Butik Perajut Makna
Akhirnya mereka bisa menyelesaikan semua. Ide Dhani luar biasa. Daripada membangun yang butuh waktu dan bikin pusing. Lebih baik merehap kontainer jadi butik. Membelinya tidak mahal. Ada seorang teman Dhani di pelabuhan. Selanjutnya sebagai seorang arsitek Dhani segera menyulapnya untuk mereka. Walau hanya ukuran 40feet. Dimana Panjang 12 meter, Lebar 2,5 meter dan tinggi 2,6 meter. Sangat cantik. Sesuai sisa tanah yang bisa dimanfaatkan di bagian terluar rumah Dhani Sabrina. Mereka sangat bahagia bisa memilikinya.
"Alhamdulillah. Semua sudah terpajang ya." Pekik Sabrina bahagia.
"Mas, nanti jika ada stok kita buat didalam rumah aja, boleh ya? Didekat ruang baca itukan ada ruang yang kita buat musala kecil ya mas Dhani untuk tamu. Sabrina izin pakai ruang itu. Musala kita buat baru agak ke depan. Ruang Tamu kita cukup besar. Itu saja kita bagi sebagiannya untuk musala." Pinta Sabrina halus.
"Great. Isteri cerdas. Musala itu bisa masuk dari pintu samping kan. Jadi andai ke depan kita punya pegawai. Tidak akan sembarang lalu lalang. Cukup masuk dan mencari barang dari pintu samping. Kita kasih sekat akses ya ke ruang inti. Itu akan menjadi tugasku Sabrina." Dhani menjawab pertanyaan Sabrina dengan antusias.
Maryam hanya tersenyum memperhatikan kemesraan mereka. Berulang jawab. Senang sekali melihatnya.
Maryam terus merapikan dan menjajar berbagai pernak-pernik butik mereka. Tidak hanya baju. Beberapa asesoris seperti bross baju, jepit jilbab, kalung, gelang tangan dan cincin serta sendal sepatu ethnic ada tersedia akan mereka jual.
Kolaborasi dengan Sabrina sangat fantastis. Sabrina penuh ide dan Maryam mengeksekusi ide tersebut. Menurut Sabrina sangat apik. Mereka hanya berdua bergantian menjalankan butik. Siang hari sabrina menunggui bersama Maryam. Hanya dijam saat Alvira pulang sekolah, Sabrina fokus ke rumah. Butik mereka hanya buka Pukul 10.00 WIB s.d 16.00 WIB. Hari Minggu Libur.
Berdagang Online juga sangat mereka jajal. Teman-teman Maryam di berbagai belahan dunia semua diinformasikan tentang operasionalnya butik tersebut. Omset semakin bertambah. Suatu hari sebuah stasiun TV nasional mulai melirik mereka. Mempublikasi apa yang mereka jual. Tenun dan batik khusus bagi mereka yang berhijab syar'i. Wawancara dan expose tersebut mau tidak mau mulai membuat kewalahan.
"Kita mendapat undangan pameran Maryam dari Kedutaan Indonesia di Malaysia, semua akomodasinya difasilitasi, acara diarrange langsung oleh Kantor Kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur." Seru Sabrina, saat selesai membaca sebuah surat undangan, ada seorang kurir mengantarnya siang itu.
"Oh, ya?" Kaget Maryam
"Kapan?" tambahnya.
"Bulan depan, tapi apa kita sanggup? stok kita hanya tinggal sedikitkan?." Memelas ucapan Sabrina.
"Insyaallah, kita harus sanggup, bagaimanapun caranya. Kita tidak boleh menyia-nyiakan hal itu" Ucap Maryam berapi.
"Baiklah. Sepertinya kita harus sudah perlu menambah pegawai ya." Sabrina berujar pelan.
"Oya, itu ide yang baik. Khusus untuk project ini saja, kita memang harus melakukannya Sabrina. Project ini kesempatan kita menjadi besar." Girang Maryam.
Selanjutnya persiapan demi persiapan sangat semangat mulai mereka lakukan. Maryam bagian tekhnis mengeksekusi bahan beserta 2 orang pegawai baru tambahan. Sabrina hunting bahan dan segala pernak-pernik.
"Mas Dhani, Sabrina izin pamit ke Jakarta ya. 2 hari saja. Sabtu pagi berangkat dan pulang minggu sore. Ada beberapa barang yang Sabrina butuhkan di Jakarta. Tidak bisa by online membelinya. Takut kecewa. Karena ada taste yang lebih puas kalau lihat langsung." Sabrina memohon pada Dhani pada suatu malam.
"Untuk acara Indonesia festival itu?" seru Dhani.
"Ya, mas." Jawab Sabrina sambil mengangguk dan wajah penuh harap.
"Dengan Maryam kah?" Tambah Dhani.
"Tidak mas. Mungkin dengan Ratih saja, pegawai yang baru direkrut itu. Maryam sibuk mempersiapkan semuanya. Kami butuh percepatan." Sabrina memberi alasan.
Dhani berpikir sejenak.
"Mas Dhani tidak bisa menemani, minggu ini, banyak deadline juga, bagaimana jika minggu depan." Dhani menyampaikan pandangannya.
"Mas Dhani. Kali ini saja. Percaya Sabrina mas. Insyallah tidak ada apa-apa. Mohon doa dan izin mas Dhani." Melasnya.
"Baiklah. Bertahun Sabrina telah abdikan diri sebagai isteri yang utuh untukku dan ibu untuk Alvira. Mungkin ini saatnya Sabrina memang harus merasakan dunia yang lebih berwarna ya." Dhani menatap lekat mata Sabrina. Tampak izin diberikannya dengan ragu-ragu.
"Terima kasih ya mas Dhani. Sabrina pamit ya." Sangat sumrigah Sabrina permohonannya dikabulkan.
Beberapa hari kemudian. Tibalah waktu mengantar ke bandara. Sabrina telah pergi.
Alvira menemani Dhani di rumah. "Abi, mau ke butik juga?" seru Alvira saat turun dari mobil melihat langkah Dhani ke arah butik. "Iya nak. Tadi ibu titip ini untuk diserahkan ke Tante Maryam." Jawabnya sambil menunjukkan oret-oret Sabrina tentang idenya pada beberapa produk yang harus dikerjakan Maryam. Alvira memang sepanjang perjalanan melihat ibunya terus membuat catatan. Sambil menggandeng tangan Abinya. Alvira memasuki butik.
"Tante Maryam, Ibu Badriah. Kami sudah pulang." Ceria suara Alvira.
"Hello... Alvira. Sini, tante Maryam lagi sibuk. Tolongin dung" wajah Maryam membujuk jenaka.
"Apa itu tante?" balas Alvira.
"Alvira, bantu pilih dong. Kain perca yang cocok utk padu padan. Lalu disemat dengan pentul dibahannya jadi langsung tante dan ibu Badriah bisa terinspirasi." Terang Maryam.
"Baik. Alvira memang tadi diminta Ummi bantu-bantu tante." Alvira sangat senang.
"Eits, ada abi, tante. Ada pesan ummi, untuk Tante." Alvira teringat abi yang masih menatap mereka dari ujung pintu.
"Oh, maaf Mas Dhani, Maryam pikir hanya untuk sekedar melihat-lihat." Maryam beranjak menuju Dhani.
"Ada beberapa pesan Sabrina." Balas Dhani.
Maryam menunjuk sebuah kursi sudut untuk mereka bisa duduk. Berkelang sekitar
beberapa meter dari pintu masuk dimana posisi Alvira dan ibu Badriah sedang bekerja.
"Mas Dhani letih? macet dijalan? Maryam sambil buat kopi sachet ya." tawarnya menuju dispenser dan laci mereka menyiapkan sajian pada customer prime.
Dhani mengikuti gerak Maryam. Baru kali ini. Dia benar memperhatikan gaya jalan Maryam. Mirip langkah bintang film pemain pretty woman pikirnya.
"Ini mas sambil diminum ya, gimana? apa kata Sabrina, mas?." Berbalik Maryam mengalihkan fokus Dhani.
"Terima kasih Maryam. Kopinya enak. Tidak terlalu panas. Tapi terasa pas langsung diminum." Tambah Dhani.
Maryam tersenyum manis.
"Oya, ini pesan Sabrina. Ada kain yang harus disiapkan model halaman 1 ini. Nanti dibutuhkan sepatu putih yang katanya harus dilukis. Untuk model anak SMU. Tapi Alvira juga bisa jadi modelnya, begitu tadi tawar Sabrina." Untuk pertama kali ketika Dhani akan menyerahkan kertas itu Maryam juga ingin meraih kertas sama. Kertas itu jatuh. Keduanya gegas mencoba mengambil.
Maryam terhenyak tangannya bersentuhan dengan tangan Dhani.
Halus dan sangat lembut. Mata mereka seketika beradu. Dhani tersenyum lembut.
"Silakan, sudah tak sabar ya membacanya." Dhani tertawa renyah
Maryam menikmatinya dan mengangguk.
"Mba Maryam, ibu pulang duluan boleh ya. Bapak tiba-tiba telfon sedang tidak enak badan. Pusing sekali katanya." Bu Badriah tiba-tiba datang tergopoh dengan sedikit membungkuk badan.
"Oh, iya bu. Silakan." Jawab Maryam.
"Terima kasih mba. Mari Pak. Ibu pamit ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam." Jawab mereka berbarengan.
Bu Badriah segera berlalu.
"Alvira." Sapa Dhani.
"Ya, abi. Alvira masih nanggung nih. Jelasin aja dulu abi, yang disampaikan ibu. Agar tante Maryam lebih ngerti." Alvira seperti mengerti maksud ayahnya memanggil namanya
Perbincangan demi perbincangan mengalir. Sesuai dengan apa yang menjadi catatan Sabrina. Tanpa mereka sadari Alvira tertidur. Perbincangan itu makin panjang dan berkembang.
"Mas Dhani, sudah lama di dunia bisnis berarti ya. Banyak banget mengerti cara berbisnis. Cara promosi dan cara presentasi produk." Maryam menyela diantara beberapa penjelasan Dhani. "Sebagai kontraktor jika tidak mengetahui itu sulit untuk maju Maryam. Semua yang kami dapat hari ini secara materi bukan warisan orangtua. Tapi kerja keras. Sabrina sangat mendukungku." Pungkas Dhani. “Wah, kalian pasangan yang sangat beruntung.” Maryam memuji keuletan mereka. "Oya, Maryam ada buat snack tadi dirumah" tiba-tiba ia ingat masakannya. "Macaroni schottel. Mas Dhani cobain ya." Tawarnya.
"Ehm... boleh, hari yang mendung ini buat lapar ya. Alvira... Alvira... waduh Alvira tertidur" Dhani baru tersadar. "Kita tinggal 2 pieces untuk Alvira mas. Yang 3 piecesnya boleh kita santap ya. Mas Dhani 2. Maryam 1 saja." Maryam menimpali sambil meletakkan saos ke piring kecil.
Mereka melanjut pembicaraan. Setelah selesai makan.
"Maaf mas. Disudut bibir mas Dhani ada saos." seru Maryam sambil menyerahkan tissue. Dhani mencoba menyekanya.
"Duh mas. malah belepotan sampai ke sudut hidung, hahahhaha" Maryam tertawa.
"Hah? kok ga bisa ya. dimana sih?"
"Maaf mas, jadi lucu." ucapnya lirih.
"Iya. Tidak apa." Dhani tersenyum segera beranjak ke arah washtafel.
"Maryam, hari semakin sore dan hujan makin lebat. Saya akan bersiap ke mesjid. Shalat. Titip Alvira ya" Seru Dhani beranjak dari duduknya.
Buru-buru Maryam bangkit.
"Baik mas. Alvira insyaallah aman." Jawabnya
"Belum mau pulangkan?" Tanya Dhani.
"Saya tunggu mas Dhani." Jawabnya mantap.
Dhani segera berlalu. Lama punggung laki-laki itu ditatapnya hingga menghilang dalam kelebat penutup pintu. Setelah shalat dan hari yang makin gelap. Maryam akan pamit pulang. Dhani sudah di dalam rumah.
"Alvira. Bangun Nak. Tante mau pulang, kamu belum shalat Ashar. Bangun nak." Sapanya halus membangunkan Alvira.
"Oh, iya tante. Sudah waktu ashar ya tante?" Balas Alvira.
"Sudah lebih 35 menit lalu, bergegaslah." Balasnya.
"Astaghfirullah. Lama sekali Alvira tertidur. Belum siap semua ini tante." Serunya kaget.
"Tidak apa. Shalatlah." Tegas Maryam kembali.
Alvira beranjak. Maryam merapikan seluruh ruang. Menutup gorden dan menghidupkan lampu. Suasana amat gelap. Hujan semakin deras.
Sambil menunggu Alvira menyelesaikan shalat. Maryam memesan Taksi seperti kebiasaannya.
Tapi ternyata sulit sekali armadanya. Maryam mulai bingung. Berkali ia mencoba.
"Adaapa tante?" tanya Alvira. Melihat gelagat kegelisahan Maryam
"Tante berusaha hubungi taksi, tapi tidak ada yang merespon. Hari makin gelap dan hujan sangat deras." Memelas suara Maryam. Alvira, melipat mukena dan segera ke dalam rumah. Kemudian tiba-tiba Alvira hadir dengan Abinya.
"Tante. Abi dan Alvira bersedia antar tante." Serunya girang.
"Masyaallah tidak merepotkankah?" Balas Maryam ragu.
"Tidak tante. Ya kan abi?" Alvira berusaha meyakinkan.
Dhani tampak mengangguk. Segera mereka bergegas.
Mengantar Maryam sore itu menjadikan Dhani dan Alvira tahu rumah Maryam. Amat sederhana, disebuah gang yang penduduk sekitarnya sangat padat. Rumah berhimpit. Terasa sesak. Maryam mengajak mereka singgah. Maryam berjanji menyuguhkan sajian makan malam. Dhani ragu. Tapi Alvira membujuk.
"Ayolah Abi. Ummi juga tidak ada. Alvira malas makanan warung. Masakan tante Maryam enak loh." Bujuknya. Akhirnya Dhani menyetujui bujukan Putrinya. Mereka masuk dan menikmati sajian masakan Maryam. Hanya mie telur dengan ayam suwir dan dipaket Gorengan ayam cabe hijau tapi entah apa bumbunya mereka sangat lahap. Maryam sepertinya tetap sedia acar timun nenas. Sehingga walau tanpa sayur utuh, acar tersebut jadi penyeimbang. Berikut sambal kecap dan kerupuk. Cepat sekali ia menyajikannya dan lezat. Tak pernah Dhani mendapat sajian begitu cepat. Akhirnya jelang Maghrib mereka pamit pulang. Dhani berencana shalat di mesjid terdekat. "Terima kasih Maryam. Mohon maaf apabila kami merepotkan." Pamit Dhani. Maryam tersenyum dan melepas kepulangan ayah dan anak tersebut. Entah mengapa malam itu pikiran Maryam jauh berkelana. Ke sebuah keadaan yang sangat dirindunya. Tiba-tiba ia teringat kembali pada seseorang yang pernah menjadi suaminya. Yang hingga saat ini tidak juga kunjung hadir menyelesaikan semua administrasi proses perceraian mereka.