Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dunia Tiga Musim
MENU
About Us  

Hari senin pagi. Upacara bendera sudah usai. Lautan murid yang selama satu setengah jam berdiri rapi di lapangan kini berarak tak berarturan. Mereka bak gelombang besar yang menerjang segala penjuru, berebut menuju kelas masing-masing untuk merasakan kesejukan pendingin udara dan nyamannya bangku kelas karena matahari kini berarak semakin tinggi, sementara tungkai kaki sudah tak kuasa lagi untuk berdiri.

Kelas XII IPA 1 terlihat ramai. Anak-anak masih berebut masuk ke ruangan. Pak Sam, guru Bahasa Inggris tengah berjalan cepat menuju ruang berpintu dua itu. Kumisnya yang tebal bergoyang-goyang karena deheman.

“Masuk! Ayo masuk!”

Seruan Pak Sam membuat murid-murid yang tadinya masih berisik di luar segera bubar dan masuk ke dalam. Para murid wanita berbisik-bisik memperhatikan sesosok manusia yang berdiri di belakang Pak Sam. Sedangkan para lelakinya hanya menatap ingin tau.

Kaki kurus itu melangkah masuk. Sepatu pantofel mengkilap. Baju seragam putih bersih dengan wangi pelicin setrika. Celana abu-abu tidak ketat. Ransel hitam kulit yang terlihat mahal dibawa oleh sosok jangkung itu.

Semua mata kini tertuju padanya. Pada sosok lelaki yang kini berada di depan kelas. Wajahnya masih menunduk. Topi yang ia pakai mengaburkan tampilan rambutnya.

“Lepas topinya, Rel.” Perintah Pak Sam membuat lelaki itu dengan teratur melepas topi abu-abu dengan lambang tut wuri handayani kuning di kepalanya.

Wajah di balik topi yang dari tadi menunduk kini ikut terangkat mengikuti topinya.

Ruang kelas sejenak senyap. Wajah dibalik topi itu menatap lurus-lurus ke arah tembok. Tampak dua bola mata berwarna hazel ada di balik kaca mata. Seisi kelas tiba-tiba ramai dengan suara murid wanita yang berdesis setengah berteriak—“Oh My GOD!”, “Gila!”, atau apapun kalimat sejenis yang membuat hening sejenak itu dengan cepat berganti bising.

Pak Sam kembali memegang kendali kelas.

“Jangan berisik!” serunya. “Kayak baru liat wajah ganteng sekali ini.”

Lelaki bermata hazel itu tertawa kecil terkesan sinis. Dan kini kelas kembali gaduh.

“Senyumnya bikin melting gila!”

Celetukan kini makin riuh rendah membuah Pak Sam kini menggedor papan tulis dengan penghapus.

Cukup! Cukup!” Pak Sam lalu menatap murid di sebelahnya. “Cepat kenalkan diri lalu duduk di bangku. Jam pelajaran saya sudah kepotong banyak.”

Lelaki bermata hazel itu membuka suara.

“Saya Karel. Pindahan dari Jakarta. Salam kenal.”

Seisi kelas takjub dengan bahasa indonesianya yang fasih kontras dengan garis wajahnya, mata hazel yang bersinar, serta kulit cerah dan wajah menarik yang mengandung unsur Eropa dan Timur Tengah.

Karel lalu duduk di bangku kosong yang pertama kali dilihatnya. Bangku paling depan, bersebelahan dengan murid lelaki lain yang sedari tadi terus mengamatinya.

“Hai!” sapa teman sebangku Karel yang baru.

Lelaki yang disapa hanya meletakkan ransel di atas bangku tanpa berkata.

“Gue Bram.” Lanjut teman sebangkunya.

Karel melirik Bram sekilas, diikuti senyum yang sekilas pula.

Pelajaran Pak Sam dimulai. Tak ada kata-kata yang terlontar dari mulut Karel hingga bel istirahat berlalu.

***

“Rumah lu dimana?”

Tanya Bram saat sekolah bubar. Karel melihat wajah teman sebangkunya itu cepat. Lalu mengeluarkan suara singkat.

“Perumahan Papandayan.”

Bram yang awalnya hanya basa-basi mendadak antusias lagi.

Karel mengangguk dengan kaku.

“Jalan apa?” Bram berdecak tak percaya. “Gue juga tinggal di sana.”

Karel kini menatap Bram dengan lebih manusiawi. “Kau juga?” tanyanya ragu.

Bram mengangguk. “Iya. Yuk cabut!” ajak lelaki itu sambil melewati pintu kelas.

“Lu bisa pulang sendiri, kan?” canda Bram saat mereka berdua sudah berada di dekat parkiran. “Gue mau pulang bareng temen.” Dagu Bram menunjuk sosok perempuan yang duduk di bangku tunggu dekat parkiran.

Tiba-tiba Karel terpaku di tempat.Mata hazelnya mengikuti arah gerak Bram yang kini sudah berjalan mendekati seorang permpuan berambut lurus tergerai di bangku tunggu parkiran. Karel mendadak tersenyum sendiri.

Sungguh kebetulan yang indah.” Ujarnya pelan.

Sementara itu, Nda beranjak dari tempat duduknya saat tahu Bram sedang berjalan menuju ke arahnya. Mereka berdua pun mendekati motor matik warna putih yang terparkir di bawah atap panjang.

“Tumben nggak main basket dulu?”

Nda kini sudah memasang helm dan bersiap duduk di boncengan motor.

“Males. Tadi sih niatnya mau nganter anak baru keliling sekolah biar tau. Tapi dianya cuek banget. Jadi mending gue sekalian pulang.”

“Anak baru?” suara Nda samar-samar karena mesin motor yang sudah dinyalakan.

“Iya. Blesteran Turki gitu.”

Nda mengernyit. “Ngomong-ngomong soal baru, kita juga ada tetangga yang baru pindahan.”

“Iya. Malam ini syukurannya. Kemarin lusa baru pindah.”

Bram terbahak disela menyetir motor. “Itu pasti si anak belagu tea!”

Nda mengernyit tak paham. “Apa?”

“Nggak papa.” Bram mengangkat bahu. Malas menjelaskan bahwa dunia mereka terlalu sempit. “Nanti lu juga bakal tau sendiri.”

 ***

Karel termenung melihat Maminya yang sibuk memencet tombol ponsel dan menelepon orang yang entah keberapa—untuk memastikan bahwa semua makanan sudah diantar ke rumah mereka.

Karel yang berwajah blasteran itu kini mematikan telponnya. Lantas menoleh ke arah anak semata wayang yang duduk di sebelahnya.

“Kamu nggak siap-siap? Syukurannya habis magrib, lho.”

Karel tersenyum kecil. “Masih dua jam lagi, Mi.”

Karel menghela napas. “Kok sepertinya hanya Mami saja yang antusias sama acara ini.”

Karel kembali tersenyum kecil lantas menekuri bukunya. Buku bersampul kuning-hijau berjudul Bumi Manusia.

“Dasar kamu ini. Sekali-kali lebih banyak ngobrol sama Mami, dong. Yang dipeduliin buku melulu.”

Karel tak begitu mempedulikan protes mami karena pikirannya kini sudah melayang mundur ke belakang. Tepat ke sehari yang lalu, di jam yang sama.

Hari beranjak senja saat Karel keluar dari toko buku di hari minggu itu. Toko buku yang dikunjunginya berada di dalam sebuah mall. Karel hendak melangkah pulang ketika hujan tiba-tiba mengguyur tanpa pertanda. Mungkin jika gerimis Karel akan berusaha menerjangnya. Namun hujan kali ini sungguh deras. Parkiran mobil yang berada di halaman mall bahkan tak terlihat jelas. Karel mengurungkan niat. Ditatapnya sekeliling. Di belakang punggungnya, tercium aroma kopi yang mengundangnya untuk mengikuti. Karel mendapati sebuah kedai kopi yang membuatnya tertarik untuk menghabiskan waktu di sana. Menunggu hujan reda sambil menyesap secangkir kopi panas, sungguh menggoda. Tanpa buang waktu lama, lelaki itu sudah berada di dalam kedai yang cukup padat. Ia memilih tempat duduk di pojok kedai. Pesanannya datang tak lama kemudian. Segelas espresso. Kopi pahit kesukaannya.

Karel hendak membuka buku belanjaannya, ketika tak sengaja ia melihat seorang wanita, dengan wajah tertutup buku duduk di bangku seberang. Wanita itu duduk sendirian, membaca buku dengan amat serius hingga yang terlihat darinya hanyalah sampul buku yang berada di posisi nyaris berdiri secara vertikal. Judul buku itu membuat Karel terdiam, untuk kemudian terkikik pelan.

“Sudah sampai halaman berapa kau membaca kisah Minke, Puan?”

Karel bermonolog dalam hati. Ia mengurungkan niatnya untuk mengeluarkan buku yang tadi dibelinya dari kantong plastik; buku yang sama dengan yang dibaca wanita itu.

Karel kini lebih tertarik untuk mengamati orang asing yang sedang asyik membaca buku itu. Belum genap semenit Karel mengamati bangku seberang sambil menyesap kopi, wanita di seberang meletakkan bukunya di meja. Karel sontak gelagapan hingga cangkir yang dipegangnya nyaris jatuh. Espresso panasnya terpercik sedikit di meja. Tangan Karel reflek membersihkannya dengan tisu. Saat selesai, matanya kembali mencuri pandang ke arah seberang.

Waktu terasa berputar lambat.

Karel kini dapat melihat jelas wajah orang di seberangnya. Seorang wanita yang tampak seumuran dengannya, sedang menatap hujan lewat jendela sambil menyesap cairan dari cangkir. Rambutnya yang tergerai sebahu, matanya yang teduh, dan wajahnya yang tenang, seketika membuat dunia Karel berhenti sejenak.

Dalam hati Karel memanjatkan doa paling tak masuk akal;

Ia ingin hujan turun selamanya.

***

Bram dan Nda datang ke Rumah kosong yang dua hari lalu sudah berpenghuni. Rumah itu bercat putih dengan pagar besi berwarna hitam. Tak ada desain yang mencolok, hanya suara riuh rendah dari orang-orang yang datang berkunjung saja yang membuat kedua anak muda itu antusias ingin tahu.

“Kenapa harus kita yang datang kesini?” Nda berkata malas. Ia sungguh tak begitu berminat saat ibunya menyuruh agar dia datang ke acara syukuran tetangga barunya. Seharusnya ia kini tengah bergelut dengan novel Bumi Manusia-nya yang baru selesai setengah jalan, bukannya malah datang untuk berbasa-basi yang pada intinya mengambil jatah makanan untuk keluarganya.

“Bagus, kan?” Jawab Bram tenang. “Kita perlu tahu siapa saja orang-orang di sekeliling kita. Kita kan nggak tinggal di bumi ini sendirian.”

Nda hanya menghela napas.

“Lagipula anak pemilik rumah baru itu teman sekelas gue.” Ujar Bram membuat Nda menoleh ke arahnya.

“Oh, ya?”

Belum sempat Bram mengiyakan, kedua remaja itu sudah disambut di depan pintu rumah.

Eh, anak-anak muda, ayo, masuk!” ujar seorang wanita berumur 50-an yang masih terlihat cantik dengan hidung runcing dan mata hazel yang membuat Nda dan Bram takjub.   

“Kalian pasti temannya Karel?”

Tanpa menunggu jawaban dari Nda dan Bram, wanita itu segera berteriak dengan suaranya yang renyah. “Rel! Karel!” panggilnya sambil melongokkan kepala ke dalam. Sementara Nda dan Bram yang masih berdiri di luar pintu hanya berpandangan.

“Masuk, masuk! Jangan malu-malu, ayo!” mami Karel berkata ramah. “Silahkan nikmati hidangannya.”

Bram dan Nda masuk ke dalam rumah karena ada tamu lain ganti berdatangan. Nda menyikut Bram.

“Beneran temen sekelasmu?”

Bram mengangguk. “Tuh” katanya dengan dagu mengarah ke depan. Tempat dimana seorang lelaki berkacamata menunduk menekuri sebuah buku sambil menyeruput secangkir kopi.  Lelaki itu duduk di pojok ruang tamu yang juga digunakan untuk hidangan prasmanan.

Nda dan Bram selama beberapa detik mematung. Acara syukuran sepertinya sudah selesai. Mereka memang sengaja datang terlambat agar bisa cepat pulang. Dua orang remaja itu kini tak tahu harus berbuat apa.

“Udah sapa sana, terus kita langsung pulang.” Saran Nda.

Bram setuju dan langsung melangkahkan kaki menuju tempat dimana Karel duduk.

“Hai, Sob!”

Karel mendongak mendengar suara yang terasa familier baginya. Ia mendapati wajah Bram tepat di hadapannya. Sedang berdiri sambil mengangkat tangan kanan.

“Ternyata kita tetangga!” Bram terbahak kecil untuk mencairkan suasana.

Karel sejenak terkejut dengan kebetulan ini. Namun yang keluar dari mulutnya adalah sebuah senyum tipis. Sangat tipis hingga Bram sendiri tak yakin anak lelaki di depannya itu meresponnya.

Mulut Karel yang dari tadi membisu mendadak terbuka ketika dilihatnya seorang perempuan mendekat dan berdiri di sebelah Bram. Sementara Karel tiba-tiba merasa gugup dan langsung berdiri dari sofa tempatnya duduk menekuri buku.

Bram agak terkejut dengan perubahan sikap tetangga barunya tersebut. Ia menoleh ke arah Nda yang masih nampak datar-datar saja. Bram berusaha mencerna perubahan sikap Karel terhadap kedatangan Nda.

“Aku Dewi Gandaria.” Nda mengulurkan tangan. “Panggil saja Nda.”

Karel berniat mengulurkan tangan, namun ia sadar bahwa tangan kanannya masih memegang buku bacaan.

“Kamu baca itu juga?” tanya Nda yang kini sudah meletakkan uluran tangan.

“Ah.. Eh.. Iya.” Jawab Karel antara kaget dan gugup.

Bram mengernyitkan dahi. Rasanya ini pertama kalinya ia mendengar Karel berbicara dengan gagap seperti itu setelah di kelas tadi terkesan sok dingin.

“Aku juga baca.” Kata Nda tanpa merasa aneh. Perempuan itu menatap Karel yang masih manggut-manggut sendiri di tempatnya.

“Oh iya, aku juga satu sekolah dengan Bram. Anak IPS 1.” Lanjut Nda.

“Kita tetangga?” tanya Karel berusaha meredam rasa senangnya. Ia sudah tahu bahwa dirinya dan Nda satu sekolah semenjak melihat perempuan itu di tempat parkir.

“Tentu.” Nda tertawa kecil. “Mana mungkin aku ke sini kalau kau bukan tetanggaku.”

Kebetulan yang sungguh indah. Karel tersenyum. Senyum yang kata teman perempuan kelasnya bisa membuat meleleh.

“Kalian sudah makan?” Karel kini terlihat menghangat.

Bram cepat-cepat menggeleng.

“Silahkan dinikmati hidangnnya.” Ajak Karel ke arah meja tempat hidangan prasmanan berada.

Bram mengangguk. Lalu mengikuti langkah Karel diikuti dengan Nda. Bram merasa Karel yang awalnya terasa dingin dan membatasi jarak itu kini memperlihatkan sisi lainnya. Sebuah sisi hangat yang mungkin selama ini tersembunyi? Entahlah, Bram tidak tahu.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • drei

    Wah pembukaan yang menarik. Jadi pingin lanjut baca >.< keep up the good work

    Comment on chapter PROLOG
Similar Tags
Hoping For More Good Days
507      357     7     
Short Story
Kelly Sharon adalah seorang gadis baik dan mandiri yang disukai oleh banyak orang. Ia adalah gadis yang tidak suka dengan masalah apapun, sehingga ia selalu kesulitan saat mengahadapinya. Tapi Yuka dan Varel berhasil mengubah hidup Sharon menjadi lebih baik dalam menghadapi segala rintangan.Jujur dan saling percaya, hanya itu kunci dari sebuah tali persahabatan..
Kompilasi Frustasi
4222      1245     3     
Inspirational
Sebuah kompilasi frustasi.
My Rival Was Crazy
135      118     0     
Romance
Setelah terlahir kedunia ini, Syakia sudah memiliki musuh yang sangat sulit untuk dikalahkan. Musuh itu entah kenapa selalu mendapatkan nilai yang sangat bagus baik di bidang akademi, seni maupun olahraga, sehingga membuat Syakia bertanya-tanya apakah musuhnya itu seorang monster atau protagonist yang selalu beregresi seperti di novel-novel yang pernah dia baca?. Namun, seiring dengan berjalannya...
Melepaskan
459      314     1     
Romance
Ajarkan aku membenci tawamu, melupakan candamu. Sebab kala aku merindu, aku tak bisa lagi melihatmu..
Our Son
540      294     2     
Short Story
Oliver atau sekarang sedang berusaha menjadi Olivia, harus dipertemukan dengan temanmasa kecilnya, Samantha. "Tolong aku, Oliver. Tolong aku temukan Vernon." "Kenapa?" "Karena dia anak kita." Anak dari donor spermanya kala itu. Pic Source: https://unsplash.com/@kj2018 Edited with Photoshop CS2
Love and Pain
607      374     0     
Short Story
Ketika hanya sebuah perasaan percaya diri yang terlalu berlebih, Kirana hampir saja membuat dirinya tersakiti. Namun nasib baik masih berpihak padanya ketika dirinya masih dapat menahan dirinya untuk tidak berharap lebih.
Forgetting You
4039      1476     4     
Romance
Karena kamu hidup bersama kenangan, aku menyerah. Karena kenangan akan selalu tinggal dan di kenang. Kepergian Dio membuat luka yang dalam untuk Arya dan Geran. Tidak ada hal lain yang di tinggalkan Dio selain gadis yang di taksirnya. Rasa bersalah Arya dan Geran terhadap Dio di lampiaskan dengan cara menjaga Audrey, gadis yang di sukai Dio.
Merayakan Apa Adanya
402      289     8     
Inspirational
Raya, si kurus yang pintar menyanyi, merasa lebih nyaman menyembunyikan kelebihannya. Padahal suaranya tak kalah keren dari penyanyi remaja jaman sekarang. Tuntutan demi tuntutan hidup terus mendorong dan memojokannya. Hingga dia berpikir, masih ada waktukah untuk dia merayakan sesuatu? Dengan menyanyi tanpa interupsi, sederhana dan apa adanya.
MERAH MUDA
511      370     0     
Short Story
Aku mengenang setiap momen kita. Aku berhenti, aku tahu semuanya telah berakhir.
Asa
4658      1387     6     
Romance
"Tentang harapan, rasa nyaman, dan perpisahan." Saffa Keenan Aleyski, gadis yang tengah mencari kebahagiaannya sendiri, cinta pertama telah di hancurkan ayahnya sendiri. Di cerita inilah Saffa mencari cinta barunya, bertemu dengan seorang Adrian Yazid Alindra, lelaki paling sempurna dimatanya. Saffa dengan mudahnya menjatuhkan hatinya ke lubang tanpa dasar yang diciptakan oleh Adrian...