Sejak kejadian kala itu yaitu pertengkaran hebat antara Nicho dan Izki yang menimbulkan hujan darah, itu menjadi suatu perpisahan bagi mereka. Izki mengalah demi sahabatnya. Izki kembali ke Bali tanpa pamit pada siapapun termasuk Calista.
?Nic ? Izki kemana ya? Udah seminggu ini ga ada kabar,? Calista terlihat sangat cemas.
?Balik lagi dia ke Bali.?
?HAH?!! kok ga pamit sama gua sih!? Kekesalan dan kecemasan bergelayut mesra di wajah Calista.
?Tau dah.?
?Lu tau dari mana kalau dia ke Bali? Kapan terakhir lu ketemu sama dia? Dimana?? Pertanyaan demi pertanyaan terlempar dari bibir kecil nan mungil milik Calista.
“Filling gua sih dia balik lagi ke Bali. Minggu lalu,?
?Dimana?!? bentak Calista kesal.
?Gak perlu tau!? hendak Nicho meninggalkan Calista.
?Kenapa? Kenapa gua ga boleh tau? Sebenarnya ada apa si Nic? Jujur! Lu kenapa berubah cuek gini ke gua??
Tak dapat jawaban sedikitpun, Nicho hanya menoleh lekas ia melanjutkan langkah kakinya.
?Nicho! Lu dengerkan! Ga sopan banget si, orang ngomong di tinggalin!? Calista mulai menggerutu dengan nada tinggi. Namun sayang hal tersebut membuat Nicho tetap bergeming.
***
Di pagi hari yang cerah itu nampak seorang gadis berjalan di koridor campus. Gadis itu cantik dan fashionable. Semua mata memandang ke arahnya. Calista cuek dan ternyata ia anak baru di campus yang masuk di kelas Calista. Gadis itu kini memandang ke seluruh penjuru kelas, namun ia memilih untuk duduk berdampingan dengan Calista. Awalnya Calista menatapnya dengan tatapan sinis, namun sapaan yang di iringi senyuman manis itu membuat Calista luluh. Tak disangka, gadis berambut lurus tergerai manis dengan berpostur tubuh tinggi itu ramah. Calista fikir, ia adalah gadis yang menyebalkan serta membosankan namun semua sirna ketika terjadi percakapan di antara mereka.
Viana. Itulah nama gadis cantik yang kini menjadi mahasiswi baru di campus. Ia baru saja pindah dari Bandung dan meneruskan kuliahnya di sini. Dengan percakapan yang singkat dan hangat, Calista dapat menerimanya dengan baik dan berkenalan dengannya. Namun di saat perkenalan yang mengesankan itu terjadi, dosen yang terkenal galak itu memandang mereka. Calista segera membenarkan posisi duduknya seperti semula dan berbisik untuk melanjutkan percakapan itu ketika mereka menghabiskan mata kuliah.
Setelah seharian duduk manis di hadapan para dosen, akhirnya mereka dapat pulang ke rumah masing-masing untuk mengistirahatkan otak yang kian dipaksa berfikir tiada henti. Calista segera membereskan beberapa note di mejanya, lalu tiba-tiba saja Nicho menghampirinya. Nicho mengusik aktifitas yang Calista kerjakan dan mengajaknya ke kantin. Calista sempat mempertimbangkan hal tersebut, namun tiba-tiba saja bola matanya menjelajah kea rah Viana. Dengan refleks, Calista menarik tangan Viana dan menerima tawaran itu.
?Mau kemana Cal??
Calista menatap Viana yang kebingungan lalu menukiknya tajam. ?Kantin!?
?Mau ngapain??
?Liat aja nanti.?
Setelah bersusah payah berjalan di antara ribuan mahasiswa-mahasiswi lain, tibalah mereka di kantin. Calista menatap suasana kantin yang sangat ramai dengan hiruk pikuk. Ia berhenti sejenak dan mencoba cari meja kosong untuk dirinya, namun kini ia tersadar bahwa Nicho telah berjalan meninggalkannya begitu saja. Dengan langkah malas, Calista mengikuti. Ternyata di meja paling pojok kantin, terdapat Erlangga dan Ferrel yang sedang menanti. Calista segera mempercepat langkah kakinya. Kini ia dapati meja mereka yang penuh dengan makanan. Calista senang, keberadaannya dengan Viana di sambut baik oleh ketiga cowok menyebalkan itu.
?Siang Calista cantik?,? Erlangga mulai menggoda Calista ketika Calista berhasil duduk di hadapannya.
?Ihs apa sih! Gombal!?
?Ah au lu. Jangan coba-coba ganggu Calista deh!? Nicho mengancam Erlangga dengan memperlihatkan garpu di hadapannya. Erlangga hanya membalas dengan senyuman meringis ketakutan.
Ferrel hanya menatap kelakuan aneh kedua sahabatnya itu. Namun kini matanya tertuju pada gadis cantik di samping Calista. ?Eh siapa itu Cal??
?Oh iya! Kenalin ini Viana. Mahasiswi baru,”
?Hai Viana, kenalin gu?? baru saja Ferrel ingin menyodorkan tangannya sambil memperkenalkan diri, Erlangga segera meraih tangan Viana dengan cepat.
?Gua! Erlangga Bramantio Setya!? Singkat. Jelas. Padat. Dengan rasa percaya diri yang tinggi Erlangga menatap lekat-lekat wajah Viana. Viana hanya membalasnya dengan senyuman manis sembari memperkenalkan dirinya.
?Ihs apaan si lu!! Rusuh banget!? Ferrel mencibir kesal.
?Udah-udah ah! Malu kali sama Viana. Yaudah makan dulu Vi.? Nicho mencoba melerai kedua sahabatnya itu.
Viana hanya menahan tawa yang ingin meledak. Calista hanya dapat geleng-geleng kepala. Dengan hangat, terangkumlah canda tawa diantara mereka. Semua matapun tertuju pada mereka yang tertawa lepas hingga lupa suasana. Memang sudah bukan rahasia umum jika mereka terkenal sebagai sekumpulan orang gila yang sangat tampan seantero campus. Perlahan-lahan pula Calista dapat menerima dan menganggap Viana sebagai sahabat keduanya setelah Riri.
Setelah percakapan hangat itu terjadi, mereka memutuskan diri untuk segera pulang. Namun kali ini Ferrel pulang bersama dengan Nicho karena mobilnya baru saja masuk bengkel kemarin sore. Di tengah perjalanan pulang, Nicho mulai membicarakan apa yang mulai mengganggu pikirannya sejak pertama kali menatap Viana. Ferrel mencurigai Nicho bahwa ia telah jatuh hati pada pandangan pertama. Nicho membantah keras tudingan itu dan mengakui bahwa ia masih sangat mencintai Calista meskipun bertepuk sebelah tangan. Namun jauh yang ia ketahui bahwa Calistapun memendam rasa yang sama.
***
Keesokan harinya seusai mata kuliah, Nicho mengajak Viana pergi ke sebuah taman. Tak ada seorangpun yang tau bahwa mereka pergi berdua kala itu. Viana terlihat cantik dengan balutan baju biru muda dan jeans miliknya. Rambutnya terurai indah mengkilau hingga Nicho dibuat tercengang oleh penampilannya yang begitu anggun.
?Vi ? Kita duduk disana aja ya!? tangan Nicho meraih jari jemari lentik Viana.
?Emm ? i?iya ,? Viana terlihat gugup ketika tangannya digandeng oleh Nicho.
?Indahkan pemandangannya?? Nicho menilai setiap sudut taman.
?Ya. Oh ya apa tujuan lu Nic ngajak gua ke sini??
?Emm.. Ya gua pengen lebih kenal lu aja, gapapakan??
?Oh gitu. Oh ya sebelumnya maaf nih, lu itu terkenal playboy ya di campus ?? tanya Viana lirih.
?Kok lu tau! Lu kan anak baru.?
?Ya gua denger-denger aja dari mereka ? Kenapa lu jadi playboy??
?Dulu sih iya ? Tapi semenjak gua kenal Calista ga kok! Gua tuh bisa jadi goodboy kalau ada yang handle. Sekaligus ada cewek yang tepat bagi gua.?
?Emangnya Calista nge?handle lu??
?Ya.. Dia tuh tipe cewek yang perhatian banget dan baik,”
?Lantas kenapa lu ga jadian aja??
?Banyak konflik, rintangan dan hambatan. Apa mungkin gua bisa miliki dia?? suara Nicho terdengar tak bersemangat. Suara paraunya melebur diantara bisikan angin yang bertiup kencang.
?Ga ada yang ga mungkin di dunia ini,? Viana berusaha menyemangati.
?Gua ga mau aja kalau harus mengejar yang tak pasti,?
?Emang ada yang pasti?? tanya Viana dengan mengerlingkan mata.
?Gak tau sih. Akan kali ya hahaha.?
Canggung. Tawa itu penuh keraguan. Vianapun dapat merasakan ada keganjilan pada tawa itu.
Seusai percakapan itu mereka mengelilingi taman, menikmati pemandangan hijau di sana. Melihat kupu-kupu beterbangan, air di danau yang menggenang tenang, serta mendengar kicauan burung yang merdu. Canda tawapun begitu terasa diantara mereka, senyuman melebur menjadi satu dengan alam. Menandakan betapa bahagianya sepasang sejoli itu hingga mereka terlarut. Hari sudah sore, lekas mereka bergegas pulang ke rumah.
Keesokan harinya Nicho datang menghampiri Ferrel. Ia tak lagi segan untuk mengatakan bahwa ia telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Ferrel sangat terkejut akan pernyataan itu, iapun marah karena Calista di permainkan oleh Nicho. Dengan cermat Ferrel menelaah keadaan, mencoba menemukan jalan keluar. Tibalah sebuah ide terbesit, ia segera membiarkan Nicho melepaskan Calista agar ia dapat meraih kembali hati Calista. Nicho sangat bimbang, tak sedikitpun terbesit di pikirannya bahwa Ferrelpun menyukai Calista. Terlebih kini Nicho semakin bimbang harus memilih yang terbaik atau yang terindah.
Nicho terus di buat bingung oleh dirinya sendiri. Perasaan berkata harus memilih yang terbaik, sementara logika berkata memilih yang terindah. Nicho tak ingin ambil pusing hingga ia memutuskan untuk menjalaninya beberapa bulan ke depan. Ia yakin seiring berjalannya waktu ia pasti menemukan jawaban yang ia butuhkan bukan yang ia inginkan.
***
Siang ini. Siang yang indah. Indah seperti biasanya namun berubah pekat ketika terjadi pertemuan antara Viana dengan Calista.
?Cal?,? bibir Viana memanggil Calista dengan riangnya ketika mereka berdua asik duduk di bawah pohon rindang yang berada tepat di taman sekolah.
?Kenapa?? jawab Calista cuek karena sibuk membaca literatur untuk skripsinya.
?Boleh gua curhat?? nadanya semakin riang menunggu jawaban dari sahabatnya yang sibuk.
?Boleh lah!? seru Calista.
?Sebenarnya ? Gua tuh suka sama Nicho!?
?Hah?!? Dengan spontan Calista menoleh ke arah Viana yang terlihat gugup ketika mengucapkan kalimat itu.
?Kenapa? Lu marah ya sama gua?? Viana ketakutan dengan mengigit bibir bawahnya serta menatap Calista dalam-dalam dan mencoba mencari sedikit celah di mata Calista yang menggambarkan kecemburuan. Namun, sayang tak di dapatkan kecemburuan di mata indah itu sebab Calista pintar menyembunyikan perasaan.
?Haha gapapa sih. Gua kaget aja. Secepat itu? Apa lu yakin sama dia?? senyuman tipis terukir di wajahnya untuk menutupi kecemburuan yang ada. Hancur. Lulah lantah dinding hatinya. Setelah lama ia menyusun serpihan hatinya yang hancur kini terbuang sia-sia.
?Iya. Gua yakin Cal ? Tapi ? Gua mohon banget ya sama lu jangan bilang atau cerita ke siapapun, Please!? tangannya menggenggam Calista erat-erat dan mata itu berbinar berharap mendapatkan jawaban terbaik dari Calista.
?Iya iya tenang aja, gua janji ga akan cerita ke siapapun.?
?Emm ? Makasih ya,? Dipeluk Calista erat-erat sebagai tanda terima kasih.
Namun tiba-tiba Viana melepaskan pelukan itu sembari menatapnya. ?Tapi lu ga cemburukan? Lu ikhlas kan gua sama dia??
?Iya tenang aja. Gua ikhlas kok.? Terlempar senyuman terindah yang menyimpan beribu makna antara kebahagiaan dan kesedihan.
Tiba-tiba Nicho dan kedua sahabatnya menghampiri Viana dan Calista yang sedang duduk manis di bawah pohon rindang. Lantas mata Viana langsung berbinar menatap sang pangeran cintanya hadir. Berdiri tepat di hadapannya. Viana sungguh terpukau oleh keindahan tubuh Nicho hingga jiwanya melayang beberapa detik.
Namun kini ia tersadar ketika Nicho mulai mengajak mereka pergi. Kesempatan bagus. Viana sangat senang mendapatkan kesempatan emas ini. Tentu dengan semangat ia menerima tawaran itu. Calista hanya memandang Viana dengan meredam api cemburu yang meluap. Mencoba mengalihkan pandangan serta pikirannya kepada Ferrel. Kini ferrel tersadar bahwa ia tengah di perhatikan oleh Calista. Maka ia memanfaatkan kesempatan itu.
Ferrel segera menjulurkan tanggannya untuk membantu Calista bangkit. Namun Calista tak menerima tawaran tangan itu, Calista hanya menatapnya senang sembari berkata ?Oke oke. Gua bisa diri sendiri Ferrel sayang,?. Dengan sigap semua mata tertuju pada Calista. Sayang? Kata itu terlontar tanpa ia sadari. Nicho menatapnya sinis. Semua pikiran di gemparkan oleh satu kata berjuta makna. Semua mata saling bertautan dan berlempar pandang.
Tapi semua itu berakhir ketika Ferrel menjawabnya dengan sebuah candaan. Jauh di lubuk hati Ferrel bahwa ia sangat senang namun di sisi lain ia tak enak hati pada Nicho, sahabatnya. Lantas Vianapun ikut bangkit. Merekapun segera pergi menuju Cafe Batavia. Mereka pergi menggunakan mobil Nicho. Nicho melajukan mobilnya secepat kilat karena amarah yang membara di dada. Nicho sungguh tak bisa menahan hawa nafsunya. Ia ingin segera memiliki Viana namun tak kuasa melepas Calista.
?Ayo turun. Ambil meja yang di tempat biasa ya,? ucap Nicho kepada yang lain ketika mereka turun dari mobil dan meraih tangan Calista dengan maksud menggandengnya. Namun, dengan secepat kilat di lepaskan oleh Calista.
?Ga usah pegang-pegang! Gak enak sama yang lain.? Calista berbisik pada Nicho. Nicho menatapnya dengan penuh tanda tanya. Nicho merasa ada yang di sembunyikan darinya. Tak pernah Calista menghindar dari dirinya terlebih sampai menolak sentuhannya. Dengan terpaksa Nicho hanya mengamatinya jauh beberapa langkah di belakangnya.
?Eh dari mana aja si lu berdua?!? Erlangga bercuap sedikit kesal karena perutnya sudah kelaparan dan matanya tak sabar menahan beberapa makanan yang telah dihidangkan di atas meja.
Calista segera menghempaskan diri di kursi sebelah kiri Viana. ?Emm ga dari mana-mana kok,?
?Oke silakan kalian makan sesuka hati. Biar gua yang bayar!? tutur Nicho dengan angkuhnya.
?Ciee lagi bahagia lu sampe-sampe nraktir kita?? Ferrel mulai meledek Nicho.
?Ya. Gua lagi bahagia kita bisa kumpul bersama sekaligus gua akan jawab pertanyaan kalian yang kemarin!? Nicho menaikkan sebelah alis lalu melirik Ferrel dan Erlangga bergantian. Vianadan Calista saling melempar pandang hingga kedua bola mata mereka saling bertautan.
?Oh ya? Siapa siapa? Terbaik atau terindah?? tanya Ferrel dengan antusiasme yang tinggi.
?Gua memilih??
?Eh ? bentar bentar! Kalian bahas apa si?? kalimat itu terdengar judes dan bernada tinggi. Calista menatap ketiga cowok di hadapannya seperti sedang mengintimidasi tersangka.
?Ah udah liat aja entar!? jawab Erlangga.
?Gua memilih yang terbaik!? Nicho mulai melingkarkan tangannya di bahu Calista. ?Sebab yang terindah tak selamanya indah pasti ada masanya ia menjadi kelam, namun yang terbaik tetaplah kan menjadi yang terbaik.? lanjut Nicho menjelaskan pilihannya.
?Cieeee ?. ? sorak gembira dari bibir Ferrel dan Erlangga berbarengan.
?Eh bentar!! Apa-apaan si ini!? Calista melepaskan tangan Nicho dengan kasar. Calista tak ingin melukai hati Viana sedikitpun.
?Gini loh ? Kemarin kita nanya ke Nicho. Dia milih lu atau Viana? Dan baru dijawab sekarang,? sergah Ferrel menenangkan suasana.
?Loh kok?? Calista masih bingung dengan penjelasan singkat itu.
?Ya. Karena Nicho bilang kalau dia suka sama Viana tapi dia sayang sama lu.? sambung Erlangga.
Murka. Calista sangat tak menyangka itulah alasan kenapa mereka di ajak makan siang bersama. Calista tak menyangka bahwa Nicho belum berubah. Usahanya selama ini terbuang sia-sia dan nampaknya Calista telah mencintai orang yang salah. Calista segera berlari ke arah luar dengan menahan isak tangis di pelupuk mata.
Nicho segera mengejarnya dan mencegahnya. Nicho berusaha memberikan penjelasan namun Calista sudah telanjur kecewa. Tak ada kesempatan bagi Nicho untuk menebus kesalahannya kala itu. Tiba-tiba saja ada taxi yang melintas. Calista segera berteriak sekuat yang ia mampu lalu berlari menuju taxi itu. Menghempaskan diri di kursi belakang dan membiarkan air matanya meluncur begitu saja.
?Arghhhh.. Kacau semuanya!? Nicho kecewa. Frustasi. Serba salah. Ia tak memperdulikan beberapa pasang mata yang menatapnya. Ia sangat membenci keadaan yang sungguh menyebalkan baginya. Dengan wajah panik, Viana dan Ferrel serta Erlangga segera menghampirinya yang tersungkur di aspal panas siang ini.
?Sabar Nic ? Sabar. Gua yakin dia cuma salah paham aja kok, nanti gua yang bantu jelasin ke dia ya,? Viana berusaha menenangkan Nicho sambil mengelus halus pundak Nicho. Namun jauh di lubuk hatinya bahwa ia pun sedang tersakiti. Sungguh Viana tak dapat berkutik sebab ia di ambang kebingungan antara kesenangan atau kesengsaraan.
?Iya iya. Sabar Bro!! Gua yakin dia cuma emosi.? tutur Ferrel.
?Huh udahlah pulang aja! Males gua kalau gini jadinya. Nih ambil kartu kredit gua terus balik! Gua tunggu mobil.? Nicho lekas berjalan menuju mobil miliknya.
***
Seminggu setelah kejadian di Cafe Batavia, Calista tak kunjung ke campus. Tak sedikitpun batang hidungnya terlihat. Viana, Ferrel, Erlangga serta Nicho terus mencoba menghubungi via telfon namun handphone?nya mati. Menghubungi telfon rumah tak ada yang menjawab. Mencoba berkunjung ke rumahnya namun tak ditemukan seorangpun disana.
Hingga pada akhirnya suatu malam, Calista menelfon Viana. Awalnya Viana ragu untuk mengangkat nomor yang tak dikenalinya dan sangat asing baginya sebab nomor itu adalah nomor yang terhubung dari negeri sebrang. Setelah diangkat, Viana terkejut bahwa suara itu ialah suara Calista. Calista meminta pada Viana untuk tidak mencari kabarnya sebab Calista tak lagi tinggal di Indonesia. Ia tak memberi tahu dimanakah keberadaannya saat ini.
?Nic ? Nicho!? teriak Viana dari kejauhan sehingga Nicho dan Ferrel mencari cari sumber suara itu.
?Kenapa?? tanya Nicho heran.
“Se ? Semalam Calista nelfon gua,? Nafas Viana terengah-engah karena berlarian untuk segera memberi tahu kejadian semalam.
?Hah? Dia dimana? Dia bilang apa?? Nicho terkejut mendengar berita yang disampaikan oleh Viana begitu pula Ferrel.
?Gua ga tau pasti dia dimana. Yang jelas dia bilang ke gua kalau dia udah gak tinggal di Indonesia. Dia nerusin kuliahnya disana. Tapi dia ga ngasih tau negaranya dimana,? tutur Viana menjelaskan.
?Mana? Mana nomornya? Sini biar gua lacak!!? sergah Ferrel.
?Ga ada! Kayanya bokap gua cek hp gua. Terus dia hapus hapusin log panggilannya.? Viana berkata dengan nada lirih sambil mengigit bibir bawah karena ketakutan.
?Hah?! Ah elah reseh banget si bokap lo!? Nicho mulai kesal. Mukanya memerah.
?Ya tapi pas gua coba hubungin dia, ga terhubung mulu. Gua udah coba sampai 10× malah.? Viana berusaha membela diri.
?Duh ? Ah elah bikin gua makin resah aja!!? Nicho semakin kesal dan putus asa.
?Tapi semalam dia bilang. Jangan cariin dia, dia aman di sana,? Viana mencoba menjelaskan.
?Ya tapi gua tetap ga tenang!! Gimanapun caranya gua akan cari tau keberadaan dia!!?
?Udahlah Nic ? Gak usah gitu. Setidaknya dia udah coba hubungin kita. Buat kita ga resah mikirin dia. Kan katanya dia aman. Percaya sama gua, suatu saat dia pasti balik lagi,? Ferrel berusaha menenangkan Nicho yang sedang emosi sekaligus putus asa.
?Iya Nic ? Lu sabar. Suatu saat pasti lu akan ketemu lagi sama dia. Percaya sama gua.? Viana membantu Ferrel meredam emosi Nicho.
?Huh ? Yaudah iya. Mungkin gua emang ga jodoh sama dia.? Nicho menundukan kepalanya sembari menghela nafas panjang.
***
Nicho sangat terpukul dan terpuruk karena di tinggal pergi Calista yang tak jelas kemana. Ia bingung harus menunggu sesuatu yang tak pasti atau membuka hati agar ada celah untuk Viana masuk kehatinya. Berhari-hari telah berlalu saat kepergian Calista, Viana mencoba menjadi penghibur hati Nicho. Nicho semakin bingung. Terlebih hal ini di perburuk oleh masalah keluarga yang dialami Nicho.
*Tok...Tok...Tok...*
Suara pintu yang diketuk kasar oleh seseorang dari luar rumah. Karena rumah sedang sepi dan Nicho sedang berada di kamar, tak ada seorangpun yang mendengarnya. Namun ketukan itu terus terdengar sehingga membangunkan Nicho dari lumanannya.
?Ia sebentar!? teriak Nicho dari lantai atas sambil berusaha secepat mungkin melangkahkan kakinya menuju pintu depan rumahnya. Iapun heran kenapa ada orang yang berhasil mencapai pintu kayu besar milik rumah megah nan mewah itu. Padahal gerbang tinggi emas miliknya sudah di kunci rapat. Nicho memang lebih suka mengurung diri sendiri di kamar setelah kepergian Calista.
?Permisi pak!!? sergah orang itu ketika Nicho membukakan pintu kayu miliknya. Nicho tertegun disambut dua orang yang bermuka sangar, berpakaian agak brandal dan berbadan besar serta kekar itu yang biasa kita panggil ? Debt Collector ?.
?Iya. Ada apa ya?? Nicho menjawab dengan muka heran dicampur panik ditambah kesal karena kedua orang ini telah menerobos masuk dari gerbang emas tinggi rumahnya.
?Ada pak Chris? Kami dari pihak bank. Kami membawa surat pengosongan rumah! Kami beri waktu untuk kalian 2 hari untuk segera meninggalkan rumah ini!? ucap salah seorang dari mereka dengan wajah sinis nan formal. Suara yang berat itupun melebur menjadi satu ditengah ketegangan diantara mereka.
?Ayah saya sedang keluar kota. Baik pak nanti saya sampaikan.? Nicho tertegun, dengan muka datar ia mengucapkan kalimat itu.
?Terima kasih pak. Selamat siang!? lekas kedua orang itu pergi dari rumah megah nan mewah milik Nicho. Nicho masih berdiri setengah sadar karena tak percaya akan kata-kata dari sang debt collector barusan. Secara 2 hari? Mengosongkan rumah? Sebenarnya apa yang terjadi antara Ayahnya dengan pihak bank. Lekas Nicho membanting daun pintu itu dan lekas menuju telfon rumah miliknya dan segera menghubungi ayahnya yang sedang diluar kota.
*Net...Net...*
Nicho harap-harap cemas mendengar suara sambungan telfon dari rumahnya menuju handphone milik ayahnya. Ia berharap ayahnya segera mengangkat telfon darinya. Nicho sangat emosi atas surat tersebut, rasanya ingin ia mencaci maki ayahnya karena telah melakukan kesalahan terbesar.
?Ya halo ada apa?? Suara jazzy ayahnya dari sebrang pulau itu tampak cool dan tenang.
?Ayah!! Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa tadi ada debt collector yang kerumah dan ngasih surat pengosongan rumah. Kita dikasih waktu 2 hari untuk mengosongkan rumah ini?!!? suara Nicho meninggi sambil membeberkan segala argumennya.
?Debt collector ? Yaudah nanti sore ayah segera pulang!?
Seusai mendengar kalimat itu, Nicho membanting telfon rumah miliknya. Nicho kesal, marah, frustasi. Disaat ia tertekan akan kepergian sang pujaan hati, kini ada masalah baru yang tak kalah besar. Ia lekas kekamar dan mengunci pintu. Menyalakan home theater untuk menonton film action kesukaannya untuk meluapkan segala emosinya.
***
Setelah kejadian yang menimpa Nicho, ia tak hadir di campus selama seminggu. Dirinya sungguh frustasi menghadapi masalah yang menerpa hidupnya dengan bersamaan. Nicho rapuh, ia tak lagi dapat merekahkan senyuman. Di sisi lain, Viana sangat khawatir akan keadaan Nicho. Viana mencari informasi kebeberapa media social Nicho namun tak ditemukan sedikitpun jawaban.
Dengan langkah terbesit, Viana berlari mencari Ferrel. Ketika bertemu Viana segera menanyakan apa yang terus mengganggu pikirannya. Sungguh menyakitkan menahan rindu yang mendalam. Namun sayang, Ferrel dan Erlanggapun tak mengetahui keberadaan Nicho.
Viana semakin khawatir, terlebih ketika ia dengar bahwa rumah Nicho sepi. Tak berpenghuni dan tertutup rapat. Apakah Nicho mengikuti jejak Calista dengan menghilang dari muka bumi? Berjuta pertanyaan terus tergambarkan tak beraturan di pikiran Viana. Viana menggigit bibir bawahnya dan menatap langit yang sangat cerah. Cuaca hari ini tak mendukung suasana hatinya.
Viana terus memaksa otaknya bekerja lebih keras. Mencoba berfikir mencari jejak-jejak dari kehilangan Calista dan Nicho, hingga ia mempunyai sebuah pernyataan yang tak memungkinkan. Viana berfikir bahwa mereka sengaja pergi berdua. Dengan cepat Viana geleng-geleng kepala untuk menghancurkan pikiran buruknya. Viana sedih. Sebutir air mata berhasil meluncur di pipinya yang lembut. Ferrel tertegun, ia tak kuasa melihat Viana menangis. Di saat Viana menitihkan air mata, tiba-tiba saja handphone?nya berdering.
Sontak Viana menghapus air matanya dan mengalihkan perhatiannya menuju layar handphone miliknya. Tertulis jelas di layar itu nama Nicho. Viana terbelalak tak percaya, dengan cepat ia angkat panggilan itu. Terlebih Erlangga sudah berteriak-riak untuk mengangkat panggilan Nicho secepatnya.
Suara Viana gemetar, ia bertanya di manakah Nicho sekarang. Namun Nicho tak menggubrisnya dan segera menanyakan keberadaan Ferrel. Kebetulan mereka sedang bersama jadi dengan cepat handphone itu berpindah tangan. Erlangga yang menjadi penontonpun ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi hingga ia meminta Ferrel untuk me?loud speaker handphone milik Viana.
Setelah selesai di loud speaker, terdengar Nicho yang memanggil nama Ferrel dengan sangat sendu. Suara itu, sungguh meluluhkan rasa rindu di hati Viana sekaligus membuat dirinya semakin tersiksa akan rasa khawatir yang memeluk erat tubuhnya. Lantas Nicho dan Erlangga khawatir dan menjawabnya dengan antusiasme yang tinggi. Nicho langsung meminta bantuan kepada Nicho tanpa menceritakan apapun tentang dirinya. Nicho meminta Ferrel segera datang ke rumah barunya untuk membantunya. Setelah mendapatkan persetujuan, Nicho mematikan panggilan itu dan beralih ke pesan singkat. Nicho mengirimkan sebuah alamat tempat tinggal barunya. Dengan cepat Ferrel, Erlangga, dan Viana segera melesat ke rumah baru Nicho.
Selama di perjalanan Viana berusaha meminimalkan perasaan yang saling bertautan. Ia berusaha menenangkan diri, namun tetap saja seperdetik yang ia lalui sungguh lama serasa satu hari. Viana menyenderkan badannya di kursi belakang mobil dan melempar pandang ke arah jalanan. Hiruk pikuk Jakarta sama sekali tak mengganggu lamunannya hingga ia tak sadar bahwa kini mereka telah sampai di pekarangan rumah baru Nicho.
?Nicho!? teriak Viana nyaring lalu segera berlari ke arah Nicho dan memeluknya erat.
?Iya.? Nicho bingung mendapatkan pelukan dari Viana dengan arti apa. Namun sekarang bukan saatnya untuk memikirkan hal tersebut. Ia hanya ingin segera membawa ayahnya ke rumah sakit jiwa terdekat. Dengan berat hati ia melepaskan pelukan itu.
?Ferrel ? Please, bantu gua. Anterin bokap gua ke rumah sakit jiwa,”
?Hah?!? seru Ferrel, Erlangga, dan Viana bersamaan. Mereka dibuat terkejut oleh keadaan Nicho yang tadinya tinggal di istana dan sekarang tinggal di rumah yang hanya tersedia 1 kamar. Terlebih harus membantu mengantarkannya ke rumah sakit jiwa.
?Emangnya ada apa? Ada apa ? Lu kenapa ga cerita ke kita kalau ada masalah?? ucap Erlangga kesal.
?Ya gua akan cerita semuanya nanti! Tapi please gimana caranya kita rayu bokap gua untuk diajak pergi??
?Emm .. Gua ga tau caranya.? Ferrel terlihat kebingungan.
?Gua juga gak bisa,? respons Erlangga ketika Nicho menatapnya.
?Biar gua coba ya Nic!? Viana tersenyum meyakinkan Nicho.
?Tapi Vi?.?
?Udah tenang aja. Semoga bisa!? jawab Viana dengan senyuman terindah.
Lekas Viana masuk kerumah Nicho dan mencoba berinteraksi oleh Ayahanda Nicho. Awalnya memang susah diajak berkomunikasi, namun seiring kelembutan dan kesabaran yang diberikan oleh Viana maka Ayahanda Nicho mau ikut Viana untuk ke mobil. Erlangga yang melihat Viana keluar bersama Ayahanda Nicho segera menepuk pundak Ferrel dan mengajaknya masuk ke mobil. Dengan sigap, mereka bergegas memasuki mobil untuk melanjutkan misinya. Selama di perjalanan, Viana mencoba mengajak Ayahanda Nicho bercanda dan mengobrol. Viana sangat bisa mencairkan suasana hingga tibalah mereka di rumah sakit jiwa terdekat.
?Pak ayo turun kita ke rumah sakit dulu,? Viana menarik tangan Ayahanda Nicho dengan lembut.
?Ngapain kesini? Saya kan ga gila!? bentak Ayahanda Nicho pada Viana.
?Enggak pak. Aku mau konsultasi sama dokternya dengan psikis aku. Ada masalah yang mengganggu, siapa tau bapak juga bisa sharing. Ayu pak ikut aku.? tutur Viana lembut dan segera berjalan di koridor rumah sakit. Disekeliling taman, terlihat beberapa orang yang frustasi dan terganggu jiwanya. Sangat miris bila dilihat. Sementara Nicho, Ferrel, dan Erlangga mengendap-endap mengikuti langkah kaki kecil Viana.
Tak lama setelah konsultasi, dokter meminta untuk mengadakan terapi psikis pada Ayahanda Nicho dalam kurun waktu selama 3 bulan. Viana pun berjalan keluar sendiri dari ruangan. Nicho yang sedang menanti dengan cemas segera menghampiri Viana dan menanyakan kondisi Ayahandanya. Viana rasa bahwa ia tak dapat bercerita di tempat dan suasana seperti ini hingga ia memutuskan untuk mengajak yang lainnya ke Cafe Batavia.
Segala urusan administrasipun sudah Viana lunaskan. Nicho tersentuh. Betapa baiknya Viana, Viana sangat berarti bagi kehidupannya saat ini. Namun Nicho tak enak hati karena harus merepotkan kedua sahabatnya itu terutama Viana. Nicho merasa berhutang budi kepada gadis berparas cantik itu.
Ketika mereka hendak berjalan meninggalkan rumah sakit jiwa, langkah kaki Nicho terhenti. Nicho tersadar bahwa ia bukanlah orang kaya lagi yang dapat menghamburkan uang sesuka hati. Untuk makan sekalipun harus membanting tulang sekeras tenaga. Nicho mencoba menolak dengan lembut ajakan Viana, awalnya Nicho tak ingin mengutarakan alasannya sebab ia merasa malu namun akhirnya karena desakan dari Viana ia mengutarakan apa yang menjadi alasan baginya untuk menolak ajakan itu.
Viana tersenyum tipis, sungguh tersentuh hatinya melihat kondisi Nicho yang buruk. Segala harta kekayaannya lenyap tanpa ia ketahui alasannya. Ferrel segera merangkul Nicho dan memberi semangat kepadanya. Nicho tersenyum simpul menatap kedua sahabatnya, Nicho sangat bersyukur mendapatkan orang-orang terbaik di sisinya yang dapat membantunya di kali senang maupun susah. Tuhan memang sangat mengetahui apa yang diperlukan hambanya sebab Tuhan memberikan apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan. Dengan semangat, Nicho kembali meneruskan langkah kakinya dan pergi bersama dengan mereka. Nicho di rangkul dalam balutan cinta dan kasih sayang yang tak terbatas ruang dan waktu oleh ketiga malaikat kecil miliknya.
Setelah selama 40 menit melawan kemacetan di Jakarta, tibalah mereka di tempat yang menjadi rumah kedua bagi mereka. Cafe Batavia. Tempat penghibur lara yang terus menerpa. Tak ada kesedihan yang tergambarkan setiap kali mereka memijaki kaki di sana. Lantas seperti hari-hari kemarin, mereka bercanda gurau di sudut cafe dengan di temani beberapa menu andalan yang selalu mereka pesan.
?Nic ? Sebenarnya apa si yang terjadi?? Viana mencoba membuka percakapan dengan berkata lembut tak ingin melukai hati Nicho.
?Jadi gini! Waktu itukan gua lagi asik menyendiri di kamar. Gua gak denger suara bell ataupun ketukan pintu. Tiba-tiba ada 2 orang ngetuk pintu rumah gua keras banget,?
?Loh kok mereka bisa masuk rumah lu? Lu gak ngunci pagar?? tanya Erlangga heran.
?Gua kunci kok. Gak tau gua juga heran. Terus dia ngasih surat pengosongan rumah. Gua dikasih waktu 2 hari untuk ngosongin rumah itu. Katanya bokap gua punya utang sama bank.?
?Terus terus?? sergah Ferrel antusias.
?Ya terus bokap gua balik dari Bali. Terus kita diusir sama debt collector. Pas di kontrakan itu, bokap gua marah-marah dia frustasi karena bawahannya korupsi semua.?
?Lalu Ibu lu?? Viana menaruh perhatian lebih ketika membahas kata ?Ibu?.
?Ya nyokap gua kesal liat kelakuan bokap gua seperti itu apalagi jatuh miskin. Kayanya nyokap gua nyari suami baru dah, dia kan ga bisa hidup miskin!? nada Nicho sedikit meninggi. Entah kekesalan atau rasa dendam yang seakan meluap keluar.
Viana sungguh terkejut mendengar cerita menyedihkan yang menerpa kehidupan orang terkasihnya. Viana terus memberikan seribu pertanyaan perihal kehidupan Nicho saat ini. Nicho bercerita dengan sendu, kini ia harus menjadi tulang punggung keluarga demi menafkahi hidupnya.
Urusan pendidikannyapun ia relakan begitu saja padahal sekarang ia telah berada di semester 7. Semua uang tabungannya sudah terkuras habis karena dulu ia suka berhura-hura. Nicho sungguh menyesali sikap dan perbuatannya, kini ia sangat menghargai uang atau apapun yang ia miliki sebelum semuanya hilang dari genggamananya.
Ferrel sangat khawatir dengan keadaan sahabatnya dan ia tak ingin sahabatnya lepas dari dunia pendidikan yang telah di titihnya sejauh ini. Dengan tersenyum, Ferrel menawarkan Nicho untuk tinggal bersamanya. Terlebih untuk biaya hidup dan pendidikannya akan ia bantu. Nicho tak ingin menyusahkan sahabatnya itu. Dengan berat hati Nicho menolaknya. Viana sedikit geram melihat sikap Nicho, ia terus merayu Nicho agar menerima tawaran Ferrel. Setelah melakukan pertimbangan yang berat akhirnya Nicho menerima tawaran dari Ferrel.
?Iyaudah iya. Oh ya tadi dokter bilang apa?? Nicho mengalihkan pembahasannya dan menatap Viana dengan mata berbinar berharap akan ada jawaban terbaik yang terlontar dari mulut Viana.
?Dokter bilang akan melakukan terapi psikis selama 3 bulan. ?
?Oh gitu. Oh ya makasih ya atas kebaikan kalian semua.? Nicho menatap mereka satu persatu. Mereka menjawabnya dengan senyuman manis yang pertanda akan kesenangan dapat membantu orang yang selama ini berperan di kehidupan mereka.