Sepulang dari Cafe Batavia, Ferrel mengantarkan Nicho kerumah Nicho untuk mempersiapkan diri untuk tinggal beberapa bulan kedepan bersama dirinya. Setelah mempersiapkan diri, mereka segera melesat menuju rumah Ferrel. Kebetulan hari itu kedua orang tua Ferrel sedang berada di rumah. Sesampainya mereka, Ferrel segera turun dari mobil dan di sambut hangat oleh pembantu rumah tangganya.
Dengan sigap pembantu rumah tangganya membawakan beberapa barang milik Nicho. Nicho berusaha mencegah namun sayang hal tersebut semakin di persulit oleh Ferrel. Nicho agak ragu untuk memijakan kakinya di rumah Ferrel yang mewah sebab ia merasa malu akan dirinya. Ferrel tersenyum seraya menepuk pundak Nicho dan mengajaknya masuk bersama.
Di ruang tamu ada kedua orang tua Ferrel yang sedang sibuk bercakap-cakap. Ferrel segera menghampiri kedua orang tuanya dan berbisik perihal kedatangan Nicho. Ibunda Ferrel tersentuh, tiba-tiba ia memandang ke arah Nicho dan tersenyum hangat. Di sambut sangat ramah Nicho di rumah itu. Nicho agak canggung, namun seiring berjalannya waktu yang telah mereka habiskan untuk bercanda gurau kini Nicho sangat bahagia. Nicho merasa bahwa ia tak lagi sendirian ataupun kesepian, kini ia telah memiliki keluarga baru. Ferrel sudah menganggap Nicho sebagai saudaranya sendiri.
Ibunda Ferrelpun berinisiatif untuk memberikan Nicho sebuah pekerjaan. Bukan bermaksud untuk menyinggung melainkan menanamkan sebuah peluang usaha kepadanya. Nicho sangat antusias mendengar tawaran yang sangat bagus untuknya. Nicho agar ragu karena ia tak ada bakat di dalam dapur namun tekadnya yang kuat terus mendorongnya agar mencoba sesuatu yang baru.
Sebab takkan ada kesuksesan jika di awali sebuah ketakutan. Orang sukses adalah orang yang dapat melawan semua rasa takut bukan orang yang di pengaruhi oleh rasa takutnya. Itulah prinsip bagi Nicho selama ini, lebih tepatnya sejak ia jatuh miskin sebab ia baru menyadari arti kehidupan yang sesungguhnya.
Dua bulan Nicho menjadi salah satu bagian dari keluarga kecil di rumah Ferrel. Sejak kehadiran Nicho di rumah, Ferrel lebih sering berada di rumah bersama keluarga. Iapun tak pernah melupakan jam-jam mata kuliah yang selalu menjadi rutinitasnya. Pergi dan pulang selalu berdua bagaikan adik kakak yang sangat bahagia. Selama itu pula, Nicho banyak belajar dari Ayahanda Ferrel. Nicho belajar memasak dan menghias makanan, baik yang diluar maupun dalam negeri.
Hingga akhirnya pada suatu hari, Nicho rindu akan sesosok wanita yang selalu menghiasi hari-harinya. Yang selalu memberi warna cerah pada hatinya. Yang selalu memberi perhatian dan kasih sayang yang tulus. Hingga ia tak sadar bahwa Calista telah pergi meninggalkannya tanpa jejak.
***
Kini Nicho mencoba menjalani hari seperti biasanya meskipun bayang-bayang Calista terus menghantuinya. Viana tertegun melihat Nicho yang sedang merenung di pojokan kelas yang gelap dengan seberkas sinar dari balik jendela. Viana mencoba mendekati Nicho dan berusaha membuat Nicho tersenyum. Viana tertegun mendengar alasan kegalauan Nicho selama ini, sepertinya Nicho sangat tak bisa melupakan sosok Calista yang semu. Viana mulai mencoba memberi beberapa isyarat cinta kepada Nicho namun ia tak kunjung paham atas kode cinta yang telah Viana berikan.
?Emm Nic? Emangnya ga ada yang bisa gantiin dia? Ga ada yang bisa hibur lu selain dia?? tanya Viana penasaran.
?Ga ada. Mungkin ada, tapi itu hanyalah kenangan,?
?Memangnya siapa?? Viana menaruh harapan besar melalui tatapan matanya yang berbinar.
?Ara!?
Tiba-tiba sebuah nama terlontar tak terduga dari bibir Nicho. Viana cemburu. Viana putus asa. Selama ini dirinya tak di anggap nyata. Beribu sikap manis Nicho hanya seolah-olah sebagai teman belaka. Viana sakit hati, setelah berjuang segitu hebatnya namun posisinya tergantikan oleh kenangan Nicho di masa lampau. Viana mencoba tersenyum. Dirinya seolah kuat di atas titik kelemahan yang mengguncang hebat tubuhnya.
Dengan senyuman kecut Viana menyarankan Nicho untuk mengejar orang yang ia inginkan. Viana tak ingin Nicho terus tersiksa oleh dilema hatinya yang terus menguntitnya tiap waktu. Merindukan orang yang salah itu menyakitkan. Sebab itulah Viana mencoba mengikhlaskan perasaannya demi kebahagiaan orang yang di cintainya.
Keesokan harinya Nicho mencoba mendekati Ara. Ara merespons baik kedatangan Nicho. Ara mencoba membuka celah hatinya dengan memberikan perilaku manis di hadapan Nicho. Nicho sungguh terbuai di buatnya.
?Ara?,? teriak Nicho sambil berlari kecil mengikuti langkah kaki mungil nan gemulai Ara.
?Kenapa sayang?? Suara Ara sungguh menggoda iman seraya mengibaskan rambut ikal panjang miliknya dan melemparkan sebuah senyuman terindah.
?Kantin yuk?! Ada yang gua mau omongin,? tawar Nicho sedikit gugup dengan kaki sedikit gemetar dan muka berwujud harap-harap cemas karena sudah sekian lama ia tak bertatap muka dengan Ara. Apalagi sedekat itu, hanya sekitar 10 cm diantara mereka.
?Kenapa harus kantin? Hotel aja yuk sekalian having fun. Kan udah lama kita ga main bareng.? Ara menatap Nicho dengan menaikan sebelah alis miliknya. Nicho terlihat kebingungan. Ia ingin sebab sudah lama ia tak melakukan sikap badboynya namun di sisi lain ia masih ingat itikad baiknya untuk berubah menjadi goodboy.
?Emm ? Gi-ma-na ya,? Nicho terbata-bata.
?Ayolah! Ga usah sok alim karena Calista deh. Kan dia juga udah gak ada di sini! Urusan uang biar gua yang nanggung,? ucap Ara dengan santai dan manjanya lalu lekas melingkarkan tangannya di lengan kiri Nicho. Tanpa ba-bi-bu Ara bawa Nicho menjalani koridor campus menuju mobil pink kesayangannya. Nicho terlihat bingung, ia sama sekali belum menjawab pertanyaan Ara. Mukanya terlihat pucat, dengan kaki agak gemetar ia mencoba mengikuti apa kemauan Ara.
Selama di perjalanan, Ara dan Nicho diam membisu. Hanya mesin mobil berderu yang terdengar diantara mereka. Saling melempar pandang namun tak sepatah katapun keluar dari kedua bibir itu. Hingga mereka tak sadar bahwa mereka telah sampai di sebuah hotel mewah di Jakarta. Akhirnya Nicho membuka mulutnya.
“Stop Ra! Kita gak usah ke hotel. Kita ke taman aja,? Tangan Nicho memegang tangan Ara yang sedang berada di stir mobil. Sontak Ara kaget dan menepikan mobilnya. Lalu dengan berat hati Ara mengurungkan niatnya untuk ke hotel dan segera melaju ke taman kota.
Ketika mereka telah sampai di dalam taman, mereka segera menuju sebuah bangku berbentuk dahan kayu yang tak jauh dari pintu masuk. Ketika sampai di bangku itu, Nicho segera mengutarakan apa tujuannya kembali mendekati Ara. Ara menatap Nicho dengan tatapan tak percaya.
?Maaf gua ga bisa balikan sama lu.?
?Kenapa?? Nicho tersentak oleh jawaban Ara yang seketika berubah menjadi judes. Sedari tadi Ara bersikap manis di hadapannya namun kini semua berubah.
?Ya karena lu tuh miskin! Gini ya ? Gua selama ini memang diam. Jauh dari kalian. Tapi diam-diam gua tuh tau informasi dari sana-sini kalau lu ditinggal Calista terus orang tua lu bangkrut. Ibu lu ninggalin lu dan sekarang lu tinggal sama Ferrel. Benerkan??
?I ? Iya lu bener,? Nicho menunduk malu dan kecewa kepada dirinya sendiri.
?Gua tau lu balik ke gua cuma karena kehilangan Calista! Kemarin kemarin pas ada Calista lu yang ninggalin gua! Lagi pula kalau gua jadian sama cowok kere kaya lu mau jadi apa hidup gua nanti?? bentak Ara pada Nicho dengan nada tinggi.
?Ya gua tau gua salah, maaf.?
?Lu jangan salah persepsi ya mengenai gua!! Dengan gua tadi sok ngajak lu ke hotel dan pada akhirnya kesini gua tuh cuma mau nguji lu! Gua udah ga sayang sama lu. Ya lu taukan gua ga bisa hidup tanpa uang. Kalau lu miskin gua gimana? Sorry gua udah tunangan sama cowok yang jauh lebih mapan dari pada lu,? tutur Ara dengan sombongnya.
?Ya gua tau. Yaudah iya makasih atas waktunya.?
?Yaudah kalau gitu udah jelaskan!! Jangan pernah ngusik hidup gua lagi sebab gua udah bahagia dengan kekasih baru gua yang mapan. Udah ah ngapain gua disini cuma buang-buang waktu mending gua balik.? tutur Ara dengan beranjak dari bangku dan segera membuka tas mewah miliknya. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam dompetnya.
?Udah ya gua balik duluan. Nih uang buat lu naik taxi!!? Disodorkan uang 200.000 dihadapan Nicho dengan menggantungkan uang tersebut dengan angkuhnya.
?Ga usah makasih! Gua ga butuh!? Lantas Nicho segera pergi meninggalkan Ara. Nicho sangat malu menjadi pusat perhatian di sana, terlebih kini harga dirinya jatuh di mata Ara. Materi. Itulah yang menjadi persoalan di sebagian besar kalangan masyarakat. Entah keluarga, pertemanan, atau pekerjaan, kerap sekali terjadi perdebatan cuma karena materi semata.
?Ih gila ? Sombong banget lu!! Belagu banget lu!! Miskin aja belagu!? Ara menghardik Nicho dari kejauhan sehingga beberapa orang melirik ke arah Ara. Lekas Ara pergi dari taman dan segera masuk ke mobil pink kesayangannya itu.
Ketika di jalan pulang Nicho sangat marah diperlakukan seperti itu oleh Ara. Ia sadar bahwa dirinya tak kaya, tak mapan, dan ia bersalah tapi ia sangat malu atas kejadian itu. Nicho merasa sangat bodoh dihadapan Ara kala itu. Nicho frustasi dan ia berteriak sekeras mungkin ditengah jalan yang sepi di bawah rimbunan pohon, di kiri kanan jalan. Nicho menendang kaleng kosong yang berada tepat di hadapannya. Lantas kaleng itu menghilang dari hadapannya dan ditangkap oleh seseorang di ujung jalan.
Nicho duduk diantara rerimbunan pohon dan beberapa daun kering yang berguguran. Ia menundukkan kepala di jalan yang sepi nan damai, mencoba menahan emosi yang terus meluap di dalam dadanya.
?Permisi pak. Apakah kaleng ini milik Anda?? Terdengar suara seseorang yang berdiri di hadapannya sambil menyodorkan kaleng yang baru saja Nicho tendang. Nicho terkejut hingga mencoba mengadahkan kepala untuk mencari tau siapakah orang tersebut.
?Vi ?Viana,?
?Iya. Kenapa?? Viana menatap muka Nicho yang lusuh.
?Kok kalengnya ada di tangan lu??
?Ya tadi kaleng ini jatuh persis depan kaki gua, ketika gua melangkah menyusuri jalan ini. Kalau gua gak beruntung pasti gua kena kaleng ini. Sakit loh kalau kena.?
?Maaf ya.?
?Lu kenapa Nic? Ada apa?? Viana serta merta duduk disamping Nicho dan mencoba menenangkan Nicho.
?Gu ?Gua gak berarti lagi ya Vi??
Viana yang mendengar pernyataan itu langsung tertegun menatap Nicho. Kenapa Nicho harus putus asa hingga menganggap dirinya tak berarti? Viana panik, dirinya memberi perhatian lebih pada Nicho. Mencoba membiarkan Nicho bercerita apa yang baru saja terjadi di taman kota. Viana terhenyak, ia tak menyangka bahwa Nicho akan ditolak mentah-mentah oleh mantan kekasihnya. Viana pula berfikir bahwa sikap manis Ara selama ini hanya untuk membalas dendam yang ada. Viana tersenyum menatap Nicho sembari berkata dirinya sangat berarti.
?Ya tapi gua merasa gak berguna banget! Calista! Ara! Semuanya lenyap hilang.. Gak ada satupun orang yang sayang sama gua!? bentak Nicho kepada Ara karena terbawa emosi.
?Ada kok. Kan ada gua, Ferrel, Erlangga yang selalu ada buat lu!? Viana menatap Nicho dalam-dalam.
?Ya tapi kalian hanyalah sahabat! Ga ada yang spesial di hidup gua,”
?Ta ? Tapi??
?Tapi apa??
?Tapi ? Gua sayang sama lu lebih dari seorang sahabat Nic! Gua cinta sama lu. Lu nya aja ga pernah sadar akan perasaan ini. Gua bisa gantiin Ara ataupun Calista di hidup lu. Gua sayang banget sama lu Nic. Please, anggap gua ada. Please, lihat keberadaan gua di sisi lu. Gua yang selalu hibur lu, ada untuk lu setiap waktu tapi gak pernah lu lirik! Lu sibuk mencari yang lain sementara gua di samping lu terus berharap lu merasakan apa yang gua rasakan.?
Viana memeluk erat tubuh Nicho dan mengalirkan tangisan di pundak hangat Nicho. Nicho sangat tertegun mendengar kata-kata yang terlontar dari bibir Viana. Nicho merasakan kehangatan, kenyaman, dan kasih sayang yang sungguh mendalam. Nicho merindukan pelukan tulus itu, hingga Nicho teringat bahwa ia memiliki perasaan pada Viana yang selama ini terpendam. Lekas dilepaskanlah pelukan itu.
?Ma ? Maafkan gua Vi. Gua sibuk mencari yang lain sampai gua lupa bahwa gua punya perasaan yang terpendam sama lu dari dulu. Gua suka dan sayang sama lu dari dulu sebelum Calista pergi. Hingga pada akhirnya kejadian di Cafe Batavia gua milih Calista dan akhirnya gua malah ditinggal pergi. Gua sayang sama lu juga Vi. Ta ? Tapi maaf kita ga bisa bersatu untuk saat ini.? Nicho memegang lembut kedua pipi Viana sambil menghapus air mata yang mengalir di pipinya.
?Kenapa Nic? Kenapa? Setelah sekian lama kita bersama kenapa ga bisa bersatu?? tangisan Viana semakin menjadi-jadi.
?Karena sekarang belum saatnya cantik. Kamu tau kan ayah aku masih di rumah sakit dan kuliah aku sempat terganggu. Aku janji setelah semua selesai kuliah aku akan segera melamar dan menghalalkan kamu Vi.?
Viana menangis kembali karena kebahagiaan. Setelah sekian lama ia menunggu akhirnya mendapatkan jawaban terindah. Viana sangat yakin bahwa rencana Tuhan jauh lebih indah dari rencananya, itulah hasil buah manis dari kesabarannya selama ini. Viana memanglah pantas mendapatkan yang terbaik sebab ia memberikan pengorbanan dan kesabaran yang tinggi.
***
Lima bulan telah terlewati. Nicho mengejar semua mata kuliah dan skripsinya hingga tuntas. Serta Nicho sudah mulai menitih karirnya menjadi seorang wirausahawan. Ayahnya pun telah usai melaksanakan terapi psikis yang telah ia jalani selama ini. Hingga akhirnya Nicho pamit dari rumah Ferrel dan kembali tinggal dengan Ayahandanya di rumah kecil nan mungil.
Ketika mereka sampai di rumah, Nicho mencoba memberikan pengertian kepada Ayahandanya perihal keadaan mereka saat ini. Ayahanda Nicho kini sudah pulih hingga ia dapat menerima semua yang telah terjadi. Nicho pula meminta maaf atas keterlambatannya dalam mengikuti wisuda, namun tak lama lagi ia akan segera mengakhiri masa pendidikannya.
Nicho juga tak lupa untuk meminta izin kepada Ayahandanya perihal rencana yang sudah ia buat. Nicho ingin segera melamar dan menikahkan Viana sang pujaan hatinya. Nicho selama ini merasa bodoh telah mengkhianati hatinya sendiri hingga ia tak mau lagi menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Dengan semangat Ayahandanya menyetujui permintaan izin itu.
Mendengar persetujuan dari Ayahandanya, Nicho sangat senang serasa ingin terbang kelangit ketujuh. Sebab bukan lagi ikatan hubungan biasa melainkan ada ikatan yang kuat yaitu lamaran yang akan ditandai oleh cincin di jari manis Viana. Nichopun perlahan-lahan sedang menabung demi cepat menghalalkan Viana sebagai kekasih hidupnya.
Setelah 3 bulan terlewati, akhirnya tibalah saat dimana graduation tiba. Disana dihadari oleh ribuan mahasiswa-mahasiswi dari berbagai mata kuliah yang berkumpul di gedung megah nan mewah. Semua orang berdandan mewah dengan hiasan warna-warni cerah. Terlebih Viana nampak cantik dengan balutan kebaya pink miliknya yang lembut dan berkilauan.
?Mah,Pah ? Ini Nicho orang yang selama ini aku ceritakan pada kalian,? Viana meggandeng tangan Nicho yang terlihat tampan dengan balutan kemeja merah hati dan jas hitam yang mengkilau.
?Om ?Tante?,? sapa Nicho sopan.
?Oh jadi ini.? Ayahanda Viana berkata sembari menatap Nicho dengan senyuman yang menyiratkan sejuta makna.
?Vi, ikut gua sebentar yuk?!? Ferrel menarik tangan Viana sambil mengedipkan sebelah matanya ke arah Nicho.
?Om ?Tante ? izinkan saya melamar Viana.? Nicho memohon izin dengan memperlihatkan cincin berlian yang sangat indah.
?Ya silakan,? Ayahanda Viana merestui dengan senyuman. Ibunda Vianapun mengangguk lembut.
?Vi?,? Nicho memanggil Viana dengan suara yang lembut lantas Viana mencari ke arah sumber suara.
?Ada apa?? tanya Viana dengan wajah polosnya.
“Would you marry me??
Nicho berlutut di hadapan Viana sambil memamerkan cincin berlian di hadapan Viana. Viana terlihat amat terkejut dan suasana seketika hening. Semua mata tertuju pada sepasang kekasih itu. Beberapa dari penonton tak melewatkan kesempatan itu, mereka lekas mengabadikannya dengan kamera. Viana gemetar tak percaya. Tanpa fikir panjang Viana mengangguk lembut. Sontak suasana menjadi ramai oleh gemuruh tepuk tangan.
?Boleh aku pinjam tanganmu princess?? Viana segera memberikan tangannya di hadapan Nicho. Lalu pindahlah cincin berlian itu menuju ke jari jemari manis milik Viana. Seusai itu dengan tak terduga, Viana dan Nicho berpelukan di hadapan khalayak umum dan kedua orang tua Viana serta Ayahanda Nicho.
Beberapa orang yang menyaksikanpun ikut bahagia. Kebahagiaan menyelimuti keadaan disana. Adapun beberapa orang yang berbisik-bisik pelan didasari rasa iri yang mendalam. Terlebih The Angel menyaksikannya dengan muka yang sangat terkejut. Erlangga dan Ferrelpun tak mau kalah, mereka berduapun ikut berbisik.
?Erlang?,? tangan kanan Ferrel menepuk pundak Erlangga sehingga Erlangga terkejut.
?Kenapa??
?Senang dah gua bisa liat Nicho bahagia,? mata Ferrel menatap Viana dan Nicho yang sedang menjadi pusat perhatian.
?Gua juga!?
?Tapi sayang ya?,? kalimat yang dikeluarkan bibir Ferrel membuat Erlangga penasaran. Lekas menolehlah Erlangga dengan menyerngitkan kedua alisnya.
?Tapi sayang apa? Lu sayang Viana?? tatapan Erlangga sinis menatap tajam Ferrel.
?Ih bukan!?
?Lalu apa?? nada Erlangga sedikit tinggi.
?Sayang gak ada Calista di tengah kebahagiaan ini,? wajah Ferrel terlihat murung ketika menyebutkan nama ? Calista ?.
?Iya ? Gua kangen dia. Tapi apa lu yakin Calista bisa nerima kenyataan ini??
?Maksud lu?? Ferrel terlihat kebingungan.
?Ya lu taukan. Nicho dan Calista tuh saling sayang tapi gak pernah bisa bersatu dari dulu.?
?Iya sih.?
?Nah terlebih kali ini bukan cuma suatu ikatan biasa, melainkan melamar. Berarti Nicho tak lama lagi akan segera menikahi Viana,? Erlangga menatap langit yang biru cerah. Kedua tangannya berada di saku celana bergaya bak eksekutif muda dengan balutan jas mewah miliknya.
?Ya mungkin mereka memang ga jodoh. Kayanya Calista jodoh gua dah!? ucap Ferrel dengan percaya diri yang tinggi. Mukanya ikut menatap langit membayangkan suatu saat nanti akan menikah dan bahagia bersama Calista.
?Hah? Apa lu bilang? Lu masih mendam perasaan sama Calista?? Erlangga mengerutkan dahi dan melempar pandangan ke arah Ferrel yang sedang berkhayal.
?Ya gitu. Gua bingung dah. Kalau Nicho emang beneran sayang kenapa dia gak coba cari keberadaan atau menanti kedatangan Calista??
?Mau sampai kapan Nicho menutup hati? Kasian jugakan dia. Terlebih atas musibahnya yang kemarin. Biarinlah mungkin memang Viana jodoh yang sudah ditakdirkan untuknya.?
?Benar juga si kata lu. Yaudah gua aja dah yang nunggu Calista. Lumayan juga jadi mengurangi saingan terlebih sahabat sendiri.? Ferrel meringis ketakutan atas ekspresi yang akan di berikan oleh Erlangga.
?Hah?! Menunggu? Mau sampai kapan lu nunggu? Dia aja ga ada kabar sama sekali!!? balas Erlangga sinis.
?Yaudah si. Liat aja nanti.? jawab Ferrel dengan angkuhnya.
***
Ditengah kebahagiaan yang sedang dirasakan oleh Viana dan Nicho ada seseorang yang sedang berjuang di negeri sebrang. Tepatnya di Singapura. Berjuang melawan rasa sakit yang begitu hebat hingga harus menjalani perawatan selama 5 bulan. Ya! Tentunya Calista. Ia mengidap kanker dan harus mengalami perawatan hingga 5 bulan.
Calista berusaha menutupi semua dari sahabatnya karena tak ingin mereka khawatir. Hingga akhirnya Calista dapat melewati masa-masa kritisnya dan sembuh dari penyakitnya. Hari ini dokter telah mengizinkan Calista untuk pulang, Calista sangat senang setelah sekian lama menjadi penghuni rumah sakit ia diperbolehkan untuk pulang. Tak lupa pula Ibundanya mengurus segala administari yang ada. Seusai merapikan dan mengurus semua administrasi, Calista dan keluarga kembali kerumah miliknya. Calista melompat ke arah kasur empuk nan nyaman miliknya.
?Mah?,? Calista mulai berbicara sambil menuangkan susu kedalam semangkuk sereal miliknya.
?Iya kenapa?? Ibunda Calista yang sedang membersihkan beberapa buah untuk diletakkan di meja makan lekas menatap lembut anak kesayangannya.
?Kita tinggal di sini aja ya. Aku berencana mau melanjutkan S2 di sini,”
?Kamu ga kangen sahabat-sahabat kamu?? Ibunda Calista menatapnya lembut sembari menata buah-buahan di atas piring cantik yang terletak di tengah meja makan.
?Kangen si. Tapi? Aku mau di sini aja ah.? jawab Calista ceria sembari memakan semangkuk sereal. Calista memilih tinggal di Singapura karena tak ingin mengganggu hubungan antara Viana dengan Nicho. Awalnya ia ingin coba menghubungi salah satu dari sahabatnya akan tetapi ia mengurungkan niatnya karena tak ingin membuat Nicho kembali merindukannya.
?Yaudah iya. Nanti mamah cariin universitas yang terbaik,”
“Thanks mom.? Calista memeluk Ibundanya yang sedang duduk di sampingnya.
***
Sudah 2 tahun berlalu. Calista dan keluarga menempati negeri tetangga. Calista merasa jenuh akan aktifitasnya yang monoton hingga ia mencoba menjelajahi setiap sudut kota. Ia tak ingin melewatkan sedikitpun tempat yang bersejarah di Singapura. Tak lupa, ia mengabadikan setiap momentnya melalui kamera miliknya maupun handphone yang selalu berada di genggamannya.
Di saat ia menyusuri suatu jalanan yang indah, ia melihat ada seseorang yang terkapar lemas tak berdaya. Segera Calista menghampiri orang tersebut. Ketika dilihat, di dapati seorang wanita yang mulai menua dengan balutan kain batik dan tas yang tergenggam ditangannya. Calista mencoba membangunkan wanita itu, namun tak di dapatkan respons.
Calista coba membalikkan badannya dan ditemukan darah di beberapa titik pada bagian tubuhnya. Calista mencoba memeriksa nadi pada tangan dan leher wanita tersebut, ternyata wanita tersebut masih hidup. Calista panik tak karuan. Ia melihat kekanan dan kekiri namun tak di dapatkan seseorangpun kecuali ia dan wanita tersebut.
Hingga pada akhirnya Calista mencoba meraih handphone dari dalam saku jacketnya dan segera menelfon ambulan. Tak lama kemudian, ambulan melesat tepat di depannya lalu berhenti untuk segera memindahkan wanita itu menuju ke dalam mobil. Seusai mengantarkan wanita tersebut ke rumah sakit, Calista segera mengurus segala administrasi dan lekas pulang ke rumah.
Ibunda Calista sudah menantinya sejak senja, ia harap-harap cemas menanti putri kesayangannya tiba di rumah. Sementara yang dinanti malah hadir dengan wajah tak berdosa. Ibunda Calista geram oleh sikap Calista yang pulang sesuka hatinya. Meskipun itu ialah hal biasa di sana, namun tetap saja Ibunda Calista cemas terhadap Calista yang pulang seorang diri di gelapnya malam. Calista segera memberi penjelasan perihal keterlambatannya tiba di rumah. Dengan menghela nafas panjang akhirnya Calista di persilakan untuk istirahat.
Keesokan harinya, Calista berniat sepulang kuliah untuk menuju rumah sakit itu. Calista ingin mengetahui perkembangan wanita tersebut.
“Excuse me.? Calista membuka pintu kamar rawat inap itu dengan sangat lembut dan hati-hati.
“Who are you? Siapa kamu?? Perempuan itu berbicara dengan menyerngitkan dahinya. Calista terkejut karena wanita itu dapat berbicara dengan bahasa Indonesia. Ia sudah menduga sejak awal bahwa wanita itu berasal dari Indonesia, hal tersebut tercermin oleh kain batik yang digunakannya.
?Saya Calista bu. Saya yang kemarin membawa ibu kesini,? Calista menjawabnya dengan ramah dan melemparkan senyuman manis.
?Maaf ? saya tidak tau. Jadi kamu yang membawa dan menolong saya??
?Iya. Ibu, ini saya bawakan beberapa buah-buahan untuk ibu. Semoga ibu cepat sembuh ya,?
?Terima kasih nak. Beruntung sekali saya bisa ditolong dengan orang sebangsa dan setanah air.?
?Haha kebetulan saja bu saya yang dipilih oleh Tuhan untuk membantu ibu. Sebab kala itu jalanan sangat sepi,”
?Sekali lagi terima kasih ya nak.? Wanita itu tersenyum.
?Apakah keluarga atau kerabat ibu sudah tau keberadaan ibu disini??
?Sudah. Semalam saya minta tolong kepada perawat untuk menghubungi keluarga saya,”
?Baik bu, kalau begitu saya izin pulang ya bu. Sudah sore takut terlampau malam.? Calista menatap jam tangan biru yang berada di tangan kanannya. Calista segera mengambil tangan wanita itu untuk berpamitan pulang dengan mencium lembut tangan wanita itu.
?Ibu!!? teriak seseorang dari bibir pintu yang kini terbuka lebar. Muka itu terlihat sangat cemas dan panik melihat Ibunya berbaring lemas di atas tempat tidur. Sontak Calista menoleh karena ingin tau siapakah yang memanggilnya dengan sebutan ibu. Terlebih panggilan itu sangat kental dengan bahasa Indonesia. Calista sangat terkejut tak percaya atas apa yang ia lihat di depan matanya.
?Izki! Sini nak,? Wanita itu memasang wajah sumringah ketika melihat salah satu anak kesayangannya datang membesuk dirinya. Calista masih berdiri tegak menghadap pintu. Dirinya kaku bagaikan patung. Mata Calista memandangi Izki dari ujung kepala hingga ujung kaki untuk memastikan bahwa yang dilihatnya bukanlah sebuah khayalan.
?Ibu ? Ibu gapapakan? Ya ampun Izki khawatir banget sama ibu.? Izki memeluk erat lalu menggenggam kedua tangan ibunya. Izki masih tak sadar bahwa sosok perempuan yang disampingnya ialah Calista.
?Gapapa kok. Ibu bisa disini juga karena bantuan dia. Kalau tanpa dia, ga tau deh kondisi ibu gimana,? Ibunda Izki memandangi Calista yang terlihat sangat pucat. Calista berdiri membelakangi mereka. Sontak Izki penasaran akan sesosok itu. Izki mencoba memandangi wanita itu dari bagian pinggul hingga kewajah. Betapa terkejutnya Izki ketika melihat wajah Calista yang sedang panik. Izki sangat tak percaya apa yang telah ia lihat.
?Calista?!? seru Nicho tergelagap tak percaya.
?I.. Iya.? Calista menjawab dengan ketakutan sambil menggigit bibir merah merona miliknya.
?Calista!? Izki memeluk Calista dengan erat. Izki sangat merindukan sosok itu. Entah bagaimana, takdir telah mempertemukan mereka kembali di tempat yang tak semestinya tak pula romantis. Walau bagaimanapun Izki sangat bahagia dapat kembali memeluk Calista.
?Iz? Izki!! Ga enak itu ada ibu kamu,? Calista melepaskan pelukan erat dari Izki.
Ibunda Izki nampak kebingungan. Dengan rasa percaya diri yang tinggi Izki memperkenalkan Calista di hadapan Ibundanya. Ibunda Izki sangat mengingat setiap cerita yang kerap kali Izki ceritakan perihal Calista. Ibunda Izki sangat senang dapat berjumpa dengan Calista. Seperti apa yang telah ia bayangkan selama ini, kini Calista berada di hadapannya sebagai sosok pahlawan. Calista semakin istimewa di mata Ibunda Izki. Tak dapat di pungkiri lagi bahwa Ibunda Izki sangat menyukai sosok Calista, terlebih ketika beliau memuji Calista secara terang-terangan.
?Nak ? Kamu di sini dulu ya temani Izki sebentar. Kasian dia baru take off dari Indonesia. Ibu yakin dia sangat merindukanmu sebab selama ini dia mencari keberadaanmu,? pinta Ibunda Izki kepada Calista. Calista takut akan keterlambatannya untuk pulang kerumah. Namun Calista tak kuasa jika halus menolak permintaan dari Ibunda Izki.
?Iya baik bu.?
Akhirnya Calista menuruti permintaan itu. Calista dan Izki bercanda tawa bersama Ibunda Izki di dalam ruangan rawat inap yang megah nan mewah itu. Hingga Calista tak tersadar bahwa hari sudah mulai gelap dan jam sudah menunjukan jam delapan malam. Ketika Calista tak sengaja melirik jam tangan miliknya, Calista terkejut. Lekas dikeluarkanlah handphone dari tas-nya. Terdapat 5x panggilan tak terjawab dari Ibundanya.
Calista segera berpamitan pulang kepada Ibunda Izki. Ibunda Izki menyuruh Izki mengantarkan Calista pulang namun Calista menolak dengan lembut. Calista tak ingin membuat masalah baru di rumah karena pulang telat bersama cowok pula. Hingga dengan cepat Calista pulang menyusuri jalan sendirian. Hiruk pikuk Singapura di malam hari dengan lampu yang bertebaran di sisi jalan cukup untuk menemani kesendirian Calista. Saat di jalan pula hati Calista bertautan ia bingung antara senang karena dapat bertemu kembali dengan Izki ataupun sedih dapat berjumpa kembali dengannya.
***
Selama kurang lebih 1 minggu Ibunda Izki dirawat, akhirnya beliau diperkenan untuk pulang karena kondisi yang telah membaik. Ibunda Izki tak menginginkan Calista khawatir karena tak menjumpai dirinya di kamar itu ketika Calista mengunjungi untuk yang ke dua kalinya. Selama seminggu itupun tak terlihat batang hidung Calista. Calista sengaja menghindarkan diri dari keluarga Izki sebab ia lelah dengan semua permainan Izki. Calista tak ingin kembali di permainkan oleh mantan kekasihnya itu.
?Izki,? panggil Ibunda Izki ketika Izki sibuk membereskan beberapa peralatan dan memasukannya ke dalam tas.
?Kenapa?? jawabnya masih sibuk dengan aktifitasnya menata berbagai barang.
?Tolong hubungi Calista. Bilang kalau hari ini ibu pulang dari rumah sakit,”
?Hah? Hubungi? Melalui apa?? Izki sontak menoleh heran mendengar kalimat yang dikeluarkan oleh Ibundanya.
?Telfon sayang.?
?Hah? Ibu punya nomor telfonnya? Kok gak bilang dari kemarin-kemarin sih!? protes Izki dengan spontan. Ia sungguh merindukan sosok Calista. Ia tak sabar akan kelanjutan kisah cintanya.
?Kamu gak nanya!?
?Mana nomor telfonnya bu?? Izki mulai mempercepat gerakan tangannya dalam menata barang-barang milik Ibundanya, karena ia tak sabar untuk segera menghubungi sang pujaan hati.
?Itu ada di buku biru di atas meja.? tangan Ibunda Izki menunjuk ke arah meja. Sontak mata Izki menjelajahi setiap sudut meja hingga tiba pandangannya terfokus pada sebuah buku biru yang terbaring indah di atas meja putih. Tangannya mulai membuka lembaran demi lembaran. Menjelajahi setiap tulisan yang terlukiskan oleh tinta hitam. Mencari beberapa digit nomor yang tertuliskan nama ? Calista ? di atasnya.
?Yang inikan?? Izki memperlihatkan sederetan angka diatas kertas putih itu kepada Ibundanya.
?Ya.?
Izki menunggu jawaban dari Calista. Ia berharap Calista segera menerima panggilan darinya. Di sisi lain, Calista sedang termenung di kamarnya. Ia terkejut mendengar deringan dari handphone. Hingga dengan spontan, ia mencari handphone yang tertimbun selimut miliknya. Ketika handphone itu berada di tangan, Calista bingung apakah harus menerima atau menolak panggilan. Jiwanya memaksa untuk menolak namun karena gejolak hati yang penasaran akan telfon itu, diangkatlah telfon dari Izki.
?Hallo. Who is this??
?Ini gua Izki,? Deg!! Calista terkejut. Kenapa bisa cowok nyebelin itu dapat menghubungi dirinya. Ia lupa bahwa ia pernah meninggalkan jejak di buku biru milik Ibundanya.
?Kok lu bisa tau nomor gua si?!?
?Kan lu ninggalin jejak di buku biru,? Ketika mendengar, Calista menepuk keningnya dengan sebelah tangan. Ia lupa bahwa ia pernah meninggalkan jejak yang ditujukan oleh Ibunda Izki dan disalahgunakan oleh Izki.
?Terus lu ngapain nelfon gua? Penting?? bentak Calista cuek dan dingin, sedingin suhu di Singapura kala itu.
?Gua cuma mau bilang kalau ibu gua mau balik dari rumah sakit. Dia ga mau lu khawatir mencari dia di ruangan ini,? Calista tertegun. Seketika ia diam membayangkan kekhawatiran seorang Ibu. Calista tak menyangka bahwa Ibunda Izki begitu memperdulikan dirinya walaupun sudah lama ia tak menunjukan diri di hadapan Ibunda Izki.
?Oh? Boleh gua ngomong sama ibu lu?? suara Calista berubah menjadi lembut. Dengan cepat handphone itu berpindah tangan.
?Hallo? Calista!? suara menenangkan itu terdengar jelas ditelinga Calista.
?I? iya bu,? Calista sedikit gugup.
?Ibu izin pulang ya. Jikalau ibu ada waktu, ibu akan segera berkunjung kerumah mu sebagai tanda terima kasih. Bolehkan?? tanya Ibunda Izki dengan nada lembut dan menenangkan jiwa. Suara lembut yang keluar dari setiap bibir seorang ? Ibu ? memanglah merindukan dan menenangkan jiwa.
?Boleh kok bu. Kapan saja ibu mau datang, pintu terbuka lebar untuk ibu.? Calista berusaha ramah meskipun ia khawatir Izki memanfaatkan kedekatan dirinya dengan Ibundanya.
?Tolong kirimkan alamatmu ya via pesan teks. Yasudah ibu balik dulu ya. Jaga kesehatan kamu ya cantik,”
?Baik bu.? Calista menutupnya dengan diakhiri salam dan sambunganpun terputus.
***
Lekas Izki dan Ibundanya segera menuju ke rumah Calista. Setelah 2 bulan berlalu, Ibunda Izki segera merealisasikan keinginannya untuk bersilaturahmi dengan keluarga Calista. Kebetulan Ayahanda Izkipun baru balik dari London setelah 3 bulan pergi mengurus bisnis yang dijalaninya. Maka mereka bertiga lekas menuju rumah Calista.
Ketika sampai di rumah Calista, rumah itu terlihat sepi. Bell-pun berbunyi hingga 3 kali namun tak ada jawaban. Hingga akhirnya Izki mencoba mengetuk pintu itu namun tak ada jawaban sekalipun. Lekas ketika mereka ingin meninggalkan rumah itu, terdengar suara denyitan pintu yang terbuka. Izki menoleh dan mendapati muka Calista yang sangat berantakan. Pakaiannyapun minimalis sekali karena Calista baru saja terbangun dari mimpi indahnya di siang hari.
Calista tertegun melihat tamunya siang ini. Dengan cepat ia mempersilakan mereka masuk, Calista sangat merasa malu karena pakaiannya begitu tipis serta minimalis. Lekuk tubuhnya tergambar jelas, namun Izki sangat menyukai saat-saat seperti itu. Setelah Calista mempersilakan mereka duduk, Calista segera meninggalkan ketiga tamunya itu. Lalu ia membangunkan kedua orang tuanya. Calista lekas mengganti pakaiannya dan membuatkan minuman untuk ketiga tamunya.
?Ini om, tante silakan di minum,? tutur Calista sambil meletakkan beberapa gelas di atas meja vintage cantik di ruang tamu miliknya. Tiba-tiba datanglah kedua orang tua Calista ke ruang tamu.
?Arman!? teriak Ayahanda Calista kepada seseorang dengan jas mengkilau yang dikenakan dan dasi merah marun yang terlingkar rapi menghiasi kemeja hitam.
?Arif!!? balasnya dengan menoleh kemudian tersentak berdiri untuk menghampiri sahabat karib lamanya . Sudah sekitar 8 tahun mereka tidak bertemu, hingga akhirnya mereka di pertemukan di rumah minimalis nan nyaman yang terletak di Singapura.
Ayahanda Calista dan Izki sungguh terkagum-kagum melihat perubahan diri masing-masing. Setelah sekian lama waktu dan jarak memisahkan mereka, kini takdir menarik mereka kembali ke dalam satu zona. Semua mata menatapnya dengan tatapan tak percaya dan saling bertanya-tanya dalam hati.
Ternyata dulu mereka ialah partner satu kantor. Sejak dulu mereka menghabiskan waktu bersama, semua kenangan manis pahit kehidupan telah mereka lalui bersama. Kebetulan saat mereka satu kantor tak ada yang mengetahuinya maka dengan semangat Ayahanda Calista dan Nicho saling memperkenalkan keluarganya masing-masing.
?Oh ya? Ada perlu apa datang kesini?? tanya Ayahanda Calista sedikit resmi membuat suasana menjadi tegang tak karuan.
?Gini loh Rif, saya ingin berterima kasih kepada Calista karena telah menyelamatkan nyawa istri saya. Tak terbayangkan jika tak ada Calista mungkin nyawa istri saya terancam,”
?Oh ya sama-sama. Mungkin Tuhan sengaja mengirim Calista sebagai penghubung tali silaturahmi antara kita.?
?Sebenarnya sebelumnyapun anak kita pernah bersatu dan belum lama bertemu kembali.? Ibunda Izki mencoba mengalihkan pembicaraan agar mereka tak kembali bernostalgia. Sontak Calista menatap Ibunda Izki lekat-lekat. Calista tertegun dan ketakutan atas ekspresi yang akan di lemparkan oleh Ayahnya. Kala itu antara satu individu dengan individu lain saling melempar pandangan.
?Benarkah itu Calista?!?
Ayahanda Calista mulai menginterogasinya. Calista menjawabnya hanya dengan anggukan kepala. Izki tau bahwa kini suasana mulai mencekam, dengan cepat ia menyelamatkan Calista dengan alasan ingin pergi bersama. Izki dengan berani meminta izin kepada Ayahanda Calista untuk mengajak Calista pergi ke luar rumah, Ayahanda Calista mengizinkannya namun entah karena beliau sudah memperkenankan Calista pacaran ataupun karena tak enak hati kepada sahabatnya.
Izki memanfaatkan keadaan itu untuk sekedar berjalan santai menikmati indahnya Singapura berdua. Dengan hembusan angin yang berbisik lembut serta kicauan burung nan merdu, Izki menggenggam tangan Calista. Berjalan beriringan menikmati indahnya alam semesta. Hingga sampailah mereka di suatu taman kota yang terdapat danau indah berair tenang. Mereka memilih duduk berdua dipinggir danau sambil membisu sejuta kata.
Sementara kedua orang tuanya sedang bercanda gurau di tengah hangatnya ruang tamu. Mereka saling bercerita pengalaman satu sama lain serta bernostalgia tentang kenanganan masa lampau. Tanpa mereka ketahui, Ayahanda Izki dan Calista berencana melakukan acara lamaran untuk kedua anaknya. Mereka sangat mengerti akan perasaan anaknya satu sama lain. Ayahanda Calista juga takkan membiarkan anaknya tersentuh oleh lelaki sebelum mereka menjadi pasangan yang halal sebab agama dan etika sangat di pegang teguh oleh Ayahanda Calista.
***
Hingga kini saatnya rencana itu tiba. Segala rencana sudah dipersiapkan dengan seksama dan tertata rapih. Hanya Izki yang tau perihal pertunangan itu. Namun, Izki sengaja menyembunyikannya dari Calista karena Izki ingin mempersembahkan yang terbaik untuk Calista.
?Bu ? Calista dan keluarganya mana?? Izki harap-harap cemas dengan berjalan bulak-balik layaknya setrikaan. Berkali-kali dipandangi jam hitam sporty miliknya. Perasaan dan logika bertabrakan, ia mulai gelisah menunggu Calista yang belum kunjung datang.
?Sabar, sebentar lagi kok.? Ibunda Izki mencoba menenangkan keadaan. Hanya seorang Ibulah yang dapat mengerti perasaan anak di setiap kondisi. Terlebih ketika menjelang hari suci, sungguh itu akan menggetarkan hati.
Sementara di sisi lain, Calista sedang sibuk mencari baju yang sesuai di kenakannya untuk acara yang akan di datanginya. Berkali-kali ia kenakan satu demi satu baju koleksinya dan berdiri di depan cermin sambil berputar serta melenggak- lenggok dengan centilnya. Namun tak satupun yang ia pilih, hingga datanglah Ibunda Calista membawa baju yang sangat indah nan mewah di tangan kirinya.
?Aduh ? Lama banget si kamu sayang. Ini pakai baju ini aja,?
?Ih bagus banget. Indah banget mah bajunya,? Calista terkagum-kagum oleh dress itu dan ingin segera memakaikan dress putih halus itu pada badannya yang ideal.
?Itu rapihin dong make up kamu!? komentar Ibunda Calista ketika menatap wajah Calista.
?Iya iya mamah. Yaudah mamah tunggu bawah. Wait for 5 minutes. Oke!? tangan Calista menunjukan kelima jarinya dan meringis karena tersadar bahwa ia sudah memakan waktu yang lama. Seusai mengenakan dress, Calista melirik jam tangan dan terkejut lekas berlarilah ia ke bawah.
Merekapun segera menuju ke gedung yang telah di tata indah dengan taburan bunga. Ketika baru sampai, disambutlah mereka dengan redcarpet yang tersedia. Izki mencari Calista dengan sangat jelas berada di atas redcarpet. Lekas Izki memanggil kedua orang tuanya dan segera memulai acaranya.
Tiba-tiba Izki menyeruak di antara beberapa orang dan segera menghampiri Calista dan menarik tangan Calista lembut ketengah keramaian. Calista terlihat kebingungan dengan dress putih yang membalut tubuhnya dan dompet merah kecil diganggamannya. Semua mata menatap terkesima penampilan anggun Calista.
Tanpa fikir panjang, Izki segera berdalih. Berlutut di hadapan Calista dengan mengeluarkan sepasang cincin emas yang indah. Serta dilengkapi berlian kecil mungil namun berharga pada cincin yang ditujukan untuk Calista. Calista terlihat terharu, menatap tak percaya akan kejadian kala itu. Calista sangat kagum dan tanpa sadar ia terhanyut dalam suasana.
“Would you marry me?? tanya Izki dengan begitu romantisnya di hadapan para hadirin. Semua tamu undangan menatap dengan tatapan berbinar berharap akan mendapatkan respons yang baik dari mempelai wanita.
Calista terlihat kebingungan. Ingin menolaknya tapi tak ingin mempermalukan Izki, ingin menerimanya namun berat hati. Hingga tanpa ia sadari, bahwa ia mengangguk lembut. Semua tamu undangan bertepuk tangan, bersorak ria akan ikatan sepasang kekasih itu. Calista tersenyum lebar di depan khalayak umum, hingga ia tak sadar bahwa ia sedang perang batin dalam dirinya.
Semua ia lakukan hanya untuk membahagiakan orang tuanya. Calista tak ingin mengecewakan siapapun kecuali dirinya. Terlebih kini di hari-hari yang indah bagi semua orang, tak ada satupun sahabat Calista yang menjadi saksi. Sungguh Calista rindu akan sosok mereka semua yang selalu memberi warna di hari-hari Calista. Sayang saat hari indah itu datang, Calista hanya dapat melewatinya sendiri.