Sendiri. Ya, selama ini aku hanya sendiri. Aku bersembunyi dan menjauhi orang-orang. Aku tahu, ini sangat sulit kadang rasanya dadaku terasa sesak hanya karena iri melihat orang lain di anggap berharga.
Aku melihat langit senja yang indah. Di taman kecil ini aku terbiasa merenung, meninggikan imajinasiku dan menghibur diriku sendiri dengan merangkai sebuah cerita yang sebenarnya tidak akan bisa aku alami.
“Heh! anak sialan! Kamu masih saja disini, cepat pulang!” teriak seseorang yang aku tahu adalah ayahku. Teriakannya sampai membuat orang-orang di taman ini memperhatikan aku.
“Baik, ayah.” balasku pelan. Aku berdiri menyusul di belakangnya yang sudah berjalan cukup jauh.
“Dasar anak yang tidak tahu di untung! Sudah jam segini kau masih asik-asik di taman.” umpatnya tepat setelah aku masuk ke dalam mobil. Tatapannya menusuk hingga rasanya dadaku kembali sesak karena menahan tangisanku yang siap meledak.
Sepanjang perjalanan aku hanya diam. aku tahu, hari ini aku melewatkan tugasku untuk membereskan rumah karena aku harus berangkat pagi-pagi untuk piket kelas. Aku sudah siap menerima semuanya saat aku melangkahkan kakiku keluar rumah tadi pagi.
“Kamu itu harus paham! Istriku sedang mengandung anakku. Dia tidak boleh beres-beres rumah atau pun membuat makanannya sendiri!” teriak ayahku kembali dengan amarahnya. Alasan klasik yang selama beberapa bulan ini selalu aku dengar. Dia lebih perduli dengan istrinya daripada aku yang juga anak kandungnya.
“Aku harus sekolah, dan pekerjaan rumah bisa panggil seseorang untuk membereskannya ayah.” balasku sedikit membela.
“Jangan panggil aku ayah. Karena aku dari awal kamu lahir tidak menganggapmu anak. Dan apa katamu? Menyuruh seseorang untuk membereskannya? Selama ada kamu kenapa aku harus mengeluarkan uang untuk membereskan rumah? dan ingat! Kamu itu sekolah pakai uang dari hasil aku bekerja.” jelasnya sambil membentakku. Aku kembali diam, karena aku tidak ingin mendengar kata-katanya yang menyakitkan lagi.
Aku kira dengan aku diam akan membuat semuanya tenang adalah hal yang bisa menyelamatkanku. Itu salah besar. Sesampainya di rumah, ibu tiriku sudah berada di depan pintu rumah dengan menyilangkan tangannya di atas perut.
“Kamu bodoh atau kelewat dungu?” teriaknya sambil menamparku.
Aku menunduk, tamparannya terasa panas di pipiku. Aku hanya bisa mendengarkan kata-katanya yang akan menyerangku tanpa ampun. Aku tidak bisa membela diriku sendiri, aku tidak bisa melawan atau pun mencari keadilan untuk diriku.
“Kamu memang harus diberi pelajaran agar jera!” sambungnya sambil menjambak rambutku.
“Ah! Tolong lepaskan, maafkan aku!” teriakku sambil memegangi rambutku yang tetap ia jambak dan menyeretku sampai ke dapur. Dia melepaskanku sambil mendorongku hingga tersungkur. “kamu lihat? Itu cucian piring, cucian baju dan rumah ini belum kamu bersihkan sama sekali!”
Aku mencoba bangun, mengangguk dan meninggalkan ibu tiriku yang menatap jijik kepadaku. Sekali lagi aku mengira semua akan berakhir dengan mudah jika aku pergi dari hadapannya dan segera melakukan apa yang ia suruh, tapi lagi-lagi aku di jambak olehnya. Dengan geram dia menganbil kacamataku dan melemparnya hingga kacanya pecah.
“Sepertinya jika aku belum melihat kau menderita rasanya tidak akan lega. Sekali lagi kau melewatkan pekerjaanmu aku pastikan, bukan hanya kacamatamu yang rusak.” Ucapnya sambil mendorongku kembali.
Mau seberapa besar aku bertahan dengan kehidupan seperti ini, aku tahu akan jatuh sesering mungkin. Dengan merasa kehidupanku layaknya drama yang sudah aku rasakan sejak ibuku meninggal dua tahun yang lalu.
Ibuku yang malang, dia mengakhiri hidupnya dengan meminum racun. Sekarang aku tahu kenapa ibuku memilih untuk mengakhiri hidupnya. Semua ini karena beliau tidak tahan dengan perlakuan ayah dan ibu tiriku itu. Dan aku juga merasa ingin mengakhiri hidupku saja saat ini.
Sempat aku berpikir, kenapa aku terlahir di dunia ini jika hanya akan mendapatkan rasa sakit, kenapa aku terlahir jika semua orang akan memandang hina kepadaku. mungkin yang bisa aku lakukan saat ini hanya mengeluh, dengan sebuah pertanyaan yang semuanya di awali dengan kata ‘kenapa’ dan tidak ada jawabannya sama sekali.
Aku bergegas mengambil kacamataku yang rusak dan membawanya ke kamar. Aku merambat di dinding, menyeka air mataku yang mulai tak terkendali. Aku mencoba segera pergi dari hadapan ibu tiriku. Tanpa kacamata sama saja mustahil untuk membereskan tugas rumah. Aku tidak bisa melihat tanpa kacamataku ini.
Tangisku pecah saat sampai di kamarku. Rasa sesak yang aku tahan sejak tadi pagi hingga sekarang tidak bisa kubendung lagi.
Derap langkah kaki terdengar, aku masih menangis sampai rasanya susah untuk bernafas. Pintu kamarku terbuka lebar, yang aku lihat hanya cahaya dan bayangan hitam karena lampu kamarku sengaja tidak aku nyalakan saat masuk.
“Kau memang cari mati ya?” teriak ayahku, dia mengambil fas bunga di mejaku dan melemparkannya kuat-kuat tepat mengenai kepalaku.
Rasanya berat sekali mempertahankan mataku untuk tidak tertutup, aku meraba kepalaku dan merasa kalau kepalaku saat itu terluka. Aku tidak tahu sebanyak apa darahku keluar. Aku tergeletak di lantai karena tidak bisa menjaga keseimbanganku lagi. Aku bisa mendengar jika ayahku tidak perduli jika aku mati. Dan kemudian hanya gelap yang aku lihat setelah itu.
Kejadian-kejadian yang tidak ingin kulihat terputar seperti sebuah potongan film menyedihkan. Dimulai saat aku kecil, ayah tidak pernah menggendongku saat aku memintanya, kemudian kejadian tadi pagi juga terlihat. Saat semua teman sekelasku menuduhku mencuri dan menghinaku. Lalu kejadian yang baru saja terjadi juga.
Aku takut gelap, tapi entah kenapa saat ini gelap tidak membuatku ketakutan sebaliknya aku merasa sedikit damai. Saat aku sudah mulai mengikhlaskan keadaanku tiba-tiba gelap itu berubah menjadi ruangan putih. Mataku terbuka dan melihat dengan sangat jelas seorang wanita dengan sayapnya yang megah membelakangiku.
“Apa kau sudah bangun?” tanyanya seolah memang menungguku.
Apa aku sudah berada di surga? batinku setelah melihat wanita seperti malaikat itu.
Wanita tu membalikkan badannya dengan anggun, aku terkesima dan yang terlintas di kepalaku aku memang sedang bertemu dengan malaikat yang menjemputku. Aku perhatikan dengan lamat-lamat berharap aku bisa melihatnya dengan jelas.
“Pejamkan matamu, nanti kau akan bisa melihat dengan jelas.” ucapnya.
Aku mengikutinya, aku memajamkan mataku dan membukanya perlahan. Aku terkejut saat mataku benar-benar bisa melihat dengan jelas tanpa kacamata. Aku jadi berpikir mati tidaklah buruk.
Keterkejutanku bukan sebatas itu saja, aku lebih terkejut lagi saat melihat wanita yang aku anggap malaikat itu memiliki wajah sangat mirip denganku. Yang membedakannya warna rambut, warna kulit dan warna matanya yang merah. Sangat indah, aku rasa malaikat di depanku sedang menghiburku jika aku bisa terlihat cantik seperti itu.
“Bagaimana? Kau cantik bukan?” sambungnya sambil tersenyum seolah mengerti apa yang aku pikirkan.
Aku mengangguk dan membalas senyumnya. “Terima kasih karena sudah mau menunjukkan diriku yang sangat cantik.”
“Kalau begitu kau pejamkan matamu kembali,” dia mendekatiku dan menutup mataku dengan tangannya. Dengan jarak sedekat ini aku bisa mencium aroma bunga dari tubuh wanita itu. “Mulai saat ini hiduplah dengan bahagia, mulai saat ini kau adalah sebuah harapan.”
Aku tidak berani membuka mataku. ucapannya dengan menunjukku sebagai harapan itu sangat berlebihan. Tangannya masih menutup mataku hingga akhirnya aku tidak merasakan tangan itu menyentuh mataku dan berganti dengan angin yang menerpa wajahku.
“Bangunlah, bersinarlah seperti matahari. Kau akan menyinari tanah bumi ini dengan anugerah-Nya.” ucap wanita itu lembut di telingaku. Aku langsung membuka mataku dan mendapati diriku duduk di dahan pohon yang besar.
“Naya! Sampai kapan kau akan duduk di sana? Hari sudah gelap, ayo kembali ke desa!” teriak seseorang dari bawah, aku segera melihat kebawah sangat tinggi sekali.
‘Tuhan, sebenarnya apa yang terjadi pada diriku.’ batinku sambil memegangi dahan pohon.
Dari dulu aku tidak suka ketinggian. Dan saat ini aku sedang berada di atas pohon yang sangat tinggi. Karena hari hampir gelap aku terpaksa menjatuhkan diri. Dan membuat orang yang meneriakiku tadi berteriak lebih histeris. Setelah itu aku tidak bisa mendengarkan apa-apa lagi.