Seusai melakukan double honeymoon di Bali. Izki segera mengajak Calista untuk pulang ke Singapura. Terlebih Izki khawatir akan kedekatan yang terjalin antara Calista dengan Nicho. Izki menghampiri Calista dengan membawa koper hitam dan meletakkannya di atas kasur. Calista tertegun mengetahui apa maksud Izki, namun sesaat Izki langsung menugaskan Calista untuk membantunya membereskan semua barang karena besok jam 7.00 pagi mereka harus take off dari Bali. Calista sangat terkejut, hampir dirinya tak dapat menahan emosi. Namun Izki tak mau kalah, ia berusaha setegas mungkin kepada Calista. Calista akhirnya memberanikan diri menentang Izki. Dirinya merasa tak di hargai karena Izki semena-mena dalam menentukan keberangkatannya menuju Singapura.
?Masa kamu dadakan gitu sih! Hargai aku dong. Harusnya tuh kita diskusi dulu untuk menentukan kapan kita akan pergi dari sini!? Calista kini marah, api amarah meletup-letup di dadanya. Ia hanya membutuhkan pelukan untuk mendinginkan suasana, namun yang diterimanya amarah jua dari sang suami.
?Aku yang suami disini. Aku berhak dalam melakukan apa pun yang aku hendaki! Dan kamu harus nurut sama perintah suami. Lagi pula apa sih alasan kamu segitu kalapnya waktu aku bilang besok kita take off?? Izki mencari alasan di mata Calista. Calista nampak kebingungan untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan dirinya.
?Ya aku kan belum pamit sama Viana dan Nicho,? balas Calista lirih nyaris tak terdengar.
?Oh jadi itu alasan kamu? Kamu membantah perintah suami cuma gara-gara mereka? Iya!? Emosi Izki semakin menggelegar ketika mendengar nama ‘ Nicho ’. Sebenarnya Izki tau, tak bukan dan tak lain lagi pasti Nicholah penyebab kekacauan ini.
?Apa salahnya si aku izin sama sahabat aku? Aku kan sudah lama tidak bertemu dengan mereka,? Calista duduk di kasur, dirinya meneteskan air mata. Calista tak menyangka bahwa Izki segitu kejam dengan dirinya.
?Kenapa kamu menangis? Apa aku salah kalau aku mengajakmu kembali pulang ke Singapura?? nada bicara Izki kini mulai merendah karena melihat Calista menangis. Izki merasa bersalah karena telah melukai hati istri tercintanya, namun dirinya masih tersulut api cemburu.
?Gak. Kamu gak salah. Tapi kenapa kamu gak izinin aku untuk pamit dulu sama mereka?? Air mata mulai bercucuran di pipi Calista. Izki kini melupakan kegiatannya dalam membereskan baju. Izki berjalan mendekati Calista dan duduk disampingnya sembari merangkul Calista.
?Sayang, asal kamu tau. Aku cemburu liat kamu sama Nicho. Aku cuma gak mau kamu kebawa suasana. Aku gak mau kalian saling suka lagi. Ingat ini! Ini benang putih yang menjadi simbol janji suci kita.? Izki berkata dengan nada lembut. Kini lengannya mengusap-ngusap pundak Calista dengan lembut. Serta dirinya memperlihatkan cincin yang melingkar di tangan kiri Calista.
?Ya aku paham maksud kamu. Tapi izinkan aku untuk pamit sama mereka. Aku gak mau hubungan aku dengan mereka renggang lagi cuma karena kesalahpahaman semata.?
Calista bersandar di dada Izki yang bidang. Dirinya merasa lebih tenang ketika bersandar sembari mendapat pelukan. Izki pun mengangguk lembut pertanda memberi izin kepada Calista. Tangan Izki mulai menghapus tiap air mata yang membasahi pipi Calista. Calista lalu membantu Izki membereskan semua barang bawaannya. Mereka terlalu asik dalam packing barang hingga tak terasa kini jam berdenting keras menandakan jam 12 malam. Izki merasa kasihan karena sang pujaan hatinya terlihat sangat mengantuk. Kantung mata yang menghitam seperti panda terlihat jelas di wajah Calista. Izki memerintahkan Calista untuk tidur, namun Calista takkan membiarkan suami tercintanya membereskan semuanya sendiri. Hingga akhirnya mereka merebahkan diri bersama diantara kelelahan yang ada.
Keesokan harinya mereka bangun jam 6.00 pagi. Betapa terkejutnya mereka ketika melihat jam yang terus berdetik tiada hentinya. Calista tertegun, ia menggoyangkan tubuh Izki yang masih berbaring lemas di atas kasur. Calista teriak-teriak sekuat yang ia mampu demi membangunkan suaminya. Izki sangat terganggu oleh seruan-seruan kecil Calista di pagi hari, Izki tak menggubris itu. Namun ketika Calista berteriak bahwa kini sudah jam 6.00, Izki langsung membuka mata lebar-lebar dan berlari ke kamar mandi. Calista menatap Izki dengan heran, setengah mati ia membangunkan dan ketika bangun ia di campakkan sungguh sedih bila di rasa.
Seusai mandi dan mengganti baju, mereka lekas ke kamar Nicho dan Viana. Calista mengetuk pintu kamar itu namun tak ada jawaban. Hingga tiba-tiba ada pelayan hotel yang lewat. Kebetulan di sana terlihat secarik kertas dan pulpen. Entah ide dari mana, Calista memberhentikan pelayan itu.
?Mas saya minta kertas dan pulpennya dong!! Please, ini penting banget!? Calista memberhentikan pelayan itu. Pelayan itu nampak kebingungan namun langsung diberinya pulpen dan secarik kertas. Calista langsung menuliskan sebuah pesan singkat di kertas lalu meletakkannya di bawah pintu yang ia dorong ke arah dalam.
?Makasih banget ya mas!? Calista tersenyum dan bergegas pergi meninggalkan hotel itu. Calista sempat kecewa tak dapat bertatap muka untuk terakhir kalinya dengan kedua sahabat karibnya. Namun waktu terus mendesak dan menghantui dirinya.
?Ayo cepat udah jam 6.25.? Izki menatap Calista yang sibuk dengan handphone di genggamannya.
?Iya iya bentar! Aku mau hubungi Viana dulu biar dia lihat pesan aku!!? Calista merasa tak bersalah akan ucapan itu. Izki lekas meraih handphone dari genggaman Calista.
?Loh kenapa handphonenya di ambil!? Calista menatap Izki dengan kesal. Keningnya berkerut penuh tanda tanya.
?Kamu kan udah ninggalin pesan lewat kertas jadi aku minta kamu stop berhubungan dengan mereka melalui media apapun itu!? Izki mencoba menghapus semua nomor, media social, dan apapun yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara Calista dengan Nicho.
?Ihs jangan di hapus! Kamu kok kejam sih!? Calista mencoba meraih kembali handphone miliknya namun naas, kini handphone itu jatuh tergeletak di lantai. Izki kesal hingga tak memperdulikan handphone itu.
?Tuh taxi-nya udah sampai. Ayo!? bentak Izki menarik tangan Calista. Calista kesal ingin rasanya melepaskan genggaman itu, namun Izki menggenggam tangan Calista dengan sangat keras dan kasar. Calista hanya bisa melihat handphonenya yang jatuh terkapar dari kejauhan.
Izki bergegas menugaskan sang supir untuk meletakkan koper miliknya di bagasi mobil. Izki pun sibuk dengan dirinya yang terus mengekang gerak-gerik Calista. Calista marah, ia menangis, menitihkan air mata penuh kesedihan. Izki tetap memegang erat tangan Calista. Namun Calista melakukan pemberontakan.
?Cepat pak jalan ke bandara!!? Perintah Izki dengan nada tinggi. Sang supir melihat melalui kaca kecil berbentuk persegi panjang yang berada tepat di kepalanya. Sang supir mengangguk namun di dalam hatinya bertanya apa yang sedang ia saksikan saat ini.
?Kamu jahat! Itukan handphone kesayangan aku!?
?Nanti aku beliin lagi. Kamu mau berapa? Aku beliin!!? Izki menatap Calista dengan penuh keangkuhan.
?Aww!! Sakit! Lepas ga!? bentak Calista. Sang supir hanya menjadi saksi bisu diantara mereka.
?Udah jangan nangis! Gak usah kaya anak kecil,? Izki membuang pandangannya ke arah luar sembari meredam semua emosi dan penat yang ada. Ingin rasanya sang supir itu membela Calista yang berderai air mata. namun dirinya tak memiliki keberanian yang besar. Terlebih tugasnya hanya menjadi supir bukan penasehat apalagi penasehat kerajaan. Sesaat suasana di dalam mobil hening, hanya isak tangis Calista yang terus terngiang di telinga Izki. Izki merasa dirinya sangat kejam. Namun Izki melakukan itu semua demi kebaikan hubungan rumah tangga mereka.
***
Hari sudah semakin terik. Izki dan Calista pun mulai kembali menuju Singapura. Begitu pula Viana dan Nicho yang akan berencana balik ke Jakarta. Kini Viana berjalan ke arah pintu untuk mengambil sweater biru yang ia sematkan di paku dekat pintu. Namun langkahnya terhenti ketika melihat secarik kertas yang terbaring tepat di hadapannya. Viana mencondongkan badannya dan meraih kertas itu. Ia bingung hingga kini ia menghampiri Nicho.
?Sayang.. Ini surat apa?? Nicho menoleh sejenak, entah kenapa perasaannya kini mendesak dirinya untuk membaca surat itu sesegera mungkin.
?Mana sini biar aku yang baca!?
Nicho merebut kertas dari genggaman Viana. Perlahan Nicho membuka kertas itu dan membacanya. Seusai membaca, Nicho melihat jam dinding di kamar hotel yang mewah itu. Viana nampak kebingungan melihat ekspresi wajah Nicho yang sangat terkejut. Viana berusaha mendekati Nicho untuk meraih kertas putih di tangan Nicho.
?Ini kamu baca aja,? Nicho menjulurkan tangannya untuk memberikan kertas itu. Viana membaca dengan seksama setiap kata yang tertulis. Viana tiba-tiba meneteskan air mata. Nicho tertegun menatap istri tercintanya menitihkan air mata.
?Kamu kenapa sayang?? tanya Nicho dengan nada lembut sembari mengusap pundak Viana.
?Aku sebel sama Calista!! Kenapa dia dengan cepat meninggalkan kita!? Viana melepas kertas itu, membiarkannya terbang ke lantai. Dirinya kini rapuh, lunglai tak berdaya. Ia menghempaskan dirinya ke kasur untuk duduk sejenak meluapkan air mata yang tak dapat terbendung lagi ketika membaca untaian kata di surat itu.
?Pasti ada alasan lain sayang. Udah kamu ga usah menangis. Suatu saat pasti kita akan bertemu lagi.? Nicho menenangkannya dengan menghapus air mata Viana.
Seusai bercakap-cakap mengenai surat itu. Viana dan Nicho segera merapikan barang dan check up dari hotel. Mereka berjalan bersama beriringan menuju lobi hotel. Namun ketika sampai di depan pintu utama hotel itu, pandangan Viana tertuju pada sebuah benda. Benda yang tergeletak tak jauh dari kakinya. Viana mencoba mendekati benda itu dan segera mengambilnya.
?Sayang? Inikan handphone Calista,? Viana memperlihatkan i-phone yang kini sudah usang. Layarnya sudah retak tak beraturan. Namun penampilannya tetap menawan disertai casing handphone yang indah nan lucu yang membalutnya.
?Oh iya! Inikan handphone Calista. Kamu dapat dari mana?? pandangan Nicho langsung tertuju pada handphone itu. Sebuah tanda tanya besar terngiang di kepala Nicho. Sebenarnya apa yang terjadi kepada Calista sehingga ia meninggalkan jejak berupa surat dan handphone yang rusak.
?Itu tadi aku liat di samping pot bunga itu. Handphonenya tergeletak begitu saja.? Viana menunjukkan arah dimana ia menemukan handphone milik Calista. Nicho semakin curiga dan bertanya-tanya dalam hati. Seakan semilir angin berbisik lembut sebagai pertanda, ada kejadian nyata yang tak terduga.
?Oh gitu yaudahlah simpan saja handphone itu. Siapa tau suatu saat di butuhkan.? ucap Nicho spontan tanpa menyadari arti akan pernyataannya.
?Maksud kamu?? Viana menatap Nicho dengan muka polosnya. Viana tak mengerti atas perkataan yang telah dilontarkan oleh Nicho.
“Enggak apa-apa, abaikan saja. Yaudah mana sini biar aku yang simpan,? Nicho merebut handphone itu.
Setelah sekian lama menunggu, akhirnya taxi pesanannya datang. Mereka bergegas menuju taxi untuk kebandara dan segera kembali ke Jakarta. Ketika di pesawat, batin dan pikiran Nicho saling bertautan satu sama lain. Sebuah tanda tanya besar terus memenuhi kepalanya. Menyesakan dada dengan penuh dilema. Berjuta jejak yang ditinggalkan Calista, hanya berupa serpihan yang mungkin saja akan menjadi suatu jawaban bila disatukan.
Dibalik itu semua, Nicho kecewa akan kepergian Calista untuk yang kedua kalinya. Nicho pun bertekad untuk mencari tau keberadaan Calista serta mencari tau kebenaran dibalik jejak-jejak itu. Nicho juga mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa ia mencintai Viana. Sebab seketika, semua rasa itu hilang saat dirinya memeluk erat Calista di pantai malam itu.
***
Kini Nicho kembali menjalani harinya bersama Viana. Tentunya tanpa ada Calista di sisinya. Pertemuan itu sangat singkat. Nyaris tak terasa. Semua hanya bayang semu bagi Nicho. Kini di saat dirinya termenung di hadapan laptop, tiba-tiba saja sebuah email masuk. Dengan gerakan lambat ia membuka email itu, terlebih koneksi internet sedang buruk karena baru saja hujan yang melanda sekitar rumahnya usai. Nicho tertegun ketika di dapati oleh sepasang matanya bahwa email itu ialah surat undangan reuni.
Dengan refleks, Nicho berseru pada Viana. Lekas Viana menghampiri dirinya dengan membawa secangkir teh hangat untuk Nicho. Viana terkesima menatap surat digital itu, terngiang jelas di benaknya akan pertemuan yang selama ini dinanti. Betapa bahagianya bila bertemu dengan teman seperjuangan yang kini sudah memiliki jabatan masing-masing. Keharuan, canda tawa, kesedihan akan melebur bersama di antara insan yang membayangkan sebuah kenangan.
?Gimana? Kita ikut?? Viana menatap mata Nicho dengan tatapan hangat. Seolah minta persetujuan atas surat itu. Nicho mengangguk pelan. Dirinya tak sabar menanti hari itu.
Seusai membaca surat itu, Viana segera mengajak Nicho pergi ke mall untuk membeli beberapa barang kebutuhan rumah tangga. Nampaknya Nicho sangat malas karena kondisi jalan yang sangat riweh. Terlebih genangang air yang terhampar di hampir setiap sisi jalan memperkuat alasannya untuk tetap tinggal di rumah. Viana tak mau menerima alasan apapun, apa yang di inginkannya harus di lakukan sebelum ia bercerita sepanjang kereta dengan kecepatan mobil balap.
Sejak menjadi ibu rumah tangga, Viana terbawa oleh naluri keibu-ibuan yaitu suka bercuap dan selalu memikirkan persediaan di dapur. Dengan terpaksa, Nicho menuruti permintaan istri tercintanya. Sudah 15 menit berlalu, Nicho yang sedari tadi duduk di pekarangan rumah menanti istrinya mulai jenuh. Viana terlalu sibuk menata diri, sementara mereka hanya ingin belanja bukan bertamasya.
Suara jangkrik di pagi hari inipun semakin memperlengkap keadaan yang membosankan. Seakan Nicho sedang diajak bercakap oleh jangkring yang berderik nyaring. Anjing milik Pak Surya tetangganya pun masih meringkuk di depan pintu. Hewan pun tau mana waktu berjaga, mana waktu terjaga.
Nicho semakin jenuh, dirinya berkali-kali membolak-balikkan koran yang ada di tangannya. Ia tak menemukan satupun topik bacaan yang menarik, lagi-lagi berita kacangan tentang pembunuhan. Lelah. Lelah dengan dinamika hidup yang tak jauh dari tindak criminal dimana-mana. Nicho pula lelah jika terus menunggu selama sejam. Kini akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke kamar, merebahkan diri dan bersandar di antara bantal yang memanjakannya. Tak lupa pula selimut yang menghangatkan tubuhnya terus terbayang di benaknya. Ketika dirinya hendak bangkit dan berjalan ke arah kamar, Viana mengejutkannya.
?Hei mau kemana kamu? Ayo pergi!? Nicho tertegun, ia menepuk keningnya dengan cukup keras. Seakan jiwanya berteriak ? LEPAS!! LEPASLAH AKU ? namun apalah daya bibir tak berani berucap.
?Tadinya aku mau tidur lagi abis kamunya lama.?
?Oh gitu! Yaudah gak jadi!?
Tiba-tiba saja Viana memutar badannya dan kembali berjalan ke dalam rumah. Sungguh, sungguh Nicho cemas akan peristiwa kala itu. Nicho segera mencegah langkah kaki Viana dengan memegang erat tangannya dan berbisik lembut. Viana luluh, ia tak bisa melawan ego di dalam dirinya. Dengan cepat ia lekas menuju mobil dan duduk di samping Nicho. Nicho menghela nafas lega, ia tak tau jika Viana marah akan ada perdebatan seperti apa lagi. Akankah dirinya harus berpuasa karena tak mendapatkan sarapan pagi ataukah rumah berantakan karena Viana marah dan tak peduli dengan apapun. Nicho angkat tangan dengan istrinya, bila marah seperti anak kecil. Tak sanggup lagi menghadapi kelakuan nakalnya.
?Nic, Nicho!? Viana berteriak menghamburkan lamunan Nicho. Dirinya memasang muka marah. Ternyata sedari tadi Viana memperhatikan raut wajah Nicho yang berubah-ubah mulai dari kesal, tersenyum, hingga gelisah.
?Apa sayang??
?Belok! Kamu kira kita mau belanja dimana?!? Tegas, nada bicara Viana sungguh tegas. Menyiratkan beribu kekesalan di dada yang menggebu kencang.
?Iya sayang.?
Tibalah mereka di pelataran mall, Nicho menebar pandang. Mengejutkan, sungguh mengejutkan. Di saat suasana dingin dan lembap, banyak orang yang sibuk berlalu lalang di pusat perbelanjaan. Entah mereka memang gila belanja atau pula karena ada urusan mendadak tapi itu sungguh padat merayap. Nicho pula hanya ingin memarkir—kan mobilnya harus menunggu antrian yang panjang.
Akhirnya setelah berhasil memarkirkan mobil, Nicho segera mengajak Viana keluar. Viana menggandeng mesra tangan Nicho dan berjalan beriringan di tengah padatnya pengunjung. Semakin erat tangan Viana menggamit tangan Nicho ketika mereka memasuki salah satu toko yang menyediakan semua kebutuhan hidup. Viana menatap troli sebagai pertanda Nicho untuk membawanya. Nicho sudah paham atas semua kode mata yang Viana sering lakukan di rumah.
?Kita mulai belanja apa??
Tak ada jawaban, hanya saja Viana melepaskan tanggannya dan berjalan ke arah sederetan rak berisi mie. Dengan cekatan, Nicho mengikutinya. Saat mereka berkeliling, Nicho merasa sedang di perhatikan. Entah dengan siapa yang pasti setiap dirinya melempar pandang tak ditemukan seorangpun yang ia kenal. Dengan sangat penasaran, Nicho mencoba berjalan ke arah dimana dirinya merasa ada yang memperhatikan.
Namun ketika ia baru saja melangkah sebanyak 3 langkah, Viana pergi meninggalkan Nicho. Nicho terkejut ketika balik badan ia tak menemukan sesosok Viana. Nicho kelimpungan mencari Viana kesana-kemari. Sudah berkali-kali ia melewati sederetan rak mie namun tak kunjung di temuinya Viana. Ia kini mencoba berjalan ke rak berisi kosmetik dan alat kecantikan lainnya, namun tiba-tiba saja seseorang menabraknya dari arah samping.
?Duh, Bro! Kalau jalan yang bener dong!!? Nicho menghardik orang itu tanpa menatapnya secara langsung. Orang itu sungguh bersalah, ia menatap Nicho tiada hentinya. Nicho sangat risih oleh orang itu lantas Nicho bersungit pergi tanpa menoleh sedikitpun. Orang itu sungguh merasa terabaikan.
?Nicho!!?
Langkah kaki Nicho terhenti. Ada seseorang memanggil namanya. Jangan-jangan itu ialah orang yang sedari tadi mengintainya. Dengan cepat Nicho memutar badannya, nampak Ferrel sedang berdiri di hadapannya. Nicho sangat terkejut. Tak menyangka bahwa orang yang baru saja menabraknya ialah Ferrel.
?Ferrel!? seru Nicho menatapnya tak percaya.
?Hei, apa kabar Bro?? Ferrel menghampiri Nicho yang masih termenung.
?Ya seperti yang lu lihat,”
?Oh ya lu kesini sama siapa? Sama Viana? Lu nanti ikut reunian, kan?? Ferrel mencoba mencari-cari seseorang yang pergi bersama Nicho. Namun tak di temui siapapun di sana.
Tiba-tiba saja Viana menghampiri mereka dengan menekuk muka. Nicho kaget melihat Viana yang tiba dengan seabrek belanjaan di kedua tangannya. Viana menatap Nicho sinis namun sekilas, lalu detik berikutnya ia membanting semua belanjaan itu ke dalam troli. Dengan cepat ia menatap Ferrel yang sedari tadi memperhatikannya sembari melempar senyum. Viana mencoba memecah ketegangan yang ada dengan sedikit canda ria.
Ferrel terkejut ketika melihat jam yang melingkar di tangan kanannya, dengan cepat ia pamit pergi dengan sangat tergesa-gesa entah apa yang kini mendesak Ferrel untuk pergi, yang pasti ia sungguh tergesa oleh waktu. Nicho kini mengikuti Viana berjalan ke arah kasir dan membayar semua barang belanjaannya. Setelah mengantri sekian lamanya, akhirnya tiba mereka pada jalanan yang ramai. Dingin. Suasana di mobil sangat dingin. Memecah keheningan sungguh hal yang rumit. Nicho tak dapat berkutik dengan kata-kata. Ia hanya dapat menikmati waktu yang terus berputar tiada hentinya.
***
Setelah penantian beberapa hari, akhirnya tibalah saat dimana mereka akan menghadiri acara reuni. Akan ada banyak kebahagiaan yang tergambar. Itulah ekspetasi Nicho di dalam benaknya.
?Sayang ayo cepat dong!! Udah jam 7 nih!? Viana menatap jam hitam mungil yang melingkar di lengan kirinya. Dirinya cemas akan keterlambatan mendatangi acara tersebut. Terlebih desakan macetnya kota Jakarta membuatnya terus dihantui rasa ketakutan. Viana tak ingin melewati setiap kesempatan yang ada.
?Iya sabar sayang,? Nicho mencoba meraih dasi merah yang kini ia coba kenakan. Tangannya sangat ahli dalam menggunakan dasi dengan waktu yang singkat. ?Yaudah ayo!? sambungnya.
?Ish tunggu sebentar! Kurang rapih tau.? Tangan Viana membenarkan posisi dasi sehingga membuat Nicho lebih menarik. Nicho sangat senang akan perhatian kecil yang diberikan oleh istrinya itu.
Mereka bergegas menuju tempat itu. Selama diperjalananpun Nicho memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Viana terus melirik jam tanpa henti. Hingga tiba mereka pada sebuah pekarangan cafe. Disana terlihat sebarisan mobil mewah dan antik. Namun tetaplah mobil Nicho yang paling mewah dari yang lain.
Nicho sekarang sudah sukses, bisnis yang ditekuninya sejak keluarganya dilanda krisis ekonomi kini menghasilkan buah termanis dan terindah. Kini Nicho memiliki perusahaan sendiri dan ia memegang seluruh saham yang ada. Sungguh hebat sosok Viana yang dapat menemani dirinya dari kecil hingga sukses seperti saat ini. Viana pula lah yang berhak menikmati hasil dari jerih payahnya mendukung Nicho tiada henti.
Ketika memasuki cafe, Nicho dan Viana nampak kebingungan. Tak ada seorangpun yang mereka kenal. Mereka terus melempar pandang kepada setiap orang hingga pandangan Nicho terpusat oleh seorang waitress.
?Misi mba ini acara reuninya dimana ya?? Nicho melihat pemandangan cafe yang bernuansa romantis itu. Dengan tatanan cafe yang di dominan warna pink dan iringan musik romantis semakin mempercantik suasana malam itu.
?Oh itu berada di outdoor mba. Silakan menuju pintu putih disebelah sana.? Waiterrs itu menunjuk salah satu pintu di sudut cafe. Pintu itu menarik, berpilin kayu putih dan beberapa daun serta bunga sebagai pelengkap. Nampak indah nan eksotis bila di lihat.
?Oke, terima kasih.? jawab Nicho lekas mereka berdua melenggang pergi meninggalkan waitress itu.
Ketika sampai di pintu, Nicho dan Viana terkejut melihat pemandangan alam yang terhampar jelas di depan mata. Reuni ini benar-benar berbeda! Tak ada balon, kolam renang, dan aksesoris semata. Ini benar-benar indah. Taburan lampion cantik menghiasi langit yang gelap. Rerimbunan pohon memberi kesan yang berbeda. Beberapa meja putih berhias lilin cantik membuat suasana semakin terasa hangat. Sederhana namun terasa mewah. Itulah yang tergambar ketika melihat suasana disana.
?Kita kesana yuk?!?
Viana menunjuk salah satu arah. Nicho segera mengikuti langkah kaki Viana. Di sana terlihat Ara dengan baju yang sangat sederhana, serta Ferrel dan Erlangga kedua sahabatnya yang kini tak kalah sukses dengannya. Dengan cepat, Nicho menggamit tangan Viana sembari berjalan mendekati Ara. Tangan Viana melingkar dilengan kiri Nicho. Sepasang kekasih itu berjalan dengan tegap dan memukau seluruh mata. Mereka sangat cemerlang, pakaian yang dipakai mereka sangatlah mewah.
?Oh hei, Bro!? seru Ferrel sontak membuat Erlangga dan Ara menengok ke arah yang sama. Nicho! Kini semua mata menatapnya serentak. Seolah semua terkejut melihat pakaian yang digunakan oleh Nicho dan Viana.
?Hei, Bro!? Nicho menatap ke arah kedua sahabat karibnya. Senyum manis tergambar jelas diwajah Viana. Viana senang dapat berkumpul lagi dengan mereka.
?Lu kok datang berdua??Ara mengernyitkan alisnya. Ara merasa tertandingi dengan keberadaan Viana disisi Nicho.
?Kenapa? Ada yang salah?!? Nicho berusaha menjawab pertanyaan Ara sebelum Viana menjawabnya.
?Ada. Karena kalian datang berdua!?
?Lah, kenapa? Merekakan suami istri! Lu ga berhak marah!! Hahaha.? ledek Ferrel kepada Ara. Ara tertegun, dirinya merasa orang yang sangat ketinggalan informasi. Dirinya malu namun ia menutupi itu semua dengan kesombongannya.
?Oh gitu,? Ara menatap tajam Viana. Viana hanya membalasnya dengan senyuman.
?Oh ya, lu kenapa berpenampilan seperti itu?? Nicho menukik tajam Ara.
?Gua si gak mau dikata sombong kaya lu!!? Ara mematahkan kalimat Nicho padahal dirinya jatuh miskin. Dunia berputar itulah hal yang ada di benak Ara ketika memandang Nicho dan Viana yang kini kaya raya.
?Oh gitu, baguslah.? Nicho hanya tersenyum dengan menampilkan sebaris gigi putih nan cemerlang miliknya.
?Iya!!? Ara mendengus kesal.
Acara berlangsung secara meriah. Canda tawa tergambar jelas disana. Suasana yang dingin menusuk tulang kini berubah menjadi hangat ketika semua berkumpul menjadi satu. Tak ada kesedihanpun yang terasa. Hanya kebahagiaan semata yang menyelimuti atmosfer acara itu.
***
?Ferrel!! Gua boleh pulang bareng lu ga?? Ara menahan tangan Ferrel. Ferrel menengok ke sumber suara. Dirinya penasaran siapakah sosok yang baru saja menahan dirinya untuk pergi. Ketika Ferrel mendapati wajah Ara, Ara terlihat tersenyum manis di hadapan Ferrel. Ferrel bertanya-tanya dalam hati apa maksud Ara mendekatinya.
?Lu gak bawa mobil?? Ferrel seolah menjebak Ara dengan pertanyaannya. Namun Ara tak kalah pintar dengannya sehingga ia berusaha mencari beribu alasan.
?Engga tadi gua ke sini dianterin bokap soalnya mobil gua lagi di bengkel.?
Ara memasang wajah sok imut. Berharap akan mendapati simpati dari cowok di hadapannya. Dengan menghela nafas akhirnya Ferrel menyetujui permintaan Ara karena Ferrel tak akan membiarkan cewek secantik Ara pulang sendirian di tengah gelapnya malam. Dengan semangat Ara segera menggandeng Ferrel dengan manja. Entah apa tujuan Ara, yang ada di dalam lubuk Ferrel hanya kesenangan semata.
?Oh, ceritanya ada yang abis reunian terus jadian?? ledek Viana ketika di parkiran cafe. Sontak Ferrel dan Ara menoleh cepat. Ara menatap Viana dengan tatapan sinis.
?Iya dong!!? jawab Ara cepat sebelum Ferrel menjawabnya. Mimik wajah Ferrel kini berubah menjadi tak enak. Dirinya tak ingin ada fitnah diantara mereka. Namun Ara malah bersikap sok manis dihadapan Viana dan Nicho.
?Oke, selamat ya, Bro!!? ucap Nicho kepada Ferrel. Lekas Nicho memasuki mobil mewahnya. Begitupula Ferrel dan Ara.
Seketika suasana di dalam mobil hening. Ferrel sibuk menatap jalanan kedepan. Sementara Ara sibuk memperhatikan Ferrel secara diam-diam. Ara tak kuasa dengan suasana yang sangat hampa sehingga ia berusaha menghangatkan suasana. Ara mencoba mengusik Ferrel dengan nada lembut. Seakan nada itu penuh rayuan. Ferrel sontak terkejut dan memalingkan wajahnya dari jalanan.
?Ada apa?? Ferrel menatap erat mata Ara. Ara terlihat berbinar. Entah apa yang kini sedang berada di pikirannya.
?Gua mau curhat boleh ga?? Ara memasang wajah khawatir. Kini mukanya berubah menjadi sendu. Ferrel merasa iba melihat wajah cantik Ara yang seketika berubah menjadi murung.
?Boleh ada apa?? Ferrel terus menatap Ara tanpa henti, serta sesekali menghadap jalanan kota Jakarta yang macet. Meskipun sudah malam, tak hentinya kota ini untuk terus bekerja. Tak ada ikatan waktu yang memaksa mereka semua untuk berhenti.
"Sebenarnya gua lagi ada masalah.? Ara seolah meminta perhatian lebih dari cowok yang duduk disampingnya.
?Masalah apa? Apa yang bisa gua bantu?? Ferrel menjawab dengan hati tulus. Tak ada maksud lain selain membantu.
?Jadi gua tuh disuruh bokap gua untuk cari uang sendiri. Selama ini gua terlalu hamburkan uang dia. Gua tau gua manja, oleh sebab itu dia mau gua mandiri. Tapi gua harus kerja apa dan dimana??
Ara mengutarakan apa yang selama ini menjadi permasalahan hidupnya. Itu semua hanya kamuflase. Kenyataannya ia jatuh miskin. Ia harus mencari uang sendiri untuk menafkahi dirinya sendiri. Begitupula dengan mobil, mobilnya kini habis terjual. Semua benda berharganya sudah terkuras habis. Hingga kini penampilannya pun tak secemerlang masa lalu.
?Oh gitu. Dimana ya gua bingung. Oh ya, itu Nicho!! Dia butuh karyawan terakhir kali gua bahas bisnis tadi.? Ferrel menatap Ara. Wajah Ara berubah menjadi berseri. Inilah hal yang ditunggu-tunggu bagi dirinya.
?Oh ya? Tapi masa iya gua kirim lamaran sendiri kan ga mungkin. Nanti yang ada Nicho malah ngerendahin gua,”
?Apa perlu gua bantu?? Ferrel terus berusaha membantu Ara. Tanpa Ferrel sadarpun ia kini terjebak dalam permainan Ara.
?Perlu. Tolong ya!!?
?Yaudah besok kita ketemu lagi sekalian bawa surat lamaran lu. Nanti kita ke kantor Nicho bareng ya.? Ferrel kini menepikan mobilnya pada sebuah jalan. Ferrel ingat sekali bahwa rumah mewah itu milik Ara. Namun kini rumah itu telah berpindah tangan. Rumah Ara kini berada di belakang perkomplekan itu.
?Oke deh. Makasih ya.? Ara lekas mencium pipi Ferrel sebagai tanda terima kasihnya lalu lekas turun dari mobil mewah itu. Ferrel terlihat senang. Entah kenapa dirinya kini terhasut oleh sikap manis Ara di hadapannya.
Ketika keesokan harinya, Ara lekas bergegas berjalan menuju rumah mewah itu. Ara tak ingin Ferrel curiga jika melihat dirinya tak kunjung datang hingga dia betekad untuk sampai sebelum Ferrel datang. Namun ketika dirinya hendak berbelok arah dari pertigaan yang tak jauh dari rumah mewah itu. Ara melihat mobil Ferrel melintas di hadapannya. Ara semakin mempercepat gerakan kakinya. Dirinya tak ingin ada kesalahpahaman diantara mereka.
?Eh Ferrel, ayo!!? Ara menatapnya dengan wajah lesu. Pipinya memerah karena kelelahan berlari. Ferrelpun terus bertanya-tanya dalam hati kenapa Ara seperti orang yang baru saja di kejar hantu.
?Yaudah ayo.? Ferrel mengajak Ara untuk memasuki mobil mewahnya. Lekas Ferrel langsung memacu mobilnya hingga berada tepat di kantor mewah milik Nicho. Kantor itu sangat besar, luas dan menjulang tinggi ke angkasa. Ara takjub melihat keindahan serta kemewahan kantor milik Nicho.
?Yakin ini kantor milik Nicho?? ucap Ara ketika mereka sampai pada lantai dasar. Ara memandangi sekeliling ruangan yang nampak mewah. Beberapa karyawan pun terlihat sangat ceria. Kebahagiaan dan kedamaian di dunia kerja itulah yang sangat tergambarkan jelas disana.
?Iyalah!! Yaudah ayo kita langsung ke ruangan Nicho.? Ferrel memasuki lift sembari menekan tombol 7. Ruang utama Nicho berada di lantai 7 sebab dirinya menampatkan ruangan di tengah agar dapat mengamati para karyawan yang berada di lantai atas dan lantai bawah.
?Permisi pak, dengan siapa? Ingin bertemu dengan pak Nicho?? Asisten khusus Nicho lekas memberhentikan langkah mereka serta menanyakan siapakah mereka dan apa tujuan mereka datang.
?Saya Ferrel sahabat Nicho.?
?Oke sebentar ya,? ucap perempuan itu dengan ramah. ?Silakan masuk.? sambungnya.
?Eh, hai Bro!? Nicho menyambut Ferrel dengan hangat sembari bersandar di kursi pribadinya. Namun seketika mukanya berubah, dirinya lebih terfokus oleh Ara yang kini berdiri tegap di belakang Ferrel.
?Hai Bro!? jawab Ferrel seakan tak ada Ara disana.
?Eh bentar! Lu ngapain ke sini? Sama Ara lagi?? Nicho langsung menanyakan maksud dari kedatangan mereka tanpa basa-basi.
?Ada yang mau gua omongin sama lu,? Ferrel berbisik kepada Nicho. Dengan cepat, Nicho mempersilakan mereka duduk dihadapannya.
“Thank you, Bro!? Ferrel mengembangkan senyuman diwajahnya. Kini hati Ara semakin berdegup kencang. Dia terus berfikir untuk menjawab semua pertanyaan yang akan dilontarkan oleh Nicho.
?Jadi ada apa?? Nicho membenarkan posisi duduknya. Meletakkan kedua tangannya di meja serta menatap Ara dan Ferrel secara bergantian.
?Jadi gini, Ara tuh lagi di kasih tantangan sama bokapnya untuk hidup mandiri. Dia disuruh cari penghasilan sendiri. Yang gua tau lu butuh asistenkan?? Ferrel mengutarakan maksud dan tujuannya datang ke kantor Nicho. Nicho menghela nafas sejenak.
?Oh itu permasalahannya! Emm ? oke lah boleh gua liat surat lamaran lu?? Nicho menatap Ara lekat-lekat. Dirinya sedang memperhatikan setiap gerak gerik Ara. Ara lekas memberikan surat lamarannya kepada Nicho.
?Oke, lu gua terima sebagai asisten pribadi gua mulai besok. Semua peraturannya silakan dibaca. Serta tolong tandatangani surat ini!!? Nicho memberikan map biru dan pulpen kepada Ara. Tanpa fikir panjang Nicho menerima tawaran itu. Ini sebuah bentuk kepedulian Nicho kepada mantan kekasihnya sekaligus membantu Ara berubah menjadi pribadi yang lebih baik.
?Sudah.? Ara mendorong map itu kedepan Nicho. Sesaat Nicho memperhatikan apakah Ara sudah mengisi semuanya atau belum. Seusai itu Ferrel segera pamit. Ara sangat senang dirinya dapat dengan mudah diterima. Hal yang ia berikan kepada Ferrel sebanding dengan hasil yang diinginkannya. Dengan hal ini pula, dirinya semakin dekat, semakin mudah pula ia melakukan rencananya itu.
***
Ini hari pertama Ara memijakkan kaki mungilnya menjadi asissten pribadi Nicho. Mantan kesayangannya yang sempat ia pandang sebelah mata. Namun kini waktu bergulir, dunia berputar. Kini dirinyalah yang dianggap sebelah mata oleh Nicho. Namun Nicho ialah sosok pria yang dermawan. Dirinya tak ingin dianggap sombong. Nicho menerima lamaran kerja Ara dengan tempat terbaik di sisinya.
?Pagi Nicho,? Ara memberikan senyuman terindah untuk mantan kekasihnya yang kini menjadi atasannya. Ara terus menatap Nicho lalu perlahan berjalan mendekat.
?Pagi! Disebelah sana meja kerja kamu! Disini kamu yang mengurusi semua jadwal saya.? Nicho melirik salah satu meja yang berada tak jauh darinya. Ara hanya menunduk ramah sembari menuju meja miliknya.
Nicho melempar pandangan ke luar gedung. Jakarta! Kota indah berjuta cerita. Tebaran gedung yang menjulang tinggi terlihat dari jendela kaca diruangan itu. Kumpulan polusi yang mengepul hitam menutupi arakan awan biru. Jutaan kaki melangkah diluar sana, hiruk pikuk terlihat jelas dengan diwarnai kendaraan yang terus melaju beriringan. Pepohonan hijau terlihat hanya pada sudut kota. Taman yang menyajikan keindah sejuta pesona yang jarang dijumpai di Jakarta. Namun seketika Nicho terhentak, dirinya merasakan sentuhan hangat dari sosok wanita yang tiba-tiba saja berada disampingnya.
?Nic, lagi lihat apa? Kayanya kamu penat banget hari ini,? Ara menyentuh lembut pundak Nicho. Sentuhan itu penuh perhatian. Sentuhan itu menyertakan beribu kerinduan. Sentuhan itu pula mengandung sejuta makna.
?Ah engga!! Biasa aja si.? Nicho mengelak perkataan Ara. Nicho segera meninggalkan Ara, dirinya lekas menghempaskan diri ke bangku kantor miliknya.
?Gak usah bohong Nic, kamu lagi ada masalah? Coba cerita sama aku.? Ara kini kembali berjalan mendekati Nicho. Dirinya melingkarkan tangannya dipundak Nicho. Ara duduk manis disamping Nicho sembari menghasut Nicho dengan rayuan semata.
?Ga!" Nicho melepaskan tangan Ara yang kini melingkar dipundaknya. Nicho tak ingin menjadikan itu semua menjadi suatu fitnah belaka. Dirinya memberikan kesempatan untuk Ara agar dapat merubah diri menjadi lebih baik bukan ingin mempersulit kehidupannya.
?Kenapa si kamu menghindar? Apa aku salah ngasih perhatian lebih sama kamu?? Ara menatap Nicho dengan duduk dihadapan Nicho. Namun dirinya terlihat tak sopan. Duduk dihadapan Nicho bukan di sofa melainkan dimeja kerja Nicho. Nicho merasa sangat risih akan sikap dan perilaku yang dilakukan Ara, namun dirinya tak ingin melewatkan kesempatan yang ada.
?Ga salah kok. Tapi,? ucapan Nicho tercegat oleh suara. Suara yang membuat mereka menoleh ke bibir pintu.
?Permisi pak? Emm maaf ganggu ? Nanti saya akan coba kembali lagi.? ucap salah satu karyawan Nicho.
?Eh bentar! Kamu gak ganggu kok. Ihs Ara misi!! Silakan masuk,? Nicho menjauhi tubuh Ara dari tubuhnya. Ara segera diri menunduk dan kembali ke meja kerja miliknya. Namun tanpa Nicho tau, Ara menahan tawa atas kejadian yang baru saja terjadi. Nicho terkesan rendah dihadapan karyawannya itu.
?Iya pak,? jawab karyawan Nicho yang bernama Fio. Fio adalah karyawan terbaik Nicho yang menjadi tangan kanan Nicho selama ini.
?Ada perlu apa?? Tanya Nicho dengan suara yang resmi seolah melupakan hal yang baru saja terjadi.
?Ini pak, ada laporan terbaru silakan di lihat.? Fio memberikan seberkas map hijau kehadapan Nicho. Nicho melihat beberapa lembar kerja yang diterimanya. Fio terus bertanya dalam hatinya. Kejadian apa yang baru saja ia saksikan? Fio mencoba melupakan hal tersebut.
?Oke, ini bagus! Oh ya Fio tolong kamu tutup mulut tentang kejadian tadi. Saya tidak mau dengar rumor murahan di kantor ini.? Nicho menatap Fio dengan wajah yang sangat serius. Dirinya merasa sangat bersalah.
?Iya pak baik. Oh ya dia siapa pak?? Tanya Fio tanpa memperdulikan hal yang sedang mereka bicarakan. Fio melempar pandangannya ke arah Ara yang sedang sibuk menata meja kerjanya.
?Dia asissten pribadi saya. Namanya Ara. Baru hari ini dia bekerja,? Nicho memperkenalkan Ara. Fio nampak tersenyum sumringah ketika menatap wajah Ara. Entah apa yang berada di dalam benaknya.
?Oke pak. Saya permisi kembali ke ruangan.? Fio beranjak dari kursinya.
?Silakan. Terima kasih.? ucap Nicho menjawab Fio. Kini Fio kembali ke ruangan miliknya, namun sesaat dirinya melirik ke arah Ara. Ara tau bahwa dirinya sedang menjadi pusat perhatian.
?Ara tolong arsipkan berkas ini!? Perintah Nicho kepada Ara. Ara segera menghampirinya dan mengambil map hijau itu. Ara berlalu kembali ke meja kerjanya dengan lenggokan yang menggoda membuat fokus Nicho menjadi berantakan. Sejenak Nicho menatap lenggokan anggun yang sangat menggoda itu, namun seketika wajah Viana terbesit dikepalanya. Nicho tersadar bahwa ada bidadari cantik dirumahnya yang menanti kehadiran dirinya.
***
Ara kian hari kian memanfaatkan keadaan. Dirinya terus menghasut Nicho dengan lekuk tubuhnya. Nicho sama sekali tak memperdulikan rayuan dari Ara. Namun diam-diam Nicho berperilaku manis di depan Ara. Nicho hanya ingin membalas perilaku Ara yang pernah ia lakukan kepada dirinya.
?Fio, Gua boleh nanya ga sama lu?? Ara mendekati meja kerja Fio. Sekarang memang jam makan siang, oleh sebab itu Ara menyempatkan diri untuk singgah ke tempat Fio.
?Nanya apa?? Fio memusatkan pandangannya kepada Ara. Namun pandangan itu penuh makna. Seolah tak hanya perhatian yang terpancar melainkan hawa nafsu yang tergambar jelas disana.
?Lu dekat, kan sama Nicho?? Ara menaikan salah satu alisnya.
?Iya. Kenapa??
?Mau bantuin gua gak? Mau ya, mau ya.? mata Ara kini berlinang seakan ingin mendapatkan persetujuan dari sosok lelaki dihadapannya.
?Iya ? apa yang bisa gua bantu??
?Sini!!?Ara mendekati dirinya ke telinga Fio. Perlahan Ara berbisik tentang apa yang ia inginkan serta apa rencananya. Fio tertegun, dirinya masih harus mempertimbangkan lebih dalam bagaimana kedepannya.
?Gua fikir-fikir dulu ya,? Fio menolak tawaran Ara secara halus. Namun Ara tau bahwa hanya Fio-lah orang satu-satunya yang dapat melancarkan usahanya itu.
?Ayolah ? Ga akan ada yang tau! Kalaupun ini semua terbongkar gua pasti tanggung jawab,? Ara berusaha meyakinkan Fio. Fio mengangguk perlahan sembari menelan ludah. Fio tau bahwa apa yang akan dilakukannya mempunyai resiko yang sangat besar.
?Tapi inget janji lu! Gua gak mau semuanya berimbas ke gua!? Fio menegaskan kalimatnya. Seolah dirinya takut akan resiko di kedepan harinya.
?Iya pasti. Oke makasih sayang, gua kembali ke ruangan dulu ya,? Ara mencium pipi Fio dengan hangat. Sungguh Fio sangat senang mendapatkan pipinya dicium oleh bibir Ara yang merah merona. Tak ada seorangpun yang mengetahui kejadian itu. Entah sihir apa yang dilakukan oleh Ara sehingga dengan mudah dirinya memikat hati semua lelaki di muka bumi.
Kini Ara kembali ke ruangan. Namun sesaat menutup pintu ruangan mewah itu, pandangan Ara tertuju oleh sesosok lelaki yang sedang sibuk memandangi layar handphone miliknya. Ara segera mendekati Nicho. Tanpa disangka dan diduga, Ara mengambil handphone Nicho.
?Hai ,Nic. Sibuk banget sama handphone ini!! Mending kita have fun!? seru Ara sembari menunjukkan handphone milik Nicho yang kini berada di genggamannya.
?Kembalikan!! Kamu tuh gak sopan banget ya!!? bentak Nicho kepada Ara. Namun Ara menganggap itu adalah candaan belaka. Ara tak perduli akan amarah yang berada di lubuk hati Nicho, yang kini berada di pikirannya hanya bagaimana caranya ia kembali memikat hati Nicho.
?Aduh apa deh kamu.. Akukan mantan kamu, jadi wajar dong!! Oh ya, berantakan tuh dasi kamu sini aku benerin!? tangan Ara kini membenarkan dasi yang dikenakan oleh Nicho. Nicho merasa tak enak hati namun kini pandangan Nicho terpusat oleh dada Ara. Ara sengaja sedikit merunduk untuk memamerkan sedikit lekuk tubuhnya agar Nicho kembali terbawa suasana.
?Udah misi dong!! Kan gak enak kalau dilihat yang lain.? Nicho mencoba menjauhkan diri Ara dari dirinya.
?Tenang Nic, hanya ada kita berdua disini. Percaya hanya ada kita. Jadi kita bebas mau ngapainpun!? Ara terus mencoba menghasut Nicho agar terjebak ke dalam permainannya. Nicho terus meyakinkan hatinya bahwa dirinya tak akan khilaf. Namun kini Ara semakin mendekat dirinya kini duduk manis dipangkuan Nicho. Tangannya melingkar kepundak Nicho. Sesaat Nicho menikmati sentuhan itu hingga akhirnya Nicho menuruti hawa nafsunya.
Kini semua telah berakhir. Sudah dua jam mereka bercumbu bersama tanpa ada seorangpun yang tau. Nicho sangat senang mendapatkan apa yang selama ini ia nantikan. Kembali ke dalam jurang kebodohan yang dulu sering ia lakukan bersama Ara. Begitu pula Ara, Ara sangat senang bahwa Nicho sudah masuk ke dalam perangkapnya.
***
Hari kini sudah larut malam, hingga Nicho harus kembali ke rumahnya dan menemui bidadari cantiknya. Namun ketika Nicho membuka gagang pintu itu, terdengar isak tangis di dalam rumah. Entah berasal dari mana, seisi rumah sepi. Hanya karena ia dan Viana yang mengisi rumah mewah itu. Dirinya bergegas berjalan ke arah kamar. Ketika ia membuka pintu kamar, didapati wajah Viana yang kini lusuh. Viana duduk menyendiri di atas kasur dengan beberapa tissue disekelilingnya. Nicho terkejut, segera ia menghampiri Viana dan memeluknya erat.
?Kamu kenapa sayang?? tanya Nicho dengan penuh ketulusan. Namun Viana melepas pelukan itu. Viana sangat membenci Nicho kala itu.
?Gak usah meluk! Apa ini?!? bentak Viana dengan menyodorkan secarik amplop cokelat besar yang terikat tali merah biru. Nicho nampak kebingungan. Dirinya segera membuka amplop itu. Betapa terkejutnya Nicho ketika mendapati foto mesra dirinya bersama Ara siang itu. Nicho tergelegap. Nicho menghempaskan foto itu ke lantai.
?Ma-maafkan aku. Itu bukan apa-apa! Ini semua cuma salah paham,? Nicho mencoba memegang pundak Viana dan memancing Viana untuk memandang dirinya. Namun Viana membuang muka, dirinya tak kuasa jika harus menatap muka Nicho di saat kekecewaan melanda.
?Lalu apa ini? Ada hubungan apa antara kamu dengan Ara?!?
Viana terus mengalirkan air mata dari kedua bola matanya. Pelupuk matanya tak dapat lagi menahan rasa sesak di dada yang terus menentang dirinya. Viana marah, sangat marah. Bahkan ia kecewa. Perempuan sebaik dan secantik ia tak berhak untuk di sakiti. Dinding hati Viana hancur, luluh lantah berantakan. Hanya tersisa kepingan-kepingan luka yang harus di juntai kembali. Tak ada lagi kebohongan tipu daya senyuman. Semua luntur terhapus air mata.
Kini Nicho mencoba menghapus air mata itu namun ditolak oleh Viana. Setelah dengan mudahnya ia bercumbu, dapat dengan mudah pula ia meminta maaf. Viana jerah, sungguh jerah dengan sikap Nicho yang keluar dari ambang kewajaran. Keluar dari zona aman. Serta keluar dari etika dan perjanjian yang selama ini mereka jaga. Mereka rawat dengan kasih sayang. Mereka bina secara beriringan. Namun mahligai cinta indahnya terhapus oleh desiran luka yang sangat menggetarkan jiwa. Tanpa ada arah mata angin yang jelas untuk mengutarakannya. Desiran angin yang berbisik lembut pun tak dapat menghangatkan suasana.
?Gak ada apa-apa.? Nicho terlihat sangat grogi. Dirinya kaku tak berdaya. Dirinya sangat marah. Siapakah yang berani menghancurkan rumah tangganya. Siapa pula yang melakukan ini semua. Nicho terus bertanya-tanya dalam hatinya. Dirinya bertekad untuk mengusut tuntas semua yang terjadi. Namun dirinya tau bahwa ia lah yang terlena oleh Ara.
?Bohong! Aku benci sama kamu!? Viana menjauhi Nicho. Dengan hati bergetar, Nicho memberanikan diri untuk menjelaskan yang sebenarnya terjadi.
?Maaf ? maafkan aku yang tadi khilaf seperti itu.? ucap Nicho dengan merunduk. Viana menoleh dengan mata terbelalak. Sebegitu beraninya Nicho mengutarakan kesalahannya. Viana semakin membenci Nicho.
?Tuhkan benar! Aku sudah menduga dari awal. Aku ga nyangka kamu setega ini sama aku!!? Viana kini semakin emosi. Dirinya tak dapat lagi membendung emosi serta isak tangis. Nicho merasa sangat bersalah.
?Tapi,? ucapan Nicho tercegat.
?Tapi apa hah?! Intinya kamu udah tega bercumbu dengan yang lain! Kamu tega! Aku benci sama kamu!?
Viana pergi meninggalkan Nicho. Pergi di antara isak tangis yang terus mengalir membentuk sungai kecil bagi para semut. Menangis di antara rinai hujan yang turun membasahi jalan. Beruntung! Viana sangat beruntung dapat menyembunyikan air matanya diantara hujan yang turun berjatuhan. Menebar kebohongan di antara insan yang menatapnya. Namun hati kecil tak dapat di bohongi, sebagian besar orang menatapnya iba di sepanjang jalan. Tertatih memijaki bumi. Tersangkut diantara lara hati. Terbesit di bawah hujan. Menjadi saksi akan bisunya kegelapan.
Nicho hanya dapat memperhatikan Viana dari kejauhan. Ia telah mencoba menahan kepergian Viana. Namun apa boleh buat, rasa kekecawaan yang mengguncang hatinya membuatnya menentang Nicho dengan keras. Tak berperasa, sungguh Nicho tak berperasa meletakan peniti di antara jerami. Sakit. Sungguh sakit bila di bayangkan. Hanya saja tak ada darah yang menjadi saksi. Hanya dinginnya malam, pekatnya malam, serta desiran angin yang menjadi saksi betapa menyedihkannya Viana saat ini. Orang yang sangat suci. Orang yang tak berani mengingkari janji, namun kini ia yang terluka oleh orang terkasih. Nicho hanya dapat kembali dengan penyesalan yang tiada tara. Dirinya merasa sangat bodoh. Dirinya kini sudah terjebak oleh permainan Ara. Kini Nicho membenci dirinya sendiri.