BAB 4
Suara hingar-bingar itu menggema di seluruh lorong sekolah yang banyak dipenuhi para murid yang berlalu-lalang.
“Selamat pagi semuanyaaaa.....” sapa ceria gadis berkerudung biru dongker itu dengan hangat kepada seluruh teman sekelasnya.
“Pagi Delilah..” balas salah satu temannya.
“Wuihhhh bawa apa tuh Del?” celetuk seorang lelaki yang sedang duduk tak jauh dari Delilah saat melihat Delilah membawa sebuah paperbag besar di samping tubuh yang terbalut seragam putih-biru anak SMP.
“Oh ini.. Ini Gue bawain kalian semua oleh-oleh dari semarang. Daddy baru pulang dari sana dan gue minta beliin oleh-oleh khas buat kalian. Ayoo diambil” ujar Delilah mengangkat paperbag tersebut di depan dadanya dan kemudian meletakkan paperbag tersebut di atas meja barisan paling depan. Setelah itu Delilah berjalan menuju kursinya yang ada di barisan ketiga.
Seluruh anak-anak mulai mengerubungi paperbag yang dibawa Delilah dan mulai memilih oleh-oleh yang mereka sukai.
Delilah tersenyum lebar melihat teman-temannya menyukai oleh-olehnya.
Tiba-tiba semuanya buram. Lama kelamaan cahaya terang benderang menyambut Delilah namun dengan perlahan Delilah seperti terhempas begitu saja pada sebuah ruangan yang begitu gelap. Buram. Kemudian cahaya terang begitu menusuk matanya.
Delilah mengerjapkan matanya mencoba beradaptasi dengan keadaan yang terang-benderang. Perlahan Ia membuka matanya. Ia menatap keadaan sekeliling dan melihat orang-orang mengelilinginya dan menatap penuh kebencian dan jijik pada dirinya yang sedang jongkok sambil memeluk lututnya.
Ada apa ini? mengapa teman-temannya memberinya tatapan seperti itu?
“Semua ini gara-gara Elo gadis sialan! Dasar gadis tidak tahu diuntung!” seloroh seorang gadis dengan kata-kata yang begitu tajam seperti sebilah pedang. Gadis itu menatap Delilah penuh dengan kebencian yang begitu mendalam.
“Elo ga seharusnya sekolah disini! Ayo teman-teman kita beri gadis kurang ajar dan tidak tahu diuntung ini pelajaran!” suara seorang gadis lainnya dengan begitu menggebu menyiratkan kebencian yang jelas.
“Kalian bicara apa? Aku enggak mengerti!” ujar Delilah dengan suara bergetar menahan tangis.
“Bukan Aku pelakunya! Sumpah demi Allah bukan aku!!” teriak Delilah histeris.
“Omong kosong! Ayo kita beri dia pelajaran!”
Tak lama Delilah merasakan tubuhnya basah kuyup- entah air apa yang digunakan orang-orang itu untuk menyiramnya yang jelas air itu berwarna merah kecokelatan dan menguarkan bau tidak sedap. Dan tak lama Delilah merasakan hantaman benda pada kepala dan sekujur tubuhnya dan menguarkan bau busuk yang membuatnya mual. Telur busuk.
Air mata meluncur dengan bebas disertai isakan tangis yang begitu memilukan dari bibir merah Delilah yang bergetar.
“BUKAN AKUUUU... DEMI ALLAH BUKAN AKU PELAKUNYAAAAA”
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Nafas Delilah memburu, Peluh membasahi tubunya yang tebalut piyama softpink yang digunakannya. Delilah terduduk.
“Astaghfirullah... Ya Allah mimpi buruk itu lagi...” lirih Delilah meneteskan air matanya.
Delilah menatap keadaan kamarnya dengan pandangan takut. Ia takut akan ada orang-orang yang melihatnya dengan tatapan penuh benci seperti dulu.
Delilah memeluk lututnya dan isakan yang begitu memilukan pun mulai lolos dari bibirnya.
“Bukan aku! Bukan aku pelakunya! KENAPA KALIAN SELALU MENGGANGGUKU!” teriak Delilah histeris sambil melempar gelas berisi air mineral yang ada di nakas samping tempat tidurnya ke dinding. Gelas itu telah hancur menjadi serpihan-serpihan kecil di lantai marmer.
“DEMI ALLAH BUKAN AKU! PERGI! KALIAN PERGI JANGAN GANGGU AKU LAGIIIII” Delilah semakin histeris bahkan gadis itu sampai menjambak rambut hitam panjangnya.
Devan yang baru saja ingin terlelap langsung berjingkat kaget saat mendengar teriakan beserta bunyi benda yang jatuh kemudian pecah dari kamar Delilah yang tepat ada di depan kamarnya.
Rasa kantuk Devan langsung hilang dalam sekejap. Dengan tergesa Devan berjalan menuju kamar Delilah untuk memastikan bahwa adiknya baik-baik saja dan Ia hanya salah mendengar suara-suara tadi.
Devan bersyukur kamar Delilah tidak terkunci. Ia langsung menerobos masuk ke dalam kamar dengan pencahayaan yang remang. Ia menekan stop kontak yang teletak di samping pintu masuk, sekejap ruangan itu menjadi terang benderang.
Hati Devan mencelos, dan dadanya terasa begitu sesak saat melihat orang yang sangat Ia sayangi sedang memeluk lututnya disertai bahu yang bergetar karena menangis. Suara isakan itu terdengar memilukan dan membuat hati Devan nyeri.
Dengan langkah seribu Devan mendekati ranjang Delilah kemudian meraup tubuh rapuh gadis itu dalam pelukannya.
Delilah memberontak kuat, badannya bergetar hebat.
“PERGI!! PERGII!! JANGAN SAKITI AKU LAGI!! KU MOHON PERGII!! BUKAN AKU!! SUNGGUH BUKAN AKU YANG MELAKUKAN SEMUA ITU!!” teriak Delilah semakin histeris dan mencoba melepaskan pelukan Devan yang justru semakin mengerat.
“Ssst.. Sugar.. Sugar.. This you’re brother! I’m Devan, Sugar! Hei listen! I’m you’re brother!” ucap Devan tepat di telinga Delilah gadis itu dapat mendengar suaranya.
Delilah perlahan mulai tenang saat Ia merasa ada Devan di sisinya. Ia sudah tidak memberontak namun masih terisak. Delilah memeluk tubuh Devan dengan erat.
“They’re in here! I’m so afraid! I’m so afraid, Devan!” ucap Delilah lirih dan tatapan mata yang kosong.
“They’re in here! WHAT SHOULD I DO DEVAN?!” Delilah mulai histeris kembali, nada suaranya sarat akan ketakutan yang begitu mendalam.
Devan melepaskan dekapannya, kemudian Ia memegang bahu Delilah dan mengguncangkannya pelan untuk menyadarkan Delilah.
“Look at me!” ujar Devan sambil mengguncang bahu Delilah dengan keras agar adiknya mau menatapnya. Dan itu berhasil, Delilah menatap mata Devan. Devan melihat dengan jelas tatapan ketakutan disana.
“Listen, Sugar! They’re not here! They’re nothing! Okey.. in here just you and me! Trust me! They’re not here! Can you trust me?” Devan berujar dengan penuh keyakinan dan tatapan sendu penuh kasih sayang. Delilah sempat ragu, namun kemudian Ia mengangguk kaku.
Devan menghela nafas lega.
“Ayo sekarang kamu tidur lagi! Ini sudah malam” ujar Devan lembut. Delilah menggelengkan kepala kuat.
Tidak! Ia tidak mau tidur lantas akan bermimpi buruk lagi.
Seakan dapat membaca pikiran Delilah, Devan pun berujar “ Abang ada disini, dan Abang janji ga akan ninggalin kamu! Ayo tidur lagi Del!” Delilah pun menurut, Ia membaringkan badannya dan Devan menarik selimut hingga menutupi dada gadis itu. Devan mengelus alis tebal Delilah, perlahan gadis itu mulai terlelap dengan nafas yang teratur.
Devan menatap kedua orangtuanya yang berdiri diambang pintu dengan tatapan sedih. Devan tak bisa menahan air matanya lagi yang sedari tadi Ia tahan. Ia tidak bisa menangis di depan Delilah, Ia ingin adiknya tegar dan kuat dengan semua ini.
Om Reihan memeluk Tante Ameera yang sedang menangis tanpa suara di ambang pintu kamar Delilah. Mereka tak kuasa melihat Delilah. Om Raihan berusaha tegar demi menguatkan sang istri.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
fresh story, good job author
Comment on chapter Bab 1 : Skyscraper