Read More >>"> Bintang Biru (01. Sesuatu di Jogja) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Bintang Biru
MENU
About Us  

[Akira]

Suatu ketika, suara seseorang membangunkanku di pagi hari. Saat aku membuka mata, sosok itu ada disana, tersenyum dengan senyum unggulan miliknya, senyuman yang begitu mendamaikan hati.

Dia, seorang wanita yang sering kupanggil dengan sebutan Ibu.

Ibu berbicara menggunakan aksen berbeda khas miliknya. Ia membuatku terduduk bermaksud mendengarkan dengan seksama apa yang ia katakan. Bibirnya bergerak merapalkan sesuatu hingga tepat berhenti di satu kalimat yang membuatku entah mengapa jadi merasa aneh.

"Biru datang hari ini, kamu gak mau jemput dia ke Stasiun?"

Ternyata, rasa itu ialah suatu euforia ketika mendengar nama Biru disebut. Teringat akan sosok yang dibicarakan Ibu, seulas senyumku mengembang, terbang tinggi untuk seorang yang kini terkenang.

"Iya bu, nanti aku jemput dia. Lagian, Eyang juga pada sibuk buat pesta penyambutan di rumahnya jadi ga bisa jemput."

Ibu hendak berdiri meninggalkan kamar setelah membangunkanku juga mengingatkanku akan kedatangan sosok itu. Aku mencegahnya pergi, kupegang pergelangan tangannya.

"Kalo dia lupa aku gimana bu?" kataku ragu pada Ibu.

Tak lama, ia tersenyum lembut, "Kamu dari kecil juga sama dia terus, masa pergi 5 tahun dia jadi lupa sama kamu."

Seketika, memori kepergiannya saat 5 tahun lalu berputar pada ingatan. Dimana saat itu aku berumur 12 dan dia 15. Hingga detik ini, aku tak tahu sedikitpun kabar laki-laki itu, dia bak hilang ditelan bumi, tak ada nomor yang bisa ku hubungi, ataupun yang lainnya.

Ibu kembali duduk di pinggiran ranjang milikku, "Ya namanya juga kalian waktu itu masih ABG. Kamu baru masuk SMP kan malahan."

Sekelebat senyum Biru yang dahulu teringat kembali, semua itu bagai harta indah yang ku miliki. Aku ikut tersenyum tanpa sadar, seolah-olah kini diriku sedang membalas senyumnya.

Sadar betul tak bisa ku biarkan lebih lama karna Ibu masih di sini, ku hentikan khayalan bodoh yang bisa membuatku dianggap tak waras karena terus-menerus mengulum senyum pada sosok khayal tersebut.

*

Pukul 15.50 WIB. Stasiun Tugu, Yogyakarta. Aku, Akira Bintang Aulia sudah terduduk gelisah di kursi panjang berbaris yang disediakan.

Bersama degup jantung yang tak kunjung mereda ataupun melambat, aku memperhatikan dengan seksama setiap orang yang baru saja keluar dari dalam kereta yang baru saja tiba, takut-takut ada sosok yang ku cari dan ku tunggu sejak tadi.

Dua puluh menit berlalu dan sosok yang ku maksud belum terlihat juga, kembali ku periksa jadwal kedatangan kereta dari arah Jakarta menuju Jogja, dan ternyata jadwal tersebut mengalami gangguan setengah jam dari yang seharusnya.

Ah sial. Mengapa penantian yang bergemuruh ini tak kunjung meredam? Mengapa pula aku gugup seperti ini? Lagi pula bukankah Biru hanya teman kecilku?

Ataukah hatiku sudah berkata lain dari itu?

Hei! Sadarlah wahai Akira!

Aku melirik jam tangan yang melingkar, sepertinya masih ada sisa 10 menit dari kedatangannya. Aku ingin buang air kecil, segera saja aku pergi menuju toilet terdekat dari sini. Yah, sepertinya aku juga bisa menetralkan kegugupan hati di sana.

Kakiku melipir menjauhi lokasi yang sebelumnya, lalu mencari dimana papan bertulisakan toilet terlihat. Kemudian kutemui di sana, jauh di ujung keberadaanku sekarang.

Setelah menyelesaikan urusan pribadi tersebut, secepat mungkin kakiku melenggang menuju tempat seharusnya aku berada, takut-takut ia sudah datang dan malah berbalik menjadi menungguku.

Namun, tiba-tiba saja aku merasa haus dan berniat untuk membeli sekaleng minuman di toko terdekat.

Sesudahnya, ku buka penutup kaleng minuman yang ku dapati, teguk demi teguk cairan segar lolos dari kerongkonganku hingga pada saat kakiku sampai di tempat tadi aku menunggu, tenggorokanku refleks berhenti menelan.

Jantungku mendadak bekerja dua kali lebih cepat dari biasanya, darahku terasa mengalir ke sepenjuru organ hingga bergumul pada pipi yang mungkin kini sedang membuat semburat merah mudah di sana.

Ku dapati sosok yang begitu dirindu sedang berdiri tak jauh dariku. Disini dengan hanya terpisah beberapa langkah kaki. Penuh sesaknya Stasiun Tugu tak ku hiraukan dan hanya ku anggap bagai angin lalu, yang kini dalam duniaku serasa hanya ada Biru.

Kepergiannya ke Negara Gingseng 5 tahun lalu menyiksa diriku bahkan sampai detik ini.

Saat itu ia yang baru saja lulus dari Sekolah Menengah Pertama, berbicara padaku jika ia ingin menemui Ibunya yang memang tinggal di Negara tersebut. Ia juga bilang dalam waktu kurun setahun ia akan kembali.

Dan ternyata, 5 tahun sudah terlewati. Dirinya kini telah nampak berbeda jauh sekali. Saat ini, aku seakan sedang melihat orang asing yang wajahnya mirip dengan Biru yang dulu.

Aku tersadar, bahwa ada hal berbeda sejak pertama kali ku perhatikan sorot kedua manik yang terhalang bingkai itu. Ku akui benar, dia Biru, satu-satunya orang yang ku tunggu terlampau 5 tahun lamanya.

Benarkah itu kamu? Sejak tadi hatiku sudah sibuk bergemerisik menanyakan hal yang sama berulang kali.

Kedua kaki ini perlahan menghampirinya masih bersama sekaleng minuman di dalam genggaman, ku rapalkan sepenggal nama seseorang yang semoga saja adalah milik orang itu.

"Daniswara Biru?"

.

.

Sekejap seusai ia menoleh dan kedua mata itu menatap lekat mataku, dunia di sekitaranku seakan baru saja dimulai.

Tentu, inginku bersamanya.

*

Ketika senyum itu terukir, desiran hangat ikut mengalir, bersamaan semburat merah muda di pipi, perlahan rasa itu hadir, mengakar dengan tak peduli sekuat apa hati pergi tuk melipir.

Akira dan Biru sudah berteman sejak ia berumur 5 dan Biru 8. Mereka berdua sering melakukan kegiatan bersama dalam kurun keadaan apapun. Kadang, Akira datang ke rumah Biru yang notabene-nya berada di depan rumahnya dengan meneriaki nama lelaki itu keras-keras.

"Mas Biru! Mas Biruu!"

Lalu sang empunya keluar dari dalam sambil mengucek matanya yang terasa belum terbuka sempurna, pasalnya kini Akira datang pagi-pagi sekali.

"Ada apa Bi, kamu nyamper aku?"

Yang diberikan pertanyaan menyengir lebar, "Heheh, ayo main Mas!"

Biru terheran betul-betul, "Heeiih pagi-pagi begini? Aku belum mandi Bi, belum sarapan, terus belum nyapu ngepel bantuin Eyang."

Wajah yang semula semangat, luntur sesaat mendengar penjelasan yang baru terlintas di pendengaran.

"Nanti habis aku selesai, aku samper kamu oke? Kita puasin main berdua aja, gimana?"

Akira mendongakkan kepalanya yang semula menunduk, dengan terpaksa ia baru saja ingin menganggukkan kepalanya. Namun kata-kata biru kembali terdengar tepat sebelum Akira mengangguk. "Aku janji bakal beliin kamu es krim! Aku juga sudah nabung dari uang jajan aku, jadi aku bisa traktir kamu."

Akira melongo menatap seseorang yang satu-satunnya ia panggil dengan sebutan Mas ini, "Betulan Mas? Mas'e mau beliin aku es krim?!"

Biru mengangguk mantap seraya mengulaskan senyum yang ajaibnya selalu bisa mendamaikan hati seorang Akira Bintang Aulia.

Sama seperti saat ini, saat dimana 5 tahun telah berlalu dengan Akira masih memiliki harapan bahwa yang ditunggu akan kembali. Senyum yang terukir dari bibir Biru bisa membuat dunia Akira indah seharian. Kalian harus percaya satu fakta tersebut.

"Bintang?"

Deg.

Dadanya seolah diguncang oleh sesuatu saat Biru menyebutkan panggilan spesial dimana hanya Biru yang memanggilnya begitu.

"I ... iya."

Sekejap dan dengan tanpa menunggu lama, Biru segera mengulurkan tangannya semangat. Lalu, Akira menggunakan tangan yang sedikit gemetar tersenyum kikuk sambil menerima uluran tangan tersebut.

Mereka berdua berjabat tangan dan saling melempar senyum. Seusai mereka berjabat dan tangan masing-masing sudah kembali diam di samping tubuh, Biru kembali bersuara.

"Gak nyangka Saya, kamu sudah besar ya sekarang."

Akira dibuat mematung.

Sebab, laki-laki itu baru saja membuat gerakan lembut pada puncak kepalanya. Sangat cepat, sampai-sampai mampu membuat Akira hilang akan kesadaran.

"Ada apa?"

Seolah sedang mencari sesuatu yang bisa dibahas olehnya, Akira berpikir keras. Takut-takut Biru berpikir bahwa sejak kepergiannya, Akira sudah tak lagi normal.

Biru tersenyum melihat raut wajah teman kecilnya yang berubah gugup, "Yaudah kita pulang aja ya?" Dengan satu ajakan dan tanpa menunggu persetujuan gadis di depannya, Biru mampu membawa Akira ikut berjalan di sebelahnya.

Suara gesekkan antara roda koper yang dibawa Biru dengan lantai Stasiun mengalun semacam backsound yang pas untuk keadaan hati keduanya. Disaat Biru hendak menoleh melihat gadis di sebelahnya, secara kebetulan Akira pun sedang melirik laki-laki itu. Sejenak Akira terihat sibuk lagi dengan dirinya dan berusaha membenahi diri berupaya tuk lebih tenang.

Biru memalingkan wajah setelah melihat kegelisahan Akira, ia tersenyum dan menatap sekitaran Stasiun bertenggang untuk mengalihkan rasa euforia yang sesaat hadir di hatinya.

Akira masih menujukan pandangan pada dua pasang kaki yang saling beriringan, dengan satu deheman ia berbicara, "Mas?"

"Ya?"

"Mas Biru kenapa pergi lama sekali?"

Mendengar walaupun samar apa yang dikatakan gadis disebelahnya, Biru tersenyum sebelum mengedarkan arah pandangnya ke depan yang semula tertuju pada Akira.

"Lama?"

Dengan anggukkan pelan Akira menjawab.

Biru menunduk seolah berpikir apa yang harus ia katakan pada gadis disebelahnya itu. Tak lama, ia berbicara lagi. "Saya ngelanjutin sekolah di Korea, tinggal bareng Eomma, nemanin beliau karena hanya tinggal berdua sama adik." Biru berusaha menjelaskan.

"Adik?" Tanya Akira bingung. Lantaran setahu dirinya, seorang Daniswara Biru tidak memiliki adik. Yang ia tahu, Biru adalah anak tunggal yang sama sepertinya. Maka dari itu mereka sejak kecil sering bermain hanya berdua saja.

"Dia adik dari ayah yang berbeda sama Saya." Ungkap Biru.

"Maksudnya Mas?"

"Kata Eyang Uty, setelah cerai dengan Ayah waktu Saya kecil dan hak asuh Saya jatuh ketangan Ayah, Eomma kembali ke Korea, ke Negara asalnya dan menikah lagi disana."

Kini, Akira betul-betul seakan sedang mendengarkan sebuah cerita drama.

Memang benar, dulu Akira sempat bertanya kepada Ibu tentang kedua orang tua Biru. Dan Ibu menjawab, bahwa Biru adalah anak yang kedua orang tua-nya bercerai karena suatu hal, kedua orang tua Biru berpisah dengan baik-baik dan tak bermusuhan seperti kebanyakan perceraian dikalangan kita.

Sewaktu umur Biru baru genap 2 tahun, keduanya memutuskan untuk berpisah, hak asuh Biru saat itu beralih ke tangan Ayahnya. Mungkin benar, kebanyakan kasus perceraian bisa dirata-ratakan bahwa hak asuh seorang anak pasti akan jatuh ke tangan Ibu, namun lain hal dengan kasus ini.

Waktu perpisahan tersebut, Biru masih tinggal di Jakarta bersama Ayahnya, namun karena adanya pekerjaan yang bertempatkan di Jogja, Biru dan Ayahnya pindah ke kota tersebut. Beruntung, kedua orang tua Ayah Biru memang tinggal di sana, hal itu membuat dirinya tak usah bersusah payah mencari orang untuk menjaga Biru selama ia bekerja. Eyang uty dan Eyang kakung Biru seolah menggantikan peran orang tua bagi Biru setelah itu.

Mengetahui gadis disebelahnya hanya diam tak menggubris lagi, Biru bersuara, "Bintang, gimana kalo kita makan dulu? Saya laper, belum makan siang-" terdapat jeda sejenak. "Payah ya, padahal tadi Saya yang ngajakin pulang."

"Ga apa-apa ko Mas, aku maklum."

Lalu, mereka makan siang -yang sebenarnya sudah sore- disalah satu kios makanan yang berada di dalam Stasiun. Sambil menunggu pesanan mereka tiba, Akira meminum es teh manis yang sudah tersedia pelan-pelan. Ia tentu tak ingin minumannya habis sebelum makanan utamanya tiba bukan?

"Mas kenapa ga pake pesawat aja dari Jakarta? Kan lama kalo naik kereta."

"Kan dari Seoul naik pesawat, terus transit di Singapore, abis itu ke Jakarta. Rindu naik kereta di sini Saya nya, hehe mangkanya naik kereta aja."

Akira ber'oh' ria setelah mendengar jawaban Biru.

"Eh iya, tadi rada lama ga nunggunya?"

"Engga ko, Mas bilang jam 4 kan nyampe, jadi aku kesininya jam 4 kurang 15 menit."

"Eh iya, si Eyang ya yang bilang? Saya lupa minta nomor kamu masa, hehe."

Akira tertawa, "Hahaha, ndak papa Mas."

"Yowis, minta nomormu sekarang." Ucap Biru seraya memberikan ponsel hitam miliknya kepada Akira.

Setelahnya, gadis itu mendial nomornya dari ponsel Biru, lalu memberikan posnel hitam itu kembali pada pemiliknya.

"Itu ya Mas, hehe."

"Oke."

Keduanya sibuk dengan ponselnya masing-masing dalam beberapa saat, sambil menunggu makanan utama tiba, Biru mengudarakan suaranya.

"Dari tadi Saya udah bawel aja. Kamu, gak mau bawel juga?"

Pergerakan pada ponsel yang semula ia pegang mendadak berhenti. Akira melirik Biru menggunakan ekor matanya, menaruh ponsel miliknya diatas meja, lalu duduk dengan tegap.

"Aku mau bawelin apa emang Mas? Hehehe." Akira berbicara diselingi dengan tawa canggung.

Melihat respon gadis itu, sejenak Biru tertawa tanpa suara. "Yaa~" ucap Biru memanjang. "Kamu bisa kok bawelin tentang kehidupan kamu selama Saya pergi." Tutupnya yang membuat Akira makin sibuk membenahi hati.

"Eh itu-"

Biru yang melihat raut wajah gadis dihadapannya berubah drastis, tak tega jika hal ini diberlanjutkan, "Hahaha kalo ga mau, ga papa Bintang."

Ketika panggilan spesial itu terdengar lagi, darah Akira serasa mengalir lebih cepat ke sepenjuru organ.

"Hilang Mas." Tetiba suara seseorang mengudara.

Biru yang semula masih santai-santai saja, sepintas dibuat tegang oleh Akira yang surainya terkepang rapih ke belakang.

"Selama Mas pergi, semacam ada yang hilang...."

Akira menutup dialog-nya seraya menunduk memandang gelas berisikan es teh manis pada meja.

Mendengar penuturan tersebut, Biru lekat memonitori lawan bicaranya dalam diam.

Tanpa disadari kedua orang yang kini saling berhadapan, rasa yang sudah mengakar tanpa permisi itu sudah hadir melampaui batas.

Terutama, untuk Akira Bintang Aulia.

Akira menghina dirinya sendiri dalam hati. Untuk apa ia berbicara seperti itu pada sosok yang sudah ia nanti sejak bertahun-tahun?

Terasa makin canggung saja dirinya terhadap Biru.

"Ini pesanannya Mbak, Mas."

Bagai Dewi Fortuna dan setelah terjebak dalam keheningan yang cukup lama, pada akhirnya pesanan yang sudah mereka tunggu sejak tadi sudah tersaji.

"Matur nuwun Mas." Biru tersenyum pada pelayan yang mengantarkan setelah kedua piring terletak di atas meja.

Dengan kecanggungan yang amat sangat, Biru melirik Akira yang masih diam sibuk dengan pemikiran.

"Bintang?"

"Iya Mas."

"Kamu gak kenapa-napa kan?"

Bukannya menjawab pertanyaan Biru, Akira malah mengalihkan perhatian pada dua buah piring nasi goreng di hadapannya, "Walaah makanannya udah dateng ternyata."

Biru yang semula terdiam mengukirkan seulas senyum. "Hahaha iya nih, makan yang banyak ya Bintang."

Akira menelan ludahnya berat, "Hehe iya Mas Biru."

*

Akira dan Biru langsung pulang menuju rumah setelah menghabiskan makanan mereka. Dengan bantuan supir taksi, Biru mengangat koper hitam miliknya yang semula ada dalam bagasi, lalu menurunkannya ke jalan ber-konblok setelah mereka sampai.

"Matur nuwun Pak...."

"Nggih Mas, sami-sami."

Setelah taksi beserta supirnya pergi, kini Biru berada tepat di pekarangan rumah milik kedua Eyangnya, memandang rumah bercat Biru tua yang ia huni sejak kecil tersebut, ia tersenyum bahagia.

"Gak tau kenapa, kok saya rindu sekali sama Jogjakarta. Seperti ada sesuatu yang selalu bisa membuat Saya kembali."

Akira yang ikut berdiri disebelah Biru menatap sang empunya suara dalam keheningan.

"Jika rindu mengapa tak kembali lebih awal?" Ucap hatinya.

"Ayo Bi, kamu harus ke rumahku dulu."

Akira tersenyum menjawab ajakan Biru lalu mengikuti laki-laki itu dari belakang.

"5 tahun di Korea, Mas Biru gak lupa ya sama bahasa Jawa."

Mendengar penuturan yang diucapkan gadis dibelakangnya, Biru menoleh, "Yang paling Saya inget cuma 'Matur nuwun' hehe."

Biru menatap Akira yang ikut memberhentikan langkah tepat dibelakangnya, seolah-olah kini Akira sedang bertanya 'Ngapain berhenti?' Dari sorot matanya.

"Kamu kenapa di belakang Saya gitu sih? Sini samping Saya aja, jangan jauh-jauh."

Akira terdiam.

"Rindu lagi nanti."

Deg.

Kedua mata gadis bersurai gelap itu melotot kaget masih tak bergeming di balik tubuh Biru yang notabene-nya lebih besar darinya.

Biru langsung terkikik melihat respon seorang Akira, "Haha kenapa kaget gitu? Nyantai aja kalo sama Saya, kamu canggung begitu malah lucu tau." Gerakan cepat pada puncak kepala Akira yang tadi ia dapatkan ketika sedang dalam Stasiun, kini ia dapatkan kembali.

Akira memejamkan matanya kuat-kuat.

"Kenapa harus begini lagi...." Ucap gadis itu seraya menundukkan kepalanya dalam-dalam.

"Bintang? Ayo masuk."

Ternyata tanpa Akira ketahui, laki-laki yang sejak tadi membuat kakinya lemas dan detak jantungnya tak normal itu  sudah berdiri jauh memegang kenop pintu.

Setelah keduanya sampai di dalam rumah dengan aksen minimalis tersebut, suara cetusan confeti terdengar begitu jelas.

Kedua mata Biru membulat tak percaya melihat kedua orang yang disayangi ada di hadapannya. Dengan senyum yang begitu merekah ia hampiri kedua sosok lanjut usia yang berdiri tak jauh darinya.

"Assalamualaikum Eyaaang." Biru menyalimi mereka berdua lebih awal sebelum memeluk mereka, sekedar melepaskan rindu yang sudah melalang buana.

"Waalaikumsalam." Ucap kedua Eyang Biru berbarengan.

Setelahnya, Akira ikut melakukan hal yang sama seperti apa yang Biru lakukan tadi.

"Ayo duduk dulu, Eyang uty siapin makan ya? Ada opor ayam kesukaan Biru, Akira sudah buatkan dari pagi sampai siang tadi."

"Oh ya? Bintang yang buat 'yang?" Mendengar nama seseorang disebut, tampang bahagia langsung terpancar dari raut wajah Biru.

"Hehe, enggak kok Mas, aku cuma bantuin ngaduk-ngaduk sama ngulek bumbunya aja." Akira tersenyum canggung mendapati Biru menatapnya seolah meminta penjelasan.

"Walah, bohong Ru ... Kira yang ngusulin bikin opor malah, Eyang aja sampai lupa kalo kamu seneng banget sama menu satu itu."

Lagi-lagi Biru mengulum senyumnya, walaupun ia sudah menghabiskan satu porsi nasi goreng selama di Stasiun tadi, mau bagaimanapun ia tetap ingin mencoba makanan yang Akira buat.

"Iya 'yang, siapin ya ... kerupuknya yang banyak."

Mendengar pernyataan Biru, Akira sedikit terkejut, "Mas Biru tadi kan udah makan, gak kenyang apa Mas?"

Sebelum menjawab, Biru menghela nafas pelan, "Ya gak masalah dong, karena kamu yang buat, Saya mau coba."

Deg.

Lagi-lagi jantung yang hanya berukuran satu kepal di balik dadanya berguncang kembali.

"Eyang sini aja, Biru mau kangen-kangenan." Seolah biar Akira yang mengurusi opor tersebut, Biru mencegah Eyangnya pergi dengan menahan lengannya.

Lalu setelah itu, Biru berbicara pada Akira, "Bi, tolong siapin ya, ekstra kerupuk, terus jangan pake bawang goreng, hehe."

Biar saja, untuk kali ini Biru benar-benar ingin makan makanan yang berasal dari tangan Akira setelah sekian lama.

Pun kini Biru sudah menemukan apa alasan di balik kepulangannya. Ia temukan sesuatu di Jogja yang membuatnya merasakan suatu pernyataan yang disebut dengan 'bahagia'. Haruskah ia ucapkan penyebabnya?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
A & B without C
223      195     0     
Romance
Alfa dan Bella merupakan sepasang mahasiswa di sebuah universitas yang saling menyayangi tanpa mengerti arti sayang itu sendiri.
NAZHA
397      297     1     
Fan Fiction
Sebuah pertemuan itu tidak ada yang namanya kebetulan. Semuanya pasti punya jalan cerita. Begitu juga dengan ku. Sang rembulan yang merindukan matahari. Bagai hitam dan putih yang tidak bisa menyatu tetapi saling melengkapi. andai waktu bisa ku putar ulang, sebenarnya aku tidak ingin pertemuan kita ini terjadi --nazha
Drapetomania
9428      2271     7     
Action
Si mantan petinju, Theo Asimov demi hutangnya lunas rela menjadi gladiator bayaran di bawah kaki Gideon, laki tua yang punya banyak bisnis ilegal. Lelah, Theo mencoba kabur dengan bantuan Darius, dokter disana sekaligus partner in crime dadakan Theo. Ia berhasil kabur dan tidak sengaja bertemu Sara, wanita yang tak ia kira sangat tangguh dan wanita independensi. Bertemu dengan wanita itu hidupnya...
Neverends Story
4016      1244     6     
Fantasy
Waktu, Takdir, Masa depan apa yang dapat di ubah Tidak ada Melainkan hanya kepedihan yang di rasakan Tapi Harapan selalu menemani perjalananmu
Di Bawah Langit
2765      847     1     
Inspirational
Saiful Bahri atau yang sering dipanggil Ipul, adalah anak asli Mangopoh yang tak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Namun, Ipul begitu yakin bahwa seseorang bisa sukses tanpa harus memiliki ijazah. Bersama kedua temannya Togar dan Satria, Ipul pergi merantau ke Ibu Kota. Mereka terlonjak ketika bertemu dengan pengusaha kaya yang menawarkan sebuah pekerjaan sesampainya di Jakarta. ...
fall
3836      1155     3     
Romance
Renata bertemu dua saudara kembar yang mampu memporak-porandakan hidupnya. yang satu hangat dengan segala sikap manis yang amat dirindukan Renata dalam hidupnya. satu lagi, dingin dengan segudang perhatian yang tidak pernah Renata ketahui. dan dia Juga yang selalu bisa menangkap renata ketika jatuh. apakah ia akan selamanya mendekap Renata kapanpun ia akan jatuh?
Mengapa Harus Mencinta ??
2874      953     2     
Romance
Jika kamu memintaku untuk mencintaimu seperti mereka. Maaf, aku tidak bisa. Aku hanyalah seorang yang mampu mencintai dan membahagiakan orang yang aku sayangi dengan caraku sendiri. Gladys menaruh hati kepada sahabat dari kekasihnya yang sudah meninggal tanpa dia sadari kapan rasa itu hadir didalam hatinya. Dia yang masih mencintai kekasihnya, selalu menolak Rafto dengan alasan apapun, namu...
Belum Tuntas
4194      1471     5     
Romance
Tidak selamanya seorang Penyair nyaman dengan profesinya. Ada saatnya Ia beranikan diri untuk keluar dari sesuatu yang telah melekat dalam dirinya sendiri demi seorang wanita yang dicintai. Tidak selamanya seorang Penyair pintar bersembunyi di balik kata-kata bijaknya, manisnya bahkan kata-kata yang membuat oranglain terpesona. Ada saatnya kata-kata tersebut menjadi kata kosong yang hilang arti. ...
Kebahagiaan...
514      356     4     
Inspirational
Apa arti sesungguhnya dari bahagia? Dapat menghabiskan banyak waktu menyenangakan bersama orang yang kita sayangi dan bisa terus bersama adalah salah satu dari kebahagiaan yang tidak ternilai....
Reason
382      265     3     
Romance
Febriani Alana Putri, Perempuan ceria yang penuh semangat. Banyak orang yang ingin dekat dengannya karena sikapnya itu, apalagi dengan wajah cantik yang dimilikinya menjadikannya salah satu Perempuan paling diincar seantero SMA Angkasa. Dia bukanlah perempuan polos yang belum pernah pacaran, tetapi sampai saat ini ia masih belum pernah menemukan seseorang yang berhasil membuatnya tertantang. Hing...