Gadis itu memperhatikan bagaimana Hara memukul bola beberapa kali saat Kemal mulai melambungkannya ke arah cowok itu. Dia melirik jam di pergelangan tangan yang menunjukkan pukul 12 lebih 25 menit. Lima menit lagi bel masuk akan terdengar. Nita di sampingnya asik memperhatikan Taka yang membantu latihan Kemal dan Hara, juga Yugo yang bertugas mengambil bola. Kasihan sekali.
“Mereka gak cape apa, ya?” Nita bertanya pelan sembari menunjuk keempat cowok itu. “Gue aja yang liatnya capek. Apalagi si Yugo, noh, kasian dah. Itu orang gak latihan servis aja, gitu,” cerocos gadis itu, Yura menyetujuinya.
“Kayaknya Yugo punya jadwal latihan sendiri. Lagian ntar sore kan mereka latihan lagi bareng tim mereka,” Yura menengahi, menjawab segala pertanyaan yang ada di benak Nita. Gadis itu tau tentang jadwal latihan Hara yang semakin padat. Hara yang mengatakannya, bilang bahwa mereka nggak bisa pulang bareng sampai Minggu depan, sebelum hari Kartini.
“Oh iya, Ra! Voting puisinya udah mulai, kan, ya?” Nita memastikan ketika mereka berdua, juga empat cowok di belakang mereka, keluar dari lapangan voli.
Yura mengangguk, kemudian membuang botol minuman apelnya dan menyamakan langkahnya dengan Nita. “Pengumuman pas Kartini Minggu depan! Takut gue,” ucap gadis itu, meremas tangannya yang berkeringat.
Hara yang berjalan dibelakangnya menarik rambut pendek Yura, membuat gadis itu mengerang tidak nyaman. “Kalah kok, takut. Inget ya, kalah itu bukan berarti mengalah. Kalah berarti masih ada kesempatan menang di kemudian hari, Sayurrr,” kemudian lelaki itu merangkul Yura, menarik gadis itu agar mendekat, berbisik. “Btw, nanti malam ke rumah, ya!”
Yura menatap Hara, bingung. “Mau ngapain? Bukannya kamu pulang malem, ya?” gadis itu memastikan.
Hara mengangguk. “Iya, aku pulang jam 7 malem. Nyampe rumah paling setengah 8 atau lebih, kamu tunggu aja di taman belakang. Main sama Hani,” katanya, melepas Yura di depan pintu kelas gadis itu. “Sampai bertemu nanti, jelek!” lalu dia pergi bersama Kemal, menuju ruang kelas IPS yang ada di ujung lorong yang berlawanan dengan lorong kelas IPA.
Yura menatap Hara bingung, lantas masuk ke dalam kelas karena dari kejauhan guru Fisikanya sudah terlihat dengan menenteng buku tebal. Pelajaran di jam terakhir sungguh membuat dirinya mengantuk dan ingin cepat-cepat pulang.
***
Sepulang sekolah, Yura pulang menaiki angkutan umum. Sinar matahari sore yang menyengat ditambah harum tubuh para penumpang akutan umum menambah daftar kelelahan Yura. Apalagi jalan raya yang macet, dipenuhi mobil mobil yang berbaris, tidak teratur dengan kendaraan bermotor yang menyelip di antara barisa mobil.
Yura melirik jam tangannya, masih pukul 3 lebih 15 menit. Tapi jalan raya sudah sepadat pukul 5 sore. Terlalu sering naik motor jadi bisa menyelip seperti kendaraan motor yang melintas sekarang, membuat Yura sadar bahwa di pukul 3 sore para pekerja kantoran sudah banyak yang pulang.
Sampai di rumah, Yura langsung menyalakan AC di ruang tamu. Ibunya sudah berangkat tadi pagi, setelah Yura berangkat sekolah. Gadis itu berjalan menuju lemari es kemudian mengambil coke cola dan menenggak isinya.
Yura berjalan ke kamar masih dengan membawa colanya, kemudian merebahkan tubuhnya ke kasur empuk. Ingin tidur, tapi Yura lupa kalau dia mesti menyetrika baju. Pakaian yang kemarin ia cuci sudah diangkat Ibunya kemarin, tapi belum disetrika. Jadilah Yura segera mandi, kemudian turun ke bawah untuk menyetrika paikaian.
Sembari menyetrika, Yura menyetel musik melalui ponselnya, menemani kegiatan menyetrikanya yang terasa sangat lambat dan melelahkan.
Sehabis menyetrika pakaian, gadis itu berjalan ke arah dapur. Sudah pukul 5 sore, sehabis maghrib dia akan pergi ke rumah Hara. Hara yang minta, Yura cuman bisa manut .
Gadis itu mengeluarkan ice cream, menyendokkannya ke arah gelas kemudian memakan ice cream tersebut sembari menonton televisi. Di dapannya tengah ada acara musik, Yura hanya mendengarkan karena sebenarnya dia gak ngerti sama sekali. Ini acara musik Korea, kesukaan Nita.
Tiba-tiba ponsel yang berada di ataas meja di sampingnya berdering, Yura mengangkatnya kemudian membiarkan suara Hara masuk ke telinga kirinya.
“Halo? Udah ke rumah?” terdengar jelas suara pantulan bola voli di seberang sana. Hara masih di sekolah, pasti tengah latihan menservice bola. Lelaki itu masih lemah di bagian service bola, sering melukai kepala pemain terutama Kemal yang sudah dua kali kena service Hara.
Yura menggeleng, ice cream di gelasnya tinggal setengah. “Belum, lah. Nanti abis maghrib aku ke sana. Ini masih istirahat, absi nyetrika baju,” jawabnya, tertegun melihat lelaki tampan di televisi. Walaupun nyanyiannya tidak Yura pahami, tapi tetap saja wajah tampannya mengalihkan dunia Yura.
“Iya, iya. Duh, calon istri yang baik,” ledek Hara membuat Yura mendengus. Emang Yura mau jadi istri Hara?
“Yaudah kalo gitu, aku tutup teleponnya, ya. Masih latihan, nih,” ucap laki-laki itu sebelum sambungan telepon terputus, menyisakan Yura yang sudah menghabiskan ice creamnya dengan acara musik yang masih berlangsung di depannya.
Gadis itu menatap ponselnya, menggeleng tidak mengerti. Kapan ya, Hara berhenti memusatkan perhatiannya ke voli?
***
Rumah Hara selalu terasa hangat ketika menyambut dirinya. Gadis itu masuk dengan Hani yang menarik tangannya, tidak sabar mengajak Yura untuk bermain boneka barbie. Katanya Hani baru saja dibelikan barbie baru, beserta baju-baju yang manis jika dikenakan boneka kesayangannya itu.
“Tadi Mama kamu ada di rumah, Ra?” tanya Mama Hara sembari duduk di dekat Hani. Ikut membantu anak gadisnya memakaikan pakaian ke barbie barunya.
Yura menoleh, kemudian mengangguk. “Iya, Tan. Tapi udah pergi lagi. Minggu depan baru menetap di rumah,” jawab gadis itu, kemudian kembali meladeni Hani dengan segala keaktifannya.
“Kamu hebat ya, Ra,” Mama Hara kembali bersuara, menatap Yura penuh bangga. “Kamu anak tunggal, ditinnggal sendirian di rumah berminggu-minggu. Tanpa pembantu. Cuman sendiri. Emang gak repot, ya, ngerjain pekerjaan rumah sendirian?”
Yura menggeleng sembari tertawa. “Nggak, kok. Dari kecil emang Ibu udah ajarin Yura pekerjaan rumah. Katanya biar Yura mandiri, nggak jadi anak manja,” jawab gadis itu lugas.
Mama Hara tersenyum. “Denger-denger puisi kamu lolos, ya? Minggu depan ada acara Kartini, kan?” wanita itu bangkit meninggalkan Yura yang menatap dengan bingung. Mama Hara kembali dengan membawa setelan kebawa berwarna biru langit, terlihat lembut dan tenang.
Yura menerimanya masih dengan tatapan heran, sama sekali nggak mengerti dengan maksud dari wanita di hadapannya ini. “Ini apaan, ya, Tante? Kok aku malah dikasih kebaya?” tanya gadis itu, merasa tidak enak.
Wanita di hadapannya tertawa kecil, kemudian menoleh ke arah pintu yang terbuka menampilkan sosok laki-laki yang sejak tadi ditunggu Yura. “Itu Hara yang pilihin pas lagi milih kebaya buat Hani, katanya cocok buat kamu,” lalu meninggalkan Yura agar berbicara dengan Hara, menarik Hani agar menjauh dari pasangan kekasih itu. Memberikan waktu untuk keduanya berbicara. Berdua.
Hara menghela napas, senyumnya terbit seiring dengan jantung Yura yang melorot hingga lambung. Rasanya nyeri.
Laki-laki itu menarik Yura, mengajak gadis itu untuk berbicara di taman belakang. Di sana terdapat bola voli yang tergeletak mengenaskan, juga ada sepeda berwarna pink milik Hani yang terparkir di samping kursi taman. Hara mengajak gadis itu untuk duduk di sana, menikmati langit tanpa bintang yang selalu menemani Hara latihan hingga pukul sepuluh malam.
“Kamu suka sama kebayanya?” tanya cowok itu langsung. Melirik Yura yang tengah mendekap pelastik berisi kebaya pemberian Hara, wajahnya memanas dengan memalukan.
Yura hanya mengangguk, dia tidak tau sejak kapan bibirnya malah terkunci.
Melihat gadis di sampingnya mengangguk, Hara menghela napas lega. Dia pikir Yura akan menolak pemberiannya, menyuruh Hara untuk menjual kebaya itu lagi.
“Semangat, ya, buat kartiniannya,” ucap Hara pelan, menarik kepala Yura untuk bersandar di bahunya. Lelaki itu mengusap rambut Yura pelan, menghela napas. “Aku ada pertandingan babak penyisihan kedua, jadi gak bisa ikut kartinian. Mungkin ikut awalnya doang, terus langsung pergi.”
Yura tersentak. Dia meremas pelastik digenggamannya kuat-kuat. Dia pikir acara Kartini yang pertama kali dirasakannya semasa SMA, bersama kekasihnya, akan berlangsung manis sembari menunggu namanya disebut sebagai perwakilan siswa yang akan mengikuti lomba menulis puisi di FL2SN. Tapi nyatanya Hara sama saja, semua selalu tentang voli.
Yura terlupakan.
` “Kamu, nggak marah, kan?” lelaki itu bertanya pada Yura, melirik gadis itu pelan-pelan. Takut jika Yura mengamuk kemudian mencakar wajahnya.
Tapi Yura menggeleng, dia tersenyum. Menoleh pada Hara yang menatapnya. “Nggak, kok. Semangat, ya.”
a.n
Cewek tuh gitu, gak mau jujur :((
@[plutowati wahh emang ku buat manis manis biar abis itu kalian aku kasih pait paitnya dari cerita ini :v
Comment on chapter Prolog