Diperkirakan sudah dua minggu Biru kembali dalam kehidupannya, kini sosok yang telah lama ia cari serasa sudah klop di hati. Akira sadar dengan teramat sangat bahwa ia kini jatuh cinta akan sosok laki-laki itu. Sebenarnya, ia pun sudah jatuh cinta sejak dulu sebelum Biru pergi.
Daniswara Biru adalah laki-laki pemilik senyum sejuk dan lembut sikap yang mampu membuat Akira memikirkan bahkan rela menunggunya selama bertahun-tahun. Mungkin memang dulu ia hanya pikir cinta yang dimiliki pada Biru hanyalah sekedar cinta monyet biasa khas anak remaja. Namun, setelah ia melewati umurnya yang ke 17, entah mengapa ia tak merasa bahwa itu sekedar cinta monyet biasa. Perlakuan Biru dan semua tingkah laki-laki itu berhasil membuat Akira mantap menyandang gelar perempuan yang sedang kasmaran.
Hari ini Biru mengajak Akira pergi, tentu gadis itu senang bahkan senyumnya sejak pagi tak pudar. Namun rasa gugup pun kian menelusup ke relung hatinya, Akira takut ia canggung sewaktu-waktu, ia takut melakukan hal salah yang bisa membuat Biru ilfeel padanya.
Baju kodok se-matakaki dan kaus panjang berwarna dusty pink terlihat sangat rapih menempel pada tubuhnya yang tak terlalu tinggi. Polesan bedak tipis dan lipbalm pun ia kenakan pada wajahnya. Akira sadar bahwa ini tak bisa disandingkan dengan berkencan, ia hanya ingin tampil baik di depan laki-laki yang ia sukai. Ya, hanya itu saja.
Sekali lagi ia memandang pantulannya dalam cermin, tak ada yang berlebihan, pakaian dan dandanannya juga sepadan. Ia hanya menambah kesan rapih sekali lagi di surai gelap miliknya, Akira mengepang rambutnya ke belakang dan mengikatnya setelah selesai.
Akira mendapatkan satu notifikasi dari Biru. Laki-laki itu menyatakan bahwa ia sudah menunggunya di halaman rumah. Secercah senyum terukir kembali. Akira langsung pamit begitu menemui Ibu yang sedang menonton sinetron favoritnya.
"Bu, Kira pergi dulu ya. Jangan kebanyakan nonton sinetron, gak baik, hehe." Seusai menyalimi Ibunya, terdapat sebuah pesan dari wanita paruh baya tersebut. "Jangan kemaleman ya, pintu Ibu kunci jam sebelas."
"Oke Ibu!"
Akira menutup pintu rumahnya yang ber-cat coklat dan langsung mendapati punggung laki-laki yang terduduk di atas jok motor. Ia mengenakan kaus yang berlapiskan sweeter warna maroon. Dan, Akira sudah mulai berdegup dari belakang sini.
"Mas Biru."
Sosok yang Akira panggil menolehkan kepalanya, dengan motor matic yang bewarna sama dengan namanya, Biru menyerahkan sebuah helm yang tergantung di bawah stang setelah Akira berdiri dekat dengannya.
Akira terima helm pemberian Biru dengan senang hati. Sambil mengatur agar dapat senyaman mungkin helm itu pada kepala, ia bersuara, "Kita mau kemana Mas?"
Biru yang sudah siap dengan posisi layaknya tukang ojek, menolehkan kepala, "Malioboro." Jawabnya singkat dibubuhi senyuman manis.
Mendengar tempat yang sangat fenomenal di Kota Jogja disebut, ada rasa tak rela jika memang mereka harus pergi ke sana, "Malioboro malem-malem gini kan rame Mas." Bunyi 'klek' terdengar pada helm-nya, kemudian Akira langsung menduduki jok belakang motor Biru.
Biru menyalakan mesin dan menyahuti perkataan gadis yang seolah-olah menolak diajak ke tempat itu, "Kamu mau kita ke tempat sepi? Berdua doang gitu?"
Seketika pipi Akira memanas dan berubah merah menyimak apa yang Biru ucap, "Eh, gak gitu maksudnya."
Motor Biru meninggalkan pekarangan rumah tepat setelah ia berbicara, "Hahaha Saya bercanda kok, kamu mau kemana emang?"
Akira terlihat berpikir dari wajah yang tertutup kaca helm tersebut, "Kalo boleh, aku mau lihat keseluruhan Jogja Mas."
Sedikit kebingungan dengan alis yang berkerut Biru bersuara, "Bi, jangan kode-kode, Saya orangnya gak peka soalnya."
Akira sekuat mungkin menahan tawa yang baru ingin tercipta dari mulutnya, "Yoalah Mas, mbok ndak usah jujur gitu, hahaha." Gadis yang saat ini sedang senang bukan main itu tak sanggup menahan tawa pada akhirnya.
"Lah malah diketawain."
Tawa girang Akira berangsur-angsur menghilang, "Yaudah-yaudah, 'Kita' ke Malioboro aja." Dengan perasaan sedikit kecewa, Akira menyetujui tempat yang Biru maksud.
Namun jika boleh jujur, sesungguhnya ia sangat ingin ke Hutan Pinus Pengger Yogyakarta, namun saat ini sudah pukul setengah delapan malam, bisa menempuh waktu yang lama untuk ke tempat indah tersebut. Jadi, mungkin ia bisa kesana lain kali.
"Ciee kita." Lamunannya terpecah ketika suara menggoda Biru menelusup pendengaran, terlihat bahwa laki-laki itu sedang menyunggingkan senyum, namun tetap fokus pada kemudi.
Mendadak saliva Akira serasa tersangkut, tanpa berpikir panjang, ia langsung mencoba memikirkan jalan tengah yang pas untuk dibicarakan, "Yaudah aku aja kalo gitu, Mas Biru nanti langsung pulang ya habis anter aku."
Roda motor yang sedang Biru bawa berhenti perlahan, terlihat kini lampu merah sedang menyala terang tak jauh dari tempat mereka, sekejap Biru menoleh dan membuka kaca helm-nya, "Emang Saya tukang ojek kamu?"
Melihat wajah Biru hanya berjarak satu jengkal darinya, jantung di balik dada Akira seakan ingin mencuat keluar. Darah yang semula mengalir dengan normal keseluruh pembuluh, perlahan-lahan sangat cepat laju kerjanya.
Akira alihkan perhatiannya dari kedua mata Biru. Lalu, tepat saat itu pula ia melihat cahaya merah yang sedang menyala berganti menjadi hijau warnanya.
"Mas, udahan tuh lampu merahnya, ayo jalan."
Semacam terkejut dan juga linglung, Biru kembali pada kemudi dan langsung melajukan motornya.
Dalam lubuk hati, Akira berterimakasih pada sang Maha kuasa.
Suasana jalan Jogja lumayan ramai malam ini, sepanjang perjalanan menuju Malioboro, entah mengapa mereka berdua mendadak terjebak di dalam keheningan setelah kejadian di lampu merah tadi.
Langit nampak cerah, terlihat Bintang dan Bulan seakan-akan sedang berbahagia di atas sana, mereka semacam sedang bersenda gurau antar satu dengan lainnya.
"Eh, Saya mau parkir di Taman Parkir Abu Bakar Ali, gak apa-apa kan?"
Mendengar suara Biru tercipta, Akira berterimakasih kembali kepada sang Maha kuasa. Pasalnya, ia bersyukur tak harus berada pada situasi canggung itu lagi.
"Iya Mas, gak papa."
Motor Biru melaju, membelah jalanan Jogja menuju tempat yang tadi disebutkannya. Sampai menuju tempat tujuan tak ada lagi percakapan diantara mereka. Biru memakirkan motornya di lantai paling atas tempat parkir, entahlah apa yang diinginkan laki-laki satu ini dengan memakirkan motornya sejauh itu.
Sambil melepas helm, Akira menanyakan pertanyaan yang sejak tadi sudah mengambang pada pemikiran, "Mas, kok markirnya jauh? Di bawah ku liat tadi masih lowong."
Memang, kira-kira hanya 5 sampai 10 motor yang terparkir di lantai paling atas, mungkin mereka tak mau lelah berjalan ke bawah dengan memakirkan kendaraannya sejauh ini.
Seusai melepaskan helm dan bukannya menjawab pertanyaan yang diajukan, Biru malah melenggang pergi menjauhi Akira menuju pagar besi pembatas lantai teratas ini. Kedua tangan miliknya ia masukkan kedalam saku celana yang ia pakai sambil matanya memandang lurus apa yang sedang terperangkap pada pengelihatan.
Akira terheran, mengapa Biru mendiamkannya begitu.
Ingin rasa penasarannya terkuak, ia menghampiri laki-laki yang membawanya ke sini. Lantas, ia segera berdiri tepat di sebelahnya, lalu ketika Akira menangkap citra apa yang sedang terlukis, ia berdecak kagum dengan sendirinya.
"Woah." Ungkapnya dengan mulut yang sedikit terbuka.
Lanskap lalu lintas kota Jogja yang berada di bawah; rel kereta yang panjang terbentang; juga papan reklame yang memancarkan sumber cahaya, membuat pemandangan dari atas Taman Parkir Abu Bakar Ali terasa sederhana namun begitu membekas.
Entahlah, Akira merasa begitu.
Ah, tak lupa juga dengan Bintang dan Bulan yang masih setia bersinar terang di atas langit yang diselimuti warna gelapnya malam.
Mendengar Akira tadi sempat bersuara, sekaligus ia perhatikan raut bahagia dari sorot mata gadis di sebelahnya, senyum sejuk yang Biru miliki merekah. Setelahnya, tanpa disadari siapapun kecuali dirinya sendiri, sebelah telapak tangan laki-laki itu sudah tepat berada di atas puncak kepala Akira.
Karena merasakan sesuatu, yang disentuh pun menoleh, tentu masih dengan telapak tangan Biru yang bertengger disana.
"Maaf, Jogja yang mau kamu lihat baru segini. Bahkan ini belum ada setengahnya." Biru menghusap pelan puncak kepala gadis di hadapannya.
Hati seorang Akira baru saja terjatuh lagi dan lagi. Matanya tahu-tahu kini sudah berkaca-kaca memandang kedua sorot tulus yang Biru berikan. Sungguh, baginya saat ini, di tempat indah ini, bersama Biru, semuanya sudah lebih dari cukup.
Telapak tangan yang masih berada pada puncak itu, perlahan turun menuju samping tubuh pemiliknya.
Biru masih melanjutkan pengucapannya yang begitu terlihat bersungguh-sungguh, setelah Akira benar terlampau bahagia.
"Lain kali, Saya akan bawa kamu melihat Jogja yang seutuhnya."
Deg.
Air mata Akira kini sudah mengalir melewati pipi dan menggantung di ujung dagu tanpa bertanya pada sang pemilik lebih dulu.
"Huaaaa.... Mas Biru curang ... mau ngasih kaya gini gak bilang-bilang." Akira menangis, ia terharu. Sebetulnya ia tidak ingin bertingkah dan berucap demikian, namun demi mencairkan suasana ia bertingkah demikian.
Biru tersenyum melihat rengekkan Akira, sambil mengulurkan tangan ke sebelah pipi Akira yang basah, Biru berucap, "Saya gak suka lihat air mata kamu."
Sesegera mungkin Akira menghentikan rengekkannya, wajahnya berubah serius sambil memandangi kedua sorot yang begitu tulus milik Biru.
"Udah jangan nangis, ayo turun, nanti kita kemaleman pulangnya."
Akira mengangguk seraya menyeka sisa air matanya.
"Kita mampir lesehan ya, makan nasi gudeg sama tempe bacem. Saya rindu sayur manis itu, hehehe." Biru tertawa mendengar pelafalannya sendiri.
Akira tersenyum, "Makasih ya Mas."
"Untuk?" Tanya Biru.
Akira menarik nafas pelan sebelum menjawab, "Untuk Jogja yang Mas Biru beri."
Biru tersenyum lalu menarik tangan Akira supaya mengikuti langkahnya yang baru saja ingin melenggang, "Ini bukan apa-apa, Bi." Ucapnya lengkap dengan senyum.
Kemudian keduanya langsung turun dari Taman Parkir Abu Bakar Ali, dan menuju Malioboro dengan berjalan kaki.
Sesampainya di bawah, Akira menatap lengannya yang masih erat digenggam Biru. Dengan canggung ia berucap, "Mas?"
Seolah sadar dengan perilaku yang ia perbuat, Biru melepaskan tangannya dengan segera, "Eh iya, maaf."
Beruntung Akira masih bisa menyesuaikan udara di sekitarannya, sebab kalau tidak bisa-bisa ia kehabisan nafas karna sesak.
"Ditinggal 5 tahun, Jogja berubah ya."
"Berubah gimana Mas?"
"Makin banyak kaki lima ... ya, tapi ga papa sih, ini estetikanya. Ini yang buat Jogja selalu gak bisa dilupa. Kenapa ya? Heran Saya."
Akira menyimak, serta mengangguk mengerti ucapan Biru.
"Oh iya, kamu ambil jurusan apa nanti kuliah?"
"Ilmu Komunikasi, Mas."
Biru ber'oh' ria mendengar jawaban Akira, "Masih mau jadi Jurnalis yang punya kerjaan sampingan menulis dan nyiptain buku?"
Akira mengulum senyumnya mendengar kata-kata Biru. Itu impiannya sejak SD dan Biru masih mengingatnya dengan teramat. Hal itu sederhana, tapi berhasil membuat Akira ingin melompat saking senangnya.
Memang, Akira memiliki hobi menulis sejak ia kecil, ia sering membuat cerita pendek yang unik dan menarik. Kemudian karna sering main ke rumah Biru dan menonton acara berita bersama Eyang Kakung, ia jadi bermimpi menjadi seorang Jurnalis.
"Eyang, aku mau muncul di TV kaya gitu." Ucap Akira dulu.
"Hehe iya, Mas." Jawab Akira.
Biru tersenyum, "Semangat ya, semoga nanti bisa jadi Jurnalis yang hebat."
Akira mengangguk.
"Eh iya, pokonya kalau kamu nanti juga berhasil nyiptain buku, harus Saya orang pertama yang baca."
Akira menatap Biru lekat, "Hehe, pasti Mas."
Setelah sepuluh menit berjalan, Akira dan Biru sudah mulai dekat dengan Jalan Malioboro, kawasan lagendaris itu selalu ramai setiap malam dengan kaki lima yang menjajakan panganan khas Jogjakarta juga para wisatawan ataupun orang lokal yang sekedar berjalan-jalan seperti Biru dan Akira.
Alunan musik khas musisi jalanan terdengar membuat mereka yang melewati ingin berhenti sejenak untuk menikmati. Kerumunan orang menghalangi pengelihatan Akira sebab ia tidak terlalu tinggi, gadis itu berjinjit dengan susah payah untuk melihat keseluruhan musisi jalanan tersebut.
Biru yang terdorong-dorong dengan ramainya orang, mau tak mau menggenggam erat jemari Akira, sekedar jaga-jaga jika gadis di sebelanya mendadak menghilang. Menemukan bahwa gadis yang digenggamnya kesulitan dengan posisi berjinjit seperti itu, Biru menarik Akira untuk ikut bersamanya.
Badan tegap Biru membelah kerumunan orang dan seolah menjadi tameng bagi Akira, dengan satu hela nafas yang panjang ia berhasil sampai di depan tepat para musisi jalanan itu sedang beraksi.
Akira sedikit mencelos sejak jemarinya digenggam Biru. Ia seakan hilang kesadaran menemui dirinya kini memiliki akses untuk menikmati alunan musik itu dengan lebih kentara. Akira mengalihkan pandangannya pada Daniswara Biru, ia memperhatikan garis wajah laki-laki itu yang entah mengapa malam ini terlihat sangat menawan. Sorot mata miliknya pun demikian, ada binar yang Akita temui di sana, membuat gadis itu kian merasa berada di puncak awan.
Berpadu dengan musik yang tetap mengiring, ia tatap lagi tangannya yang masih menyatu dengan milik Biru. Apa ini nyata? Ucap Akira tak henti-henti.
Biru menoleh membuat pandangan keduanya bertemu, lengkungan bibir milik laki-laki itu kemudian tercipta seakan menjawab pertanyaan Akira yang sebelumnya. Ya, ini nyata. Jawabnya lewat sorot mata.
*
Lelah berjalan mereka akhirnya beristirahat di warung lesehan yang terkenal dengan kenikmatan menunya. Segelas teh manis hangat dan air mineral sudah tersaji di atas meja yang hanya memiliki kaki setinggi 30 senti.
Biru sedang sibuk dengan ponsel miliknya, membuat Akira yang semula memperhatikan jadi teringat pula dengan ponselnya yang ada di dalam tas. Ia menemukan banyak notifikasi dari sana. Akira membuka aplikasi chatting Line dan menemukan informasi bahwa pengambilan NIM dan almamater dimajukan jadi satu minggu lebih cepat dari tanggal yang sudah diumumkan.
Tanggapan beragam muncul dalam kolom chatting grup MABA yang dibuat oleh panitia. Ada yang mengeluh karna ia belum siap -mungkin ia akan merantau ke Jogja dan belum matang mempersiapkannya- ada pula yang senang karena dengan mendapatkan NIM dan juga almamater ia sudah bisa dianggap sebagai mahasiswa yang sah.
Akira hanya mengulum senyum mengamati beragam tanggapan dari orang-orang yang sesungguhnya tak ia kenali ini.
Tak terasa sejak ia mengamati keseluruhan isi ponselnya, menu yang ia pesan bersama Biru baru saja datang. Ada gudeg, tempe bacem, dan telur kecap yang menghiasi piring Biru, jika dilihat benar-benar tak ada kesan pedas dari makanan yang dipesannya. Lain hal dengan Akira, ia memesan semangkuk sayur asem beserta sambel dan ikan asin, tempe juga ayam goreng. Bahkan, Akira meminta tambahan sambel pada budeh pemilik warung.
"Masih ga suka pedes kamu, Mas?" Tanya Akira.
"Hehe begitulah."
"Terus kamu di Korea makan apa? Bukannya di sana makanannya pedes-pedes ya?"
"Kata siapa?" Ucap Biru seraya tersenyum. "Keliatannya aja pedes, tapi sebenernya ga terlalu pedes kaya makanan pedes yang ada Indonesia, di sana masakannya lebih sering pakai cabai bubuk yang gak pedes, kalo di sini seringnya kan pake rawit, jadi lebih pedes."
Akira menggut-manggut mendengar kata-kata Biru.
"Kimchi aja ga sepedes keliatannya." Ujar Biru lagi.
"Eh masa Mas?"
"Eum, nanti kapan-kapan kita cobain ya."
Akira mengulum senyumnya. Setelah itu ia suap makanan yang sudah tersaji dengan segera.
Berbicara tentang Korea, Akira ingin sekali ke sana. Ia ingin mengunjungi wisata terkenal seperti menara Namsan, pulau Jeju, dan lainnya. Ia juga ingin mencicipi berbagai kuliner yang ada di sana. Mendadak ia jadi teringat akan sosok Eomma-nya Biru.
"Eomma kamu sehat, Mas?"
"Sehat, Alhamdulillah."
Akira tersenyum, mendadak jadi memikirkan apa yang diturunkan Eomma Biru kepada laki-laki itu. 2 menit menatap, Akira menemukannya. Biru adalah blasteran Indonesia-Korea, hal yang menurun dari Ibunya tak lain ialah warna kulit dan juga hidung seperti kebanyakan orang Korea yang ada di drama-drama yang sering Akira tonton. Namun ada yang berbeda dengan Biru, ia memiliki mata Ayahnya yang seperti orang Indonesia kebanyanyan, kedua matanya lebar serta alisnya pun lebat.
"Kenapa kamu ngeliatin Saya gitu?"
Akira terkejut dan kembali menyuapkan nasi, "Eh, enggak."
"Bi, adik saya juga suka nulis lho kaya kamu."
Mendengar ucapan Biru, kedua mata Akira melebar, "Oh ya? Namanya siapa Mas?"
"Nana. Kim Nana."
"Umurnya?"
"Dia baru mau masuk sekolah setingkat SMP di sana. Cerpen yang dia tulis sudah banyak sekali, beberapa kali juga dia pernah menang lomba."
Akira terkagum. Diumur segitu, ia belum pernah memenangkan lomba cerpen sekali pun. Pada umurnya saat itu, ia malah sibuk memikirkan kepergian teman kecilnya yang bernama Biru. Sungguh perbedaan yang sangat kontras.
"Ayah kamu yang di sana gimana?"
"Oh, Aboeji juga sehat. Dia lagi kerja di Amerika 4 tahun belakangan ini, pulang ke Korea juga cuma setahun sekali. Mangkanya kata Eomma, saya disuruh namatin SMA di sana. Ini aja Saya lagi cuti kuliah."
"Aboeji?"
Biru tertawa, "Hahaha, Aboeji itu Ayah dalam bahasa Korea, kan kalo Ibu itu Eomma, nah kalo adik perempuan namanya Yeodongsaeng."
"Aah...." Akira menganggukkan kepalanya paham. Kini kosakatanya bertambah berkat Biru. Jika ia mulai belajar bahasa Korea sejak sekarang, kemungkinannya untuk pergi ke Korea tidak mustahil bukan?
Setelah menyelesaikan makanannya Biru menyeruput teh hangat pun Akira juga sudah selesai pada makanannya, miliknya sudah tandas tak bersisa, ia mengambil tisu yang sudah dipersiapkan dan menghusapkannya pada mulut.
Biru melirik jam yang melingkar pada tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, sepertinya mereka harus pulang karena ini sudah mulai larut. Walaupun larut, Malioboro malah semakin ramai terasa, terbukti dengan orang-orang yang berlalu lalang dan duduk bersila di warung lesehan seperti dirinya.
"Bi, pulang yuk."
Akira menjawab dengan sorot mata dan senyuman. Setelah membayar, mereka lekas pergi dari sana dan kembali menuju Taman Parkir Abu Bakar Ali.
Melihat sekumpulan tukang becak di dekat mereka, Biru bersuara, "Bintang, naik becak aja yuk, Saya rindu dengan suasananya."
Akira terkekeh, "Hahaha ayo aja, Mas."
Mereka memilih satu becak dan duduk di atasnya dengan berdampingan. Setelah mengucapkan tempat tujuan pada bapak yang mengemudikannya, becak berjalan meninggalkan kawasan riuhnya malam di Malioboro.
Angin berhembus menerpa mereka berdua, Biru menikmati suasana ini. Benar, ia memang merindukannya, di Korea tidak ada kendaraan tradisional seperti ini, semuanya sudah serba modern, bahkan motor pun jarang berada di sana. Orang-orang lebih memilih menaiki kendaraan umum seperti bus ataupun taksi ketimbang memiliki satu sepeda motor.
"Bi, foto yuk."
"Eh? Buat apa?"
"Itu, adik saya penasaran sama kamu. Katanya mau lihat fotomu. Tadi pas di lesehan Saya cerita tentang kamu ke dia."
"Hehehe oh ya? Aku jadi pengen ketemu, Mas...."
Biru tersenyum senang, "Nanti kapan-kapan kalian pasti bakal ketemu."
Akira mengangguk dan Biru mengeluarkan ponselnya untuk mengambil gambar. Walaupun hasilnya sedikit tidak terlalu jelas karena foto diambil malam hari dan di atas becak pula, wajah keduanya masih bisa terdeteksi.
"Aku mau lihat foto adik kamu juga dong Mas."
"Sebentar." Ujar laki-laki di sebelah Akira.
Biru membuka galeri miliknya dan men-scroll guna mencari foto adiknya. Ketika layar berubah, gambaran gadis manis berambut sebahu dengan kulit yang bersih terlihat di sana.
"Cantik Mas, mirip kamu."
Biru menoleh, "Saya cantik maksudnya?"
Tawa Akira meledak.
"Hahaha ya gak gitu lah Mas, kamu tuh."
Lalu mereka saling bersenda gurau sampai kendaraan tradisional beroda tiga yang ditumpangi berhenti pada tujuan. Selepas membayar ongkos dengan uang pas, keduanya naik ke parkiran menuju di mana motor Biru terletak.
"Makasih ya, Bi." Ujar Biru.
"Buat apa, Mas?"
"Udah nemenin Saya jalan-jalan."
"Kirain apa, iya sama-sama." Akira mengulum senyumnya.
Biru beralih dan bersiap memberikan helm pada Akira, namun sesudahnya laki-laki itu malah terpekik semacam menyadari suatu hal.
"Oh iya, saya ada sesuatu buat kamu!"
Refleks, Akira yang semula ingin mengunci helm pada kepala berhenti dan justru lekat memandang Biru.
"Tadinya Saya mau kasih ini dari kemarin pas pulang, eh lupa. Terusnya baru keinget sekarang." Biru membuka jok motornya, dari sana ditemukan sebuah bingkisan tas kecil yang terbuat dari kertas.
"Apa ini, Mas?" Tanya Akira sesudah bingkisan itu ia terima.
"Oleh-oleh, hehe."
Akira membuka bingkisan itu dan menemukan 3 buah barang di dalam sana. Pertama ada sebuah tempat pensil belang warna-warni khas tradisional Korea Selatan. Lalu ada gantungan unik yang biasanya di pakai bersamaan dengan hanbok -pakaian tradisional Korea-. Terakhir ada sebuah gelang menarik yang mempunyai pola sederhana dengan berdasarkan warna hitam.
"Banyak sekali Mas, makasih ya ... aku suka."
Akira menyunggingkan senyumnya pada orang yang memberikan. Di detik selanjutnya ia mencoba membuka bungkusan gelang yang sejak tadi sudah menarik perhatiannya, ketika gelang itu sudah ia keluarkan dari bungkusnya, ia terlihat sedikit kesusahan untuk memakainya.
Akibatnya Biru yang semula hanya diam memperhatikan, kini mengambil lengan Akira dan membantu memasangkan gelang tersebut bahkan tanpa berucap sepatah kata.
Akira memandang laki-laki yang sedang sibuk dengan gelang juga lengannya dalam hening dan desir hangat yang mencapai hingga ujung pembuluh darahnya. Di dalam perutnya mendadak terasa penuh sesak dengan berbagai macam kupu-kupu yang bertebangan sebab ia mendapati perlakuan tersebut. Malam ini, di kota ini, dengan laki-laki berperilaku tenang ini, akira sudah merasa kepalang senang. Bisakah malam ini tak berakhir secepat sekarang? Akira ingin lebih lama menikmatinya.