Ekspo Perjalanan Rasa
Sabrina tersenyum sangat puas ketika dijemput Dhani dibandara. Seketika bertemu pandang ia berlari. "Mas Dhani, lihatlah. Terlalu banyak barang-barang yang Sabrina harus belanjakan." Dipeluknya lelaki sempurnanya. Diciuminya Alvira si gadis kesayangannya.
Betapa bahagianya. Semua impiannya capai. "Bagaimana Maryam nanti bisa mengerjakan semuanya?" Tanya Dhani. "Tenang mas. Sabrina akan all out. Sabrina sepanjang dipesawat juga membaca majalah dan mencari inspirasi. Begitu juga dengan Ratih. Kami belajar banyak hal. Iyakan Ratih?" Alih Sabrina pada Ratih meminta penguatan. "Iya Pak. Benar. Kami sudah banyak inspirasi, seru bermalam dengan ibu. Hampir tiap menit, muncul ide baru." Ratih tertawa. Dhani dan Alvira juga tertawa. Sampai mereka ke arah rumah begitu banyak yang mereka perbincangkan. Bahagia bisa berkumpul dan memiliki aliran rasa yang sama.
Sesampai dibutik pun demikian. Sabrina meluapkan kerinduan dan memeluk Maryam berjuta polah. Seperti sudah bertahun tidak bertemu.
"Taukah Maryam. Aku dan Ratih belajar banyak di pesawat. Kami juga mencoba beberapa item pola tenun lain dari biasa yang kau ajarkan, diantaranya yang ini, pola hiasan tusuk dan rajut renda. Cantik. Lihatlah?" Seru Sabrina.
"Masyaallah, hampir 1 tas hasil kreasinya?
Sabrina. Luar biasa." Maryam benar-benar suprised melihat kemajuan sahabatnya walau dengan bantuan Ratih. Tapi pasti murni idenya. Cantik sekali. Bisa jadi bahan-bahan jual yang cukup mengayakan pada saat Ekspo nanti.
Pagi itu sekira Pukul 04.00 WIB dinihari.
Tiiit… tiiit… tampak muncul pesan singkat di handphone Maryam
Maryam, oh Maryam. Sabrina dirumah sakit, waktu berangkat tinggal 2 hari lagi. Sabrina terlalu over letih. Mungkin kau harus berangkat sendiri Maryam. Persiapkan dirimu maksimal ya.
Maryam terdetak. Apa? Mengapa Sabrina sampai dirumah sakit?
Maryam hanya membalas emoticon menangis sebanyak 7 kali. Entahlah. Apa jadinya jika harus berangkat seorang diri.
Maryam bergegas menyiapkan diri. Ia ingin menjenguk Sabrina segera.
"Alvira. Ummi dirumah sakit mana? Tante mau ke sana sekarang juga." Seru Maryam saat telfon Sabrina diangkat oleh Alvira.
Segera dia pesan taksi sesuai tujuan apa yang disampaikan Alvira.
"Dokter menyuruhku istirahat Maryam. Jika tidak aku akan menyesal selamanya." Isak Sabrina ditemani Dhani disampingnya.
"Aku tidak sadar karena sangat bersemangatnya. Noktah darah itu jatuh. Harusnya Alvira punya adik." Pelan suaranya.
"Astaghfirullah. Sudah berapa waktu usianya?" tanyanya penuh isak sambil mendekap kepala Sabrina.
"1 bulan 7 hari. Aku tak sadar. Aku baru tau tadi. Blooding luar biasa. Sakit. Dokter menyatakan itu calon bayi. Kami belum beruntung. Lama kami harapkan adik untuk Alvira. Rezekinya bersamaan denga rencana besar itu, bodohnya aku. Tak Merasa selama ini" Masih dalam tangis Sabrina berucap.
"Sudahlah Sabrina. Jangan menyesal berkepanjangan ya. Pikirkan kesehatanmu. Itu lebih penting ya. Apa yang ada pada kita tetap harus kita syukuri. Jika Sabrina sehat insyaallah rezeki itu bisa kita raih lagi. Kita masih bisa iktiar." Ucap Dhani lembut. Mengusap sebelah tangan Sabrina. Maryam menggangguk dengan penuh derai.
"Jangan batalkan semuanya ya. Kau harus tetap berangkat Maryam." Seru Sabrina lemah
Sekali lagi Maryam kembali mengangguk lemah.
"Mas, mungkin Maryam akan gamang berurusan dengan segala prosedur. Sabrina harap mas Dhani mau bantu kami. Dampingi Maryam Mas. Alvira juga ikut. Aku akan bersama bu Badriah di Jogya. Aku akan mendoakan kita mendapatkan yang terbaik. Please Mas Dhani. Jangan tolak permohonan Sabrina. Sudah terlalu banyak yang dikorbankan." Sabrina masih menceracau dan akhirnya lemah memejamkan matanya. Letih teramat sangat. Sakit luar biasa.
"Baik Sabrina. Aku dan Alvira akan berangkat. Apapun Sabrina minta akan mas Dhani penuhi. Asal Sabrina berjanji sembuh ya. Dalam 2 hari ini. Jika Sabrina sehat dan bisa pulang ke rumah. Mas Dhani akan pesan tiket untuk mas Dhani dan Alvira." Bisik Dhani ke arah telinga Sabrina menengkan dan menyemangatinya.
Sabrina masih tampak mengangguk penuh syukur dengan mata terpejam.
"Sabrina ingin tidur. Kembalilah beraktifitas Maryam, Alvira. Biarlah Ummi bersama abi, titip Alvira untuk ke sekolah ya Maryam." lemah suaranya masih terdengar jelas walau dengan mata terkulai.
Hati Sabrina kembali merasakan kehancuran yang luar biasa. Ia hanya ingin berdua saja sebenarnya dengan Dhani. Merasakan dekap Dhani. Namun waktu itu telah tiba. "Hati-hati di perjalanan. Semoga kita raih sukses kita ya.Videokan semua ya Alvira." Sabrina melepas kepergian Suami, anak, sahabatnya Maryam, Ratih dan Bu Badriah dari teras rumah. Kondisinya tampak sudah sangat sehat namun Perintah Dokter harus istirahat total.
Bu Badriah diperintahkan ikut. Karena Sabrina tau cukup banyak yang harus dibantu disana. Ia dirumah bersama mbah Asih dan Kakek Bejo. Dulu pekerja dirumah mereka saat Alvira masih kecil.
"Mbah Asih. Jangan kasih ummi masuk dapur ya mbah. Ummi cukup dikamar dan ruang tengah aj. Kalau ummi ingin sesuatu, Kek Bejo bantuin ummi ya." Seru Alvira Jenaka.
"Siap Cantik." Seru pasangan tersebut bersamaan.
Kecupan Dhani dan salam semangat dari yang lain adalah bahasa perpisahan bagi Sabrina yang masih duduk di kursi roda.
Miris hatinya. Rasanya ingin ikut terbang. Bersama mereka.
Suasana Ekspo cukup ramai. Sepertinya para peserta dari berbagai negara Asia sudah tiba semua. Dhani dan Maryam repot dalam proses administrasi dan technical meeting.
Sementara Alvira memilih check in dan memasukkan sebagian barang-barang ke kamar yang disediakan bersama mba Ratihnya dan bu Badriah.
Senja mulai berlabuh. Akhirnya Technical meeting selesai. Maryam tampak sangat letih. Mereka menuju Cafetaria hotel. Dekat ruang ekspo. Maryam memilih menyudut menunggu Dhani yang masih tampak berjejal langkah meletakkan beberapa barang dibantu Service Asisten dari Tim Event Orgnizer yang telah tersedia. Dhani tak kenal lelah. Jauh lebih semangat dalam pandangan Maryam. Tak lama mata mereka bertemu. Rupanya Dhani memang mencari Maryam. Dhani segera merapat.
"Duh, terasa juga penatnya ya mas." Seru Maryam sambil menyerahkan tissue.
Dhani tertawa kecil. "Semua demi mimpi kita bersama ya. Membesarkan butik dan budaya Indonesia dengan versi syariah" Sambil ia meneguk air mineral botol.
"Wah, mas tengkuk mas Dhani penuh keringat." Seru Maryam.
"Udah terlanjur basah semua Maryam." Dhani tertawa kecil lagi.
"Bagaimana kita kembali ke kamar dulu? bersih-bersih ya. Kita ketemu di lobby pukul 19.00 WIB. Oke?" Dhani kembali menegaskan setelah jeda.
Opening Ceremony Ekspo tersebut sungguh luar biasa. Perdana Menteri hadir. Beberapa perusahaan Muslim seperti meliburkan pegawainya dan meminta hadir di acara tersebut. Benar-benar meriah.
Alvira tampak sibuk meliput semua acara demi acara. Sesekali selfie dengan Abi, Maryam, mba Ratih dan bu Badriah. Stand mereka cukup ramai dikunjungi. Setiap yang beli Maryam menjelaskan padu padan terbaik dan membantu memilihkan kepada para customernya. Sepertinya untuk hari I, stand mereka jadi favorit. Tidak hanya baju yang laku tapi jug mukena dan berbagai perangkat alas tidur (bed cover) yang dirancang Sabrina sangat apik. Sekira jam 20.00 WIB waktu setempat. "Bagaimana? puas ya rasanya hari ini. Kita hitung dulu ya berapa pendapatan hari ini." Ucap Dhani sebagai pemegang kas. Senyumnya sangat sumrigah. "Alhamdulillah. Sejumlah 278 juta." Dhani bergetar menyebutkannya.
"Masyaallah" Maryam tampak sangat bahagia. Mereka segera video call pada Sabrina.
"Ummi...Assalamualaikum." Sapa Alvira sangat bersemangat.
"Waalaikumussalam."
"Ummi. Kami rindu." Alvira mengarahkan smartphonenya pada abi, tatnte Maryam, mba Ratih dan Bu Badriah. Semua tersenyum dan melambaikan tangan sumrigah."
"Ummi, sudah sangat lebih sehatkan?
"Iya nak. Ummi lebih baik."
"Tahukah berapa pendapatan hari ini ummi? Kata Alvira.
Sabrina, menggeleng lemah.
"Ayo tebak estimasinya, ummi." Seru Alvira.
"Kalau lihat riangnya anak ummi. Ummi tebak sekitar 100juta ya?" Sambil tertawa Sabrina menjawab.
"Ummi salah. Kita dapat 278 juta, ummi." Alvira terpekik. Yang lain tertawa menyertai.
"Masyaallah, alhamdulillah." Sabrina meneteskan air mata.
"Mohon doa ya ummi. Semoga besok kita makin lebih baik. Rezeki ummi baik. Semua yang ummi buat. Taplak, bed cover, sarung bantal untuk tonton TV lebih banyak laku ummi." Jelas Alvira.
"Sabrina...aku bahagia." Pekik Maryam. Andai kau ada disini lelah ini benar-benar luar biasa berganti kebahagiaan.
Sabrina menutup mulutnya sangat bahagia. "Wow. Aku percaya padamu Maryam. Pasti solisit mu. Maryam memang punya power menawarkan sesuatu." Girang Sabrina.
"Oh No. Semua ini kerja tim. Bahkan kekuatan doa seorang Sabrina. Aku yakin itu kunci utama." Maryam mengalirkan air matanya. Tak Kuasa menahan keharuan.
"Terima kasih untuk semuanya tim terhebatku. Istirahatlah. Besok kalian masih berjuang. Jangan lupa. Malam ini bersedekahlah untuk sekitar. Misal office boy yang membersih stand kita. Bersedekahlah." Ingat Sabrina.
"Baik cintaku. Kami akan laksanakan perintah apapun dari Ibunda Ratu." Dhani tersenyum menggoda.
Sabrina tertawa renyah menimpali. "Kami beres-beres dan bersiap tidur dulu ya ummi, mimpi indah ummi." Balas Alvira kembali.
Percakapan berakhir. Mereka beranjak ke kamar masing-masing.
Alvira duluan ya Abi. Letih. Serunya. Maryam tampak berjalan perlahan dibelakang.
"Mau sekedar ngopi menghilangkan penatkah Maryam?" Tawar Dhani.
Ia benar-benar terenyuh melihat kegigihan sosok perempuan sahabat isterinya tersebut.
"Bu Badriah dan Ratih mau ikut ngopi?" Tanya Dhani.
Ketiganya setuju. Mereka menuju cafetaria. Suasana alunan lembut musik melayu mendendang menghanyutkan kebahagiaan mereka.
Ratih dan Bu Badriah minta pamit duluan.
Tinggallah Maryam dan Dhani.
Mereka tampak kikuk. Maryam mengurut kakinya perlahan.
"Kok sepertinya kakiku keram ya mas Dhani. Serasa bengkak. " Maryam mengurut kakinya.
"Kita cari refleksi kaki sekitar sini, maukah?" Lembut Dhani menanggapi.
Maryam menggangguk lemah.
Dhani memapah Maryam. “Ya Allah, apa ini”. Desis Maryam mengerang lemah. "Sakit sekali? Apa perlu Mas minta kursi roda?" Tampak respon khawatir Dhani melihat Maryam dan berusaha menatah diri.
Maryam mengangguk lemah. Sampai ditempat refleksi tak berapa jauh dari tempat mereka. Akhirnya Maryam benar-benar merasakan kenyamanan. Demikian juga Dhani, ia pun memanfaatkan waktu sekalian relaksasi tubuhnya. Nikmatnya melepas lelah.
Keesokan harinya Stand mereka masih cukup ramai. Namun Maryam memilih lebih banyak duduk. Kali ini Ratih tampak berperan. Mereka tahu Maryam benar-benar merasa terlalu over letih. Masih sepertiga hari. Pendapatan mereka masih sekitar 30 juta. Namun Maryam benar-benar merasa lemas. Dalam pandangan mata yang mulai kabur dicarinya Dhani dan Alvira. Tapi tak ditemukan. Kemungkinan mereka masih dikafetaria. Seperti izin terakhir mereka. Mencari segelas ice lemon tea atau coklat dingin kesukaan Alvira.
Tiba-tiba Maryam merasa begitu penat. Saat serombongan orang hadir dan memilah-milah. Tak kuasa ia menahan langkahnya untuk membantu menjelaskan. Lalu ambruk di pertigaan langkahnya. "Ibu Badriah. Lihat bu Maryam jatuh. Astaghfirullah. Allahu Akbar. Ayo bu bantu aku." Panik menghantui Ratih. "Pegang bu, aku cari Bapak dan Alvira." Ia berlari setelah membaringkan setengah posisi badan Maryam disofa kecil sudut stand.
Pada security yang berhasil diteriakinya. Ia minta tolong dipanggil ambulan mendekat dengan peralatan medisnya. Tak lama ia berhasil menjumpai Dhani dan Alvira. Yang sangat terkejut dengan berita yang dibawanya.
"Jangan tambah pikiran ibu ya Ratih, Bu Badriah dan Alvira. Biar nanti saja kita berkabar akan hal ini. Anggap semua baik-baik saja." Ingat Dhani pada semuanya, sebelum ia menarik tangan Alvira mengejar emergency bed ambulans yang semakin menjauh didorong paramedis yang tersedia. Mereka bertiga menggangguk serempak.
Dirumah sakit. Dokter tidak mengizinkan Maryam pulang walau sudah siuman. Ia diharuskan untuk cek darah. "Alvira harus jaga kesehatan nak. Tante pikir nanti Alvira akan sakit berada lama disini. Ummi belum dikasih taukan nak?" Maryam mencoba berkata walau sangat lemah. "Abi udah ingati kita semua tante untuk tidak cerita ke ummi. Oya, mba Ratih akan kemari. Nanti Alvira sekalian pulang ke hotel." Jawab Alvira dengan senyum menguatkan.
"Berani Alvira tidur sendiri?" cemas Maryam.
"Nanti dipesan bed tambahan saja dulu. Sementara tidur dengan Ratih dan bu Badriah." tegas Dhani. "Mengapa tidak bersama mas Dhani saja?" pandangan mata Maryam mengarah ke Dhani tajam. "Aku akan menemanimu, minimal sampai hasil lab keluar, jangan khawatir Maryam. Aku sudah pilih kamar yang agak luas namun ada 2 pasien didalamnya. Kita tidak berdua saja." Dhani menjelaskan panjang. Dia mengerti maksud pandangan Maryam itu.
Setelah penanganan intensif selesai mereka segera ke kamar rawat inap. Tak lama Ratih tiba bersama bu Badriah.
Dhani segera mengumpulkan mereka pada sebuah matras kecil. Mengatur siasat selama kondisi Maryam dirumah sakit. Dijelaskannya tentang kewajiban memberi informasi atas Sakit Maryam ke Sabrina adalah tugas Dhani. Tak seorangpun boleh bercerita. Selanjutnya Alvira yang pegang kas namun dibantu pengawasan bu Badriah. Bahwa mereka harus terus bertiga selalu. Minimal ke kamar kecilpun Alvira harus ditemani. Ia titipkan putri kecilnya dengan penuh sejuta kepercayaan. Dimintanya bahwa seluruh manajemen stok berada pada pengawasan bu Badriah. Sehingga Ratih benar-benar hanya fokus komunikasi pada customer. Ia sampaikan ada kebutuhan penjagaan khusus pada stand mereka selama jam pameran. Tidak boleh terlambat makan. Yang beli makanan tidak boleh Alvira. Alvira harus dikawal. Jika salah satu pergi antara bu Badriah atau Ratih maka meminta security tambahan wajib dipanggil duduk didekat mereka. Bahwa segala hal pembelian harus tercatat.
"Ingat ya bu, fokus. Ratih dan Alvira juga. Abi titip uang dalam amplop ini berikan pada komandan security. Didalamnya ada uang dan surat. Saya mau mereka menambah 1 personil khusus untuk stand kita untuk beberapa hari ke depan. Hitungan saya cukup." Tambahnya.
"Baik Pak. Beri kepercayaan pada Ratih. Insyaallah atas semua amanah ini, Ratih akan berupaya lakukan yang terbaik." Ratih segera mengambil posisi. Ia tau betul bagaimana kebutuhan bosnya saat itu atas kehadirannya.
"Terima kasih Ratih. Saya percaya padamu. Ini amplopnya. Oya bu Badriah. Khusus untuk keperluan operasional seperti makan atau apapun pooding atau plastik dan ini itu. i
Ini uangnya. Dicatat ya bu seluruh pengeluaran. Walau jajanan Alvira. Anggap sebagai pengeluaran." Dhani berkata melunak sambil senyum.
"Asyiik, Alvira bisa bebas ya abi." Segera Alvira menangkap peluang.
"Abi percaya anak abi. Paham mana yang akan bernilai mubazir. Bukankah ummi selalu menjaga Alvira dengan doakan?" Dhani mengambil pilihan kata bijak. Ia sangat tau tabiat puteri kecilnya. Alvira tertawa yang lain juga tertawa ringan. Betapa mereka sangat bersyukur semakin bisa lebih tenang dan kompak atas musibah yang ada.
"Terima kasih semuanya. Terima kasih mas Dhani, Alvira, Ratih, Bu Badriah. Maaf jika jadi sangat merepotkan." Maryam benar-benar terharu.
"Sudahlah Maryam. Jangan begitu. Kami ikhlash."
"Oya, abi sebaiknya ke pertokoan depan dulu ya. Abi mau beli baju ganti, sendal jepit dan peralatan mandi dulu. Kalian tunggui tante Maryam sebentar ya." Dhani menatap Puterinya, meminta izin sebentar.
"Alvira ikutan abi, Alvira lapar. Tapi pengen cemilan aja." Rengek Alvira manja.
"Aduh, abi lupa. Sudah jelang Maghrib ya. Oke, mari kita pergi. Nanti saya akan juga beli makanan untuk Ratih dan Bu Badriah ya. Ada pesanan khususkah?" Tanya Dhani.
"Nasi goreng saja Pak." ucap bu Badriah. Ratih mengangguk setuju.
Tipus. Dokter spesialis penyakit dalam yang akhirnya visit pada hampir jelang tengah malam itu, menyampaikan resume hasil cek darahnya.
Maryam harus banyak istirahat. Agar staminanya kembali pulih untuk menguatkan daya tahan tubuhnya. Hingga bahkan berminggu harus di rumah sakit ini. Maryam sangat lemas memikirkannya.
"Sudahlah Maryam. Kita bisa mempercayakan ekspo kepada Ratih dan bu Badriah. Jangan cemas." Dhani mencoba membaca pikirannya. Mencarikan solusi.
"Bagaimana dengan mba Sabrina. Bagaimana jika hari setelah ekspo kita tetap masih harus menetap disini mas, kalian tidak akan meninggalkanku pulangkan?" Beruntun dalam lemah Maryam bertanya. "Tidak Maryam. Minimal aku yang akan menemani. Tapi ku harap kita berangkat sama-sama bisa pulang sama-sama juga. Semangatlah sembuh. Masih ada 5 hari masa ekspo. Setidaknya sampai tahap itu tidak perlu berpikir lebih terhadap Sabrina. Yang penting Maryam bisa sehat" Dhani berusaha menepis pikiran Maryam.
Maryam menatap lekat ke arah mata Dhani. Ada ketenangan yang mengalir. Sebuah situasi yang sulit, ia harus bersama suami orang. Dirawat oleh suami orang dalam keadaan yang tidak biasa. Apa kata Sabrina nanti.
"Sudahlah. Kita tidur ya. Semakin tidak baik menambah beban pikiran. Tidurlah." Dhani kembali menegaskan.
Maryam mencoba membalik badan. Masih sempat dilihatnya Dhani berbalik arah menuju shofa mencari posisi ternyamannya. Sejenak kemudian dengkur halus Dhani terdengar. Maryam tertegun.
Hari-hari selanjutnya. Dhani terus semakin disibukkan dengan sistem perawatan yang harus dijalani Maryam. Tak sedikitpun susah hatinya tampak. Benar-benar totalitas. Menyuapkan bubur pada Maryam yang sangat lemah. Menelfon Sabrina secara rutin mengabarkan bagaimana keadaan ekspo. Bolak-balik minimal sekali sehari ke hotel ataupun lokasi ekspo. Mengarahkan. Mengedukasi semua timnya. Mengevaluasi dan menikmati pergerakan rupiah usaha mereka walau tanpa Maryam. Semua dilakukan dengan semaksimal mungkin.
Hingga akhirnya siang itu. Sekembali ia ke rumah sakit dari lokasi ekspo. Dilihatnya Maryam mengerang lemah dalam tidur. "Agh...sakit, Allah, nyeri, sakit." Berulang, beberapa kali perempuan itu membolak-balik badan dalam tidurnya.
"Maryam, masih sakit tubuhnya?" Pandang Dhani begitu lembut.
Mata perempuan disebelahnya begitu lemah. Seperti ingin meminta perlindungan besar.
Tiga hari kemudian
"Alhamdulillah. Tante Maryam sudah bisa pulangkah?" Pekik Alvira riang suatu sore.
"Iya nak." Jawab Maryam. Mereka berpelukan. Begitu tulus. "Artinya besok kita sudah bisa kembali ke Indonesia?" Alvira kembali menatap abinya dan Maryam. Serasa tak percaya.
"Insyaallah, iya nak." balas Maryam. Dhani menggangguk. Alvira berlonjak riang. "Alvira rindu ummi. Senangnya." ia melompat-lompat kecil kegirangan. Meluapkan semua emosinya. "Terima kasih ya nak. Untuk semua doa, perhatian, kesabaran dan keikhlasan selama tante sakit. Alvira sangat membantu tante lebih cepat sembuh." Lanjut Maryam.
Alvira memeluk kembali perempuan yang sangat manis dalam hijab biru muda tersebut. Dalam beberapa waktu mereka segera menetralisir semuanya. Kemudian merekapun bersiap mengevaluasi perjalanan Ekspo dan keuntungannya. Bersiap kembali ke Indonesia
Sehari kemudian.
Pagi yang cerah dilangit Yogyakarta. Sabrina, Alvira, Maryam, Ratih dan Bu Badriah serta Dhani berada disebuah ruang pertemuan. Evaluasi atas hasil ekspo berlangsung. Ada banyak catatan yang harus menjadi periksa. Ada banyak sharing yang disampaikan. Masing-masing menyampaikan pendapat. Semua sesuai porsinya. Tentang packaging kotak dan warna emas suatu item yang bisa laku lebih mahal. Walau kualitas barang sama. Demikian juga dengan melakukan matching kondisi item satu dengan lainnya yang laku lebih mahal dan menguntungkan. Ide mencocokkan dan padu padan itu benar-benar bernilai dan menjadikan lebih elit sebagai pilihan para sosialita. Persis seperti ide Sabrina. Menjadi pendulang rezeki mereka.
Hingga akhirnya sampai pada putusan porsi bagi hasil sesuai dengan rencana awal manajemen. Yang harus dibagi dan dinikmati seluruh pelaksana aktifitas.
Semua sangat sumrigah."Baik, karena tidak ada lagi yang harus kita eksplorasi maka rapat sudah bisa kita akhiri ya. Khusus untuk ibu Sabrina dan ibu Maryam sebagai bagian manajemen. Masih ada hal-hal privat yang harus saya sampaikan maka untuk Alvira, bu Badriah dan Ratih sudah dapat kembali pada aktifitas rutin kembali." Dhani menutup rapat sambil tersenyum senang. Sama halnya sebagaimana bahagia timnya yang tampak pada bias mata yang penuh binar.
Setelah tinggal bertiga. "Sabrina, saat di Kuala Lumpur Maryam sempat menderita tipus. Jadi sepertinya. Untuk waktu ke depan Maryam tidak usah diporsir dulu ya." Dhani menyampaikan dengan tenang keadaan Maryam.
"Astaghfirullah. Jadi bagaimana keadaan Maryam sekarang menurut dokter? Kenapa tidak satupun memberitahuku?" tanya Sabrina penuh khawatir.
"Sudah mulai membaik Sabrina. tapi memang sebaiknya harus istirahat saja dulu dalam beberapa minggu ke depan ya. Mohon maaf Sabrina. Untuk kondisi Maryam, kami tak ingin membuatmu menjadi khawatir Sabrina." Jawab Dhani.
"Ya. Sabrina setuju. Kesehatan lebih penting. Tapi harusnya adalah yang menyampaikan kabar. Jangan hanya yang baik saja." Tegas Sabrina sambil cemberut.
"Jangan kecewa begitu. Kami takut Sabrina nekat dan terbang." Dhani tersenyum sambil mengusap lembut tapak tangan Sabrina. Maryam berusaha menenangkan Sabrina dengan senyumannya. "Sebaiknya jika memang tidak ada lagi yang harus kita bicarakan. Maryam pulang saja dulu. Nanti datang lagi jika benar-benar sudah sehat. Maryam juga harus tetap cek kesehatan berkala Sabrina. Nanti kita bantu ya. Sekalian juga Sabrina kembali periksa kandungan ya." Dhani mencoba mengakhiri keadaan yang sangat tidak mengenakkannya.
"Kalau Maryam harus pulang, kita antar saja ya mas Dhani. sekalian setor seluruh uang ini ke Bank dan memasukkan ke rekening masing-masing tim sesuai hitungan kita tadi." Sabrina berusaha mencegah Dhani yang ingin beranjak.
"Jangan merepotkan Sabrina, aku bisa naik Taksi." balas Maryam.
"Gak apa Maryam. Baik Sabrina. Bersiaplah." Dhani menerima usulan isterinya.