Bagian Satu
Mimpi itu terus menghantuiku, mimpi yang terus terulang, terus terjadi seolah?seolah tiada akhir. Aku menjadi khawatir setiap kali malam tiba, jika aku dipaksa untuk menyaksikan kejadian di dalam mimpi itu lebih banyak lagi, aku akan gila.
Kenangan buruk, meski itu bukan hal yang kualami secara langsung, tapi aku bisa mengingatnya seperti aku menyaksikan kejadian itu beberapa menit yang lalu tepat dihadapanku dengan mata kepalaku.
Aku sempat berpikir untuk tidak tidur dan melakukan kegiatan yang paling aku suka dan aku kuasai, berburu. Namun sebagai manusia biasa aku memiliki batas kelelahan yang dapat diterima oleh tubuh. Sampai akhirnya aku tertidur dan aku melihat mimpi itu lagi.
Didalam mimpi itu, seorang prajurit ... tidak, tapi dua orang prajurit dengan perlengkapan tempur lengkap. Armor fullbody berwarna putih dengan lambang cross berwarna merah dibagian dada sebelah kiri. Setiap kali mereka bergerak, dentingan dari baju besi mereka yang tumpang tindih menulikan telinga.
Mereka berdua tertawa, kedua prajurit itu sedang tertawa lepas menikmati apa yang mereka lakukan. Dengan senyum yang menghiasi wajah penuh bercak darah. Di bawah kaki salah satu prajurit itu terlihat sebuah mayat, mayat seorang laki-laki yang terlihat begitu mengerikan.
Lengan kirinya putus sedangkan lengan kanan pria itu terpelintir kearah yang tidak seharusnya. Begitu juga dengan kedua kakinya. Jari-jarinya hancur, remuk tak beraturan. Perutnya tampak tersobek, sehingga organ dalamnya terlihat jelas. Wajahnya hampir tak berbentuk. Dibalut warna merah darah secara menyeluruh.
"Membosankan."
Ucap seorang prajurit sembari meludah kearah mayat laki-laki yang berubah menjadi seonggok daging di bawah kakinya.
"Sudah kuduga kita seharusnya memperlakukannya lebih baik."
"Sepertinya kau sangat menyesal. Yah ... itu salahmu sendiri."
"Jika saja aku lebih lembut melakukannya, mungkin aku bisa lebih lama menikmati jeritannya."
Sesal prajurit pertama sembari menghela napas panjang.
Prajurit kedua dengan gembira menampar wajah seorang wanita yang mungkin berumur sekitar dua puluhan. Prajurit itu menjambak rambut wanita itu kemudian menampar dan memukulnya.
Wanita itu terus meronta dan berteriak minta pengampunan, air mata mengalir membasahi kedua pipinya bercampur dengan darah. Namun selaras dengan setiap teriakannya, sang prajurit terus melakukan aksi brutalnya. Prajurit itu menghajar korban kebengisannya tanpa rasa iba.
Wanita itu tak berdaya, rasa sakit yang dia rasakan melampaui batas yang dapat diterima tubuh dan berakhir kehilangan kesadarannya.
Kemudian terdengar suara melengking keras terompet yang membuat raut wajah para prajurit tampak bermasalah.
"Sepertinya hanya sampai disini."
"Ya, itu sinyal untuk mundur."
Sahut prajurit kedua sembari menghunuskan pedangnya dan menggorok leher wanita itu dengan ekspresi penuh kepuasan.
Kemudian, kedua prajurit tersebut meninggalkan korban kebrutalan mereka begitu saja.
Lalu aku terbangun dengan suasana hati yang begitu mengerikan.
***
Bagian Dua
Aku terbangun dan apa yang kusaksikan bukanlah langit-langit dengan atap yang biasa kulihat. Tapi sebuah langit malam dengan bintang yang bertabur dan bulan yang bersinar dengan lembut.
Sangat Indah.
Benar juga, hari ini aku pergi berburu di hutan sebelah barat Desa Lerida. Sepertinya aku tertidur setelah selesai memasang perangkap. Aku adalah seorang Hunter, mungkin terdengar sombong jika aku yang mengatakannya, tapi aku cukup terampil dalam bidang ini.
Kemampuan seperti kamuflase, mencari jejak hewan, kemampuan memanah, memainkan pisau lempar, seni berpedang. Meski semua itu aku latih secara otodidak namun aku percaya dengan kemampuanku.
Ini memang bukan kali pertama berburu bagiku, tapi setelah mengalami mimpi buruk itu membuatku tidak bersemangat.
"Mimpi sialan."
Aku mengumpat pada diriku sendiri.
Sebaiknya aku mengecek jebakanku dan segera bersiap untuk pulang. Aku tidak terlalu berharap mendapat buruan untuk malam ini. Bukan karena kemampuanku kurang, lebih tepat disebut jika aku tidak memiliki hasrat untuk melakukan pekerjaan setelah mimpi mengerikan yang kualami tadi.
Aku tinggal di sebuah peternakan milik panti asuhan di Desa Lerida. Desa Lerida terletak jauh di selatan Kerajaan Salvillage. Desa Lerida sendiri termasuk desa yang miskin, para pedagang dari kota besar seperti Levida tidak bisa beroperasi di desa kami karena infrastruktur jalanan yang sulit dilalui dan hanya datang secara berkala.
Kembali ke topik sebelumnya. Aku harus mengecek jebakan dengan mood yang buruk. Yah ... itu semua memang berkat mimpi buruk yang kualami beberapa hari ini yang menurunkan semangat motivasiku. Jika boleh kutafsirkan, memang keadaan sekarang tidak beda jauh dari arti mimpi yang kualami. Hubungan Kerajaan Salvillage dengan Kerajaan tetangga sedikit menegang dan perang dapat pecah kapanpun.
"Persetan dengan urusan para manusia kotor yang menganggap dirinya lebih baik dari orang lain bahkan ketika dengan sadar mereka memakan uang haram dari hasil menggelapkan dana. Dasar bangsawan bajingan."
Aku mendesah lemas mengeluarkan semua udara yang terhimpun dalam paru-paruku.
Lagipula masalah negara bukan urusan rakyat kecil seperti diriku. Setidaknya aku tidak ingin terlibat dengan hal yang merepotkan.
Terlepas dari semua urusan Kerajaan maupun konflik politik yang sering diperebutkan. Ini adalah kehidupanku, aku akan menjalaninya dengan penuh kebebasan. Jika boleh memilih, aku ingin menjadi seorang pandai besi. Hmm, tidak ada alasan yang khusus aku memilih pandai besi.
Bakatku dalam berburu memang bagus dan aku ingin meningkatkannya, tapi itu sekedar hobi. Aku membutuhkan pekerjaan, jika aku dapat membuat senjata yang cocok dan lebih baik dari standar pasar, itu akan sangat berguna untukku dimasa depan.
Saat aku berpikir tentang masa depanku, aku mendengar suara ringikan hewan dari arah yang hendak aku tuju.
"Apa aku mendapat sesuatu?"
Aku mempercepat langkah dan menyusuri lebatnya hutan. Tapi aku tidak ceroboh, setiap derap langkahku tidak menghasilkan suara. Akupun menipiskan hawa keberadaanku. Teknik yang terus aku latih sejak umurku masih enam tahun secara mandiri.
Teknik ini begitu berguna ketika aku gunakan untuk berburu, dengan begitu aku dapat mendekati hewan buruanku dengan mudah. Kemampuan bertarung juga penting, tidak ada yang tahu apa yang mungkin terjadi di masa depan. Mungkin saja aku akan membutuhkan kemampuan ini untuk membunuh manusia, meski aku sendiri belum pernah melawan seorangpun.
Meski malam ini aku tidak begitu bersemangat, tapi jika aku memikirkan anak-anak panti yang menungguku itu membuatku semakin terbebani. Sebagai kakak laki-laki tertua di panti asuhan, aku berkewajiban untuk membantu mengurus panti asuhan.
"Ini semua membuatku lelah."
Ini kulakukan juga sebagai balas budi karena panti asuhan telah merawatku selama ini, mungkin begitu. Aku tak ingat dengan orang tuaku, tapi itu bukan masalah. Jika mereka memang membuangku karena tidak membutuhkanku, untuk apa aku harus mengkhawatirkan hal tersebut.
Jangan dibuat pusing.
Memikirkan itu semua, akhirnya aku melihat asal suara ringikan yang aku dengar. Tidak salah lagi, jebakan yang aku pasang berhasil menangkap hewan buruan. Seekor rusa jantan muda dengan sepasang tanduk yang mencuat dari kepalanya.
Sepertinya rusa itu menyadari keberadaanku, dia mulai bergerak semakin agresif berusaha melepaskan diri dari jebakan penjerat yang kupasang. Tidak ada gunanya lagi aku mengendap-endap, lagi pula aku cukup percaya diri dengan jebakan yang kubuat.
Aku mempersiapkan busurku, mengambil satu anak panah dan membidikkannya tepat ke daerah vital rusa buruanku. Anak panah melesat dan mendarat tepat di tempat yang kuinginkan. Rusa itu mengeluarkan suara yang khas sebelum akhirnya tumbang dan tak berdaya terhadap nasibnya.
Apa aku harus mengolahnya sekalian disini?
"Tidak, aku sedang malas."
Biasanya aku langsung menguliti dan membersihkan hewan buruanku di sungai terdekat. Karena aku lagi tidak begitu ada niat untuk melakukannya, akan aku pasrahkan urusan tersebut kepada pengurus panti.
Tidak mungkin aku memberikan urusan seperti ini pada Maria karena dia perempuan, meskipun dia yang bertanggungjawab masalah makanan. Lebih tidak masuk akal lagi jika aku menyuruh anak panti yang masih begitu kecil untuk memotong daging rusa yang masih belum diolah. Bisa-bisa mereka nanti malah menangis dan tambah merepotkan.
"Kalau begitu sisanya hanya Tangier."
Setelah melakukan eliminasi terhadap orang yang akan menjadi korban penyerahan tugasku, aku akhirnya berpikir lebih baik jika aku menyerahkannya pada Tangier. Lagi pula, panti asuhan kekurangan tenaga. Meski bantuan dana dari Kerajaan memang tersalurkan. Tapi aku tahu jumlahnya jauh lebih kecil dari yang seharusnya.
"Semua ini adalah ulah dari bangsawan sialan itu."
@Earthquake masih lanjut kaka, ditunggu ya!
Comment on chapter Prolog