Tentang rasa yang nyatanya bisa dengan mudah ia sembunyikan.
Tentang dia yang sebenarnya menyimpan luka di balik senyuman.
Tentang dia yang kini perlahan mencuri perhatian.
Entakan high heels yang beradu dengan lantai marmer menggema kala seorang wanita melangkah dengan tergesa-gesa memasuki rumahnya, tas jinjing bermerk ia gantung di tangan kanannya sementara riasan di wajahnya masih menempel sempurna meskipun hari sudah malam, gincu merah maroon serta rambut yang di gelung ke atas menampilkan kesan elegan pada dirinya. Namun, siapa sangka wanita yang masih terlihat sangat cantik di usianya yang menginjak kepala empat itu menyimpan amarah yang begitu besar.
"Danu!" Wanita itu menghampiri cowok yang hampir memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya, ia duduk di kursi makan sendirian sementara Bi Sumi yang berdiri di dekat meja pantry menyiapkan minuman untuk Danu sedikit tersentak kaget kemudian menatap Danu dengan tatapan iba. Ia tahu akan terjadi adu mulut sebentar lagi.
"Bisa nggak sih kamu itu ga bikin susah Mama? Mama sampai harus batalin meeting penting gara-gara kamu!" Wanita itu duduk di kursi kosong di depan Danu seraya meletakkan tas di atas meja.
Danu meremas sendok di tangannya bibirnya mengatup menjadi garis lurus, tatapannya lurus ke arah piring berisi makanan di depannya namun tatapannya tidak benar-benar tertuju pada apa yang ada di atas piring itu. Ia sangat kelaparan, berniat langsung makan setelah sampai dirumah. Makan malam yang ia harapkan akan begitu hangat ternyata malah berakhir dengan mendengar kemarahan ibunya yang baru saja sampai di rumah setelah pulang dari Bandung —tempat kemah. Aroma nasi goreng favoritnya seketika tak terasa menggoda lagi baginya.
Cowok menarik napas pelan, mencoba bersabar.
"Danu kan nggak sengaja, Ma. Siapa sih yang mau ilang di tengah hutan kayak gitu?"
"Kamu kan bisa lebih hati-hati ikuti petunjuknya jangan seenaknya sendiri! Dari dulu ya kamu itu nggak pernah berubah, ada aja masalah! Mama pusing mikirin kamu terus, mikirin kerjaan yang nggak ada habisnya."
Danu berdiri dari duduknya, ia mencoba bersabar, tapi nyatanya tidak bisa. Ia meninggalkan tempat itu karena tidak ingin berdebat.
"Mau kemana kamu? Mama belum selesai ngomong!"
Danu berhenti tanpa menoleh, "Bosen dengerin mama ngoceh terus!" Dengan itu ia pergi keluar rumah.
Merasa tidak terima wanita itu menyusul Danu yang baru saja membanting pintu depan dengan sangat keras membuat gadis yang tengah duduk di kursi di balkon itu terlonjak kaget hingga secara otomatis tatapannya beralih pada cowok yang tengah melangkah dengan tergesa-gesa di halaman rumahnya.
Kenapa tu cowok?
"Danu! Kamu kurang ajar ya sama Mama? Nggak sopan sekali kamu?!"
Sekali lagi Danu berhenti melangkah. Namun, kali ini ia berbalik melihat ibunya yang menatap tajam kepadanya juga Bi Sumi yang berdiri di belakang nyonya-nya yang terlihat ingin melerai tapi tidak berani.
"Ya, Danu emang kurang ajar, itu kan yang Mama tau dari dulu? Mama nggak pernah perhatiin Danu belakangan ini, kan? Oh ... Danu lupa, dari dulu Mama tu emang nggak pernah perhatiin Danu." Danu tergelak hambar. "Danu udah usaha Ma. Danu belajar berubah, tapi apa?! Mama nggak pernah sedikitpun ngelihat Danu! Jadi percuma!" teriakan Danu terdengar sangat keras di telinga Sabina. Apalagi malam yang sangat sepi, mungkin juga terdengar di telinga para tetangga yang lainnya.
Wanita itu diam, ada perasaan sesal dari dalam dirinya namun egonya terlalu besar untuk mengakui kesalahannya, ia menyadari perubahan Danu 6 bulan terakhir. Namun, sekali lagi egonya masih menguasai apalagi jika mengingat kesalahan Danu di masalalu. Bahkan hanya melihat wajah putranya mampu membuat amarahnya langsung berkuasa.
"Kamu itu nggak tau diri, ya! Kamu itu nggak pernah bersyukur! Sudah untung...,"
"Nyah, udah tnyah inget pesan almarhum Tuan." Bi Sumi berkata pelan, menghentikan perdebatan ibu dan anak itu. Ia memegang kedua bahu majikannya menenangkannya dan cukup berhasil terbukti dari bahu wanita itu yang sebelumnya tegang menjadi sedikit lemas.
Hampir saja ia melanggar janjinya pada sang suami.
Danu yang juga masih dikuasai emosi memilih pergi dari sana dengan membanting pintu pagar tentu saja. Ia menjambak rambutnya ke belakang secara frustrasi hingga membuatnya mendongak ke atas. Namun, tatapannya bertemu dengan gadis yang melihatnya sejak tadi. Cowok itu berdecak lalu mendengus kasar.
Sialan!
Sabina yang menyadari tatapan Danu menjadi salah tingkah. Bukan salah tingkah pada perasaan suka atau sejenisnya, lebih kepada perasaan tidak enak karena sudah kepergok menguping pertengkaran orang lain meskipun secara teknis ia tidak benar-benar menguping karena kenyataannya siapapun yang ada di komplek ini pasti akan mendengar keributan yang baru saja terjadi. Sabina memilih langsung masuk ke dalam kamarnya, ia sedikit penasaran dengan apa yang terjadi pada Danu, cowok yang terkenal baik di sekolah dan tanpa terlihat sedikitpun punya masalah, setidaknya selama 6 bulan ia berada satu kelas dengannya.
"Bi, kira-kira kalo lo mati di sini bakal ada yang ngerasa kehilangan lo nggak?"
"Kalo gue kayaknya nggak ada deh."
"Ih apaan sih aku, nih? Ngapain mikirin cowok itu?!" Ia menggerutu sambil memukul kepalanya sendiri menyalahkan otaknya yang terus saja memikirkan Danu sejak cowok itu menyatakan rasa sayangnya meskipun pada akhirnya Danu sendiri ragu dengan perasaannya.
Danu yang bingung harus kemana kini duduk di pinggir jalan di depan rumahnya. Ia benar-benar kesal dengan sikap ibunya.
Seneng kali kalo gue nggak bisa pulang trus mati di tengah hutan.
"Den, ayo masuk, nyonya udah di kamarnya." Bi Sumi menghampiri Danu.
"Nggak ah Bi, males. Udah nggak usah mikirin Danu urus aja mama, nanti darah tingginya kumat lagi, kan tambah repot."
"Tapi Den...,"
"Udah nggak pa pa, Danu mau kerumah temen sekarang."
"Udah malem ini den," ujar bi Sumi gelisah.
"Udah Bi Sum masuk aja Danu baik-baik aja kok." Danu mencoba tersenyum meskipun tatapan matanya tak bisa membohongi Bi Sumi yang sudah begitu mengenal bagaimana sifat tuannya.
Akhirnya wanita itu mengangguk, "Hati-hati ya Den," ucap bi Sum menahan tangis ia masuk ke dalam meninggalkan Danu yang masih bingung harus kemana karena jika di saat seperti ini kembali ke rumah benar-benar bukanlah ide yang baik. Ia melihat ke arah balkon Sabina.
Minta tolong Sabi lah, kan dia udah gue tolong. Kalo nggak mau nolong ungkit aja jasa gue dua hari kemarin. Tu cewek kayaknya ga enakan gitu orangnya pasti mau nolong.
Danu menyeberang jalan kecil di depannya kemudian memanggil Sabina dengan suara pelan karena tidak ingin orang lain tahu dengan apa yang dilakukannya.
"Bi ... Sabi!"
Nggak denger deh kayaknya.
Danu mengambil kerikil kecil kemudian melemparnya ke arah balkon, ia mengulanginya beberapa kali.
Sabina yang duduk di kursi belajarnya mendengar suara dari arah pintunya, ia mengintip di sela-sela gorden jendela dan melihat Danu tengah melompat-lompat sambil melambai ke arahnya.
Ck ... apaan sih tu cowok?
Gadis itu akhirnya membuka pintunya membuat Danu tersenyum lebar.
"Bantu gue, please." Danu menekan suaranya sambil menangkupkan kedua tangannya ke arah sabina dengan tatapan memohon.
"Apaan?" balas Sabina.
"Izinin gue masuk." Danu memberi isyarat dengan menunjuk dirinya sendiri lalu menunjuk ke arah dalam rumah.
"Tolongin gue sekali aja."
Sabina menghela napas ia memutuskan membantu Danu karena merasa kasihan.
"Duh ... sejak kapan sih aku peduli sama orang lain?" gerutunya sambil menuruni anak tangga perlahan, mengingat kakinya masih sakit.
Danu sedikit merasa ngeri melihat pekarangan rumah Sabina yang sangat tidak terawat, rumput liar tumbuh lebat di taman sementara cat rumah yang terlihat kusam dan sebagian mengelupas, lampu yang hanya menyala sebagian di depan garasi yang ada di bawah kamar Sabina serta lampu dari kamar Sabina menambah kesan horor.
Anjir ... lebih mengerikan daripada di hutan kemaren.
Ia melihat Sabina yang sudah berjalan ke arahnya.
Nggak takut nih cewek, ya? Tinggal di tempat kayak gini.
Gadis itu membuka pintu gerbangnya. "Mau ngapain sih?!" ucapnya sedikit kesal.
"Izinin gue nginep di sini semalem ya, semalem aja."
"Nggak boleh!"
"Ayolah Bi, lo kan udah gue tolong kemaren giliran dong. Nggak usah di bayar deh biaya puskesmasnya. Ya ... ya."
Sabina menghela napas pasrah ia membiarkan Danu masuk ke rumahnya. Yang menjadi dugaan Danu benar, Sabina memang gadis yang tidak enakkan maka dari itu Sabina tidak pernah meminta bantuan orang lain selama ia bisa melakukannya sendiri.
"Baik juga ternyata elo, Bi," ucap Danu seraya berjalan mendahului Sabina yang melangkah pelan. Namun, Danu berhenti ketika berada di ambang pintu, ia menunggu Sabina masuk terlebih dahulu selain karena kesopanan Danu juga sedikit ngeri karena di dalam gelap.
"Nggak nyalain lampu, Bi?" tanya Danu setelah masuk.
"Nggak, lebih serem kalo nyalain lampu. Percaya deh."
"Lah gue tidur di mana dong?"
Sabina berpikir sambil menaiki anak tangga, nggak ada ruangan yang rapi selain kamarnya karena ia belum sempat membersihkannya.
"Terserah!" jawab Sabina ketus.
"Yah Bi, tega amat sih lo. Masa gue dibiarin gitu aja di tempat yang ... serem gini."
"Aku belum sempet bersih-bersih Nu, baru kamarku aja yang ku bersihin masa kamu tidur di kamarku?" Sabina sudah berdiri di depan kamarnya.
"Kan nggak ada salahnya Bi, toh kita kemaren juga tidur sama-sama pelukan malah, ga terjadi apa-apa kan?" Danu menyeringai membuat Sabina memutar mata malas.
"Ih ... apaan sih Nu, nggak usah di bahas deh, ya udah ya udah! Tapi tidur di bawah!" Sabina kesal namun terpaksa karena ia tidak tega membiarkan Danu tidur di luar apalagi di kamar orangtuanya dulu.
Demi apapun aku benci cowok kenapa belakangan harus berurusan sama cowok terus sih?
"Asik," ucap Danu semringah ia mengikuti Sabina yang baru saja membuka pintu kamarnya.
"Serius lo, Bi? Lo penggemar Disney?" Danu tergelak ringan melihat kamar Sabina, ruangan berukuran 5x4 meter itu penuh dengan interior serba princess Disney. Bahkan dindingnya pun tak luput dari hiasan para puteri itu. Juga pernak pernik yang ada di meja dan lemari maupun yang di gantung di langit-langit kamar.
Sabina berdecak dalam hati, ia mengambil beberapa selimut tebal yang ada di lemarinya. Sudah lama selimut itu berada di dalam lemari dan masih bagus.
"Nih buat alas tidur!" Ia menyerahkan selimut pada Danu lalu ia merebahkan diri di atas single bed miliknya yang juga memiliki motif disney. Sementara Danu membuat tempat tidurnya sendiri.
"Ini beneran rumah elo, Bi?"
"Hmm."
"Kok lo tinggalin gitu aja, sih?"
Sabina diam, tak mau menjawab Danu karena ia tidak ingin membahasnya. Danu merebahkan dirinya menatap langit-langit kamar yang berwarna putih sangat kontras dengan bagian lainnya yang didominasi warna pink.
"Udah berapa lama ditinggalin?" tanya Danu menoleh ke arah Sabina.
"8 tahun."
Sabina mengingat masa-masa mengerikan itu. Ia segera memejamkan matanya rapat berharap bisa mengusir bayangan-bayangan itu.
"Kenapa, Bi?" Danu menyadari perubahan raut wajah Sabina.
"Nggak, udah aku mau tidur. Matiin lampunya kalo kamu udah mau tidur." Sabina memiringkan tubuhnya membelakangi Danu.
Danu tidak bisa tidur sejak mematikan saklar lampu beberapa menit yang lalu. Ia kelaparan.
"Bi, udah tidur, ya?"
Sabina tidak menjawab meskipun sebenarnya ia belum tidur.
"Bi, gue laper. Punya makanan nggak?"
"Ada mie instan di dapur," sahut Sabina tanpa bergerak sedikitpun.
"Di mana dapurnya?"
"Di bawah."
"Serius? Temenin dong, Bi."
"Nggak mau! Tu ada senter di atas meja belajar. Abis kamu turun dari tangga, jalan aja ke kanan ada dapur di sana nyalain aja lampunya kalo mau."
Melihat Sabina yang masih bergeming di atas tempat tidur Danu memilih mengalah, ia menyalakan lampu kemudian mengambil senter di atas meja, namun tatapannya tertuju dengan apa yang ada di sana sebuah gambar croquis setengah jadi pada selembar kertas hvs. Ia tertarik untuk melihat lalu memutuskan mengambil kertas itu. Namun, Danu menemukan sebuah tumpukan kertas yang dijepit pada sebuah papan kayu, ia menemukan gambar yang sama hanya saja sudah lengkap dengan desain pakaian dan juga sudah diwarnai.
Wuih, keren juga ni cewek. Pinter bikin desain baju kayak nyokab gue.
Suara perutnya menyadarkan dirinya jika ia harus segera mencari makan. Danu meletakkan kembali sketsa-sketsa itu di tempat semula ia pun segera pergi keluar meskipun rasa takut begitu mengusiknya. Ia menuruni tangga perlahan dengan mengarahkan senter ke arah depan.
Serem banget ni rumah.
Ia menemukan saklar di dapur. Namun, mengingat perkataan Sabina tentang rumahnya yang lebih seram jika lampu dinyalakan maka ia mengurungkan niatnya. Dengan perasaan takut ia segera mencari-cari mie instan yang dimaksud dan Danu menemukannya di dalam lemari kitchen set.
Dengan mudah Danu menemukan panci yang tergeletak di atas meja pantry. Cowok itu mengendusnya memastikan jika panci itu bersih setelah yakin Danu menyalakan kran air namun tak kunjung mengeluarkan setetes air pun dari sana.
Ni kok nggak keluar air sih?
Danu masih mencoba memutar-mutar kran air itu namun nihil.
"Airnya mati, kayaknya mampet. Pake ini aja."
Danu terlonjak sambil sedikit berteriak.
"Sabina! Astaga bisa mati jantungan di sini gue lama-lama." Ia memegang dadanya yang berdegup kencang karena kaget sementara Sabina menatapnya datar meskipun sebenarnya ia sedang menahan tawa, beruntung gelap jadi tidak terlalu terlihat oleh Danu.
Sabina mengulurkan sebotol air mineral ukuran besar pada Danu setelah itu dia duduk di kursi makan di dekat dapur. Ia memutuskan menemani Danu karena sekali lagi ia merasa tidak tega.
"Lo mau gue bikinin, Bi?"
"Nggak!"
"Yakin?"
Sabina hanya diam, memperhatikan bayangan Danu yang tergambar di dinding dapur, sorotan lampu senter yang mengarah pada cowok itu membuat Sabina memusatkan pandangannya ke sana.
Tidak ada yang salah sebenarnya dengan Danu, ia cowok baik sepanjang Sabina mengenalnya, hanya saja kebenciannya terhadap pria membuatnya tutup mata dan menganggap semua cowok itu sama.
Setelah selesai membuat mie-nya, Danu menyusul Sabina duduk. Tak lupa membawa senternya dan meletakkannya di tengah-tengah meja makan. Ia duduk di seberang gadis yang kini tengah merebahkan kepalanya secara miring di atas meja dengan bertumpu pada lengan kirinya.
"Elo beneran tinggal sendiri, Bi?" tanya Danu seraya memakan mie rebusnya.
"Hmm," sahut Sabina singkat.
"Orang tua lo kemana?"
Hening.
"Broken home?" tanya Danu pelan.
Sabina masih bergeming. Ia malas menjawab jika sudah ditanya mengenai kehidupannya.
"Oh, jadi ini alasan lo benci sama cowok?" Danu terkekeh pelan, "tapi kan nggak semua cowok berengsek Bi, buktinya keluarga gue harmonis."
Sabina yang tertarik dengan kata harmonis yang dikatakan Danu mengangkat kepalanya. Ia memberi tatapan, "Ya kali harmonis tapi berantem sampe teriak-teriak?"
Danu yang menyadari tatapan Sabina berdeham, "Setidaknya waktu gue masih umur 6 tahun pas bokap gue masih hidup."
Danu melanjutkan makannya pelan bayangan pertengkarannya dengan sang ibu memenuhi kepalanya. Sementara Sabina terus melihat ke arah Danu, ia melihat kesedihan cowok di depannya.
"Gue nggak tau kenapa nyokap gue berubah setelah bokap gue meninggal, setelah kecelakaan itu. Nyokap gue kayak orang lain yang nggak pernah nganggep gue ada. Apa yang gue lakuin selalu salah." Danu mencoba mengingat-ingat kecelakaan yang menimpa dirinya bersama kedua orangtuanya. Namun, tidak berhasil mengingat apapun. Yang ia tahu ia sudah terbaring di rumah sakit lalu ayahnya meninggal dan setelah itu ibunya mulai berubah.
Danu berdecak kemudian menggelengkan kepalanya, "Kok jadi curhat sih?" Ia melanjutkan menghabiskan mie nya dengan cepat.
Sabina yang sempat ikut larut dalam cerita Danu mengerjap. Seharusnya ia tidak perlu peduli. Kenapa seolah Danu mempunyai magnet yang selalu menarik dirinya untuk mengetahui tentang cowok itu lebih.
Tidak bisa dibayangkan diabaikan seorang ibu selama 11 tahun. Sabina mengingat-ingat dirinya saat masih berumur 6 tahun, ia masih bahagia bersama ayah ibunya. Namun kemudian semua berubah ketika dia berusia 9 tahun.
Aku bayangin si sabina ini rambutnya kalo d sekolah digerai terus agak nutupin wajah hahaha kalo d tmpt kerja diikat hehehe
Comment on chapter Rasa 2