“Bine......” panggil Fabian sambil menepuk kursi ayunan yang ada di halaman belakangan rumahnya.
“Kenapa? Kalo ga penting nanti dulu yaaaa.. lagi enak nih Bee” jawab Delilah sambil menikmati pijitan lembut Tante Hana di kepalanya.
“Penting Bine. Cepetan! Nanti kan bisa dilanjutin lagi, kalo perlu gue yang mijitin” Delilah merengut kesal mendengar perintah Fabian.
“Ada apa sih?” tanya Delilah setelah menjatuhkan bokongnya tepat di samping Fabian.
“Bine. Kalo ada apa-apa dan ada pikiran yang mengganggu lo, please cerita sama gue ya?” pinta Fabian.
“Bang Devan pasti cerita sama elo ya tentang insiden semalam?”
“Iya. Dan gue gamau ini keulang lagi, jadi bisa kan lo janji sama gue?” tanya Fabian menatap mata cokelat Delilah dalam.
“Gak ada yang gue tutup-tutupin Bee. Sumpah!” Delilah memberikan dua jarinya sebagai tanda bersumpah.
“Gak mungkin lo mimpi kejadian sialan itu, kalo gak ada yang ganggu pikiran elo” bantah Fabian dengan penuh penekanan.
“Faktanya memang gak ada yang mengganggu pikiran gue sama sekali, Bee” balas Delilah tak mau kalah namun masih berusaha berkata lembut.
“Bohong!!” Wajah Fabian memerah menahan geram.
Delilah tersentak kaget mendengar bentakan Fabian.
“Lo gak percaya sama gue?” tanya Delilah dengan raut wajah tak percayanya.
Fabian diam membisu tatapannya menerwang jauh entah kemana.
“Lo gak percaya sama gue lagi, Bee??” tanya Delilah sekali lagi, kali ini setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya dan mengalir membentuk anakan sungai kecil di atas kedua pipi tembam kemerahan milik Delilah.
Fabian masih asik berdiam diri masih mengepalkan kedua tangannya erat.
“Gak Bee! Pokoknya lo harus percaya sama gue! Lo harus percaya sama gue!!” ujar Delilah.
“Bee!! Bee!! Lo percaya sama gue kan? Ya kan?? Jangan diem ajh Bee!!” ucap Delilah dengan air mata mengalir deras di atas pipinya dan suara yang sarat akan putus asa.
Telinga Delilah berdengung kencang. Kepalanya berdenyut nyeri. Kilasan-kilasan kejadian masa lalu yang pahit itu perlahan muncul kembali.
Delilah menutup telinga yang terbalut hijab itu rapat. Seakan Ia tak ingin mendengar suara-suara mengerikan yang selalu membayanginya di alam mimpi.
“Kalian harus percaya padaku bahwa bukan aku pelakunya!!”
“Percaya sama elo? Gak mungkin kita percaya sama omongan orang kayak elo!!”
“Bukan aku pelakunya! Bukan aku yang menyebabkan semua itu terjadi!! Sumpah bukan Akuuuuuuu!!”
“Alahhhhh denger ya, Del! Kalo ada penjahat yang ngakuin kesalahannya penjara bakalan penuh sama orang-orang kayak elo!!”
“Stopppppppppp!!! Kalian harus percaya denganku!! Aku berani sumpah demi Allah bukan aku pelakunya!!”
“Gak usah lo bawa-bawa nama Tuhan!”
Kilasan memori pahit itu terus berseliweran dengan liar di dalam kepala Delilah secara berulang. Telinganya berdengung.
Delilah merosot duduk di atas lantai marmer sambil menangis histeris dan menutup telinganya.
“Percaya padaku!! Kumohon percaya!! Kalian harus percaya padaku!!!” kata-kata itu terus terucap dari bibir merah alami Delilah secara berulang.
Fabian tersentak kaget saat tak sengaja kepala Delilah yang terus menggeleng ke-kanan dan kiri menyentuh lututnya.
Fabian melebarkan matanya saat melihat Delilah yang sudah histeris terduduk di lantai sambil menutup telinganya.
“Bineeeee....” teriak Fabian dan langsung memeluk Delilah erat.
“Percaya padaku!! Kumohon percaya!! Kalian harus percaya padaku!!! BUKAN AKU PELAKUNYAAAA!! DEMI ALLAH BUKAN AKUUUU” teriak Delilah semakin histeris. Fabian semakin mengeratkan pelukannya.
Delilah memberontak dengan keras.
“Ssstttt Bineeee!! Bineee ini Gue! Fabian!! Ada gue, Oke!! Please jangan kayak gini lagi, Bine!! Gue percaya sama elo kalo elo bukan pelakunya!!” Fabian berbisik lirih ditelinga Delilah yang sampai saat ini masih berusaha Delilah tutupi.
“BOHONG!!!!!! FABIAN UDAH GAK PERCAYA LAGI SAMA AKU!! SEMUA ORANG GAK ADA YANG PERCAYA!! BIAN UDAH GAK PERCAYA SAMA AKU!! BIAN UDAH GAK PERCAYA SAMA AKU!!” Delilah memberontak keras, mendorong tubuh Fabian sekuat tenaga.
Fabian menangis melihat sahabatnya kembali seperti ini. dan ini karena kata-katanya yang sudah menyinggung perasaan Delilah.
Fabian semakin mempererat pelukannya. Ia tidak mungkin melepaskan pelukannya saat keadaan Delilah yang sedang lostcontrol seperti ini.
“MAHHHH... MAMAAHHHHHHHHH!!! MAHHH TOLONG BIANNN!! CEPETANNN!!” teriak Fabian memanggil Tante Hana yang ada di dalam kamar.
Tante Hana pun lari tergopoh-gopoh saat mendengar panggilan anaknya.
Tante Hana semakin berlari kencang saat melihat Delilah yang sedang histeris dan memberontak dalam pelukan anak semata wayangnya.
“Ya Allah!! Delilahhhh!!! Biannn kenapa ini??”
“Mahh tolong Mamah bantu pegang Bine, Bian mau sadarin dia dulu!”
Tante Hana langsung mengambil alih posisi memeluk Delilah dari belakang.
Fabian menarik nafas dalam, mencoba menenangkan dirinya.
“Bine!! Bine!! Liat gue!! Liat gue sekarang!! Ini gue Fabian!!” ujar Fabian sambil berusaha membuat Delilah mau menatap wajahnya.
Delilah mengangkat kepalanya, matanya menatap kesegala arah dengan tidak fokus dan ketakutan. Air mata masih membanjiri pipi tembam yang sekarang kemerahan dan basah.
Fabian menangkup wajah Delilah dengan kedua telapak tangannya yang besar, mencoba memfokuskan arah pandang Delilah agar menatap wajahnya.
“Bine.. Liat gue! Sekarang liat gue ajah jangan liat kemana-mana” tegas Fabian, dan itu berhasil menarik perhatian Delilah. Bola mata cokelat terang milik Delilah menatap dalam mata Fabian.
“Dengerin baik-baik! Gue Fabian. Sahabat sehidup gak semati elo. Gue akan selalu percaya sama elo. Elo bukan pembohong. Lo aman sama gue. Ga akan ada lagi. Orang yang akan nyakitin elo. Paham?!” Fabian berkata dengan penuh penekanan pada setiap kata maupun kalimat yang terlontar dari bibirnya.
Pandangan mata Delilah mendadak kosong dan hampa, Ia seperti menerawang begitu jauh seolah jiwanya pergi entah kemana.
Fabian mengguncangkan bahu Delilah pelan, mencoba membawa Delilah kembali. Namun tubuh Delilah pun melemas diikuti dengan tertutupnya kelopak mata Delilah yang sedikit basah.
Tante Hana menjerit melihat Delilah yang mendadak pingsan. Dengan sigap Fabian menggendong Delilah ala bridalstyle dan membawanya menuju kamar tamu yang diikuti Tante Hana.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Keenan menyesap secangkir Cappucinnonya perlahan, mencoba meresapi berbagai macam rasa yang ada di dalam minuman kafein itu. Manis. Pahit. Asam. Ketiga rasa itu sudah sangat bersahabat dengan lidah Keenan. Keenan merupakan salah seorang pecinta kopi, Cappucinno merupakan jenis kopi kegemarannya.
Kafe di daerah Jakarta Selatan yang bernuansa vintage ini selalu membuat hati dan pikiran Keenan tenang. Keenan selalu ketempat ini pada sore hari dan menghabiskan waktunya disana, entah dengan hanya menikmati kopi atau mengerjakan tugas sekolah yang belum selesai maupun mengerjakan hal-hal lainnya.
Keenan lebih menyukai kesendirian bukan berarti Keenan tidak memiliki teman, hanya saja terkadang Ia sangat nyaman sendirian seperti saat ini, duduk dengan manis sambil mengamati kegiatan orang-orang yang ada disekitarnya.
Mata hitam pekat itu menyapukan pandangannya keseluruh penjuru kafe, mata Keenan terpaku pada sosok wanita yang sedang menyuapi seorang balita lelaki yang duduk disamping wanita yang terus berusaha mengajak anaknya berkomunikasi agar mau memakan makanannya hingga habis. Keenan tersenyum kecil melihat interaksi antara Ibu dan Anak yang ada di depannya. Tapi kemudian mata hitam pekat itu redup seketika. Keenan tersenyum pahit sambil menggelengkan kepalanya.
Keenan menyesap habis Cappucinnonya kemudian bangkit dan meninggalkan mejanya setelah sebelumnya meletakkan beberapa lembar uangnya di atas meja dan pergi keluar dari Kafe itu.
Keenan masuk kedalam Pajero Sportnya, memasang safetybeltnya, menyalakan mesin, dan kemudian meninggalkan pelataran parkir yang mulai ramai dan membelah jalanan Jakarta Selatan yang mulai padat pula.
Ponsel canggih keluaran Apple itu berdering panjang menandakan ada sebuah telepon masuk. Keenan memakai earphone nearcable miliknya kemudian menyambungkannya dengan telepon masuk itu.
“ Halo Ma....” jawab Keenan sembari membelokan kemudianya ke kanan dan memfokuskan pandangannya ke jalan raya.
“Walaikumsalam, Keenan....” suara seorang wanita paruh baya terdengar jengkel dari seberang sana.
“ Hehehe maaf Ma, Keenan lupa. Assalamualaikum Mamahku yang cantik” Keenan tersenyum lebar menjawab perkataan sang Mama.
“ Walaikumsalam... nahh gitu dong. Kamu ini sudah besar masih saja harus Mamah ingatkan!”jawab Tante Rahayu.
“Ada apa Mah telepon Keenan?”
“ Kamu dimana sayang? Claudie sudah menunggu kamu di rumah nih!” jawab Tante Rahayu semangat.
Keenan menghela nafas berat mendengar jawaban Mamahnya. “ Keenan lagi di jalan Mah, sebentar lagi sampai rumah” jawab Keenan sekedarnya.
“Okeee... kamu hati-hati ya sayang. Mamah tunggu di rumah.”
PIIIPPPP... sambungan telepon pun terputus sebelum Keenan membalas.
Keenan melepas earphonenya dan kembali memfokuskan mata pada jalan raya yang mulai macet.
Merasa bosan, Keenan memutuskan untuk menyalakan radio.
Suara musik yang diawali petikan gitar mengalun merdu memenuhi mobil Keenan. Keenan terseyum saat mendengar sebuah lagu dari Demi Lovato yang di cover oleh Boyce Avenue. Keenan merupakan salah satu penggemar Boyce Avenue. Suara sang vokalis mulai terdengar merdu.
Skies are crying
I am watching
Catching teardrops in my hands
Only silence, as it’s ending, like we never had a chance
Do you have to, make me feel like there’s nothing left of me?
dan dilanjutkan oleh suara lembut Megan Nichole yang merupakan teman duet Boyce Avenue.
You can break everything I have
You can break everything I am
Like I’m made of glass
Like I’m made of paper...
Go on and try to tear me down
I will be rising from the ground
Like a skyscraper
Like a skyscraper
Suara bass namun lembut milik sang vokalis pun kembali mengalun. Dan suara lembut Meghan pun kembali mengalun.
As the smoke clears
I awaken, and untangle you from me
Wouldn’t make you, feel better to watch me while I bleed?
All My window, still are broken
But I’m standing on my feet
Keenan mencengkram setir kuat hingga buku jemarinya terlihat memutih. Aura kemarahan serta kekecewaan begitu kental terlihat di kedua bola mata hitam pekat Keenan.
Seolah dilingkupi kemarahan yang begitu menggebu, Keenan memacu mobilnya dengan kecepatan maksimal. Membuat banyak klakson mobil berdengung saling bersahutan dan tak jarang ada beberapa pengemudi lain yang mengumpat atas tindakan Keenan.
You can take everything I have
You can break everything I am
Like I’m made of glass
Like I’m made of paper...
Go on and try to tear me down
I will be rising from the ground
Like a skyscraper
Like a skyscraper
Perlahan cengkraman Keenan pada setir mobil pun mengendur dan aura kemarahan serta kekecewaan yang sempat muncul pun perlahan memudar.
Entah mengapa saat mendengar pertengahan lagu ini, Keenan mengingat sosok wanita berhijab yang selalu menyendiri di bawah pohon rindang di halaman belakang sekolahnya. Wanita itu juga sering sekali menyanyikan lagu milik Demi Lovato yang begitu menginspirasi dengan suara yang halus selembut sutera serta petikan gitar yang begitu memukau.
Go run, run, run
I’m gonna stay right here
Watch you dissappear
Go run, run, run
It’s a long way down
But I am closer to the clouds up here
You can take everything I have
You can break everything I am
Like I’m made of glass
Like I’m made of paper...
Go on and try to tear me down
I will be rising from the ground
Like a skyscraper
Like a skyscraper
Like a skyscraper
Like a skyscraper
“Sebenarnya siapa kamu? Kita berada di tempat yang sama tapi mengapa tak pernah bertemu?” gumam Keenan.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
fresh story, good job author
Comment on chapter Bab 1 : Skyscraper