“Farhan gimana rasanya punya bunda?”
“Gimana rasanya punya ayah?”
“Gimana rasanya punya kak Baba?”
“Gimana rasanya punya keluarga?”
“Gimana rasanya punya teman?”
“Gimana rasanya punya mainan hebat?”
~
Aku melangkah kembali ke kelas, setelah tadi berbicara dengan Aldi. Dia bukannya memberikan jawaban atas semua pertanyaanku, dia malah membuatku semakin muak padanya. Bahkan aku tidak ingin memutar percakapan kami tadi. Pantas saja aku sangat tidak menyukainya sedari awal aku melihatnya.
Aku merilekskan tubuhku, melepaskan tanganku yang tanpa sadar telah mengepal kuat. Aku mengetuk pintu kelas dan mengalihkan perhatian guruku.
“Permisi, bu. Maaf terlambat masuk,” Aku menghampiri guru dan menyalaminya.
“Habis dari mana saja kamu?”
“Saya tadi ada urusan sebentar dengan seseorang, bu.”
Bu Safna mengerutkan keningnya, seolah tidak percaya pada ucapanku. “Bagaimana keadaan Ayu?”
“Masih belum sadar, bu,” Bu Safna menghela nafasnya pelan.
“Kembali ke kursimu.”
“Terima kasih, bu.”
~
Aku turun dari dalam mobil dan meregangkan tubuhku yang pegal-pegal karena perjalanan jauh dari rumah kakek. Aku berjalan mengikuti bunda yang tengah mencoba membuka pintu rumah. Aku duduk di kursi yang ada di pekarang rumah.
Saat aku menengadahkan kepalaku, aku terkejut saat mendapati wajah Ayu yang tengah bertengger manis di bibir jendela yang ia buka. Hanya lampu kamarnya yang masih menyala sedangkan lampu lain dirumahnya telah mati. Ayu nampak tengah terlelap dengan boneka usang kesayangannya yang ia simpan di sampingnya. Dinginnya angin malam yang berhembus tidak membuatnya bangun.
Aku beranjak dari kursi saat bunda berhasil membuka pintu rumah dan membawa beberapa barang ke dalam. Disusul oleh ayah dan kak Baba yang juga membawa barang kami dari dalam bagasi. Aku segera berlari ke dalam dan menarik lengan baju bunda.
“Ada apa?” Tanya bunda dengan nada yang masih letih.
Aku menarik bunda hingga kembali berdiri dan menuntunnya untuk keluar rumah. Aku menunjuk ke arah Ayu yang masih terlelap. Bunda mengikuti telunjukku dan langsung membulatkan matanya.
“Ya ampun,”Bunda langsung melepas genggamanku dan kembali ke dalam.
Aku kembali menatap Ayu. Menaiki kursi dan berteriak, “AYU!! BANGUN!!”
Ayu masih terlelap di sana. “AYU BANGUN!!!” Aku kembali berteriak lebih keras dari sebelumnya.
Ayah dan bunda keluar dengan raut wajah penuh khawatir. Kak Baba juga ikut keluar. Ayah dan bunda segera pergi menuju rumah Ayu. Aku turun dari kursi dan mengikuti Kak Baba yang juga mengikuti ayah dan bunda.
Di rumah Ayu nampak ayah tengah mencoba mendobrak pintu rumah Ayu yang sepertinya terkunci. Aku menatap Ayu yang masih terlelap tanpa terganggu suara.
Ayu bangun.
~
Aku segera membereskan alat tulisku saat guru di mata pelajaran terakhir keluar dari kelas. Saat aku masih membereskan alat tulisku, ada seseorang yang mengulurkan tangannya meraih beberapa peralatan belajar milik Ayu yang masih berserakan di atas meja. Aku menatap ke arah orang itu, ternyata Esti.
“Lo bagian piket kan hari ini?” Tanya Esti sambil terus membereskan alat tulis Ayu. “Lo piket dulu aja.”
“Thanks,” Esti mengangguk kemudian berlalu meninggalkan kelas dengan tas milik Ayu di salah satu tangannya.
Aku segera mengangkat kursi, melaksanakan tugas piket. Aku mengerjakannya dengan sedikit terburu-buru karena sedari tadi aku tidak fokus pada pembelajaran terutama saat Bulan masuk ke dalam kelas. Aku tadi sempat bertanya bagaimana dengan kondisi Ayu, Bulan bilang keadaannya membaik. Ayu telah sadar dan menghabiskan makanan yang aku beli tadi. Ayu jugalah yang menyuruh Bulan untuk kembali ke kelas sedangkan dia beristirahat sendirian.
Saat tugas piket selesai aku segera menuju ruang UKS dan nampak petugas piketnya tengah mengunci ruangan. Aku segera menghentikan pergerakan mereka. “Ayu mana?”
Mereka mengerutkan kening dan salah satu diantara mereka menjawab, “Bukannya udah keluar tadi?”
Aku menatap sekeliling dan tidak menemukan Ayu. Mungkin Esti telah membawa Ayu keluar. Aku mengeluarkan ponselku dan segera menghibungi Esti. Untuk dering pertama belum ia jawab, dan didering kedua Esti baru mengangkatnya dan langsung mengatakan posisi mereka.
Aku mematikan telpon dan segera menuju halte sekolah sebagaimana informasi dari Esti. Aku menghela napas lega saat melihat Ayu dan Esti duduk berdampingan di halte sekolah. Aku menghampiri mereka. Esti langsung bangkit saat melihat aku menghampiri mereka.
“Maaf, tadi gue gak bilang mau bawa Ayu keluar duluan,” Ucap Esti.
“Gak papa, makasih juga udah mau bantuin gue,” Balasaku dengan sebuah senyuman kecil.
“Oke,” Esti menatap Ayu sekilas sebelum kembali berkata. “Gue duluan, ya? Udah ada yang jemput soalnya.”
“Bang ojek?” Esti tertawa kecil saat aku menyaut demikian.
“Iya, yaudah. Duluan,” Aku mengangguk dan mengikuti punggung Esti yang perlahan menghilang di ujung jalan.
Aku kembali membalikkan tubuh. Nampak Ayu sudah berdiri dengan tubuh yang telah dibalut dengan jaket yang aku yakini milik Esti. Aku melangkah mendekati Ayu yang kini berdiri di tepi trotoar.
“Maaf, tadi gue lupa beliin lo makanan,” Ucapku dengan nada tidak enak. Untuk beberapa detik Ayu tidak merespon, dan mungkin sedikit tegang. Aku menatap heran saat menatap reaksi tubuh Ayu.
“Gak papa,” Jawab Ayu tanpa menatap ke arahku, mungkin dia masih sedikit kesal padaku.
Ayu mengulurkan tangannya menghentikan sebuah angkutan. Saat angkutan itu berhenti kami masuk ke dalam. Tidak ada yang memulai pembicaraan, jujur saja ini suasana tercanggung yang pernah aku alami.
“Lo udah mendingan?” Tanyaku ragu.
Ayu menganggukkan kepalanya sambil menyingkirkan beberapa anak rambut yang menempel pada pipinya yang sedikit kemerahan, mungkin efek demam.
Suasana kembali canggung. Aku kebingungan mencari topik pembicaraan. Biasanya Ayu yang selalu memulai pembicaraan antara kami, sekarang aku mulai menyesal karena jarang memulai pembicaraan atau bahkan tidak pernah.
Tiba-tiba hujan teras turun, aku segera mencari jas hujan di dalm tasku. Aku menghela napasku lega saat jas hujan itu ada di dalam tas. Aku mengambilnya dari dalam tas.
“Ni pake, nanti lo nambah sakit,” Aku menyodorkan jas hujan itu pada Ayu.
Ayu menatap bingung jas hujan itu. “Ayu bawa payung kok.”
“Pakek aja dua-duanya. Biar gak kehujanan.”
“Nanti Farhan yang sakit,” Aku tersenyum pada Ayu. Ia selalu saja mengkhawatirkan orang lain. “Ayu kan udah pake jaket.”
“Oke. Tapi kalo gak kuat jangan paksaain,” Ayu mengangguk.
~
Aku menendang krikil di trotoar jalan. Hujan masih turun dan masih sama derasnya seperti tadi. Aku memandang kesal Ayu yang berjalan di depanku. Ayu mendiamkanku sedari tadi. Memandang saja tidak. Memangnya kesalahanku sampai segitunya? Bukannya Ayu masih bisa mengerjakannya sendiri. Buktinya tadi saat pelajarannya Ayu bisa menjawab dengan baik, ya walau tidak benar semuanya.
Aku menyusul Ayu dan berjalan sejajar dengannya. Ayu masih setia menatap jalan. “Em, Ayu?”
Aku melirik Ayu. Ia tidak menyaut panggilanku. “Lo marah ya? Soal kemarin malam?”
Ayu kembali tidak menjawab. “Gue minta maaf banget, ya. Gue gak maksud kok bikin lo begadang, bangun kesiangan, gak sarapan, terus tadi lo pingsan karena gak sarapan.”
Aku mendengar Ayu menghembuskan napas cukup keras. Ayu menatap ke arahku dengan matanya yang sayu. “Ayu gak marah kok. Ayu begadang juga buat Ayu sendiri, bukan salah Farhan.”
Ayu memberikan senyuman kecil kepadaku, sebelum kembali menatap trotoar. Setelahnya tidak ada yang bersuara hanya suara tetesan hujan yang menghantam aspal. Mungkin Ayu masih lemas sehingga dirinya tidak begitu ceria seperti biasanya.
Hingga kami sampai rumah. Masih sama, Ayu tidak mengeluarkan sepatah katapun. Apa Ayu tidak merasa canggung seperti apa yang aku rasa, kan?. Aku segera menyusul Ayu yang telah masuk ke dalam rumah terlebih dahulu.
Di dalam rumah begitu sepi. Biasanya bunda sedang memasak di dapur. Aku berjalan menuju dapur dan tidak ada siapa-siapa, tidak ada makan malam di atas meja.
“Bunda?” Panggilku sambil berjalan menuju kamar bunda.
Aku mengetuk pintu kamar dan memanggil bunda beberapa kali, namun tidak ada jawaban. Aku merogoh saku celanaku. Meraih ponsel dan membuka aplikasi pesan. Ternyata ada pesan dari bunda yang aku lewatkan.
‘Bunda pergi dulu ke rumah Om Reza bantu masak di sana.’
Aku baru ingat jika Kianti, anak Om Reza, lusa akan menikah. Aku tidak membalas pesan dari bunda dan memilih beranjak menuju kamarku.
Saat aku hendak membuka pintu kamar, pintu kamar Ayu terbuka. Menampakkan Ayu yang telah berganti pakaian. “Mau kemana?”
“Mau ke dapur, bikin sup. Farhan mau?” Sepertinya Ayu tahu jika bunda sedang tidak ada di rumah.
Aku menggukkan kepala. “Sekalian buat ayah. Gak papa, kan?” Tanyaku mengingat Ayu belum pulih sepenuhnya.
“Gak papa,” Ayu berjalan menjauh, menuruni tangga.
Aku membuka pintu kamarku. Masuk ke dalam, menyimpan tasku dan menganti pakaianku. Setelah semuanya selesai, aku memilih duduk di atas ranjang dan meraih gitar. Menghadap ke balkon kamar dan mulai memetik senar gitar.
Aku menghela napas pelan saat emosiku lambat laun mulai menurun. Entahlah hari ini sangat menguras emosiku. Mulai dari perkataan Gaga, kondisi Ayu, dan manusia bernama Aldi yang menyebalkan.
~
Oleh Luthfita A.s
Ps. Jika ada kesalahan dalam pengetikan harap beritahu dan maklumi.