Mata cokelat yang meneduhkan itu masih terpejam dengan erat. Seakan enggan untuk terbuka. Tante Hana dengan setia duduk di samping kanan tubuh Delilah sambil memijit ringan jari-jemari Delilah yang sempat menegang.
Fabian duduk dengan cemas karena sudah hampir tiga jam Delilah pingsan.
“Kamu tenang ajah sayang, nanti kalo Delilah sudah mau membuka matanya. Dia akan siuman.” Kata Tante Hana mencoba menenangkan Fabian.
“Tapi Mah, enggak kayak biasanya Bine pingsan selama ini. Semuanya salah Bian Mah. Kalo seandainya aja Bian ga ngomong kayak gitu ke Bine pasti Bine gak akan keinget lagi.” Fabian mengusap wajahnya kasar.
“Bian! Mamah gak suka kalo kamu mulai kayak gini lagi. Jangan terus-terusan salahin diri kamu sendiri.”
Fabian menatap sendu Tante Hana kemudian Ia menghampiri Tante Hana dan memeluk erat tubuh berisi Tante Hana. Tante Hana mengusap punggung Fabian dengan sayang.
“Bang Dev.....” Fabian segera melepaskan pelukan hangat sang Mamah saat mendengar suara lirih Delilah.
“Bine. Bine bangun.. ayo Bine bangunn.. mau sampe kapan pingsannya, hm?” bisik Fabian ditelinga Delilah yang kini sudah tak tertutup kerudung.
“Mamah mau buatin teh hangat dulu ya buat Delilah” ujar Tante Hana. Fabian hanya mengangguk dan terus membisikkan kata agar Delilah mau membuka matanya.
“Bine bangun dong. Mau sampe kapan merem mulu? Emangnya enggak gelap apa merem mulu. Mendingan liatin muka gue yang manisnya bisa bikin orang-orang diabetes.”ucap Fabian sembari menghibur diri.
Bulu mata panjang dan lentik Delilah bergetar. Perlahan kelopak mata gadis bermata cokelat itu terbuka. Delilah masih mencoba menyesuaikan penglihatannya.
Mata cokelat itu meyapukan pandangannya keseluruh penjuru kamar berwarna cokelat pastel itu, dan berhenti tepat dimata Fabian. Delilah mengerutkan keningnya.
“Tadi lo pingsan, makanya sekarang ada di kamar.” Jelas Fabian yang membaca raut bingung Delilah.
“Haus.” Lirih Delilah. Fabian langsung bangkit dan tepat saat ingin menuju pintu, Tante Hana masuk membawa cangkir berisi teh hangat melati kesukaan Delilah.
“Ehhh anak Mamah sudah siuman” ujar Tante Hana lembut.
Fabian segera mengambil cangkir tersebut kemudian meletakkannya di nakas di samping ranjang dan membantu Delilah untuk duduk bersandar di kepala ranjang kemudian memberikan teh hangat itu untuk diminum.
Tante Hana pun memutuskan untuk meninggalkan kedua anak tersayangnya. Ia yakin Fabian dan Delilah bisa menyelesaikan masalah yang mereka buat dengan baik.
Cairan hangat itu membasahi kerongkongan Delilah yang awalnya kering. Delilah menyudahi minumnya dan memberikan cangkirnya yang isinya tinggal setengah ke tangan Fabian. Dengan sigap Fabian menerima cangkir itu dan meletakkannya kembali ke nakas di samping ranjang.
“What do you feel?” tanya Fabian cemas. Karena sedari tadi Delilah belum mengucapkan sepatah kata.
“I dunno, Be. Do you believe in me?”tanya Delilah sendu dan menundukkan kepalanya. Delilah terdiam lama, berusaha mengingat kejadian sebelum Ia terbaring di kamar tamu keluarga Fabian.
“Of Course. I’m always believe in you”jawab Fabian tersenyum lembut.
“You’re not!”sergah Delilah cepat. Ingatannya tentang kejadian beberapa jam yang lalu mulai menyatu dan membuat Delilah mengingat semua kejadian sebelum kegelapan menenggelamkannya tadi.
“Don’t said like that, please! I don’t mean like that. I know I was wrong. Please forgive me”ujar Fabian dengan tatapan bersalah yang teramat dalam dan penuh permohonan.
“Bee gue mohon sama lo, apapun yang terjadi jangan pernah meragukan gue dan menuduh gue berbohong. Elo udah mengenal gue dengan baik, gue bukan gak mau cerita sama lo karena gue meragukan elo, tapi karena menurut gue kejadian semalam gak penting untuk gue ceritakan. Dan gue mau menyelesaikan masalah gue sendiri, gue mau mencoba mengendalikan emosi dan pikiran gue” pinta Delilah dengan tatapan memohonnya, Fabian menganggukkan kepala yakin.
“Iya. Ya gue percaya sama lo Bine. Maafin gue, maafin gue atas kejadian tadi” Delilah menganggukkan kepalanya dan tersenyum kecil sebagai jawaban.
Fabian mendesah lega setelah mendapat jawaban atas permintaan maafnya.
^^^^^^^^^^^^^^^^^
Keenan turun dari mobil mewahnya setelah memarkirkannya di carport dan melangkahkan kaki panjangnya dengan langkah lebar menuju pintu utama rumah keluarga Wijayadiningrat. Keenan berhenti melangkah dan menghela napas kesal saat melihat Claudie sedang duduk manis di ruang tamu bersama Ibunda tercintanya.
“Ya Allah dosa apa aku dulu sampai bisa nerima wanita bermuka dua itu. Kalau bukan karena Mamah dan Papah gak akan aku pacaran sama dia” batin Keenan.
“Keenaaaaannnnnnnn” teriak Claudie dengan suara cemprengnya saat melihat Keenan sudah berdiri di depan ruang tamu megah keluarga Wijayadiningrat.
“Sayang sini dong. Ini ada Claudie mau ketemu kamu” ujar Tante Rahayu dengan senyuman lembut.
“Mau ketemu aku atau minta anterin shopping sekaligus jadiin aku sebagai pembawa belanjaannya dia, Mah?” sergah Keenan dengan muka malas.
“ATHAYA!” bentak Tante Rahayu keras.
“Aku sudah lelah Mah dengan dia. Kalau memang tujuan dia kesini memang ingin diantar, suruh saja Pak Mamat untuk mengantarnya” ucap Keenan sambil menunjuk dan menatap tajam Claudie yang saat ini sedang menundukkan wajahnya takut.
“Your attittude, please!” pinta Tante Rahayu dengan penuh penekanan.
“Kalau di depan dia tidak usah memakai attittude lagi, Mah! Dia itu bermuka dua. Di depan Mamah dan Athaya dia selalu pura-pura baik dan bersikap manis. Tapi di belakang kita? Siapa sangka anak semata wayang dari keluarga Anjaya itu ternyata seorang tukang bully, jangan kira aku tidak pernah tahu apa yang kamu lakukan di belakangku, Claudie Odelia Anjaya. Aku tidak perlu membeberkan semuanya di depan Mamah, kan?” sahut Keenan dingin, tajam, dan tak berperasaan disertai senyuman culas yang tercetak di wajahnya yang tampan. Claudie menatap Keenan tak percaya. Wajahnya pucat pasi seperti mayat hidup
“Kenapa diam saja dan menatapku seperti itu, Nona Anjaya? Takut kalau Aku membeberkan semuanya di depan Mamah?” tanya Keenan sakartis.
Claudie tergagap kemudian menunduk dan segera mengambil sling bagnya dan berjalan dengan langkah terburu-buru tanpa pamit menuju pintu utama kediaman Widjayadiningrat.
Tante Rahayu terdiam dan menatap kosong kepergian Claudie yang kini telah menghilang di balik pintu kayu jati yang besar dan kokoh.
“Itukah perempuan yang selama ini selalu Mamah banggakan dan agungkan? Mamah tidak pernah memikirkan perasaan Athaya dengan seenaknya menjodohkan Athaya dengan perempuan ular macam dia. Athaya lebih mengetahui segala sifatnya, Mah! Jadi jangan pernah paksa Athaya untuk kembali bersama dengan dia! Athaya sayang Mamah” Ujar Keenan yang terdengar sedih, dan kecewa. Keenan meninggalkan Tante Rahayu yang masih terdiam seolah mencerna semua kejadian dan ucapan dari anak lelakinya yang baru saja terjadi. Semarah apapun Keenan kepada Tante Rahayu, Keenan tidak akan pernah bisa untuk marah di hadapan Tante Rahayu, apalagi hingga membuat beliau meneteskan air mata karena dirinya. Karena itulah Keenan memutuskan pergi dari rumahnya untuk meluapkan semua emosi yang bergumul dalam dadanya.
“ATHAYA! ATHAYA! KAMU MAU PERGI KEMANA, SAYANG?” teriak Tante Rahayu saat melihat anak lekakinya berjalan meninggalkan dirinya yang masih terpaku di tempat Ia berpijak.
Keenan berhenti melangkah dan berkata tanpa menoleh“Aku membutuhkan waktuku sendiri, Mah. Mamah tentu tau kemana aku pergi. Athaya janji akan pulang dalam keadaan utuh dan baik-baik saja. Mamah tidak perlu khawatir. Athaya pamit. Assalamu’alaikum!” Keenan melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Keenan memacu mobilnya dengan kecepatan penuh menuju daerah Senayan, Jakarta Selatan. Ia memberhentikan mobilnya dan memakirkan mobilnya tepat di pintu 7 Lapangan Olahraga Senayan.
Keenan turun dari mobilnya dan berjalan menuju sebuah tempat olahraga yang bernama “JAKARTA ARCHERY” . Keenan menghembuskan napasnya kasar dan berjalan cepat menuju pintu masuk.
“Selamat Sore, Keenan!” sapa seorang perempuan paruh baya dengan senyuman hangat.
“Sore, Bu. Bisakah aku meminta kunci lokerku, segera?” ujar Keenan sambil memberikan sebuah kartu tanda pengenal yang berisikan data pribadi dan nomer loker miliknya.
“Tunggu sebentar!”
Wanita itu berjalan menuju dinding yang penuh dengan kunci-kunci yang tergantung rapi. Setelah mendapatkan kunci dengan nomer yang sesuai wanita itu memberikannya pada Keenan. Keenan pun mengucapkan terima kasih dan berjalan menuju deretan loker yang ada di ujung lorong.
Keenan menatap lapangan hijau di depannya, Ia telah lengkap dengan pakaian memanah yang telah Ia tekuni sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Keenan mengenakan Arm Guard yang berfungsi untuk melindungi lengannya, Tab untuk melindungi jari-jemarinya, serta tak lupa Belt Quiver yang Ia ikatkan di pinggangnya berguna untuk menempatkan anak-anak panah yang siap untuk di luncurkan. Tak lupa tangan kanannya pun sudah menenteng sebuah busur panah.
Keenan mengambil sebuah anak panah dan memasangkan pada busur yang kini telah Ia angkat sejajar dengan dadanya, mata hitam pekat Keenan yang begitu redup penuh gejolak emosi memfokuskan pandangannya pada sebuah Target yang terbuat dari jerami yang permukaannya dilapisi oleh kain.
Setelah merasa telah fokus, Keenan pun melepaskan anak panah itu untuk mengenai sasaran. Namun sayang, anak panah itu pun meleset dan tidak mengenai titik tengah dari Target yang Ia tuju. Keenan menghembuskan napas kasar dan mencoba kembali.
Sudah kesepuluh kalinya Keenan mencoba mengenai sasaran, namun tidak ada satu pun dari anak panah itu yang tepat sasaran. Keenan membuang busur panahnya ke tanah dan menjambak rambutnya kesal dan frustasi.
“ARGHHHH... SIAL! KENAPA TIDAK ADA SATU PUN KENA!!”ujarnya marah. Keenan pun menjatuhkan tubuh tegapnya di atas rumput hijau. Ia mengusap wajahnya frustasi, dan menggelengkan kepalanya.
“Sedang marah, Keenan” ujar seseorang dengan suara bassnya. Keenan menengadahkan kepalanya dan melihat sahabatnya berdiri di depannya dengan perlengkapan panah lengkap dengan pakaiannya.
“Ronan, apa yang lo lakukan disini?” tanya Keenan.
“Lo lupa kalau gue les memanah? Kan lo juga yang merekomendasikan gue disini, nah sekarang jadwalnya gue les!” jawab Ronan ringan, Ia pun mengambil posisi duduk di samping Keenan.
Keenan hanya ber’oh’ ria mendengar jawaban logis Ronan.
“Gue kira lo disuruh Mamah buat nemuin gue di tempat ini!” seloroh Keenan. Ronan tertawa mendengar selorohan sahabatnya. “Tante Rahayu memang menghubungi gue, dan dia bilang bahwa anak lelakinya yang tampan pergi meninggalkan rumah dalam keadaan emosi. Tapi ya gue Cuma bisa menanggapi seadanya, karena gue tau lo sudah besar dan gak perlu diawasi lagi kalau lagi emosi eh malah ketemu elo disini” ujar Ronan sambil tertawa mengejek.
“Ken, seberat apapun masalah yang sedang lo hadapi, jangan pernah luapin emosi lo kayak gini. Mungkin memanah memang melatih kita untuk fokus, tenang, dan mampu mengendalikan emosi dengan baik, serta membuat kita menjadi lebih percaya diri, tapi kalau lo ngelakuin hal kayak tadi. Bukan mendapat ketenangan yang ada lo malah bunuh orang gara-gara anak panah lo meleset kemana-mana” Keenan menghembuskan napas berat dan membenarkan perkataan Ronan.
“Gue juga gatau, Nan apa yang membuat gue berantakan kayak gini. Biasa pun gue selalu meluapkan emosi dengan memanah dan selalu tepat sasaran, tapi entah kenapa sekarang meleset semua. Gue memanah untuk mengembalikan kewarasan gue, tapi ini? tambah gila gue yang ada” Ronan diam, Ia mendengarkan dengan baik setiap perkataan yang diucapkan Keenan. Dia tau betul seperti apa kehidupan seorang Keenan Athaya Wijayadiningrat.
“Dari pada lo disini dengan pikiran makin kacau, lebih baik kita ngopi di kafe biasa” ajak Ronan.
Keenan menghembuskan napas. “Ayo!” kata Keenan sambil bangkit dari duduknya dan berjalan di susul oleh Ronan yang tersenyum melangkah menyusul Keenan yang berjalan di depannya.
fresh story, good job author
Comment on chapter Bab 1 : Skyscraper