ?????????? ?????? ?????????? ???? ????????? ????? ????????? ???????????? ???????????????? ?????? ?????????? ??????????? ??????? ??????? ????? ???????? ????????
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Kemudian lanjutnya. “Jadi jika saat ini Alvira merasa abi jauh sekali lagi, itulah memang kedhaifan manusia. Jika kita mau mengerti, insyaallah kebahagiaan tetap milik kita. Kita harus sangat bersyukur dari keadaan orang lemah diluar sana. Terlantar tanpa makan dan kelayakan hidup. Abi sedang fokus, ingat apa yang ummi bilang saat makan malam kemarin. Oleh karena Itu penting kita fahami abi punya kelemahan saat ini. Ummi yakin saat ini saja. Mari kita ingatkan abi nanti jika waktu luang itu untuk kita. Abi bukan manusia sempurna. Tapi ummi yakin abi masih punya sebuah sudut hati tersendiri untuk kita."
Begitu bijaknya Sabrina menenangkan Alvira. Sekali lagi jiwanya sebenarnya sangat tercabik. Berdarah-darah. Berusaha kuat dan berjuang melawan sakit yang luar biasa. Agar Alvira tetap menjadi sholehah, qurrata ayyun bagi suaminya dan dirinya.
----
Beberapa hari pasca pecahnya prahara relung hati itu ibu dan anak itu. Senja menjadi waktu bersama yang sangat menyenangkan bagi Alvira dan Sabrina. Pada hamper setiap senja mereka bersepakat merawat sendiri halaman rumah. Memberi keluangan Kakek Bejo pulang lebih cepat. Selepas mengantar Alvira dari sekolah selesai waktu ashar saja. Tidak perlu merawat tanaman. Begitulah mereka mengikis serpihan sedih hati.
Chrysantthemum morifelium, bunga kelopak putih banyak dengan lingkaran serbuk kuning sebagai sentralnya merupakan favorit Alvira. Tiap kuntum dia rapikan dan semprotkan cairan penyegar tanaman. Namun tak lupa juga Alvira memperhatikan seksama perkembangan casuarina equisetifolia, cemara udang, kesayangan abi. Sambil menjamah tanaman itu dia berdoa. Semoga abi bisa segera datang untuk merawatmu.
Tak pelak. Doa Alvira terkabul seketika. Jumat pasca Ashar hari itu. Alvira begitu terperangah. Berlari kecil ia menyongsong Range Rover Sport 3.0 HSE putih abinya. Menyalam dan memeluk tubuh lelaki cinta pertamanya.
"Abi apakabar?lama tak pulang, sini deh bi, casuarina equisetifolia abi, sudah rindu abi. Baru saja Alvira berdoa semoga abi bisa segera datang merawatnya. Eh, abi datang. Ayo bi. Segera siram." Alvira begitu sumringah.
Sabrina tertegun disudut taman, menyaksikan semua. Air matanya jatuh, Dhani melihat itu dari tempat ia berdiri. Sudah lama dia tak melihat wajah lembut dalam titik air mata itu. Tapi berhubung Alvira juga tidak sempat melihat keadaaan umminya dan agar tetap focus dalam keriangannya, Dhani segera mengalihkan pandang pada Alvira sepenuhnya. Sabrina masuk ke rumah tanpa disadari Alvira. Ingin rasanya berteriak histeris, mengadukan pada langit isi hati dan penuh volume otaknya. Namun dia segera tersadar. Tujuanku menguatkan Alvira harus sempurna. Beranjak segera ia ke dapur. Sepinggan pettifura cake lapis coklat strawberry kesukaan Alvira, berikut soto khas lamongan yang pernah dipelajarinya dari buku resep dia siapkan pada 2 mangkuk kecil disertai teh serai jahe tabur cengkeh dan kayu manis. Semoga bisa menjadi teman berbincang mereka pikirnya.
Sabrina berjalan menuju halaman mendekat ke meja kecil.
"Alvira. Ajak abi menikmati Pettifure pesanan Alvira tadi pagi." Sejuk dia mengingatkan, pelan namun jelas. Alvira berlari menuju meja. "Abi. Ayo kemari."
Dhani bergerak ragu. Tertegun dengan semua proses intimasi yang hampir 8 minggu ia tinggalkan. Dia mencoba mencari kilat mata Sabrina. Namun Sabrina melangkah ke dalam rumah. Dhani memohon izin pada Alvira. "Nak, abi ganti baju dulu ya. Abi segera kembali, jangan dihabiskan ya sayang pettifure-nya." Dhani melangkah masuk ke dalam rumah.
Sabrina tau Dhani mengikutinya ke arah dapur. Segera dia menghalau Dhani.
"Mas Dhani. Segeralah berganti baju. Alvira sangat merindukanmu. Penuhi haknya sebagai anak." Lirih Sabrina berkata tanpa berpaling badan.
Dhani diam. Dia segera masuk ke kamar dan berganti pakaian. Lelah, gamang. Begitu rindunya dia dengan suasana tadi bersama Alvira. Lama tak dinikmatinya. Allah kuatkan aku, doanya dalam hati.
Sekembali ke meja halaman. Dia lihat Alvira sedang membaca buku.
"Anak abi sedang baca apa? loh, kok belum ada yang disentuh ini makanannya?" usahanya untuk mencairkan suasana.
"Alvira menunggu abi." serunya riang.
Senyum Alvira sangat manis.
Persis tarikan senyum umminya. Dalam hati Dhani rindu akan khas senyum Sabrina.
"Ayo kita makan." Tersadar Dhani segera mengambil sepotong pettifure dan menyuap sambal ke dalam mangkuk soto.
"Abi, Alvira boleh sambil cerita ya makannya. Alvira pelan-pelan." Terbata Alvira memohon izin. "Oya, silakan nak. Bagaimana persiapan ujian midsemesternya?" Dhani menanggapi
"Kemarin, ummi wa abi. Ummi mengingatkan liburan mid semester semakin dekat. Alvira mau liburan ya, bareng abi dan ummi." Tambahnya.
Air wajah Alvira, tiba-tiba berubah. Dia sangat tersentak sekonyong-konyong mengingat bahwa pernikahan ayahnya tepat jelang hari dimulainya jadwal libur mid semester.
Tapi dia juga ingat pesan ummi. Ilmu ikhlash harus diaktifitaskan. Walau langit serasa runtuh.
Alvira melanjutkan bicaranya. "Ujian mid semester insyaallah sudah Alvira persiapkan abi. Mudah-mudahan nanti tidak mengecewakan hasilnya. Alvira sudah belajar jauh hari bersama ustadzah dan ummi." Alvira meminum setenguk air serai jahe khas ramuan umminya. "Enak ya bi, punya ummi yang sangat perhatian. Alvira sangat bersyukur." perkataan Alvira mirip sentilan di telinga Dhani.
Ada apa ini. Gerah tiba-tiba suasana bersama Alvira. Alvira membetulkan duduknya, mengeluarkan undangan jingga dari buku yang tadi dipegangnya.
Bukan kepalang kagetnya Dhani.
"Abi akan ada buat acara bahagia, kenapa tidak memberitahu Alvira?" tanyanya dengan polos.
Dhani tersekat. Diselesaikanya gerakan terakhir tangan kanannya yang masih menggantung sebagai suapan terakhir. Hilang sudah selera makannya.
Anak kecil ini. Yang dulu manis dalam buaian dan dekapnya. Kini seperti mengadilinya. Menginterogasinya dengan tatapan tajam. Kikuk Dhani dibuatnya. Dhani masih diam. Alvira menyambung kembali perkataannya.
"Boleh Alvira datang abi? boleh Alvira menyaksikannya abi? Pasti senang sekali tante Maryam ya abi"
Dhani masih bingung mau berkata apa. Diam.
"Abi, kenapa diam saja, abi mau berbahagia sendiri saja diacara itu? Abi tidak ingin Alvira hadir? Ummi?" tuntutnya
"Kami bahagia juga jika abi bahagia. kami iklas berbagi abi." Lanjutnya.
Dhani tertegun. Dia seperti sedang berhadapan dengan makhluk yang sudah 17 tahun ke atas. Masyaallah. Maafkan abi nak. Desisnya dalam hati. Tamparan dahsyat baginya.
"Alvira boleh hadir. Mohon maaf, abi belum cerita ya nak, boleh kita bersiap melaksanakan shalat maghrib?"Tawarnya mengatasi kondisi pesakitan yang disuguhkan Alvira.
"Ya abi. Alvira sudah rutin setiap jumat berdoa lebih khusyu, agar abi tidak condong sebelah nantinya. Selalu ingat pada kami. Ummi mengajarkan itu, mengingatkan Alvira setiap ingat abi selama belum pulang beberapa minggu ini." Penutup Alvira merupakan smash tajam pada hati Dhani. Direngkuhnya putri kecilnya, beranjak menuju rumah sambil bersiap untuk shalat Maghrib.
Tiba-tiba Alvira menghentikan langkahnya, mendekap jari jemari Dhani dengan kuat.
“Abi, berjanjilah pada kami, berjanjilah Abi, untuk tidak akan condong sebelah nantinya.” Tegas dan nanar tatap Alvira, seperti sedang akan menghunuskan pedang tajam pada Dhani. Tak ada yang mampu dilakukannya selain menggangguk sungguh-sungguh, dengan pandangan mata penuh janji. Allah Ma'ana. Desis Dhani dalam hati.