Jam istirahat adalah waktunya obrolan bergulir.
Beban tentang materi pelajaran ditendang sejenak ke belakang. Para siswa diberikan waktu buat bicara, berpikir, dan melakukan hal lain. Bisa mereka mengeluh pada teman sebangku tentang susahnya materi aljabar barusan, bisa juga hanya makan dan meratapi keadaan.
Para siswi biasanya yang paling heboh soal ini. Begitu bel berdering dan pengajar sudah lenyap dari pandangan, dengan segera mereka akan duduk melingkar, membentuk sebuah kelompok kecil. Mereka kemudian akan ngobrol tentang macam-macam sambil makan bekal dari rumah.
Selalu ada cerita yang bergulir di antara mereka. Cerita senpai ini dan senpai itu. Gosip tentang idola yang sedang hit di acara musik sore, sampai soal kabar miring anggota eskul tertentu. Canda dan gurau jadi satu.
Kebetulan saja, hari itu kelompok kecil mereka membahas soal cinta.
Mai yang pertama menyodorkan topik itu pada ketiga rekannya. Bahasan awalnya sih, sederhana; gosip antara dua senior idola, Jun dan Kana, yang hubungannya kandas begitu saja.
Berita itu disayangkan banyak orang. Sebab, keduanya kelihatan serasi. Tipikal pasangan sempurna dalam banyak drama. Yang satu keren dan jago olahraga, satunya lagi cantik dan aktif di kelab seni. Kalau pakai perumpamaan novel remaja jaman sekarang, mereka sudah seperti dua buah puzzle yang saling mengisi. Pokoknya, manis sekali.
Tapi apalah arti pujian setinggi langit kalau akhirnya putus juga? Apalagi cara mereka berpisah mengenaskan. Katanya, Jun-senpai ketahuan sedang melakukan pendekatan dengan siswi sekolah lain.
“Sayang sekali ….” Midori menanggapi berita itu dengan muka sedih. Dan kalau dibilang sedih, artinya benar-benar sedih. Gadis berambut pendek itu sampai berhenti makan sebentar waktu mendengar kabar dari Mai.
“Padahal aku pikir mereka bisa terus sama-sama sampai lulus.” Ritsuka menggumam kemudian.
“Padahal Jun-senpai ganteng ….”
“Hah?” Erika menatap Mai tidak percaya. Celetukan Mai terdengar seperti kalimat paling tidak waras yang pernah dia dengar. “Ganteng tapi tukang selingkuh, buat apa?”
Mai bisa saja membalas Erika dengan tingkat kesinisan lebih tinggi, tapi dia memutuskan buat tertawa.
Erika masuk ke eskul yang sama dengan Kana. Dan bagi Erika, Kana lebih dari sekedar kakak kelas; Kana adalah idola. Sosok lembut dengan jiwa paling murni. Ibu peri yang mengayomi seisi kelab seni.
Jadi waktu mendengar kabar Kana-senpai dicampakkan, Erika nyaris lari ke kelas Jun dan mematahkan leher pemuda itu jadi dua. Biar tahu rasa!
Sayangnya (atau mungkin untungnya?), niat Erika tidak terlaksana. Dia lebih dulu ditahan Ritsuka dan Midori. Jadi dia berakhir melampiaskan emosi dengan dengus sebal.
“Yang namanya laki-laki sejati,” lanjut Erika, “pasti tidak akan menyia-nyiakan cinta perempuannya. Cuma pengecut yang begitu. Tidak peduli mukanya seganteng apa pun, pokoknya mereka pengecut!”
“Mungkin dari awal Jun-senpai tidak benar-benar menyukai Kana-senpai?” Mai menanggapi. Sebetulnya hubungan cinta Jun dan Kana bukan urusannya. Tapi melihat Erika marah-marah rasanya lucu juga. “Yah … hati manusia siapa yang tahu, kan?”
Mendengar ini, Erika langsung menuding muka Mai dengan telunjuk kanan.
“Justru itu lebih buruk!” Gadis berkuncir dua itu nyaris berseru. “Kalau dari awal tidak suka, kenapa setuju pacaran!?”
Di tempat duduknya, Ritsuka tertawa kecil. Kecuali berupaya sekeras mungkin menahan supaya Erika tidak lempar meja, Ritsuka hanya menanggapi topik itu dengan respon standar. Tawa, kaget, atau pertanyaan-pertanyaan singkat yang tidak terlalu penting.
Jun-senpai dan Kana-senpai, meskipun populer di sekolah, tapi Ritsuka tidak mengambil terlalu banyak perhatian dari mereka. Hanya informasi-informasi general yang Ritsuka punguti tentang keduanya tanpa mau berkomentar terlalu jauh. Bukan tidak mau peduli, tapi ada hal lain yang selalu membuat atensi Ritsuka teralih.
“Shirokami!”
“Yo, Kagakuni!”
Bunyi pintu digeser keras, yang berlanjut dengan sapaan dua suara berbeda, menyita perhatian semua orang di kelas itu. Tak terkecuali Ritsuka dan empat temannya.
Mereka menoleh, hanya untuk mendapati pemuda yang dipanggil Shirokami lari ke pintu, menghampiri Kagakuni. Senyum di muka pemuda itu nyaris mencapai cuping telinga. Mukanya berseri-seri. Sepertinya kehadiran si Kagakuni ini amat dinanti-nanti. Ada urusan apa? Ritsuka mana tahu.
Erika terang-terangan memutar bola mata waktu mereka berdua mulai berbincang. Entah apa yang mereka bahas. Posisi duduk Erika dan dua pemuda itu terlalu jauh. Tidak kedengaran.
“Dua otaku itu selalu rusuh sendiri. Heran.” Erika mengatakan ini sambil meletakkan sumpit. Bekal makan siangnya sudah habis. Gochisousama.
Kekehan kecil lolos dari Ritsuka. “Tapi mereka kelihatan ‘hidup’. Maksudnya, benar-benar antusias. Ya … kalian tahu, kan?”
“Paham. Tapi terlalu antusias juga bukan hal bagus, tahu?”
Senyum tak terdefinisi hinggap di wajah Mai. Dia menopangkan pipi kiri dengan tangan waktu sadar susu kotaknya sudah tandas. Sayang sekali. Harusnya tadi beli dua saja. “Coba tebak, mereka ngobrol soal apa?”
Pertanyaan Mai barusan hanya main-main, tapi Erika menebak-nebak.
“Jadwal acara otaku? Live konser pengisi suara idola? Hmm ….” Gadis itu berpikir sejenak, tapi tidak terlalu keras. Sebab dengan cepat ia menyerah dan menaikkan bahu. “Tidak tahu. Tidak peduli.”
Midori yang daritadi menyimak tiba-tiba berbinar matanya. Semua orang yang melihat dia, pasti bisa melihat banyak sekali bintang di sana.
“Ah … mereka sering datang kesitu? Keren! Aku bahkan belum pernah datang ke acara-acara begitu.”
“Oi, oi, Midori-chan. Jangan salah fokus ….”
“Tapi aku betul-betul belum pernah ke sana, Erika! Ayo, kapan-kapan ke sana!”
“Haa!?”
Pelan-pelan, entah bagaimana caranya, konversasi mereka berbelok. Dari yang awalnya membahas soal kisah cinta Jun dan Kana, berganti jadi hal yang lebih trivial.
Ritsuka tidak langsung bergabung. Kepalanya masih menoleh ke sosok yang berdiri di dekat pintu. Gadis itu tidak bisa mendengar apa yang sedang dibicarakan, tapi dia bisa melihat bagaimana ekspresif gestur badan sosok yang ia amati. Sempat ada tawa yang lepas darinya, dan Ritsuka otomatis membayangkan bagaimana garis-garis wajah dia mengeriput waktu melepas tawa barusan.
Gadis itu ikut tersenyum.
Lalu ia kembali pada konversasi teman-temannya.