Embusan angin menyapa pelan dedaunan rindang, menimbulkan gemerisik hingga menyebabkan beberapa daun yang termakan usia harus merelakan dirinya terlepas dari ranting yang menopang dirinya selama ini, sementara semburat mentari mengintip bumi dari celahnya memberi hangat setelah dingin menyelimutinya semalaman. Pagi yang sempurna.
Di sana di balik pintu pagar miliknya iris coklat cowok itu mengintip di sela-sela celah kecil pagar kayu rumahnya, tubuhnya sedikit membungkuk ia menunggu sosok yang ditunggunya sejak tadi. Gadis yang ia libatkan dalam masalahnya dengan Clara kemarin siang, ia ingin berterimakasih sekaligus meminta maaf. Ia berpikir akan aneh jika ia tidak mengatakan apapun karena pada kenyataannya keberadaan Sabina kemarin benar-benar membantunya terlepas dari Clara. Cowok itu -Danu melirik jam di tangannya ia sangat yakin jika Sabina belum berangkat ke sekolah.
"Sial, gelagat gue udah kayak pencuri gini. Padahal nanti juga ketemu di sekolah," batinnya keheranan dengan tingkahnya sendiri. Tepat ketika ia ingin mengakhiri pengintaiannya, suara keibuan terdengar di telinganya.
"Aden ngapain di situ?"
Suara hangat itu mengejutkannya, ia segera berpindah dari tempatnya.
"Uh? Nggak Bi, tadi ada itu. Anu...," Danu menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal, ia berpikir keras mencari-cari alasan yang cukup logis karena ia tidak mungkin mengatakan jika ia tengah menunggu Sabina. Mau ditaruh di mana harga dirinya? "Ada anjing di luar Bi. Takut mau keluar."
Alis wanita berdaster itu mengerut, tangannya bergerak membuka sedikit pintu untuk memastikan, "Perasaan nggak ada yang pelihara anjing di sini."
Mampus.
"Danu salah lihat kali, Bi."
Mata Danu menangkap sosok yang baru membuka pintu pagar rumah kosong di depannya. Penampilannya seperti biasa rambut sebahu yang dibiarkan tergerai. Namun, kali ini ia memakai hoodie berwarna putih dan skinny jeans berwarna hitam. Untuk ekspresinya tidak usah ditanya.
Seperti yang Danu tahu. Datar.
"Kalo gitu Danu berangkat dulu Bi, jangan kangen ya 3 hari nggak ada Danu. Dah." Danu melangkah dengan menggendong tas punggung yang berisi perlengkapan kemah. Ia berjalan kaki kali ini.
"Hati-hati di jalan Den." Senyum simpul Bi Sumi mengantar kepergian tuannya yang ia sayangi seperti anaknya sendiri.
"Den Danu Den Danu, bilang aja lagi nungguin cewek cantik. Pake bohong segala," gumam Bi Sumi ketika melihat Danu yang berlari kecil menyusul Sabina. Danu menceritakan semua kejadian kemarin pada Bi Sumi. Kecuali tentang Clara tentu saja.
"Sabi!"
Danu mensejajarkan langkahnya dengan Sabina. Gadis itu memilih bergeming seperti yang biasa ia lakukan, matanya lurus menatap trotoar di depannya. Ada sesuatu dalam diri Danu untuk mengetahui lebih dalam tentang Sabina. Mengapa Sabina seperti punya dua kepribadian?
Cowok itu penasaran.
"Makasi buat yang kemaren, ya? Sorry baru bilang, kemaren pas gue mau pulang elo sibuk banget nggak enak ganggu, trus semalam gue nungguin lo pulang tapi sampe gue ngantuk elo nya ga pulang-pulang."
"Hmm," sahut Sabina singkat meskipun ia penasaran mengapa Danu bisa ada di sini. Atau mungkin Danu tinggal di daerah sini?
Gawat.
Sedikit ada rasa khawatir dalam diri gadis itu, entah mengapa ia takut Danu menyebarkan identitas keduanya di sekolah meskipun ia sangat yakin jika tidak akan ada yang peduli dengan dirinya. Karena dari awal ia sudah sukses membuat orang-orang tidak ingin berurusan dengannya.
"Sorry ngelibatin elo, gue terpaksa Bi. Clara ngejar-ngejar gue terus."
Sabina memiringkan kepalanya menghadap Danu, alis kirinya menukik tajam seolah berkata 'ada gitu mimik peduli dari wajah ku?' Namun, Danu salah paham terhadap ekspresi gadis itu.
"Kita putus seminggu yang lalu, tapi dianya masih aja nyariin gue -,"
"Bukan urusanku!" Sabina memotong kalimat cowok yang penuh percaya diri bercerita tentang dirinya, gadis itu memakai topi hoodie-nya lalu melangkah mendahului Danu dan berbelok ke minimarket meninggalkan Danu yang mau tak mau harus menahan malunya. Batin cowok itu menertawai dirinya sendiri, belum ada cewek yang pernah melakukan itu kepadanya dan Sabina ... sukses membuatnya malu. Perasaan kesal yang sebelumnya pernah pudar kini kembali lagi menguasai egonya seperti hari-hari sebelumnya.
Cowok dengan jaket denim itu memutuskan ikut masuk ke minimarket. Batin Sabina menjerit kencang ia tidak mau cowok itu mengikutinya. Berusaha tidak menghiraukan Danu, Sabina segera mengambil 4 bungkus roti sandwich isi cokelat dan 4 kotak susu coklat kesukaannya untuk bekal selama berkemah. Setiap hari sudah menjadi kewajiban menyantap makanan itu, baginya jika lidahnya tidak bertemu dengan kedua benda itu maka hidupnya terasa ada yang kurang.
"Bisa nggak sih kamu nggak ngikutin aku?!" Sabina sedikit menekan suaranya agar tidak menarik perhatian beberapa pengunjung minimarket. Semburat kesal tercipta pada mata lebarnya.
"Siapa yang ngikutin elo? Jangan ge er deh, gue mau beli roti juga!" Danu mengambil sebuah roti sandwich rasa keju ia juga meraih sebotol air mineral ukuran tanggung kemudian berlalu ke kasir meninggalkan Sabina yang mendengkus kesal karena menyesal telah memutuskan berbicara.
Entah mengapa dia yakin jika cowok itu akan membuat harinya menjadi menyebalkan. Gadis itu tidak menyangkal jika Danu memiliki paras tampan, rambut hitam lebat bergaya spike yang terkesan sassy, alis tebal, hidung mancung, rahang tegas serta bibir berwarna merah muda sangat sesuai dengan tipikal cowok berwajah maskulin yang selalu menjadi idaman para gadis. Namun tentu saja hal itu tidak mampu membuat Sabina tertarik kepadanya karena sudah menjadi rahasia umum jika jenis cowok seperti itu hanya senang mempermainkan perempuan.
Danu keluar terlebih dahulu dan berjalan perlahan sementara Sabina baru keluar beberapa menit kemudian. Sabina melihat Danu di depannya dengan perasaan kesal ia kembali mendengkus lalu mempercepat langkah kakinya mendahului Danu. Ia menghela napas lega ketika mengetahui jika Danu tidak menyusulnya.
????????????
"Ayo cepat-cepat, hutan sudah menunggu." Pria berbadan tinggi tegap itu mengawal para siswanya yang memasuki bus.
"Pak Bambang, boleh ya aku duduk sama Danu." Gisel memohon di antara barisan, Danu yang ada di depannya memutar mata kesal.
"Terserah, yang penting semua masuk dan duduk."
Neraka bakal mengungkung gue selama perjalanan.
"Yes, asik. Ayo Nu cepetan."
"Sabina," panggil Pak Bambang ketika Sabina ingin memasuki bus, ia murid terakhir yang harus masuk. Gadis itu memilih urutan terakhir tidak peduli mau duduk di mana atau dengan siapa.
"Ya?"
"Udah bawa bekal?"
Sabina mengangguk pelan sudut bibirnya sedikit terangkat hanya agar ia terlihat lebih sopan. Guru olahraga itu mengangguk dan menyuruh Sabina naik ke dalam bus.
Pak Bambang guru yang selalu berusaha berbicara dengan Sabina, tidak seperti guru lainnya yang lebih memilih diam yang penting Sabi mengerjakan tugas selesai. Pak Bambang selalu berinteraksi dengannya dan Sabina menanggapi seadanya.
Kursi urutan paling belakang, bersama gadis berkacamata tebal namun rambut sepunggungnya tidak dikepang dua seperti nerd yang selalu digambarkan selama ini -Ratna si kutu buku berusaha tersenyum pada Sabina.
"Hai," sapa gadis berponi itu. Sabina tersenyum singkat kali ini ia benar-benar tersenyum karena bersyukur setidaknya ia tidak bersama siswa lain yang senang mengeluh. Ia tahu jika Ratna sangat pendiam jadi ia tidak perlu memikirkan apa yang akan dikatakan temannya itu nantinya. Dan ia bersyukur ia akan satu tenda dengan Ratna nanti.
Kegaduhan terdengar di barisan tengah hingga depan di mana para siswa populer menguasai wilayah itu, gelak tawa mengiringi perjalanan mereka namun Sabina memilih diam berusaha mencari keheningan dengan menatap keluar jendela. Sesekali batinnya mencemooh suara Gisel yang tertangkap di pendengarannya, gadis itu selalu senang menjadi pusat perhatian.
Sabina menyadari si Kutu buku ikut mendengus di sampingnya ketika mendengar Gisel dengan percaya dirinya mengukuhkan jika dirinya adalah yang paling cantik di sini.
"Kamu nggak suka sama Gisel?" tanya Sabina pelan, ia penasaran mengapa si Kutu buku itu berani melakukan itu karena biasanya di kelas Ratna hanya akan diam menunduk jika kelompok Ratu Lebah itu membuat gara-gara dengannya.
Yang diajak bicara menoleh tidak percaya, seakan suara yang baru saja ia dengar adalah suara emas yang paling ditunggu-tunggu seantero warga sekolah.
"Uh? Oh, siapa sih yang suka sama dia? Kurasa cowok dengan IQ yang sama dengannya yang tergila-gila sama dia. Denger sendirikan dari tadi cuma cowok dengan prestasi rendah yang godain dia." Ratna berbisik sambil sedikit mengernyit jijik. Mau tak mau Sabina menyetujui perkataan Ratna. Sejak tadi yang ia tidak mendengar Danu ataupun cowok berprestasi lainnya yang menanggapi Gisel meskipun gadis itu selalu saja memanggil nama Danu.
Hening kembali membentang setelah percakapan singkat itu, setidaknya Sabina senang ternyata ada yang sependapat dengannya. Gisel itu sangat berisik.
Sabina menangkap gerak gerik tak nyaman dari Ratna yang sejak tadi mencuri pandang terhadapnya, hingga membuatnya menoleh sambil menatapnya dengan tatapan bertanya.
"Enggak Bi, cuma aneh aja. Kamu ngomong sama aku tadi, ya?"
Batin Sabina tergelak, "Ya."
Ratna mengangguk meninggalkan tanda tanya dalam kepala Sabina.
"Nyadar nggak sih Bi ini pertama kalinya kamu ngajak bicara aku?"
Tentu saja Sabina menyadarinya, predikat kutu buku yang digelar Ratna membuatnya tidak punya teman jarang ada yang mengajaknya bicara hingga membuatnya terkesan pendiam padahal sebenarnya ia ingin sekali bergaul dengan banyak teman.
Sabina tersenyum, "Ya."
.
.
Udara segar langung menyambut para murid SMA Harapan yang berhambur keluar dari bus. Pohon-pohon menjulang tinggi yang tertiup angin seolah menyambut kedatangan mereka.
"Seger ya, nggak kayak di Jakarta," seru salah seorang siswa dan disahuti perkataan setuju oleh yang lainnya.
"Anak-anak."
Suara dari speaker menginterupsi kekaguman para siswa kelas 11 itu terhadap hutan hijau di sekitarnya. Mereka menghadap ke arah para guru yang sudah berkumpul.
"Langsung ya pada bikin tenda sesuai kelompok yang sudah dibikin kemarin. Habis itu baru kita istirahat dan melanjutkan kegiatan berikutnya."
Seluruh siswa menjawab serentak, "Baik, Bu Susi."
Jangan lupa vomment ????
@DanFujo itu awalnya blm ada adegan ngambil fotonya Danu buat jaga-jaga, tapi karena ada komen dari @drei jadi saya tambahin biar ada alasannya (sebab akibat).
Comment on chapter Rasa 24Nggak perlu jadi kakak atau adik, cukup jadi sahabat yang "peka" dengan sahabatnya hehe. Temen-temennya Danu pada nggak peka karena Danu cukup pintar menyembunyikan masalahnya hehe